Disusun Oleh :
ASHARINI DWI JUNIARTI
P17212195025
B. Etiologi
Menurut Tarwoto (2007), penyebab dari Cedera Kepala adalah :
a. Kecelakaan lalu lintas.
b. Terjatuh
c. Pukulan atau trauma tumpul pada kepala.
d. Olah raga
e. Benturan langsung pada kepala.
f. Kecelakaan industri.
C. Klasifikasi CEDERA KEPALA
Jika dilihat dari ringan sampai berat, maka dapat kita lihat sebagai berikut
berdasarkan (Tarwoto&Wartonah, 2007, hal 127-128) :
1. Cedera kepala ringan ( CKR ) Jika GCS antara 13-15 , dpt terjadi
kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut
kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti fraktur tengkorak ,
kontusio atau temotom (sekitar 55% ).
2. Cedera kepala kepala sedang ( CKS ) jika GCS antara 9-12, hilang
kesadaran atau amnesia antara 30 menit -24 jam, dapat mengalami
fraktur tengkorak, disorientasi ringan ( bingung ).
3. Cedera kepala berat ( CKB ) jika GCS 3-8, hilang kesadaran lebih
dari 24 jam, juga meliputi contusio cerebral, laserasi atau adanya
hematoina atau edema selain itu ada istilah-istilah lain untuk jenis
cedera kepala sebagai berikut :
- Cedera kepala terbuka kulit mengalami laserasi sampai pada
merusak tulang tengkorak.
- Cedera kepala tertutup dapat disamakan gagar otak ringan dengan
disertai edema cerebra.
G. Manifestasi Klinis.
1. Nyeri yang menetap atau setempat.
2. Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial.
3. Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan
darah terlihat di bawah konjungtiva,memar diatas mastoid (tanda
battle),otorea serebro spiral ( cairan cerebros piral keluar dari telinga ),
minorea serebrospiral (les keluar dari hidung).
4. Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah.
5. Penurunan kesadaran.
6. Pusing / berkunang-kunang.
7. Absorbsi cepat les dan penurunan volume intravaskuler
8. Peningkatan TIK
9. Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis edkstremitas
10. Peningkatan TD, penurunan frek. Nadi, peningkatan pernafasan
H. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir
seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen,
jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan
bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai
70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi
kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme
anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml /
menit / 100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup
aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru.
Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan
P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler,
dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol
akan berkontraksi . Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada
pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
Cedera kepala menurut patofisiologi dibagi menjadi dua:
a. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acclerasi-decelerasi otak) yang
menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi:
- Gegar kepala ringan
- Memar otak
- Laserasi
b. Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti:
- Hipotensi sistemik
- Hipoksia
- Hiperkapnea
- Udema otak
- Komplikai pernapasan
- Infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain
J. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien cedera kepala menurut Eka J.
Wahjoepramono (2005 : 90) antara lain :
a. Cedera Otak Sekunder akibat hipoksia dan hipotensi
Hipoksia dapat terjadi akibat adanya trauma di daerah dada yang
terjadinya bersamaan dengan cedera kepala. Adanya obstruksi saluran
nafas, atelektasis, aspirasi, pneumotoraks, atau gangguan gerak
pernafasan dapat berdampak pasien mengalami kesulitan bernafas dan
pada akhirnya mengalami hipoksia.
b. Edema Serebral
Edema adalah tertimbunnya cairan yang berlebihan di dalam jaringan.
Edema serebral akan menyebabkan bertambah besarnya massa jaringan
otak di dalam rongga tulang tengkorak yang merupakan ruang tertutup.
Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial yang selanjutnya juga berakibat penurunan perfusi jaringan
otak.
c. Peningkatan Tekanan Intra Kranial
Tekanan intrakranial dapat meningkat karena beberapa sebab, yaitu pada
perdarahan selaput otak (misalnya hematoma epidural dan subdural).
Pada perdarahan dalam jaringan otak (misalnya laserasi dan hematoma
serebri), dan dapat pula akibat terjadinya kelainan parenkim otak yaitu
berupa edema serebri.
d. Herniasi Jaringan Otak
Adanya penambahan volume dalam ruang tengkorak (misalnya karena
adanya hematoma) akan menyebabkan semakin meningkatnya tekanan
intrakranial. Sampai batas tertentu kenaikan ini akan dapat ditoleransi.
Namun bila tekanan semakin tinggi akhirnya tidak dapat diltoleransi lagi
dan terjadilah komplikasi berupa pergeseran dari struktur otak tertentu
kearah celah-celah yang ada.
e. Infeksi
Cedera kepala yang disertai dengan robeknya lapisan kulit akan memiliki
resiko terjadinya infeksi, sebagaimana pelukaan di daerah tubuh lainnya.
Infeksi yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya Meningitis,
Ensefalitis, Empyema subdural, Osteomilietis tulang tengkorak, bahkan
abses otak.
f. Hidrosefalus
Hidrosefalus merupakan salah satu komplikasi cedera kepala yang cukup
sering terjadi, khususnya bila cedera kepala cukup berat.
