Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Kecelakaan lalu lintas merupakan permasalahan kesehatan global sebagai
penyebab kematian, disabilitas, dan defisit mental. Menurut World Health Organization
(WHO) pada tahun 2015 kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab kematian urutan
kesebelas di seluruh dunia dan menelan korban jiwa sekitar 1,25 juta manusia setiap
tahun (Depkes RI, 2017). Trauma dapat diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas. Trauma
yang paling banyak terjadi pada saat kecelakaan lalu lintas adalah trauma kepala.
Trauma kepala akibat kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama disabilitas dan
mortalitas di negara berkembang. Keadaan ini umumnya terjadi pada pengemudi motor
tanpa helm atau memakai helm yang tidak tepat dan yang tidak memenuhi standar.
(Depkes RI, 2015).
Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non degenerative atau non kongenital
yang terjadi akibat rudapaksa (trauma) mekanis eksternal yang meneybabkan kepala
mengalami gangguan kognitif, fisik dan psikososial baik sementara atau permanen juga
dapat menyebabkan kelumpuhan pada usia dini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, perumusan masalahnya adalah:
Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan trauma
kepala ?

C. Tujuan Makalah
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari dibuatnya makalah ini yaitu agar mahasiswa/I
memahami tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan
trauma kepala.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari pembuatan makalah iniyaitu agar mahasiswa/i
mampu menjelaskan tentang :
a. Pengertian trauma kepala
b. Anatomi Fisiologi trauma kepala

1
c. Etiologi trauma kepala
d. Klasifikasi trauma kepala
e. Cedera spesifik otak kepala
f. Patofisiologi trauma kepala
g. Manifestasi Klinis pada pasien dengan trauma kepala
h. Komplikasi pada pasien dengan trauma kepala
i. Penatalaksanaan Klinis pada pasien dengan trauma kepala
j. Pemeriksaan Diagnostik pada pasien dengan trauma
kepala
k. Pemeriksaan tingkat kesadaran (GCS) pada pasien dengan
trauma kepala
l. Pengkajian pada pasien dengan trauma kepala
m. Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan trauma
kepala
n. Intervensi Keperawatan pada pasien dengan trauma
kepala

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definsi Cedera Kepala


Cedera kepala adalah Suatu gangguan trauma fungsi yang disertai pendarahan
interstisial dalam sub stansi otak tampa diikuti terputusnya continuitas otak (R.
Samsuhidayat, dkk, EGC, 1997).
Cedera kepala merupakan adanya pukulan/benturan mendadak pada kepala
dengan atau tanpa kehilangan kesadaran (Susan Martin, 1996).
Cedera Kepala (terbuka & tertutup) terdiri dari fraktur tengkorak Cranio serebri
(geger), Kontusio (memar) / Laserusi & perdarahan serebral (subarakhnoid, subdural,
epidural, intraserebral batang otak). Trauma primer terjadi karena benturan langsung
atau tidak langsung (akselerasi / deselerasi otak). Trauma sekunder akibat trauma syaraf
(mil akson) yang meluas hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea atau hipertensi
sistemik (Doengoes, 2001).

2.2. Anatomi dan Fisiologi


Otak merupakan unsur lembut yang sangat mudah sekali terkena cedera dan
mengalami kerusakan. Cidera atau kerusakan ini timbul tepat diatas tengkorak yang
mana terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa, padat dapat digerakkan bebas.
Diantara kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membran dalam yang
mengandung pembuluh – pembuluh besar. Tepat dibawah galea terdapat ruang sub
aponeurotik yang mengandung vena emisaria dan diploika.
Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak
memungkinkan perluasan isi intrakranial. Tulang terdiri dari dua dinding atau tabula
yang dipisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar disebut tabula eksterna dan bagian
dalam disebut tabula interna. Tabula interna mangandung alur – alur yang berisikan
arteria mengingea anterior, media dan posterior, sedangkan tabula eksterna merupakan
tabula pelindung bagi tabula interna. Pelindung lain yang melapisi otak adalah
meningen. Yang terdiri dari duramater, araknoid dan piamater.

