Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Trauma kepala umumnya digolongkan sebagai trauma tertutup dan
terbuka. Trauma tertutup atau trauma tumpul seperti yang sering disebut
orang, merupakan kejadian yang lebih sering ditemukan. Secara khas
trauma tumpul terjadi ketika kepala membentur benda keras atau ketika
ada benda keras yang bergerak dengan cepat dan membentur kepala. Pada
keadaan ini, durameter masih utuh dan tidak ada jaringan otak yang
terbuka terhadap lingkungan luar. Sebagaimana disebutkan namanya,
trauma terbuka menunjukan adanya lubang pada kulit kepala, meningen,
atau jaringan otak termasuk dura meter, sehingga isi tengkorak terbuka
terhadap lingkungan luar. Pada trauma terbuka, risiko infeksi sangat tinggi
(Kowalak, 2011).
Mortalitas akibat trauma kepala telah banyak berkurang seiring
kemajuan dibidang preventif, seperti penggunaan sabuk pengaman serta
kantung udara. Respon layanan kesehatan yang lebih cepat terhadap
kejadian kecelakaan serta waktu untuk membawa pasien yang lebih
pendek dan penanganan pasien yang lebih baik. Termasuk pengembangan
pusat-pusat trauma disejumlah kawasan. Kemajuan dalam teknologi
penanganan trauma kepala juga telah meningkatkan keefektifan layanan
rehabilitasi bahkan pada pasien cedera kepala berat (Kowalak, 2011).
Akibat dari trauma kepala akan menimbulkan beberapa masalah,
salah satunya perdarahan otak. Oleh sebab itu perawat kedaruratan harus
dapat mengkaji secara adekuat pasien cedera kepala dan memulai tindakan
keperawatannya. Meskipun peran perawat dalam program pencegahan
amat penting, perannya dalam mengenali dan merawat cedera otak juga
tidak kalah pentingnya (Oman, 2008).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka menjadi penting untuk
menyusun makalah tentang konsep trauma kepala untuk mengetahui lebih
dalam tentang karakteristik trauma serta bagaimana penatalaksanaan

1
keperawatan yang tepat. Sehingga kejadian yang tidak diinginkan seperti
adanya komplikasi lebih lanjut seperti angka kesakitan dan angka
kematian akibat trauma ini dapat dikurangi.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa dapat memahami trauma kepala
2. Tujuan Khusus
a. Agar mahasiswa dapat memahami Pengertian trauma kepala
b. Agar mahasiswa dapat memahami Klasifikasi trauma kepala
c. Agar mahasiswa dapat memahami Etiologi trauma kepala
d. Agar mahasiswa dapat memahami Manifestasi klinis trauma kepala
e. Agar mahasiswa dapat memahami Patofisiologi trauma kepala
f. Agar mahasiswa dapat memahami Penatalaksanaan trauma kepala
g. Agar mahasiswa dapat memahami Komplikasi trauma kepala
h. Agar mahasiswa dapat memahami Pemeriksaan penunjang trauma
kepala

2
BAB II
KONSEP TEORITIS

A. Definisi Trauma Kepala


Trauma kepala merupakan kejadian cedera akibat trauma pada
otak, yang menimbulkan perubahan fisik, intelektual, emosi, sosial,
ataupun vokasional (pekerjaan). Anak kecil usia dua bulan hingga dua
tahun, individu usia 15 hingga 24 tahun, dan lanjut usia merupakan
kelompok yang beresiko tinggi mengalami trauma kepala. Risiko pada
laki-laki dua kali lipat risiko pada wanita (Kowalak, 2011).
Trauma kepala adalah perdarahan yang berasal dari vena
menyebabkan lambatnya pembentukan hematoma karena rendahnya
tekanan, laserasi arterial ditandai oleh pembentukan hematoma yang cepat
karena tingginya tekanan (Engram, 2007).
Beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan trauma
kepala adalah trauma pada otak, yang menimbulkan perubahan fisik,
intelektual, emosi, sosial, ataupun vokasional (pekerjaan) yang
menimbulkan perdarahan yang berasal dari vena menyebabkan lambatnya
pembentukan hematoma.
B. Klasifikasi Trauma Kepala
Menurut Kowalak (2011), trauma kepala dapat diklasifikaikan sebagai
berikut :
1. Mekanisme Cedera Jenis Trauma Kepala
Berdasarkan mekanisme cedera jenis trauma kepala ada 2, yaitu :
a. Trauma Kepala Tertutup
1) Komusio Serebri/Gegar otak
Pukulan pada kepala yang cukup keras untuk
membuat otak menghantam tulang tengkorak,. Kejadian ini
menyebabkan disfungsi syaraf yang temporer. Kesembuhan
biasanya bersifat total dalam waktu 24 hingga 48 jam.
Cedera berulang dapat menimbulkan kerusakan kumulatif
pada otak.