K. Pemeriksaan penunjang
1. CT- Scan ( dengan tanpa kontras )
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan,
ventrikuler dan perubahan jaringan otak.
2. MRI
Digunakan sama dengan CT – Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukkan anomaly sirkulasi serebral seperti : perubahan
jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5. X – Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang ( fraktur ) perubahan
struktur garis ( perdarahan / edema ), fragmen tulang.
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
7. PET
Mendeteksi perubahan aktifitas metabolisme otak.
8. CFS
Lumbal punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
9. ABGs
Mendeteksi keradangan ventilasi atau masalah pernapasan (
oksigenisasi ) jika terjadi peningkatan tekanan intra cranial.
10. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan
tekanan intrakranial.
11. Screen Toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.
L. Penatalaksanaan
Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui sub kutan membuat
luka mudah dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk
mengeluarkan benda asing dan miminimalkan masuknya infeksi sebelum
laserasi ditutup.
B. Klasifikasi Fraktur
Klasifikasi fraktur komplek zigomatikus adalah:
a. fraktur stable after elevation:
1. hanya arkus (pergeseran ke medial),
2. rotasi pada sumbu vertikal, bisa ke medial atau ke lateral.
b. Fraktur unstable after elevation:
1. hanya arkus (pergeseran ke medial);
2. rotasi pada sumbu vertikal, medial atau lateral;
3. dislokasi en loc, inferior, medial, posterior, atau lateral;
4. comminuted fracture.
C. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan
pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak
langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka
yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor.
Menurut Carpenito (2001) adapun penyebab fraktur antara lain:
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat
yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya
adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor
kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan
dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
Fraktur zigoma merupakan salah satu fraktur midfasial yang paling
sering terjadi, umumnya sering terjadi pada trauma yang melibatkan 1/3
bagian tengah wajah, hal ini dikarenakan posisi zigoma agak lebih
menonjol pada daerah sekitarnya. Fraktur ZMC biasanya melibatkan
dinding bawah orbita tepat diatas nervus alveolaris inferior, sutura
zigomatikofrontal, sepanjang arkus pada sutura zigomatikotemporal,
dinding lateral zigomatikomaksila, dan sutura zigomatikosplenoid yang
terletak di dinding lateral orbita, sedangkan dinding medial orbita tetap
utuh.
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari faktur ,menurut Brunner and Suddarth,(2002)
a. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai almiah yang di rancang utuk meminimalkan gerakan antar
fregmen tulang
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap
rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen tulang pada fraktur lengan
dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba)
ekstermitas yang bisa diketahui membandingkan ekstermitas yang
normal dengan ekstermitas yang tidak dapat berfungsi dengan baik
karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat
melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melingkupi satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2
inchi)
d. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya (uji krepitus dapat mengaibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat).
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat
trauma dari pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cidera.
Pemeriksaan zigoma termasuk inspeksi dan palpasi. Inspeksi
dilakukan dari arah frontal, lateral, superior, dan inferior. Diperhatikan
simetri dan ketinggian pupil yang merupakan petunjuk adanya pergeseran
pada dasar orbita dan aspek lateral orbita, adanya ekimosis periorbita,
ekimosis subkonjungtiva, abnormal sensitivitas nervus, diplopia dan
enoptalmus; yang merupakan gejala yang khas efek pergeseran tulang
zigoma terhadap jaringan lunak sekitarnya. Tanda yang khas dan jelas
pada trauma zigoma adalah hilangnya tonjolan prominen pada daerah
zigomatikus. Selain itu hilangnya kurvatur cembung yang normal pada
daerah temporal berkaitan dengan fraktur arkus zigomatikus. Deformitas
pada tepi orbita sering terjadi jika terdapat pergeseran, terutama pada tepi
orbital lateral dan infraorbita. Ahli bedah juga meletakkan jari telunjuk
dibawah margin infraorbita, sepanjang zigoma, menekan ke dalam
jaringan yang oedem untuk palpasi secara simultan dan mengurangi efek
visual dari oedem saat melakukan pemeriksaan ini.
E. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang
yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah
terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan
terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang
patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya
respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan
leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan
dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
a. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan
fraktur.
b. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya
tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan,
elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
F. Pemeriksaan Penunjang
a. X.Ray
b. Foto Ronsen
c. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
d. Ct Scan pada potongan axial maupun coronal merupakan gold standard
pada pasien dengan kecurigaan fraktur zigoma, untuk mendapatkan
pola fraktur, derajat pergeseran, dan evaluasi jaringan lunak orbital.