3
4
2.3. Etiologi
Menurut Barbara (1996) Cidera disebabkan oleh :
1. Adanya trauma oleh benda tajam
 Trauma oleh benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat dan
menimbulkan cedera lokal.
2. Adanya trauma oleh benda tumpul
Trauma oleh benda tumpul dapat menyebabkan cedera menyeluruh (difus).
Kerusakan dapat terjadi karena energi/kekuatan diteruskan ke substansi otak.
Energi diserap oleh lapisan pelindung, kulit, kepala dan tengkorak.

2.4. Klasifikasi menurut berat ringannya berdasarkan GCS


a. GCS 13-15 (cedera kepala ringan)
a) GCS 13-15
b) Dapat terjadi kehilangan kesadaran/amnesia tetapi kurang dari 30 menit
c) Tidak ada fraktur tengkorak
d) Tidak ada contusio serebral/hematoma
e) Tidak ada trauma sekunder
f) Tidak ada gangguan jaringan neurologis
g) Klien mungkin hanya pusing dalam beberapa jam atau beberapa hari.
b. GCS 9-12 (Cedera Kepala Sedang)
a) GCS 9-12
b) Terjadi penurunan kesadaran antara 30 menit – 24 jam setelah kecelakaan
c) Dapat mengalami trauma sekunder
d) Dapat mengalami fraktur tengkorak
e) Ada tanda-tanda gangguan neurologis sedang
c. GCS 3-8 (cedera kepala berat)
a) GCS 3-8
b) Kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam bahkan berhari-hari
c) Cedera mungkin meliputi cedera sekunder ex: Kontusio, fraktur tengkorak,
perdarahan atau hemotoma intrakranal.

2.5. Cedera Spesifik Otak Kepala


1. Fraktur Tengkorak
Fraktur Linear : Kekuatan benturan lebih luas area tengkorak

5
Fraktur Basiler : Pada dasar tengkorak atau pada tulang sepanjang bagian
Frontal atau temporak.
Fraktur ini cukup serius karena menimbulkan kontak antara CSS dan dunia
luar melalui ruang subarachnoid & sinus yang mengandung udara dari wajah atau
tengkorak, memungkinkan bakteri masuk & mengisi drainase sinus. Fraktur ini bisa
melukai arteri dan vena yang kemudian mengalirkan drahnya ke dalam rongga di
sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar tengkorak bisa merobek meningens
(selaput otak). Cairan serebrospinal (cairan yang beredar diantara otak dan
meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga.
Bakteri kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah tulang tersebut, dan
menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak. Sebagian besar patah tulang
tengkorak tidak memerlukan pembedahan, kecuali jika pecahan tulang menekan
otak atau posisinya bergeser.
2. Geger Serebral (Contusio)
Gegar otak (kontusio serebri) merupakan memar pada otak, yang biasanya
disebabkan oleh pukulan langsung dan kuat ke kepala.
Robekan otak adalah robekan pada jaringan otak, yang seringkali disertai oleh luka
di kepala yang nyata dan patah tulang tengkorak. Hal ini menandakan terjadinya
perdarahan pada otak yang dapat menimbulkan pembengkakan. Bakteri ringan dari
cedera otak menyebar, disfungsi neurologis bersifat sementara dapat pulih.
Disorientasi & bingung sesaat dengan gejala sakit kepala, tak mampu konsentrasi
gangguan memori sementara pusing, peka omnesia retrograde. Jika terjadi
pembengkakan pada otak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan
otak; pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkan herniasi otak.
3. Memar / Laserasi cerebral (Komosio)
Komosio cerebral setelah cedera kepala adalah hilangnya fungsi neurologik
sementara tanpa kerusakan struktur. Umumnya meliputi sebuah periode tidak
sadarkan diri dalam beberapa detik sampai beberapa menit. Jika jaringan otak di
lobus frontal terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku irasional yang aneh,
dimana keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan amnesia atau disorientasi.
Komosio cerebral ini merupakan memar pada permukaan otak yang terdiri dari area
hemoragi kecil-kecil yang tersebar, gejala bersifat neorologis fokal, dapat
berlangsung 2-3 hari setelah cedera & menimbulkan disfungsi luas akibat dari