3
2) Kontusio Serebri/Memar otak
Paling sering terjadi pada usia 20 hingga 40 tahun.
Kebanyakan disebabkan oleh perdarahan arteri. Darah
umumnya mengumpul di anatara tulang tengkorak dan
duramater.
3) Hematoma Intraserebral
Disrupsi traumatic atau spontan pembuluh darah
serebral dalam parenkim otak menyebabkan deficit
neurologi yang intensitasnya bergantung pada lokasi
perdarahan. Gaya robekan akibat gerakan otak sering
menimbulkan laserasi pembuluh darah dan perdarahan ke
dalam parenkim otak.
4) Edema Serebri Traumatik
Keadaan patologis terjadinya akumulasi cairan di
dalam jaringan otak sehingga meningkatkan volume otak.
Dapat terjadi peningkatan volume intraseluler (lebih banyak
di daerah substansia grisea) maupun ekstraseluler (daerah
substansia alba), yang menyebabkan terjadinya peningkatan
tekanan intrakranail.
5) Hematoma Epidural
Cedera akselerasi (Otak terus bergerak serta
membentur tengkorak) dan deselerasi (memantul). Otak
dapat membentur tonjolan tulang yang ada di dalam
tengkorak (khususnya krista sfenoidalis) sehingga terjadi
perdarahan atau hematoma intracranial yang dapat
menimbulkan herniasi tentorium.
6) Hematoma Subdural
Perdarahan meninges yang terjadi karena
penumpukan darah dalam rongga subdural (diantara
duramater dan araknoid). Keadaan ini paling sering
ditemukan. Bisa bersifat akut, subakut dan kronis terjadi

4
secara unilateral (pada satu sisi) atau bilateral (pada kedua
sisi).
7) Hematoma Subaraknoid
Perdarahan terjadi dalam rongga subaraknoid,
sering menyertai kontusio serebri. Pada pungsi lumbal
ditemukan cairan serebrospinal berdarah.
b. Trauma Kepala Terbuka
1) Fraktur linear didaerah temporal
Fraktur linear didaerah temporal di mana arteri
meningeal media berada dalam jalur tulang temporal, sering
menyebabkan perdarahan epidural. Fraktur linear yang
melintang garis tengah, sering menyebabkan perdarahan
sinus dan robeknya sinus sagitalis superior.
2) Fraktur di daerah basis
Fraktur di daerah basis di sebabkan karena trauma
dari atas atau kepala bagian atas yang membentur jalan atau
benda diam fraktur di fosa anteror, sering terjadi keluarnya
liquor melalu hdung (rhinorhoe) dan adanya brill hematoma
(raccon eye).
3) Fraktur pada os petrosu
Fraktur pada os petrosus terbentuk longitudinal dan
transversal (lebih jarang).fraktur longitudinal dibagi
menjadi anterior dan posterior. Fraktur anterior biasanya
karena trauma di daerah temporal, sedang yang posterior
disebabkan trauma didaerah oksipital.
4) Fraktur longitudinal
Fraktul longitudinal sering menyebabkan kerusakan
pada meatus akutikus interna, foramen jugularis dan tuba
eustakhius. Setelah 2-3 hari akan tampak battle sign (warna
biru di belakang telinga di atas os mastoid) dan otorrhoe
(liquor keluar dari telinga). Perdarahan dari telinga dengan