G. Penatalaksanaan Medis
a. Pemberian anti obat antiinflamasi.
b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
c. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
d. Bedrest, Fisioterapi
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
CKR
A. Pengkajian
1. Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe,lokasi dan keparahan
cedera dan mungkin di persulit oleh cedera tambahan pada organ vital
a. Aktifitas dan istirahat
Gejala : merasa lemah,lelah,kaku hilang keseimbangan
Tanda :
- Perubahan kesadaran, letargi
- Hemiparese
- ataksia cara berjalan tidak tegap
- masalah dlm keseimbangan
- cedera/trauma ortopedi
- kehilangan tonus otot
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal
Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yg
diselingi bradikardia disritmia
c. Integritas ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian
Tanda : Cemas,mudah tersinggung, delirium, agitasi,
bingung, depresi
d. Eliminasi
Gejala : Inkontensia kandung kemih/usus mengalami
gangguan fungsi
e. Makanan/cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera
Tanda : Muntah,gangguan menelan
f. Neurosensori
Gejala :
- Kehilangan kesadaran sementara,amnesia seputar kejadian,
vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran
- Perubahan dlm penglihatan spt ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagain lapang pandang, gangguan pengecapan
dan penciuman
Tanda :
- Perubahan kesadaran bisa sampai koma
- Perubahan status mental
- Perubahan pupil
- Kehilangan penginderaan
- Wajah tdk simetris
- Genggaman lemah tidak seimbang
- Kehilangan sensasi sebagian tubuh
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala : sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yg berbeda
biasanya lama
Tanda : Wajah menyeringai,respon menarik pd ransangan, nyeri
nyeri yg hebat, merintih
h. Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas, nafas berbunyi, stridor,
tersedak, ronkhi,mengi
i. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan
j. Kulit : laserasi,abrasi, perubahan warna, tanda batle
disekitar telinga,adanya aliran cairan dari
telinga atau hidung
k. Gangguan kognitif
l. Gangguan rentang gerak
m. Demam
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas
berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi
pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan : Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan
tidak ada sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan
dalam batas normal.
Intervensi:
- Kaji Airway, Breathing, Circulasi
- Kaji apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari
kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera
vertebra.
- Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada
sekret segera lakukan pengisapan lendir
- Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas
- Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi
dan tinggikan 15 – 30 derajat.
- oksigen sesuai program.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral
dan peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan : Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada
pusing hebat, kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi :
- Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline”
untuk menurunkan tekanan vena jugularis.
- Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya tekanan
intrakranial:
- Bila akan memiringkan klien, harus menghindari adanya tekukan
pada anggota badan, fleksi (harus bersamaan)
- Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver
- Ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan sentuhan therapeutic,
hindari percakapan yang emosional.
- Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan
intrakranial sesuai program.
- Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan
karena dapat meningkatkan edema serebral.
- Monitor intake dan out put.
- Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.
- Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi
dan pemenuhan nutrisi.
- Pada pasien , libatkan keluarga dalam perawatan klien dan jelaskan
hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan
menurunnya kesadaran.
Tujuan : Kebutuhan sehari-hari klien terpenuhi yang ditandai dengan berat
badan stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur
bersih, tubuh klien bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan
kecil dapat dibantu.
Intervensi :
- Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum,
mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur,
dan kebersihan perseorangan.
- Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
- Perawatan kateter bila terpasang.
- Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk
memudahkan BAB.
- Libatkan keluarga dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-
hari dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan klien.
4. Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau
dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit
baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal.
Intervensi :
- Kaji intake dan out put.
- Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan
ubun-ubun atau mata cekung dan out put urine.
- Berikan cairan intra vena sesuai program.
5. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
Tujuan : klien akan merasa nyaman yang ditandai dengan klien tidak
mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
- Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi
nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau
lambat, berkeringat dingin.
- Mengatur posisi sesuai kebutuhan untuk mengurangi nyeri.
- Kurangi rangsangan.
- Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
- Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
- Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.
6. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau
meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan : klien terbebas dari injuri.
Intervensi :
- Kaji status neurologis klien: perubahan kesadaran, kurangnya respon
terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas
pergerakan menurun, dan kejang.
- Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
- Monitor tanda-tanda vital klien setiap jam.
- Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.
- Berikan analgetik sesuai program.
Rencana Asuhan Keperawatan
Fraktur Zygomaticus
A. Pengkajian
B1 (Breathing) : Napas pendek
B2 (Blood) : Hipotensi, bradikardi,
B3 (Brain) : Pusing saat melakukan perubahan posisi, nyeri
tekan
otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma dan
mengalami deformitas pada daerah trauma.
B4 (Bleader) : Inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi
urine,
distensi perut dan peristaltic hilang
B5 ( Bowel) : Mengalami distensi perut dan peristaltik usus
hilang
B6 (Bone) : Kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok
spinal, hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot
dan hilangnya reflek.
B. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, stress/ansietas, luka operasi.
2) Gangguan bersihan jalan nafas b/d pendarahan pada midfasial
3) Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli,
perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru,
kongesti)
4) Gangguan integritas kulit b/d luka operasi
5) Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan
kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
6) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap
informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi
yang ada
DAFTAR PUSTAKA
Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3.
EGC. Jakarta
Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC
Kuncara, H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth, EGC, Jakarta