Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

DAN ASUHAN KEPERAWATAN


CIDERA KEPALA RINGAN DAN FR. ZYGOMA

Disusun Oleh :
ASHARINI DWI JUNIARTI
P17212195025

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN MALANG
November 2019BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN

2.1 Cidera Kepala Ringan


A. Definisi
Cidera kepala adalah trauma yang mengenai otak disebabkan oleh
kekuatan eksternal yang menimbulkan perubahan tingkat kesadaran dan
perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisisk, fungsi tingkah laku, dan
emosional. (Widagdo Wahyu, 2008, hal 103)
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam subtansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak. (Tarwoto&Wartonah, 2007, hal 125)

B. Etiologi
Menurut Tarwoto (2007), penyebab dari Cedera Kepala adalah :
a. Kecelakaan lalu lintas.
b. Terjatuh
c. Pukulan atau trauma tumpul pada kepala.
d. Olah raga
e. Benturan langsung pada kepala.
f. Kecelakaan industri.
C. Klasifikasi CEDERA KEPALA
Jika dilihat dari ringan sampai berat, maka dapat kita lihat sebagai berikut
berdasarkan (Tarwoto&Wartonah, 2007, hal 127-128) :
1. Cedera kepala ringan ( CKR ) Jika GCS antara 13-15 , dpt terjadi
kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut
kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti fraktur tengkorak ,
kontusio atau temotom (sekitar 55% ).
2. Cedera kepala kepala sedang ( CKS ) jika GCS antara 9-12, hilang
kesadaran atau amnesia antara 30 menit -24 jam, dapat mengalami
fraktur tengkorak, disorientasi ringan ( bingung ).
3. Cedera kepala berat ( CKB ) jika GCS 3-8, hilang kesadaran lebih
dari 24 jam, juga meliputi contusio cerebral, laserasi atau adanya
hematoina atau edema selain itu ada istilah-istilah lain untuk jenis
cedera kepala sebagai berikut :
- Cedera kepala terbuka kulit mengalami laserasi sampai pada
merusak tulang tengkorak.
- Cedera kepala tertutup dapat disamakan gagar otak ringan dengan
disertai edema cerebra.