6
peningkatan edema serebral. Pada scan tomografi terlihat masa & menimbulkan
perubahan TIK dengan jelas.
Tindakan terhadap komosio meliputi mengobservasi pasien terhadap adanya
sakit kepala, pusing, peka rangsang, dan ansietas (sindrom pasca-komosio), yang
dapat mengikuti tipe cedera. Dengan memberi pasien informasi, penjelasan, dan
dukungan pada pasien dapat mengurangi beberapa masalah sindrom pasca -
komosio.
4. Hematom Epidural
Adalah suatu akumulasi darah pada ruang antara tulang tengkorak bagian
dalam & lapangan meningens paling luar (dura), terjadi karena robekan cabang
kecil arteri meningeal tengah atau frontal. Hal ini terjadi karena patah tulang
tengkorak telah merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi
sehingga lebih cepat memancar.
Tanda & gejala berupa sakit kepala hebat yang bias segera timbul tetapi bias
juga muncul beberapa jam setelah cedera dengan intensitas nyeri tidak tetap,
penurunan kesadaran ringan, diikuti periode lucid, kemudian penurunan neurologi
dari kacau mental sampai coma, bentuk dekortikasi & deserebrasi, pupil isokor
sampai anisokor.Diagnosis dini sangat penting dan biasanya tergantung kepada CT
scan darurat. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat
lubang di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga
dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.
5. Hematoma Subdural
Adalah akumulasi darah dibawah lapangan meningeal duramater diatas
lapangan arakhnoid yang menutupi otak. Penyebabnya robekan permukaan & lebih
sering pada lansia & alkoholik gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang
disfasia. Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak.
Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa
saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma
subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang
tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa
seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang
menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
a. Sakit kepala yang menetap

7
b. Rasa mengantuk yang hilang-timbul
c. Linglung
d. Perubahan ingatan
e. Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
Hematoma subdural dapat terjadi akut, sub akut, atau kronik, Bergantung
pada ukuran pembuluh yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada.
1. Hematoma subdural akut
Dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kontusio atau
laserasi. Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang
penting dan serius dalam 24 – 48 jam setelah cedera. Cedera ini sering
berkaitan dengan cedera deselerasi akibat kecelakaan kendaraan bermotor.
Biasanya pasien dalam keadaan koma dan tanda klinis sama dengan hematoma
epidural. Tekanan darah meningkat, frekuensi nadi lambat dan pernapasan
cepat.
2. Hematoma subdural sub akut
Menyebabkan deficit neurologik bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam
setelah cedera.Hematoma ini disebabkan oleh perdarahan vena ke dalam ruang
subdural. Riwayat klinis khas dari penderita hematoma subdural subakut
adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, yang diikuti
penurunan kesadaran, dan perbaikan status neurologik secara bertahap. Namun
setelah jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan penurunan status
neurologik. Tingkat kesadaran menurun bertahap, pasien tidak berespon,
peningkatan TIK, lalu terjadi herniasi unkus atau sentral. Angka kematian
tinggi pada pasien hematoma subdural akut dan sub akut, karena sering
dihubungkan dengan kerusakan otak.
3. Hematoma subdural kronik
Terjadi karena cedera kepala minor, terjadi paling sering pada lansia akibat
atrofi otak karena proses penuaan. Tampaknya cedera kepala minor dapat
mengakibatkan dampak yang cukup untuk menggeser isi otak secara abnormal
dengan sekuela negative. Waktu di antara cedera dan awitan gejala mungkin
lama, sehingga akibat actual mungkin terlupakan. Gejala dapat tampak
beberapa minggu setelah cedera minor. Hematoma subdural kronik menyerupai
kondisi lain dan mungkin dianggap sebagai stroke.Tindakan terhadap
hematoma subdural kronik ini dapat dilakukan melalui lubang burr ganda, atau

