Anda di halaman 1dari 20

ASKEP CEDERA KEPALA

Disusun Oleh :
SRIHASTUTI (R011221098)
ANGGIE ALITA PALIPADANG (R011221006)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
KELAS KERJAAMA
2022
KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Pengertian
Cedera kepala suatu gangguan trauma dari otak disertai/tanpa perdarahan intestinal dalam
substansi otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas dari otak.(Nugroho, 2011)

Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak
atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada
kepala (Suriadi dan Yuliani, 2011).

Menurut Brain Injury Assosiation of America (2001), cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan
oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

Cedera kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul
maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robekannya subtansia alba,
iskemia, dan pengaruh massa karena hemorogik, serta edema serebral disekitar jaringan
otak (Batticaca, 2008).

Berdasarkan defenisi cedera kepala diatas maka penulis dapat menarik suatu kesimpulan
bahwa cedera kepala adalah suatu cedera yang disebabkan oleh trauma benda tajam atau
benda tumpul yang menimbulkan perlukaan pada kulit, tengkorak, dan jaringan otak yang
disertai atau tanpa pendarahan.

2. Etiologi
Cedera kepala dapat disebabkan oleh:
a. Kecelakaan lalu lintas 
b. Jatuh
c. Trauma benda tumpul
d. Kecelakaan kerja
e. Kecelakaan rumah tangga
f. Kecelakaan olahraga
g. Trauma tembak dan pecahan bom (Ginsberg, 2007)
3. Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang secara deskripsi dapat
dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya cedera kepala (IKABI,
2004).
a. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi dua yaitu
1) Cedera kepala tumpul.
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas,
jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi 7 dan
decelerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan
melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak
2) Cedera tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan. (IKABI, 2004)

b. Berdasarkan morfologi cedera kepala


Cedera kepala menurut (Tandian, 2011). Dapat terjadi diarea tulang tengkorak yang
meliputi
1) Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit
kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin,
connective tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum
terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang.
Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini
banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan
yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.
2) Fraktur tulang kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi
a) Fraktur linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata
pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur
lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup
besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat
fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial.
b) Fraktur diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg
tengkorak yang mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang 8 kepala. Jenis
fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura
belum menyatu dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering terjadi
pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.
c) Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih dari
satu fragmen dalam satu area fraktur.
d) Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang
langsung mengenai tulang kepala dan pada area yang kecal. Fraktur impresi
pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada
duremater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi,  jika
tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula interna segmen
tulang yang sehat.
e) Fraktur basis kranii
Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada durameter yang
merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis kranii berdasarkan letak
anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur
fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis kranii
dan tulang kalfaria. Durameter daerah basis krani lebih tipis dibandingkan
daerah kalfaria dan durameter daerah basis melekat lebih erat pada tulang
dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat
menyebabkan robekan durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran
cairan cerebrospinal yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak
(meningitis).

Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon eyes sign
(fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batle’s sign (fraktur
basis kranii fossa media). Kondisi ini juga dapat menyebabkan lesi saraf
kranial yang paling sering terjadi adalah gangguan saraf penciuman (Nervus
olfactorius), Saraf wajah (Nervus facialis) dan saraf pendengaran (Nervus
vestibulokokhlearis). Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi
pencegahan peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak misalnya
dengan mencegah batuk, mengejan, dan makanan yang tidak menyebabkan
sembelit. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan telinga, jika perlu
dilakukan tampon steril (konsultasi ahli THT) pada tanda bloody/
otorrhea/otoliquorrhea. Pada penderita dengan tanda-tanda
bloody/otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan
kepala miring ke posisi yang sehat.
 
3) Cedera kepala di area intrakranial
Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan
cedera otak difus. Cedera otak fokal yang meliputi:
a) Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)
Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang
potensial antara tabula interna tulangtengkorak dan durameter. Epidural
hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid
selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa
hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang
ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.
b) Perdarahan subdural akut atau subdural hematom  (SDH) akut
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang
terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil
dipermukaan korteks cerebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh
hemisfir otak. Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan 10
prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.
c) Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik
Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih
dari 3 minggu setelah trauma.  Subdural hematom kronik diawali dari SDH
akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu
terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang
bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke
dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan
lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti
dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi
proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya
cairan hipertonis yang dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini
terjadi maka akan menarik likuor diluar membran masuk kedalam membran
sehingga cairan subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat
ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan
berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA (Transient Ischemic Attack),
disamping itu dapat terjadi defisit neorologi yang berfariasi seperti kelemahan
otorik dan kejang.
d) Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen
yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan
disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak,
tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang
menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di
parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis
yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya 11 penurunan kesadaran.
Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari
trauma yang dialami.
e) Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)
Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal
baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki
ruang subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit (PSA). Luasnya
PSA menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga
menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya
vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut luas dengan
manifestasi edema cerebri.

c. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan beratnya


Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, menurut (Mansjoer, 2000) dapat
diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan skor GCS dan dikelompokkan menjadi
1) Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 – 15
a) Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi.
b) Tidak ada kehilangan kesadaran
c) Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
d) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
e) Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala

2) Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 13


a) Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi respon
yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan
b) Amnesia paska trauma
c) Muntah
d) Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
e) Kejang

3) Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8.
a) Penurunan kesadaran sacara progresif
b) Tanda neorologis fokal
c) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium
(Mansjoer, 2000)

4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada cedera kepala yaitu:
1) Nyeri yang menetap atau setempat.
2) Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial.
3) Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat
di bawah konjungtiva, memar diatas mastoid (tanda battle), otoreaserebro spiral
(cairan cerebros piral keluar dari telinga), minoreaserebrospiral (les keluar dari
hidung).
4) Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah.
5) Penurunan kesadaran.
6) Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
7) Pusing / berkunang-kunang. Absorbsi cepat les dan penurunan volume intravaskuler 
8) Peningkatan TIK 
9) Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis ekstremitas.
10) Kebingungan
11) Iritabel
12) Pucat
13) Mual dan muntah
14) Kecemasan
15) Sukar untuk dibangunkan
16) Tanda tanda vital: peningkatan TD, penurunan frekuensi nadi dan peningkatan
pernafasan

5. Patofisiologi
Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada
parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema dan gangguan biokimia
otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler.
Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera kepala primer dan
cedera kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang
terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan dapat memberi dampak kerusakan
jaringan otak. Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat dari cedera kepala primer,
misalnya akibat dari hipoksemia, iskemia dan perdarahan.

Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada epidural hematoma,


berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan durameter, subdura hematoma akibat
berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan subaraknoid dan intra cerebral,
hematoma adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Kematian pada
penderita cedera kepala terjadi karena hipotensi karena gangguan autoregulasi, ketika
terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan cerebral dan berakhir pada iskemia
jaringan otak. (Tarwoto, 2007).

Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :


1. Cedera Primer
Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak, robek
pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk robeknya duramater,
laserasi, kontusio).
2. Cedera Sekunder
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut melampaui batas
kompensasi ruang tengkorak.
Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan volumenya
tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan parenkim
otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK
yang progresif dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal
pada tingkat seluler.
Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi :
CPP = MAP - ICP
CPP : Cerebral Perfusion Pressure
MAP : Mean Arterial Pressure
ICP : Intra Cranial Pressure

Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak
mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler yang makin parah (irreversibel).
Diperberat oleh kelainan ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia,
hipertermi, kejang, dll.
3. Edema Sitotoksik
Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis Neurotransmitter
yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid a.l. glutamat, aspartat). EAA
melalui reseptor AMPA (N-Methyl D-Aspartat) dan NMDA (Amino Methyl
Propionat Acid) menyebabkan Ca influks berlebihan yang menimbulkan edema dan
mengaktivasi enzym degradatif serta menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-
kejang).
4. Kerusakan Membran Sel
Dipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan menyebabkan kerusakan
DNA, protein, dan membran fosfolipid sel (BBB breakdown) melalui rendahnya CDP
cholin (yang berfungsi sebagai prekusor yang banyak diperlukan pada sintesa
fosfolipid untuk menjaga integritas dan repair membran tersebut). Melalui rusaknya
fosfolipid akan meyebabkan terbentuknya asam arakhidonat yang menghasilkan
radikal bebas yang berlebih.
5. Apoptosis
Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound apoptotic bodies
terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei, fragmentasi DNA dan akhirnya sel
akan mengkerut (shrinkage).
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain :
a. Pemeriksaan laboratorium
Darah lengkap, urine, kimia darah
b. CT Scan (tanpa/dengan kontras):
Mengidentifikasi luasnya lesi, adanya perdarahan, menentukan ukuran ventrikuler,
perubahan jaringan otak. Pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada
iskemik/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam paska trauma.
c. MRI
Sama dengan CT Scan dengan/tanpa menggunakan kontras radioaktif.
d. Cerebral Angiography
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, spt ; pergeseran jaringan otak akibat edema,
perdarahan, trauma.
e. EKG
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.
f. Sinar – X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis
tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang. Rongent Tengkorak
maupun thorak
g. BAER (brain auditory evoked respon)
Menentukan fungsi korteks dan batang otak
h. PET (positron emission tomography)
Menunjukkkan perubahan aktifitas metabolisme pada otak.
i. CSF, Lumbal Punksi
Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subaraknoid.
j. GDA (gas darah arteri)
Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenisasi yang akan dapat
meningkatkan PTIK.
k. Pemeriksaan toksikologi
Mendeteksi obat yang mungkin bertanggungjawab terhadap penurunan kesadaran.
l. Kadar antikonvulsan darah
Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi
kejang.

m. ABG (Artei Blood Gas)


Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial.
n. Kimia/Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrakranial. (Musliha, 2010).