D. Glasgow Coma Seale (GCS)


Memberikan 3 bidang fungsi neurologik, memberikan gambaran pada
tingkat responsif pasien dan dapat digunakan dalam pencarian yang luas
pada saat mengevaluasi status neurologik pasien yang mengalami cedera
kepala. Evaluasi ini hanya terbatas pada mengevaluasi motorik pasien,
verbal dan respon membuka mata.
E. Anatomi Kepala
1. Kulit kepala
Pada bagian ini tidak terdapat banyak pembuluh darah. Bila robek,
pembuluh- pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi yang dapat
menyebabkan kehilangan darah yang banyak. Terdapat vena emiseria dan
diploika yang dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai dalam
tengkorak(intracranial) trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio,
laserasi, atau avulasi.
2. Tulang kepala
Terdiri dari calvaria (atap tengkorak) dan basis eranium (dasar
tengkorak). Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuibis tulang
tengkorak disebabkan oleh trauma. Fraktur calvarea dapat berbentuk garis
(liners) yang bisa non impresi (tidak masuk / menekan kedalam) atau
impresi. Fraktur tengkorak dapat terbuka (dua rusak) dan tertutup (dua
tidak rusak). Tulang kepala terdiri dari 2 dinding yang dipisahkan tulang
berongga, dinding luar (tabula eksterna) dan dinding dalam (labula
interna) yang mengandung alur-alur artesia meningia anterior, indra dan
prosterion. Perdarahan pada arteria-arteria ini dapat menyebabkan
tertimbunya darah dalam ruang epidural.
3. Lapisan Pelindung otak / Meninges
Terdiri dari 3 lapisan meninges yaitu durameter areknol dan diameter.
a. Durameter adalah membran luas yang kuat, semi translusen, tidak
elastis menempel ketat pada bagian tengkorak. Bila durameter robek,
tidak dapat diperbaiki dengan sempurna. Fungsi durameter :
- Melindungi otak.
- Menutupi sinus-sinus vena (yang terdiri dari durameter dan
lapisan endotekal saja tanpa jaringan vaskuler).
- Membentuk periosteum tabula interna.
b. Asachnoid adalah membrane halus, vibrosa dan elastis, tidak
menempel pada dura. Diantara durameter dan arachnoid terdaptr ruang
subdural yang merupakan ruangan potensial. Pendarahan sundural
dapat menyebar dengan bebas. Dan hanya terbatas untuk seluas valks
serebri dan tentorium. Vena-vena otak yang melewati subdural
mempunyai sedikit jaringan penyokong sehingga mudah cedera
dan robek pada trauma kepala.
c. Diameter adalah membran halus yang sangat kaya dengan pembuluh
darah halus, masuk kedalam semua sulkus dan membungkus semua
girus, kedua lapisan yang lain hanya menjembatani sulkus. Pada
beberapa fisura dan sulkus di sisi medial homisfer otak. Prametar
membentuk sawan antar ventrikel dan sulkus atau vernia. Sawar ini
merupakan struktur penyokong dari pleksus foroideus pada setiap
ventrikel.
Diantara arachnoid dan parameter terdapat ruang subarachnoid,
ruang ini melebar dan mendalam pada tempat tertentu. Dan
memungkinkan sirkulasi cairan cerebrospinal. Pada kedalam system
vena.
4. Otak.
Otak terdapat didalam iquor cerebro Spiraks. Kerusakan otak yang
dijumpai pada trauma kepala dapat terjadi melalui 2 campuran : 1. Efek
langsung trauma pada fungsi otak, 2. Efek-efek lanjutan dari sel-sel
otakyang bereaksi terhadap trauma.
Apabila terdapat hubungan langsung antara otak dengan dunia luar
(fraktur cranium terbuka, fraktur basis cranium dengan cairan otak keluar
dari hidung / telinga), merupakan keadaan yang berbahaya karena dapat
menimbulkan peradangan otak.
Otak dapat mengalami pembengkakan (edema cerebri) dank arena
tengkorak merupakan ruangan yang tertutup rapat, maka edema ini akan
menimbulkan peninggian tekanan dalam rongga tengkorak (peninggian
tekanan tekanan intra cranial.
5. Tekanan Intra Kranial (TIK).
Tekanan intra cranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jaringan
otak, volume darah intracranial dan cairan cerebrospiral di dalam
tengkorak pada 1 satuan waktu. Keadaan normal dari TIK bergantung pada
posisi pasien dan berkisar ± 15 mmHg. Ruang cranial yang kalau berisi
jaringan otak (1400 gr), Darah (75 ml), cairan cerebrospiral (75 ml),
terhadap 2 tekanan pada 3 komponen ini selalu berhubungan dengan
keadaan keseimbangan Hipotesa Monro – Kellie menyatakan : Karena
keterbatasan ruang ini untuk ekspansi di dalam tengkorak, adanya
peningkatan salah 1 dari komponen ini menyebabkan perubnahan pada
volume darah cerebral tanpa adanya perubahan, TIK akan naik.
Peningkatan TIK yang cukup tinggi, menyebabkan turunnya
batang ptak (Herniasi batang otak) yang berakibat kematian.
F. Jenis-Jenis Cedera Kepala
1. Fraktur tengkorak
Susunan tulang tengkorak dan beberapa kulit kepala membantu
menghilangkan tenaga benturan kepala sehingga sedikit kekauatan yang
ditransmisikan ke dalam jaringan otak. 2 bentuk fraktur ini : fraktur garis
(linier) yang umum terjadi disebabkan oleh pemberian kekuatan yang
amat berlebih terhadap luas area tengkorak tersebut dan fraktur tengkorak
seperti batang tulang frontal atau temporil. Masalah ini bisa menjadi cukup
serius karena les dapat keluar melalui fraktur ini.
2. Cedera otak dan gegar otak
Kejadian cedera minor dapat menyebabkan kerusakan otak
bermakna . Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai
derajat tertentu. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai
derajat tertentu yang bermakna. Sel-sel selebral membutuhkan suplay
darah terus menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak
belakang dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang
mengalir berhenti hanya beberapa menit saja dan keruskan neuron tidak
dapat mengalami regenerasi.
Gegar otak ini merupakan sinfrom yang melibatkan bentuk cedera
otak tengah yang menyebar ganguan neuntosis sementara dan dapat pulih
tanpa ada kehilangan kesadaran pasien mungkin mengalami disenenbisi
ringan,pusing ganguan memori sementara ,kurang konsentrasi ,amnesia
rehogate,dan pasien sembuh cepat.
Cedera otak serius dapat terjadi yang menyebabkan kontusio,
laserasi dan hemoragi.
3. Komosio serebral
Adalah hilangnya fungsi neurologik sementara tanpa kerusakan
struktur. Komosio umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri
dalam waktu yang berakhir selama beberap detik sampai beberapa
menit,getaran otak sedikit saja hanya akan menimbulkan amnesia atau
disonentasi.
4. Kontusio cerebral
Merupakan cedera kepala berat dimana otak mengalami memar,
dengan kemungkinan adanya daerah hemorasi pada subtansi otak. Dapat
menimbulkan edema cerebral 2-3 hari post truma.Akibatnya dapat
menimbulkan peningkatan TIK dan meningkatkan mortabilitas (45%).
5. Hematuma cerebral ( Hematuma ekstradural atau nemorogi )
Setelah cedera kepala,darah berkumpul di dalam ruang epidural
(ekstradural) diantara tengkorak dura,keadaan ini sering diakibatkan dari
fraktur hilang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal tengah putus
atau rusak (laserasi),dimana arteri ini benda diantara dura dan tengkorak
daerah infestor menuju bagian tipis tulang temporal.Hemorogi karena
arteri ini dapat menyebabkan penekanan pada otak.
6. Hemotoma subdural
Adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak.Paling
sering disebabkan oleh truma tetapi dapat juga terjadi kecenderungan
pendarahan dengan serius dan aneusrisma.Itemorogi subdural lebih sering
terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil
yang menjembatani ruang subdural. Dapat terjadi akut, subakut atau
kronik. Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam – 2 hari, 2 minggu atau
beberapa bulan.
- hemotoma subdural akut dihubungkan dengan cedera kepala mayor
yang meliputi kontusio atau lasersi.
- Hemotoma subdural subakut adalah sekuela kontusion sedikit berat
dan dicurigai pada pasien yang gagal untuk meningkatkan kesadaran
setelah truma kepala.
- Hemotuma subdural kronik dapat terjadi karena cedera kepala minor,
terjadi pada lansia.
7. Hemotuma subaradinoid
Pendarahan yang terjadi pada ruang amchnoid yakni antara lapisan
amchnoid dengan diameter. Seringkali terjadi karena adanya vena yang
ada di daerah tersebut terluka. Sering kali bersifat kronik.
8. Hemorasi infracerebral.
Adalah pendarahan ke dalam subtansi otak, pengumpulan daerah
25ml atau lebih pada parenkim otak. Penyebabanya seringkali karena
adanya infrasi fraktur, gerakan akselarasi dan deseterasi yang tiba-tiba.