8
kraniotomi dapat dilakukan untuk lesi massa subdural yang cukup besar yagn
tidak dapat dilakukan melalui lubang burr.
6. Hematoma Intrakranial
Adalah pengumpalan darah lebih dari 25 ml dalam parenkim otak,
penyebabnya adalah fraktur depresi tulang tengkorak, cedera penetrasi peluru dan
gerakan aselerasi-deserasi tiba-tiba tindakan bersifat kontroversial bedah atau
medis, serta bias juga terjadi karena cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera
biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural)
atau diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tulang tengkorak (hematoma
epidural).
Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT scan atau
MRI.Sebagian besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejal
adalam beberapa menit. Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering
terjadi pada usia lanjut dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala
setelah beberapa jam atau hari.Hematoma yang luas akan menekan otak,
menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan otak.
Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak bagian atas atau batang otak
mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran
sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan
pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi
kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.
7. Konkusio
Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah
terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata.
Konkusio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan
struktural yang nyata. Hal ini bahkan bisa terjadi setelah cedera kepala yang ringan,
tergantung kepada goncangan yang menimpa otak di dalam tulang
tengkorak.Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa
mengantuk yang abnormal; sebagian besar penderita mengalami penyembuhan total
dalam beberapa jam atau hari. Beberapa penderita merasakan pusing, kesulitan
dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya berkurang
dan kecemasan. Gejala-gejala ini bisa berlangsung selama beberapa hari sampai
beberapa minggu, jarang lebih dari beberapa minggu. Penderita bisa mengalami

9
kesulitan dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi. Keadaan ini disebut sindroma
pasca konkusio.
Sindroma pasca konkusio masih merupakan suatu teka-teki; tidak diketahui
mengapa sindroma ini biasanya terjadi setelah suatu cedera kepala yang ringan.
Para ahli belum sepakat, apakah penyebabkan adalah cedera mikroskopi atau faktor
psikis. Pemberian obat-obatan dan terapi psikis bisa membantu beberapa penderita
sindroma ini. Yang lebih perlu dikhawatirkan selain sindroma pasca konkusio
adalah gejala-gejala yang lebih serius yang bisa timbul dalam beberapa jam atau
kadang beberapa hari setelah terjadinya cedera. Jika sakit kepala, kebingungan dan
rasa mengantuk bertambah parah, sebainya segera mencari pertolongan medis.
Biasanya, jika terbukti tidak terdapat kerusakan yang lebih berat, maka tidak
diperlukan pengobatan. Setiap orang yang mengalami cedera kepala diberitahu
mengenai pertanda memburuknya fungsi otak. Selama gejalanya tidak semakin
parah, biasanya untuk meredakan nyeri diberikan asetaminofen. Jika cederanya
tidak parah, aspirin bisa digunakan setelah 3-4 hari pertama.

2.6. Patofisiologi
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya
konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi)
terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma
akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera
perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak
bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara
bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang
terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi
dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan
robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat,
cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau
tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume
darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan

10
intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder
meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan
“menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan
hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi
kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang
disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak
menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam
empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan
otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini
menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera
menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.