5
trauma kepala hampir selalu di sebabkan oleh retak tulang
dasar tengkorak.
2. Keparahan Cedera Kepala
Berdasarkan keparahan cedera kepala di bagi menjadi :
a. Cedera Kepala Ringan
Cedera kepala ringan adalah cedera karena tekanan atau
kejatuhan benda tumpul yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi
neurology sementara atau menurunnya kesadaran sementara,
mengeluh pusing nyeri kepala tanpa adanya kerusakan lainnya
(Corwin, 2009).
b. Cedera Kepala Sedang
Cedera kepala sedang adalah suatu trauma yang
menyebabkan kehilangan kesadaran dan amnesia lebih dari 30
menit tetapi kurang dari 24 jam dapat mengalami fraktur tengkorak
dengan GCS 9-12 (Muttaqin, 2008).
c. Cedera Kepala Berat
Cedera kepala berat adalah cedera dengan skala koma
glasgow 3-8 atau dalam keadaan koma kepala dimana otak
mengalami memar dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi,
pasien berada pada periode tidak sadarkan diri (Batticaca, 2008).
C. Etiologi Trauma Kepala
Menurut Kowalak (2011), Etologi trauma kepala dapat meliputi:
1. Kecelakaan kendaraan atau transportasi.
2. Kecelakaan terjatuh.
3. Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga.
4. Kejahatan dan tindak kekerasan.
D. Manisfestasi Klinis Trauma Kepala
Menurut Engram (2007), Tanda dan Gejala trauma kepala
berdasarkan klasifikasi sebagai berikut :
1. Mekanisme Cedera Jenis Trauma Kepala
Berdasarkan mekanisme cedera jenis trauma kepala ada 2, yaitu :
a. Trauma Kepala Tertutup

6
1) Kontusio Serebri/Gegar otak
a) Pingsan tidak lebih dari 10 menit
b) Tanda-tanda vital dapat normal atau menurun
c) Sesudah sadar mungkin terdapat gejala subyektif seperti
nyeri kepala, pusing, muntah
d) Terdapat amnesia retrograde
2) Kontusio Serebri/Memar otak
a) Pingsan berlangsung lama, dapat beberapa hari sampai
berminggu-minggu
b) Kelainan neurologic
c) Hemiparesis yang berkaitan dengan gangguan aliran darah
ke tempat cedera
d) Pernapasan biasa atau seperti Cheyne Stokes
e) Pupil mengecil dan reflex cahaya baik
f) Postur tubuh dekortikasi atau deserebrasi akibat kerusakan
korteks serebri
3) Hematoma Intraserebral
a) Keadaan tidak bereaksi yang segera terjadi atau interval
lusidum sebelum pasien tidak sadarkan diri (koma)
sebagai akibat kenaikan tekanan intracranial dan efek
massa yang ditimbulkan oleh perdarahan
b) Kemungkinan deficit motoric dan respons dekortikasi atau
deserebrasi akibat kompresi pada traktus kortikospinalis
serta batang otak
4) Edema Serebri Traumatik
a) Pingsan yang lamanya dapat berjam-jam
b) Tekanan darah naik dan nadi turun
c) Kelainan neurologic
5) Hematoma Epidural
a) Penurunan kesedaran atau nyeri kepala sebentar,
kemudian membaik

7
b) Beberapa jam kemudian timbul gejala yang berat dan
sifatnya progresif seperti nyeri kepala hebat, pusing
dengan disertai penurunan kesadaran.
6) Hematoma Subdural
a) Nyeri kepala hebat, muntah
b) Gangguan penglihatan karena edem dari pupil N II
c) Pada sisi kontralateral hematoma terdapat gangguan
traktur piramidalis
7) Hematoma Subaraknoid
a) Serebrospinal berdarah
b) Timbul kaku kuduk
b. Trauma Kepala Terbuka
1) Fraktur linear di daerah temporal
a) Perdarahan epidural
b) Perdarahan sinus
c) Robeknya sinus sagitalis superior
2) Fraktur didaerah basis
a) Keluarnya liquor melalui hidung (rhinorhoe)
b) Adanya brill hematoma (raccoon eye)
3) Fraktur longitudinal
a) Kerusakan pada meatus akutikus interna, foramen
jugularis dan tuba eustakhius
b) Setelah 2-3 hari akan tampak battle sign dan otorhoe
c) Perdarahan dari telinga dengan trauma kepala hamper
selalu disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak
2. Keparahan Cedera Kepala
Berdasarkan keparahan cedera kepala di bagi menjadi :
1. Cedera Kepala Ringan
a. Hilangnya kesadaran tidak lebih 30 menit atau lebih
b. Tanda-tanda vital dalam batas normal atau menurun
c. Timbul rasa nyeri di kepala
d. Pusing dan muntah