G. Manifestasi Klinis.
1. Nyeri yang menetap atau setempat.
2. Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial.
3. Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan
darah terlihat di bawah konjungtiva,memar diatas mastoid (tanda
battle),otorea serebro spiral ( cairan cerebros piral keluar dari telinga ),
minorea serebrospiral (les keluar dari hidung).
4. Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah.
5. Penurunan kesadaran.
6. Pusing / berkunang-kunang.
7. Absorbsi cepat les dan penurunan volume intravaskuler
8. Peningkatan TIK
9. Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis edkstremitas
10. Peningkatan TD, penurunan frek. Nadi, peningkatan pernafasan

H. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir
seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen,
jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan
bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai
70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi
kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme
anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml /
menit / 100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup
aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru.
Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan
P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler,
dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol
akan berkontraksi . Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada
pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
Cedera kepala menurut patofisiologi dibagi menjadi dua:
a. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acclerasi-decelerasi otak) yang
menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi:
- Gegar kepala ringan
- Memar otak
- Laserasi
b. Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti:
- Hipotensi sistemik
- Hipoksia
- Hiperkapnea
- Udema otak
- Komplikai pernapasan
- Infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain

I. Mekanisme Cedera Kepala


Menurut tarwoto (2007) mekanisme cedera memegang peranan yang sangat
sadar dalam berat ringannya dari trauma kepala. Mekanisme cedera kepala
dapat dibagi menjadi :
a. Cedera Percepatan (akselerasi) yaitu jika benda yang bergerak
membentur kepala yang diam, misalnya pada orang-orang diam
kemudian terpukul atau terlempar batu.
b. Cedera Perlambatan (Deselerasi) yaitu jika kepala bergerak
membentur benda yang diam, misalnya pada saat kepala terbentur.
c. Deformitas adalah perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang
terjadi akibat trauma, misalnya ada fraktur kepala, kompresi,
ketegangan atau pemotongan pada jaringan otak.

J. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien cedera kepala menurut Eka J.
Wahjoepramono (2005 : 90) antara lain :
a. Cedera Otak Sekunder akibat hipoksia dan hipotensi
Hipoksia dapat terjadi akibat adanya trauma di daerah dada yang
terjadinya bersamaan dengan cedera kepala. Adanya obstruksi saluran
nafas, atelektasis, aspirasi, pneumotoraks, atau gangguan gerak
pernafasan dapat berdampak pasien mengalami kesulitan bernafas dan
pada akhirnya mengalami hipoksia.
b. Edema Serebral
Edema adalah tertimbunnya cairan yang berlebihan di dalam jaringan.
Edema serebral akan menyebabkan bertambah besarnya massa jaringan
otak di dalam rongga tulang tengkorak yang merupakan ruang tertutup.
Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial yang selanjutnya juga berakibat penurunan perfusi jaringan
otak.
c. Peningkatan Tekanan Intra Kranial
Tekanan intrakranial dapat meningkat karena beberapa sebab, yaitu pada
perdarahan selaput otak (misalnya hematoma epidural dan subdural).
Pada perdarahan dalam jaringan otak (misalnya laserasi dan hematoma
serebri), dan dapat pula akibat terjadinya kelainan parenkim otak yaitu
berupa edema serebri.
d. Herniasi Jaringan Otak
Adanya penambahan volume dalam ruang tengkorak (misalnya karena
adanya hematoma) akan menyebabkan semakin meningkatnya tekanan
intrakranial. Sampai batas tertentu kenaikan ini akan dapat ditoleransi.
Namun bila tekanan semakin tinggi akhirnya tidak dapat diltoleransi lagi
dan terjadilah komplikasi berupa pergeseran dari struktur otak tertentu
kearah celah-celah yang ada.
e. Infeksi
Cedera kepala yang disertai dengan robeknya lapisan kulit akan memiliki
resiko terjadinya infeksi, sebagaimana pelukaan di daerah tubuh lainnya.
Infeksi yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya Meningitis,
Ensefalitis, Empyema subdural, Osteomilietis tulang tengkorak, bahkan
abses otak.
f. Hidrosefalus
Hidrosefalus merupakan salah satu komplikasi cedera kepala yang cukup
sering terjadi, khususnya bila cedera kepala cukup berat.

K. Pemeriksaan penunjang
1. CT- Scan ( dengan tanpa kontras )
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan,
ventrikuler dan perubahan jaringan otak.
2. MRI
Digunakan sama dengan CT – Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukkan anomaly sirkulasi serebral seperti : perubahan
jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5. X – Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang ( fraktur ) perubahan
struktur garis ( perdarahan / edema ), fragmen tulang.
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
7. PET
Mendeteksi perubahan aktifitas metabolisme otak.
8. CFS
Lumbal punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
9. ABGs
Mendeteksi keradangan ventilasi atau masalah pernapasan (
oksigenisasi ) jika terjadi peningkatan tekanan intra cranial.
10. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan
tekanan intrakranial.
11. Screen Toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.

L. Penatalaksanaan
Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui sub kutan membuat
luka mudah dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk
mengeluarkan benda asing dan miminimalkan masuknya infeksi sebelum
laserasi ditutup.