2.7. Manifestasi Klinis


a. Pola pernafasan
b. Kerusakan mobilitas fisik
c. Ketidakseimbangan hidrasi
d. Aktifitas menelan
e. Kerusakan komunikasi
f. Nyeri kepala
g. Mual
h. Muntah
i. Pusing
j. Amnesia

2.8. Komplikasi
a. Epilepsi Pasca Trauma
b. Afasia
c. Apraksia
d. Agnosis
e. Amnesia
f. Fistel Karotis-kavernosus
g. Diabetes Insipidus
h. Kejang pasca trauma

11
i. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya
j. Edema serebral & herniasi
k. Defisit Neurologis & Psikologis

2.9. Penatalaksanaan Klinis


a. Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan
ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria
berikut:
a) Hasil pemeriksaan neurologis dalam batas normal.
b) Foto servikal jelas normal.
c) Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasienselama 24 jam
pertama dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika
timbul gejala perburukan.
b. Cedera kepala sedang : pasien dapat dipulangkan untuk observasi di rumah,
meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing atau amnesia, tidak perlu
dirawat karena pemeriksaan CT Scan normal.
a) Cedera kepala berat
Dengan penatalaksanaan klinisnya:
1. Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi.
2. Monitor tekanan darah.
3. Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS
< 8, bila memungkinkan.
4. Pemberian obat anti kejang.
5. Pemberian nutrisi.
6. Pemberian antibiotik.
7. CT Scan lanjutan.

2.10. Pemeriksaan Diagnostik.


a. CT Scan : mengidentifikasi edema, hemorhagik, ukuran ventrikuler, pergeseran
jaringan otak.
b. EEG : melihat adanya perubahan struktur tulang.
c. MRI : (bila hasil CT Scan belum cukup), digunakan untuk mengidentifikasi
pergeseran jaringan otak lanjutan
d. Sinar X : untuk melihat, mengidentifikasi perubahan struktur tulang

12
e. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi srebral.
f. Fungsi lumbal CSS : menduga kemungkinan perdarahan subarachnoid
g. Analisa gas darah: mengetahui masalah oksigenisasi yang dapat meningkatkan TIK.

2.11. Penilaian Tingkat Kesadaran (GCS)


1. Membuka mata (E) Nilai
a. Selalu menutup walau dengan rangsangan nyeri 1
b. Membuka dengan rangsangan nyeri 2
c. Membuka bila diperintah 3
d. Membuka spontan 4
2. Motorik (M)
a. Tidak berespon dengan rangsangan nyeri 1
b. Ekstensi dengan rangsangan nyeri 2
c. Fleksi lengan dengan rangsangan nyeri 3
d. Fleksi siku dengan rangsangan nyeri 4
e. Bereaksi dengan menyingkirkan nyeri 5
f. Bergerak sesuai perintah 6
3. Verbal (V)
a. Tidak ada suara/ kata – kata 1
b. Merintih 2
c. Dapat bicara tapi tidak mengerti 3
d. Dapat diajak bicara tapi kacau 4
e. Berbicara orientasi baik 5

2.12. Rencana Pemulangan


a. Jelaskan tentang kondisi anak yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
b. Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran,
perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara.
c. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari
pemberian obat.
d. Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah,
mempertahankan jalan nafas selama kejang.

13
e. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari
di rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas bermain, dan
latihan ROM bila anak mengalami gangguan mobilitas fisik.
f. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.
g. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.
h. Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan intrakranial

14
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status
kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
b. Pemeriksaan fisik
a) Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik)
b) Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c) Sistem saraf :
a. Kesadaran GCS.
b. Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan
melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
c. Fungsi sensori-motor adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan
diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
d) Sistem pencernaan
a. Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,
kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika
pasien sadar tanyakan pola makan?
b. Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
c. Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
e) Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik hemiparesis/plegia, gangguan
gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
f) Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan disfagia atau
afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
g) Psikososial data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien
dari keluarga.

2. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah:
a. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas
berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan
meningkatnya tekanan intrakranial.

15
b. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial.
c. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya
kesadaran.
d. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
e. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya
tekanan intrakranial.
f. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
g. Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
h. Kecemasan orang tua-anak berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma
kepala.
i. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.

