Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

CONTOSIO CEREBRI

A. Konsep penyakit
1. Pengertian
Contusio serebral merupakan cedera kepala berat, dimana otak
mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi (Smeltzer
and Bare, 2006).
Kontusio serebri (cerebral contussion) adalah luka memar pada
otak. Memar yang disebabkan oleh trauma dapat membuat jaringan menjadi
rusak dan bengkak dan pembuluh darah dalam jaringan pecah, menyebabkan
darah mengalir ke dalam jaringan disebut hematoma (kamus besar bahasa
Indonesia)
Memar otak atau kontusio serebri (contusio cerebri, cerebral
contusion) adalah perdarahan di dalam jaringan otak yang tidak disertai oleh
robekan jaringan yang terlihat, meskipun sejumlah neuron mengalami
kerusakan atau terputus. Memar otak disebabkan oleh akselerasi kepala tiba-
tiba yang menimbulkan pergeseran otak dan kompresi yang merusak, yang
membuat pingsan sementara (kamus besar bahasa Indonesia).
Secara definisi Contusio Cerebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi
otak akibat adanya kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang secara
makroskopis tidak mengganggu jaringan (Corwin, 2000).
Pada kontusio atau memar otak terjadi perdarahan-perdarahan di dalam
jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun
neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus (Harsono, 2010)

Kontusio cerebri erat kaitannya dengan trauma kepala berikut beberapa


prinsip pada trauma kepala :
a. Tulang tengkorak sebagai pelindung jaringan otak,
mempunyai daya elastisitas untuk mengatasi adanya
pukulan.
b. Bila daya / toleransi elastisitas terlampau akan terjadi
fraktur
c. Berat / ringannya cedera tergantung pada :
1) Lokasi yang terpengaruh :
• Cedera kulit.
• Cedera jaringan tulang / tengkorak.
• Cedera jaringan otak.
2) Keadaan kepala saat terjadi benturan.
a). Masalah utama adalah
terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial (PTIK)
b). TIK dipertahankan oleh 3komponen :
• Volume darah /Pembuluh darah
(± 75 - 150 ml).
• Volume Jaringan Otak (±. 1200
- 1400 ml).
• Volume LCS (± 75 - 150 ml).
Klasifikasi
Trauma kepala atau cedera kepala meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak dan otak. Cedera otak terdapat dibagi dalam dua macam yaitu :
a. Cidera otak primer
Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari
trauma. Pada cidera primer dapat terjadi: memar otak, laserasi.
b. Cidera otak sekunder
Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia,
metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma.
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringanya gejala
yang muncul setelah cedera kepala (Alexander PM, 1995). Ada berbagai
klasifikasi yang dipakai dalam penentuan derajat cedera kepala. The Traumatic
Coma Data Bank mendifinisikan berdasarkan skor Skala Koma Glasgow
(Glasgow coma scale).
Kategori Penentuan Keparahan cedera kepala berdasarkan Glasgow coma scale (GCS)
Lanjut tabel di screen shot tabel gcs
Annegers et al (1998) membagi trauma kepala berdasarkan lama tak
sadar dan lama amnesis pasca trauma yang dibagi menjadi :
a. Cedera kepala ringan, apabila kehilangan kesadaran dan amnesia
berlangsung kurang dari 30 menit.
b. Cedera kepala sedang, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia
terjadi 30 menit sampai 24 jam atau adanya fraktur tengkorak.
c. Cedera kepala berat, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia
lebih dari 24 jam, perdarahan subdural dan kontusio serebri.
Penggolongan cedera kepala berdasarkan periode kehilangan kesadaran
ataupun amnesia saat ini masih kontroversional dan tidak dipakai secara luas.
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan jumlah GCS saat masuk rumah sakit
merupakan definisi yang paling umum dipakai (Hoffman, dkk, 1996).

Tipe
a. Cidera kepala terbuka
1) Trauma ini dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan
laserasi durameter. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak,
misalnya akibat benda tajam atau
tembakan.
2) Fraktur linier di daerah temporal, dimana arteri meningeal media
berada dalam jalur tulang temporal, sering menyebabkan
perdarahan epidural. Fraktur linier yang melintang garis tengah,
sering menyebabkan perdarahan sinus dan robeknya sinus sagitalis
superior.
3) Fraktur di daerah basis, disebabkan karena trauma dari atas atau
kepala bagian atas yang membentur jalan atau benda diam. Fraktur
di fosa anterior, sering terjadi keluarnya liquor melalui hidung
(rhinorhoe) dan adanya brill hematom (raccon eye).
4) Fraktur pada os petrosus, berbentuk longitudinal dan transversal
(lebih jarang). Fraktur longitudinal dibagi menjadi anterior dan
posterior. Fraktur anterior biasanya karena trauma di daerah
temporal, sedang yang posterior disebabkan trauma di daerah
oksipital.
5) Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus
akustikus interna, foramen jugularis dan tuba eustakhius. Setelah 2
– 3 hari akan nampak battle sign (warna biru di belakang telinga di
atas os mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar dari telinga).
perdarahan dari telinga dengan trauma kepala hampir selalu
disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Pada dasarnya
fraktur tulang tengkorak itu sendiri tidaklah menimbulkan hal yang
emergensi, namun yang sering menimbulkan masalah adalah
fragmen tulang itu menyebabkan robekan pada durameter,
pembuluh darah atau jaringan otak. Hal ini dapat menyebabkan
kerusakan pusat vital, saraf kranial dan saluran saraf (nerve
pathway).
b. Cidera kepala tertutup
1) Komotio serebri (gegar otak)
2) Edema serebri traumatic
3) Kontusio serebri