M. Pedoman Resusitasi Dan Penilaian Awal


1. Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan;
lepaskan gigi palsu,pertahankan tulang servikal segaris dgn badan dgn
memasang collar cervikal,pasang guedel/mayo bila dpt ditolerir. Jika
cedera orofasial mengganggu jalan nafas,maka pasien harus diintubasi.
2. Menilai pernafasan ; tentukan apakah pasien bernafas spontan/tidak. Jika
tidak beri O2 melalui masker O2. Jika pasien bernafas spontan selidiki
dan atasi cedera dada berat spt pneumotoraks tensif,hemopneumotoraks.
Pasang oksimeter nadi untuk menjaga saturasi O2minimum 95%. Jika
jalan nafas pasien tidak terlindung bahkan terancan/memperoleh O2 yg
adekuat ( Pa O2 >95% dan Pa CO2<40% mmHg serta saturasi O2 >95%)
atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh ahli
anestesi
3. Menilai sirkulasi ; otak yg rusak tdk mentolerir hipotensi. Hentikan
semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan adanya cedera
intra abdomen/dada.Ukur dan catat frekuensidenyut jantung dan tekanan
darah pasang EKG.Pasang jalur intravena yg besar.Berikan larutan
koloid sedangkan larutan kristaloid menimbulkan eksaserbasi edema.
4. Obati kejang ; Kejang konvulsif dpt terjadi setelah cedera kepala dan
harus diobati mula-mula diberikan diazepam 10mg intravena perlahan-
lahan dan dpt diulangi 2x jika masih kejang. Bila tidak berhasil diberikan
fenitoin 15mg/kgBB
5. Menilai tingkat keparahan : CKR,CKS,CKB
- Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau
leher,lakukan foto tulang belakang servikal ( proyeksi A-
P,lateral dan odontoid ),kolar servikal baru dilepas setelah
dipastikan bahwa seluruh keservikal C1-C7 normal
- Pada semua pasien dg cedera kepala sedang dan berat :
Pasang infus dgn larutan normal salin ( Nacl 0,9% ) atau RL
cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular
daripada cairan hipotonis dan larutan ini tdk menambah edema
cerebri
6. Lakukan pemeriksaan ; Ht,periksa darah perifer lengkap,trombosit, kimia
darah
7. Lakukan CT scan
Pasien dgn CKR, CKS, CKB harusn dievaluasi adanya :
a. Hematoma epidural
b. Darah dalam sub arachnoid dan intraventrikel
c. Kontusio dan perdarahan jaringan otak
d. Edema cerebri
e. Pergeseran garis tengah
f. Fraktur kranium
8. Pada pasien yg koma ( skor GCS <8) atau pasien dgn tanda-tanda
herniasi lakukan :
- Elevasi kepala 30
- Hiperventilasi
- Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dlm 20-30 menit.Dosis
ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis
semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam I
- Pasang kateter foley
- Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi opoerasi (hematom
epidural besar, hematom sub dural, cedera kepala terbuka, fraktur
impresi >1 diplo)
2.2 Fraktur Zygomaticus
A. Definisi
Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh.
Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah
yaitu tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan
mandibula. Fraktur maksilofasial lebih sering terjadi sebagai akibat dari
faktor yang datangnya dari luar seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
kerja, kecelakaan akibat olah raga dan juga sebagai akibat dari tindakan
kekerasan.
Fraktur midfasial terdiri dari fraktur zigomatikomaksilar
(zygomaticomaxillary complex /ZMC) termasuk fraktur Le fort, dan fraktur
nasoorbitoethmoid (nasoorbitalethmoid /NOE). Fraktur midfasial cenderung
terjadi pada sisi benturan terjadi dan bagian yang lemah seperti sutura,
foramen, dan apertura. Fraktur zigoma merupakan salah satu fraktur midfasial
yang paling sering terjadi, umumnya sering terjadi pada trauma yang
melibatkan 1/3 bagian tengah wajah, hal ini dikarenakan posisi zigoma agak
lebih menonjol pada daerah sekitarnya. Fraktur ZMC biasanya melibatkan
dinding bawah orbita tepat diatas nervus alveolaris inferior, sutura
zigomatikofrontal, sepanjang arkus pada sutura zigomatikotemporal, dinding
lateral zigomatikomaksila, dan sutura zigomatikosplenoid yang terletak di
dinding lateral orbita, sedangkan dinding medial orbita tetap utuh.

B. Klasifikasi Fraktur
Klasifikasi fraktur komplek zigomatikus adalah:
a. fraktur stable after elevation:
1. hanya arkus (pergeseran ke medial),
2. rotasi pada sumbu vertikal, bisa ke medial atau ke lateral.
b. Fraktur unstable after elevation:
1. hanya arkus (pergeseran ke medial);
2. rotasi pada sumbu vertikal, medial atau lateral;
3. dislokasi en loc, inferior, medial, posterior, atau lateral;
4. comminuted fracture.

C. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan
pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak
langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka
yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor.
Menurut Carpenito (2001) adapun penyebab fraktur antara lain:
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat
yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya
adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor
kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan
dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
Fraktur zigoma merupakan salah satu fraktur midfasial yang paling
sering terjadi, umumnya sering terjadi pada trauma yang melibatkan 1/3
bagian tengah wajah, hal ini dikarenakan posisi zigoma agak lebih
menonjol pada daerah sekitarnya. Fraktur ZMC biasanya melibatkan
dinding bawah orbita tepat diatas nervus alveolaris inferior, sutura
zigomatikofrontal, sepanjang arkus pada sutura zigomatikotemporal,
dinding lateral zigomatikomaksila, dan sutura zigomatikosplenoid yang
terletak di dinding lateral orbita, sedangkan dinding medial orbita tetap
utuh.

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari faktur ,menurut Brunner and Suddarth,(2002)
a. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai almiah yang di rancang utuk meminimalkan gerakan antar
fregmen tulang
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap
rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen tulang pada fraktur lengan
dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba)
ekstermitas yang bisa diketahui membandingkan ekstermitas yang
normal dengan ekstermitas yang tidak dapat berfungsi dengan baik
karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat
melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melingkupi satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2
inchi)
d. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya (uji krepitus dapat mengaibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat).
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat
trauma dari pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cidera.
Pemeriksaan zigoma termasuk inspeksi dan palpasi. Inspeksi
dilakukan dari arah frontal, lateral, superior, dan inferior. Diperhatikan
simetri dan ketinggian pupil yang merupakan petunjuk adanya pergeseran
pada dasar orbita dan aspek lateral orbita, adanya ekimosis periorbita,
ekimosis subkonjungtiva, abnormal sensitivitas nervus, diplopia dan
enoptalmus; yang merupakan gejala yang khas efek pergeseran tulang
zigoma terhadap jaringan lunak sekitarnya. Tanda yang khas dan jelas
pada trauma zigoma adalah hilangnya tonjolan prominen pada daerah
zigomatikus. Selain itu hilangnya kurvatur cembung yang normal pada
daerah temporal berkaitan dengan fraktur arkus zigomatikus. Deformitas
pada tepi orbita sering terjadi jika terdapat pergeseran, terutama pada tepi
orbital lateral dan infraorbita. Ahli bedah juga meletakkan jari telunjuk
dibawah margin infraorbita, sepanjang zigoma, menekan ke dalam
jaringan yang oedem untuk palpasi secara simultan dan mengurangi efek
visual dari oedem saat melakukan pemeriksaan ini.

E. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang
yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah
terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan
terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang
patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya
respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan
leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan
dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
a. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan
fraktur.
b. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya
tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan,
elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
F. Pemeriksaan Penunjang
a. X.Ray
b. Foto Ronsen
c. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
d. Ct Scan pada potongan axial maupun coronal merupakan gold standard
pada pasien dengan kecurigaan fraktur zigoma, untuk mendapatkan
pola fraktur, derajat pergeseran, dan evaluasi jaringan lunak orbital.

G. Penatalaksanaan Medis
a. Pemberian anti obat antiinflamasi.
b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
c. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
d. Bedrest, Fisioterapi
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
CKR