7. Komplikasi
Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut (Markam, 1999) pada cedera
kepala meliputi
a. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini
secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah 16 masa ini
penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife
state. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari
lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang
sembuh.
b. Kejang/Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya sekali
kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini
berkembang menjadi epilepsy
c. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran (meningen)
sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena
keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system saraf yang lain.
d. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan
kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala mengalami masalah
kesadaran.
e. Penyakit Alzheimer dan Parkinson
Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit Alzheimer tinggi
dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi dan
keparahan cedera.

8. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya
cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik seperti
hipotensi atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan otak. (Tunner, 2000)
Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada pendertia cedera kepala
(Turner, 2000)
b. Penatalaksanaan umum adalah:
1) Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi
2) Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma
3) Berikan oksigenasi
4) Awasi tekanan darah
5) Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neurogenik
6) Atasi shock
7) Awasi kemungkinan munculnya kejang.
c. Penatalaksanaan lainnya :
1) Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2) Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi.
3) Pemberian analgetika
4) Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
5) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).
6) Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5%, aminofusin, aminofel (18
jam pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikana makanan
lunak, Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak
cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan
dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah,
makanan diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp). Pemberian protein tergantung
nilai urea.
d. Tindakan terhadap peningktatan TIK yaitu:
1) Pemantauan TIK dengan ketat
2) Oksigenisasi adekuat
3) Pemberian manitol
4) Penggunaan steroid
5) Peningkatan kepala tempat tidur
6) Bedah neuro.
e. Tindakan pendukung lain yaitu:
1) Dukungan ventilasi
2) Pencegahan kejang
3) Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi
4) Terapi anti konvulsan
5) Klorpromazin untuk menenangkan klien
6) Pemasangan selang nasogastrik. (Mansjoer, dkk, 2000).
ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
a. Pengkajian primer
1) Airway dan cervical control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
mandibula atau maksila, fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan
“chin lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus
diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher.
2) Breathing dan ventilation
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang terjadi
pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbon
dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi : fungsi yang baik dari paru, dinding
dada dan diafragma.
3) Circulation dan hemorrhage control
a) Volume darah dan Curah jantung
Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh
hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi
mengenai keadaan hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.
b) Kontrol Perdarahan
4) Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
5) Exposure dan Environment control
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.

b. Pengkajian sekunder
1) Identitas : nama, usia, jenis kelamin, kebangsaan/suku, berat badan, tinggi badan,
pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, anggota keluarga, agama.
2) Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status
kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
3) Aktivitas/istirahat
Gejala : Merasa lelah, lemah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, puandreplegia,
ataksia, cara berjalan tidak tegang.
4) Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah (hipertensi) bradikardi, takikardi.
5) Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku dan kepribadian.
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, angitasi, bingung, depresi dan impulsif.
6) Makanan/cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda  : muntah, gangguan menelan.
7) Eliminasi
Gejala   : Inkontinensia, kandung kemih atau usus atau mengalami gangguan
fungsi.
8) Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo, sinkope,
kehilangan pendengaran, gangguan pengecapan dan penciuman, perubahan
penglihatan seperti ketajaman.
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental,
konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memoris.
9) Nyeri/kenyamanan
Gejala  : Sakit kepala.
Tanda  : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang
hebat, gelisah, tidak bisa istirahat, merintih.

10) Pernafasan
Tanda : Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi oleh hiperventilasi
nafas berbunyi)
11) Keamanan
Gejala  : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan rentang gerak,
tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis, demam, gangguan
dalam regulasi suhu tubuh.
12) Interaksi sosial
Tanda  : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-
ulang, disartria.

PATHWAY CEDERA KEPALA

Trauma
Kepala
Reaksi peradangan
Trauma akibat Robekan/distorsi (bradikinin, histamin,
akselerasi/deseleras dan prostaglandin)
i
Cedera jaringan Cairan
intravaskuler ke
interstitial
Hematoma
Merangsang
nocireseptor
Perubahan cairan intra dan ekstra sel
Peningkatan suplay darah ke daerah trauma Vasodilatasi PD &
peningkatan permeabilitas
PD
TIK meningkat
Nyeri
dihantarkan ke
Aliran darah ke otak SSP
menurun
Nyeri
Gangguan perfusi dipersepsikan
jaringan cerebral
Nyeri akut
Hipoksia
jaringan