8
e. GCS 13-15, tidak terdapat kelainan neurologis.
2. Cedera Kepala Sedang
a. Pada cedera otak, kesadaran seringkali menurun
b. Pola nafas menjadi abnormal secara progresif
c. muntah dapat terjadi akibat penigkatan intracranial
d. Amnesia yang berhubungan dengan kejadian ini
mungkin terjadi
3. Cedera Kepala Berat
a. Skor skala koma Glasgow (GCS) 3-8 (koma)
b. Penurunan derajat kesadaran secara progresif
c. Tanda neurologi fokal
d. Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi
kranium.
E. Patofisiologi Trauma Kepala
Otak dilindungi oleh perisai kubah tengkorak (rambut, kulit,
tulang, meningen, dan cairan serebrospinal) yang akan meredam kekuatan
dari suatu benturan fisik. Di bawah tingkat kekuatan tertentu (kapasitas
absorpsi), kubah tengkorak dapat mencegah energy benturan sehingga
tidak mengenai jaringan otak. Derajat cedera kepala akibat trauma
biasanya sebanding dengan besar kekuatan yang mencapai jaringan
kranial. Lebih lanjut, kemungkinan cedera leher harus diasumsikan terjadi
pada pasien trauma kepala kecuali bila kemungkinan ini sudah dapat
disingkirkan (Corwin, 2009).
Trauma tertutup secara khas merupakan cedera akselerasi
deselerasi (coup/contrecoup) yang terjadi secara tiba-tiba. Pada cedera
coup/contrecoup, kepala membentur benda yang relative dalam keadaan
stasioner sehingga terjadi cedera pada jaringan kranial di dekat tempat
benturan (yang disebut coup). Kemudian kekuatan atau gaya yang masih
tersisa mendorong otak hinga menghantarkan sisi tengkorak yang lain dan
dengan demikian terjadi benturan serta cedera sekunder (yang disebut
contrecoup). Kontusio dan laserasi dapat pula terjadi pada saat contecoup
ketika jaringan otak yang lunak menggelincir pada tulang rongga

9
tengkorak yang kasar. Di samping itu, serebrum dapat mengalami robekan
karena terpeluntir, yang merusak pars mesensefalon superior dan daerah-
daerah otak pada lobus frontalis, temporalis, serta oksipitalis (Corwin,
2009).
Trauma terbuka dapat menembus kulit kepala, tulang tengkorak,
meningen, atau otak. Cedera kepala yang terbuka biasanya disertai dengan
fraktur tulang tengkorak (fraktur cranium), dan fragmen tulang yang patah
serin menimbulkan hematoma serta rupture meningen dengan kehilangan
cairan serebrospinal sebagai akibatnya (Corwin, 2009).
F. Penatalaksanaan Trauma Kepala
1. Medis (Kowalak, 2011)
a. ABC
1) Airway dengan jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke
belakang dengan posisi kepala ekstensi kalau perlu dipasang
oropharyngeal tube atau nasopharyngeal tube.
2) Breathing dengan memberikan O2 dengan menggunakan alat
bantu pernafasan misalnya Nasal Kanul, Simple
Mask/Rebreating Mask, Mask Nonrebreating, Bag-Valve-Mask,
dan Intubasi Endotrakea.
3) Circulation pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme
sebanyak 2-2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme
protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya
kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah dan akan
bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan
perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa
nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari.
b. Medikasi
No Nama Obat Dosis Keterangan
1 Diuretik Dosisnya 0,5-1 Untuk mencegah
osmotik g/kgBB, diberikan rebound
(manitol 20%) dalam 30 menit.
Pemberian diulang

10
setelah 6 jam
dengan dosis 0,25-
0,5/kgBB dalam 30
menit
2 Loop diuretic Dosisnya 40 mg/hari Pemberiannya
(furosemid) IV bersama manitol,
karena mempunyai
efek sinergis dan
memperpanjang
efek osmotik serum
manitol
3 Diazepam Dosisnya 10 mg IV Diberikan bila ada
dan bisa diulang kejang
sampai 3 kali bila
masih kejang
4. Analgetik Dosisnya 325 atau Untuk mengurangi
(asetaminofen) 500 mg setiap 3 atau demam serta
4 jam, 650 mg mengatasi nyeri
setiap 4-6 jam, 1000 ringan sampai
mg setiap 6 sedang akibat sakit
kepala
5. Analgetik 30-60 mg, tiap 4-6 Untuk mengobati
(kodein) jam sesuai kebutuh nyeri ringan atau
cukup parah
6. Antikonvulsan Dosisnya 200 Untuk mencegah
(fenitoin) hingga 500 mg serangan epilepsi
perhati
7. Profilaksis Biasanya digunakan Tindakan yang
antibiotik setelah 24 jam sangat penting
pertama, lalu 2 jam sebagai usaha untuk
pertama, dan 4 jam mencegah terjadinya
berikutnya infeksi pasca