3. Intervensi Keperawatan
a. Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan
dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya
tekanan intrakranial.
Tujuan: Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada
sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas
normal.
Intervensi:
 Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
 Kaji anak, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari
memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada
cedera vertebra
 Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera
lakukan pengisapan lendir.
 Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.
 Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan
tinggikan 15 – 30 derajat.
 Pemberian oksigen sesuai program.

16
b. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan: Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing
hebat, kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial.
Intervensi:
 Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline” untuk
menurunkan tekanan vena jugularis.
 Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial: fleksi atau hiperekstensi pada leher, rotasi kepala, valsava
meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan lendir atau suction, perkusi).
tekanan pada vena leher, pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat
menyebabkan kompresi pada vena leher).
 Bila akan memiringkan pasien, harus menghindari adanya tekukan pada anggota
badan, fleksi (harus bersamaan).
 Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver.
 Hindari tangisan pada pasien, ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan
sentuhan therapeutic, hindari percakapan yang emosional.
 Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial
sesuai program.
c. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya
kesadaran.
Tujuan: Kebutuhan sehari-hari pasien terpenuhi yang ditandai dengan berat badan
stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur bersih, tubuh
anak bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan kecil dapat dibantu.
Intervensi:
 Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum,
mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan
kebersihan perseorangan.
 Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
 Perawatan kateter bila terpasang.
 Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk memudahkan
BAB.

17
 Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan
demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan anak.
d. Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau dehidrasi yang
ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit
dalam batas normal.
Intervensi:
 Kaji intake dan out put.
 Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun
 atau mata cekung dan out put urine.
 Berikan cairan intra vena sesuai program.
e. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya
tekanan intrakranial.
Tujuan: Pasien terbebas dari injuri.
Intervensi:
 Kaji status neurologis pasien: perubahan kesadaran, kurangnya respon terhadap
 nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan menurun,
 dan kejang.
 Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
 Monitor tanda-tanda vital pasien setiap jam atau sesuai dengan protokol.
 Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.
 Berikan analgetik sesuai program.
f. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
Tujuan: Pasien akan merasa nyaman yang ditandai dengan anak tidak mengeluh
nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi:
 Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri,
lamanya,
 serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat dingin.
 Mengatur posisi sesuai kebutuhan pasien untuk mengurangi nyeri.
 Kurangi rangsangan.
 Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
 Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.

18
 Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.
g. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri.
Tujuan: Anak akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak ditemukan
tanda-tanda infeksi: suhu tubuh dalam batas normal, tidak ada pus dari luka, leukosit
dalam batas normal.
Intervensi:
 Kaji adanya drainage pada area luka.
 Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh.
 Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati.
 Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk, iritabel, sakit
 kepala, demam, muntah dan kenjang.

19
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala
paling sering dan penyakit neurologik yang serius dan merupakan proporsi epidemik
sebagai hasil kecelakaan.
Adanya kadar alkohol dalam darah terdeteksi lebih dari 50 % pasien cedera kepala
yang diterapi adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai
respons tehadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan inrtakranial.

3.2. Saran
Demikian makalah ini kami susun. Punulis menyadari dalam makalah ini masih
banyak sekali kekurangan dan jauh dari kesan “Sempurna”. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang kontruktif sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah selanjutnya.
Akhirnya semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membcanya.
Terutama bagi tenaga kesehatan yang berinteraksi dengan klien di rumah sakit,
namun kesempurnaan jauh dari yang diharapkan oleh karena itu kelompok berharap
dapat memberikan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk masa yang akan
datang.

20
DAFTAR PUSTAKA

Indah. P, Elizabeth. 1998. Asuhan Keperawatan Meningitis. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama
Purwanto, Hadi. 2016. Modul Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta:EGC
Rina, Smiley. 2014. Makalah Trauma Kepada. Bandung:
https://id.scribd.com/doc/232860464/Makalah-Trauma-Kepala (Diakses 30 Maret 2020)

21

Anda mungkin juga menyukai