A. Pengkajian
1. Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe,lokasi dan keparahan
cedera dan mungkin di persulit oleh cedera tambahan pada organ vital
a. Aktifitas dan istirahat
Gejala : merasa lemah,lelah,kaku hilang keseimbangan
Tanda :
- Perubahan kesadaran, letargi
- Hemiparese
- ataksia cara berjalan tidak tegap
- masalah dlm keseimbangan
- cedera/trauma ortopedi
- kehilangan tonus otot
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal
Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yg
diselingi bradikardia disritmia
c. Integritas ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian
Tanda : Cemas,mudah tersinggung, delirium, agitasi,
bingung, depresi
d. Eliminasi
Gejala : Inkontensia kandung kemih/usus mengalami
gangguan fungsi
e. Makanan/cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera
Tanda : Muntah,gangguan menelan
f. Neurosensori
Gejala :
- Kehilangan kesadaran sementara,amnesia seputar kejadian,
vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran
- Perubahan dlm penglihatan spt ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagain lapang pandang, gangguan pengecapan
dan penciuman
Tanda :
- Perubahan kesadaran bisa sampai koma
- Perubahan status mental
- Perubahan pupil
- Kehilangan penginderaan
- Wajah tdk simetris
- Genggaman lemah tidak seimbang
- Kehilangan sensasi sebagian tubuh
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala : sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yg berbeda
biasanya lama
Tanda : Wajah menyeringai,respon menarik pd ransangan, nyeri
nyeri yg hebat, merintih
h. Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas, nafas berbunyi, stridor,
tersedak, ronkhi,mengi
i. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan
j. Kulit : laserasi,abrasi, perubahan warna, tanda batle
disekitar telinga,adanya aliran cairan dari
telinga atau hidung
k. Gangguan kognitif
l. Gangguan rentang gerak
m. Demam
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas
berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi
pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan : Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan
tidak ada sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan
dalam batas normal.
Intervensi:
- Kaji Airway, Breathing, Circulasi
- Kaji apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari
kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera
vertebra.
- Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada
sekret segera lakukan pengisapan lendir
- Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas
- Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi
dan tinggikan 15 – 30 derajat.
- oksigen sesuai program.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral
dan peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan : Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada
pusing hebat, kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi :
- Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline”
untuk menurunkan tekanan vena jugularis.
- Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya tekanan
intrakranial:
- Bila akan memiringkan klien, harus menghindari adanya tekukan
pada anggota badan, fleksi (harus bersamaan)
- Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver
- Ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan sentuhan therapeutic,
hindari percakapan yang emosional.
- Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan
intrakranial sesuai program.
- Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan
karena dapat meningkatkan edema serebral.
- Monitor intake dan out put.
- Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.
- Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi
dan pemenuhan nutrisi.
- Pada pasien , libatkan keluarga dalam perawatan klien dan jelaskan
hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan
menurunnya kesadaran.
Tujuan : Kebutuhan sehari-hari klien terpenuhi yang ditandai dengan berat
badan stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur
bersih, tubuh klien bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan
kecil dapat dibantu.
Intervensi :
- Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum,
mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur,
dan kebersihan perseorangan.
- Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
- Perawatan kateter bila terpasang.
- Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk
memudahkan BAB.
- Libatkan keluarga dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-
hari dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan klien.
4. Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau
dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit
baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal.
Intervensi :
- Kaji intake dan out put.
- Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan
ubun-ubun atau mata cekung dan out put urine.
- Berikan cairan intra vena sesuai program.
5. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
Tujuan : klien akan merasa nyaman yang ditandai dengan klien tidak
mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
- Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi
nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau
lambat, berkeringat dingin.
- Mengatur posisi sesuai kebutuhan untuk mengurangi nyeri.
- Kurangi rangsangan.
- Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
- Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
- Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.
6. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau
meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan : klien terbebas dari injuri.
Intervensi :
- Kaji status neurologis klien: perubahan kesadaran, kurangnya respon
terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas
pergerakan menurun, dan kejang.
- Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
- Monitor tanda-tanda vital klien setiap jam.
- Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.
- Berikan analgetik sesuai program.
Rencana Asuhan Keperawatan
Fraktur Zygomaticus

A. Pengkajian
B1 (Breathing) : Napas pendek
B2 (Blood) : Hipotensi, bradikardi,
B3 (Brain) : Pusing saat melakukan perubahan posisi, nyeri
tekan
otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma dan
mengalami deformitas pada daerah trauma.
B4 (Bleader) : Inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi
urine,
distensi perut dan peristaltic hilang
B5 ( Bowel) : Mengalami distensi perut dan peristaltik usus
hilang
B6 (Bone) : Kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok
spinal, hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot
dan hilangnya reflek.

B. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, stress/ansietas, luka operasi.
2) Gangguan bersihan jalan nafas b/d pendarahan pada midfasial
3) Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli,
perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru,
kongesti)
4) Gangguan integritas kulit b/d luka operasi
5) Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan
kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
6) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap
informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi
yang ada
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Penerbit Media Aeusculapius


FK-UI, Jakarta

Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3.
EGC. Jakarta

Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC

Iskandar. (2004). Memahami Aspek-aspek Penting Dalam Pengelolaan Penderita


Cedera Kepala. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia.

Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second


Edition. New Jersey: Upper Saddle River

Kuncara, H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth, EGC, Jakarta

Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2012-2015.


Jakarta: Prima Medika

Smeltzer, Suzanna C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner


dan Suddart. (Alih bahasa Agung Waluyo), Edisi 8. Jakarta: EGC.

Suriadi. (2007). Manajemen Luka. Pontianak : STIKEP Muhammadiyah.

Anda mungkin juga menyukai