11
operasi

c. Pembedahan
Evakuasi hematoma atau kraniotomi untuk mengangkat
atau mengambil fragmen fraktur yang terdorong masuk ke dalam
otak dan untuk mengambil benda asing dan jaringan nekrotik
sehingga risiko infeksi dan kerusakan otak lebih lanjut akibat
fraktur dapat dikurangi.
d. Mobilisasi
Pada pasien cedera kepela berat mobilisasi bisa dilakukan
dengan pemasangan servical colar. Servical colar sendiri adalah
alat penyangga tubuh khusus untuk leher. Alat ini digunakan untuk
mencegah pergerakan tulang servical yang dapat memperparah
kerusakan tulang servical yang patah maupun pada cedera kepala.
Alat ini hanya membatasi pergerakan minimal pada rotasi,
ekstensi, dan fleksi.
2. Keperawatan (Kowalak, 2011)
a. Kontusio dengan kehilangan kesadaran kurang dari 20 menit :
Biasanya tidak perlu dirawat, Tirah baring
b. Kontusio, laserasi atau kehilangan kesadaran lebih dari 20 menit :
Rawat di UPI, Tirah baring, Lakukan tidakan untuk mengatasi
meningkatnya tekanan intracranial mencegah kejang
c. Mengkaji riwayat cedera
d. Pantau tanda-tanda vital dan periksa cedera tambahan. Palpasi
tulang tengkorak untuk menemukan gejala nyeri tekan atau
hematoma
e. Jika pasien mengalami perubahan tingkat kesadaran lakukan
observasi tanda-tanda vital, tingkat kesadaran, dan besar pupil
setiap 15 menit.
f. Pasien dengan kondisi stabil setelah dilakukan observasi selama
empat jam atau lebih dapat dipulangkan di bawah pengawasan
orang dewasa yang bertanggung jawab

12
g. Bersihkan dan cuci luka yang superfisial pada kulit kepala.
h. Berikan edukasi pada klien untuk mewaspadai kemungkinan sakit
kepala bertambah berat, vomitus, tanda-tanda perdarahan cairan
serebrospinal dari dalam telinga
i. Jika pada pasien mengalami kontusio serebri dan fraktur cranium
pertahankan patensi jalan napas dengan memasang pipa Mayo,
pemasangan pipa jalan napas melalui hidung merupakan
kontraindikasi pada pasien fraktur basis kranii. Intubasi bisa
diperlukan. Lakukan pengisapan (suction) melalui mulut dan bukan
melalui hidung untuk mencegah bakteri masuk jika terjadi
kebocoran cairan serebrospinal
j. Jika ditemukan rembesan cairan serebrospinal dari hidung,
bersihkan rembesan dan jangan biarkan pasien menghembuskannya
keluar seperti membuang ingus
k. Jika ditemukan rembesan cairan serebrospinal dari dalam telinga,
tutup telinga secara hati-hati tanpa menekannya dengan kasa steril
dan jangan memasukkan kasa tersebut ke dalam liang telinga
l. Atur posisi pasien sedemikian rupa agar secret dapat mengalir
keluar dengan benar, tinggikan bagian kepala ranjang hingga
membentuk sudut 30 derajat
m. Terapkan kewaspadaan terhadap serangan kejang atau bangkitan
epilepsi, tetapi jangan menghalangi pasien dengan banyak larangan
n. Batasi asupan total cairan per oral sampai 40% hingga 50% (1200
hingga 1500 ml/hari) untuk mengurangi volume cairan tubuh dan
edema intraserebral.
G. Komplikasi Trauma Kepala
Menurut Kowalak (2011), Komplikasi utama dari trauma kepala :
1. Meningkatnya tekanan intrakraial (TIK)
2. Perdarahan
3. Kejang
4. Infeksi (trauma terbuka)
5. Depresi pernapasan dan gagal napas