Penurunan
kesadaran

Hipoventilasi

Pernapasan dangkal

Ketidakefektifan
Pola napas
2.DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan cedera kepala (Nanda, 2012)
yaitu :
1. Gangguan perfusi jaringan cerebral
2. Ketidakefektifan Pola napas
3. Nyeri akut

3.RENCANA/INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrakranial.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x3 jam diharapkan
pasien tidak menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial.
Kriteria hasil :
1) Tidak ada ortostatik hipertensi.
2) Mencegah cedera.
3) GCS dalam batas normal E5 M4 V6
4) Tanda – tanda vital dalam batas normal
Intervensi :
1) Kaji perubahan pasien dalam merespon stimulus
2) Monitor tekanan intrakranial dan respon neurologis
3) Monitor adanya nyeri kepala
4) Monitor tanda-tanda vital
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat nafas di otak.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x3 jam diharapkan pola
napas efektif.
Kriteria hasil :
1) Tidak menggunakan alat bantu otot pernafasan
2) Tidak ada sianosis atau tidak ada tanda-tanda hipoksia
3) Menunjukkan jalan nafas yang normal
4) Tanda-tanda vital dalam rentang normal

Intervensi :

1) Pertahankan jalan nafas yang paten


2) Monitor respirasi dan status oksigen
3) Monitor tanda-tanda vital meliputi tekanan darah, respiratory rate, nadi, suhu.
4) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x3 jam diharapkan nyeri
dapat teratasi.
Kriteria hasil :
1) Pasien mampu mengenali nyeri
2) TTV dalam batas normal
3) Pasien mampu mengontrol nyeri
4) Tidak ada gangguan pola tidur

Intervensi :

1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif


2) Berikan posisi yang nyaman
3) Ajarkan tehnik non farmakologi (relaksasi nafas dalam)
4) Kolaborasi dengan dokter terkait pemberian analgesik untuk mengurangi nyeri

4.IMPLEMENTASI

Implementasi keperawatan adalah melaksanakan tindakan keperawatan


berdasarkan asuhan keperawatan yang telah disusun. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam melaksanakan tindakan keperawatan yaitu mengamati keadaan
bio-psiko-sosio-spiritual pasien, sesuai dengan waktu yang telah ditentukan,
mencuci tangan sebelum dan sesudah melaksanakan kegiatan atau tindakan,
menerapkan etika keperawatan serta mengutamakan kenyamanan dan keselamatan
pasien. Kegiatan yang dilakukan meliputi, melihat data dasar, mempelajari
rencana, menyesuaikan rencana, menentukan kebutuhan bantuan, melaksanakan
tindakan keperawatan sesuai rencana yang telah disusun, analisa umpan balik,
mengkomunikasikan hasil asuhan keperawatan (Nursalam, 2008).

5.EVALUASI
Evaluasi adalah mengkaji respon pasien terhadap standart atau kriteria yang
ditentukan oleh tujuan yang ingin dicapai. Penulisan pada tahap evaluasi proses
keperawatan yaitu terdapat jam melakukan tindakan, data perkembangan pasien
yang mengacu pada tujuan, keputusan apakah tujuan tercapai atau tidak, serta ada
tanda atau paraf. Kegiatan yang dilakukan meliputi menggunakan standart
keperawatan yang tepat, mengumpulkan dan mengorganisasi data, membandingkan
dengan kriteria dan menyimpulkan hasil yang kemudian ditulis dalam daftar
masalah (Nursalam, 2008).

DAFTAR PUSTAKA

Batticaca Fransisca B, 2008, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem


Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Muttaqin, Arif.2008. Buku Ajar asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan sistem
persarafan. Jakarta : Salemba Medika

Smeltzer, Suzanne C.2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3 ed-8. Jakarta :
EGC

http://id.scribd.com/doc/85827418/Laporan-Kasus-Cedera-Kepala (di unduh pada tanggal 25


April 2020)

http://asuhan-keperawatan-yuli.blogspot.com/2009/11/laporan-pendahuluan-cedera-
kepala.html (di unduh pada tanggal 25 April 2020)

http://semaraputraadjoezt.wordpress.com/2012/09/12/asuhan-keperawatan-pada-klien-
dengan-cedera-kepala-ringan/ (di unduh pada tanggal 26 April 2020)
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds.). (2014). NANDA International Nursing Diagnoses:
Definitions & Classification, 2015-2017, Tenth Edition. Oxford: Wiley Blackwell

Bulechek, Gloria M., [et al.]. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC), Sixth
Edition. United States of America: Mosby Elsevier

Moorhead, Sue., [et al.]. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC): measurement of
health outcomes, Fifth Edition. United States of America: Mosby Elsevier

Anda mungkin juga menyukai