13
6. Herniasi otak
7. Pasien dengan fraktur tulang tengkorak bisa terjadi bocornya cairan
serebrospinal (CSS) dari hidung (renorea) atau telinga (otorea) dan
menyebabkan meningitis.
H. Pemeriksaan Penunjang Trauma Kepala
Menurut Kowalak (2011), pemeriksaan penunjangan trauma kepala :
1. Komusio Serebri/Gegar otak
CT scan otak tidak memeperlihatkan tanda-tanda fraktur,
perdarahanl, atau lesi lain pada sistem saraf
2. Kontusi Serebri
a. CT scan otak memperlihatkan perubahan pada densitas jaringan,
kemungkinan pergeseran struktur di sekitar lesi dan bukti
adanya jaringan yang iskemik, hemotoma, serta fraktur
b. Hasil rekaman EEG langsung di daerah kepala yang mengalami
kontusio menunjukkan abnormalitas progesif dengan terlihatnya
gelombang teta dan delta yang memiliki amplitudo tinggi
3. Hematoma Epidural
Pemeriksaan CT Scan atau MRI menunjukkan massa abnormal
atau pergeseran struktur dalam kranium
4. Hemartoma Subdural
a. CT Scan otak, foto rontgen kepala dan arteriografi menunjukkan
massa dan perubahan aliran darah di daerah lesi, gambaran ini
memastikan keberadaan hematoma
b. CT Scan atau MRI memperlihatkan massa dan pergeseran
jaringan
c. Cairan serebrospinal tambak berwarna kuning dan memiliki
kadar protein yang relatif rendah (hematoma subdural kronis)
5. Hematoma Intraserebral
CT Scan atau arteriografi serebral memperlihatkan lokasi
perdarahan. Tekanan cairan serebrospinal meninggi, cairan
serebrospinal tampak mengandung darah atau berwarna xantokrom

14
(berwarna kuning atau mirip warna jerami) akibat penguraian
hemoglobin.
6. Fraktur Tengkorak
a. CT Scan dan MRI menunjukkan perdarahan intrakranial akibat
ruptur pembuluh darah dan pembengkakan
b. Foto rontgen kranium dapat memperlihatkan fraktur
c. Fungsi lumbal merupakan kontraindikasi jika terdapat lesi yang
luas
d. Sinar x kepala dan servikal untuk mendeteksi lokasi dan
parahnya fraktur
e. CT Scan untuk mengenali adanya hematoma intracranial
f. Pungsi lumbal untuk memastikan adanya meningitis bila pasien
memperlihatkan tanda-tanda iritasi meningeal (demam, rigiditas
nukal, kejang).

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Trauma kepala adalah trauma pada otak, yang menimbulkan
perubahan fisik, intelektual, emosi, sosial, ataupun vokasional
(pekerjaan) yang menimbulkan perdarahan yang berasal dari vena
menyebabkan lambatnya pembentukan hematoma. Penyebab dari trauma
kepala yaitu Kecelakaan kendaraan atau transportasi, Kecelakaan
terjatuh, Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga, dan Kejahatan dan
tindak kekerasan. Manifestasi klinis dari trauma kepala yang umum yaitu
terjadi penurunan kesadaran, nyeri hebat, dan adanya lesi. Komplikasi
yang dapat terjadi diantaranya Meningkatnya tekanan intrakraial (TIK),
Perdarahan, Kejang, Infeksi (trauma terbuka), Depresi pernapasan dan
gagal napas, dan Herniasi otak.
Penatalaksanan secara medis yaitu diantaranya dengan ABC untuk
mempertahankan jalan nafas, Pemberian obat-oabatan, dapat dilakukan
pembedahan, dan immobilisasi. Sedangkan penatalaksanaan keperawatan
yaitu memantau ttv, adanya perdarahan, riwayat cidera, rehidrasi cairan,
serta mencegah infeksi akibat pembedahan.

B. Saran
Semoga deengan pembuatan makalah ini, teman-teman semuannya
dapat lebih memahami tentang masalah Trauma kepala dan khususnya
adalah agar sebagai mahasiswa keperawatan kita harus dapat membuat
sebuah ASKEP yang baik untuk dijalankan kepada pasien-pasien kita
nantinnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, F. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Jakarta.
Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Engram, B. (2007). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta:
EGC.
Hidayat, & Alimul, A. A. (2007). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan,
Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.
Kowalak, J. P. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Muskuloskeletal.
Jakarta: EGC.
Oman, K. S. (2008). Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta:
EGC.
Wilkinson, J. M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

17

Anda mungkin juga menyukai