2. Perdarahan Intrakranial
• Perdarahan epidural
• Perdarahan Subdural
• Perdarahan subarahnoid
Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosa kontusio
serebri meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan CT scan dalam
pemeriksaan cedera kepala. Kontusio serebri sangat sering terjadi difrontal dan
labus temporal, walaupun dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk
batang otak dan serebelum. Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan
intra serebral traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja
dalam waktu beberapa jam atau hari mengalami evolusi membentuk pedarahan
intra serebral.

3. Etiologi
Penyebab contusio cerebri atau memar otak adalah adanya akselerasi
kepala tiba-tiba yang menimbulkan pergeseran otak dan kompresi yang
merusak akibat dari kecelakaan, jatuh atau trauma akibat persalinan.
Kontusio dapat pula terjadi akibat adanya gaya yang dikembangkan oleh
mekanisme-mekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis, sehingga terdapat
vasoparalisis.
 Kecelakaan
 Jatuh
 Trauma

4. Manifestasi klinis
Timbulnya lesi kontusio di daerah-daerah dampak (“coup”)
“countrecoup” dan “intermediated”, menimbulkan gejala defisit neurologik,
yang bisa berupa refleks babinski yang positif dan kelumpuhan. Pada
pemeriksaan neurologik pada kontusio ringan mungkin tidak dijumpai kelainan
neurologik yang jelas kecuali kesadaran yang menurun. Pada kontusio serebri
dengan penurunan kesadaran berlangsung berjam-jam pada pemeriksaan dapat
atau tidak dijumpai defisit neurologik. Pada kontusio serebri yang berlangsung
lebih dari enam jam penurunan kesadarannya biasanya selalu dijumpai defisit
neurologis yang jelas. Gejala-gejalanya bergantung pada lokasi dan luasnya
daerah lesi. Keadaan klinis yang berat terjadi pada perdarahan besar atau
tersebar di dalam jaringan otak, sering pula disertai perdarahan subaraknoid
atau kontusio pada batang otak. Edema otak yang menyertainya tidak jarang
berat dan dapat menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial.
Tekanan intrakranial yang meninggi menimbulkan gangguan
mikrosirkulasi otak dengan akibat menghebatnya edema. Dengan demikian
timbullah lingkaran setan yang akan berakhir dengan kematian bila tidak dapat
diputus.
Pada perdarahan dan edema di daerah diensefalon pernapasan biasa
atau bersifat Cheyne Stokes, pupil mengecil, reaksi cahaya baik. Mungkin
terjadi rigiditas dekortikasi yaitu kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan
kedua lengan kaku dalam sikap fleksi pada sendi siku.
Pada gangguan di daerah mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran
menurun hingga koma, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata
diskonjugat, tidak teratur, pernapasan hiperventilasi, motorik menunjukkan
rigiditas deserebrasi dengan keempat ekstremitas kaku dalam sikap ekstensi.
Pada lesi pons bagian bawah bila nuklei vestibularis terganggu
bilateral, gerakan kompensasi bola mata pada gerakan kepala menghilang.
Pernapasan tidak teratur. Bila oblongata terganggu, pernapasan melambat tak
teratur, tersengal-sengal menjelang kematian (Harsono, 2010).
Gejala lain yang sering muncul pada contusion serebri menurut
Smeltzer and Bare (2006) yaitu :
a. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri
b. Kehilangan gerakan
c. Denyut nadi lemah
d. Pernapasan dangkal
e. Kulit dingin dan pucat
f. Sering defekasi dan berkemih tanpa disadari
g. Pasien dapat diusahakan untuk bangun/sadar tetapi segera kembali kedalam
keadaan tidak sadarkan diri
h. Tekanan darah dan suhu abnormal
Umumnya, individu yang mengalami cedera luas mengalami fungsi
motorik abnormal, gerakan mata abnormal, dan peningkatan TIK mempunyai
prognosis buruk. Sebaliknya pasien mengalami pemulihan kesadaran komplet
dan mungkin melewati tahap peka rangsang serebral.
dalam tahap peka rangsang serebral, pasien sadar tetapi sebaliknya
mudah terganggu oleh suatu bentuk stimulasi, suara, cahaya, dan bunyi-bunyian
dan menjadi hiperaktif sewaktu. Berangsur-angsur denyut nadi, pernapasan,
suhu dan fungsi tubuh lain kembali normal. Walaupun pemulihan sering terlihat
lambat. sakt kepala dan sisa vertigo dan gangguan fungsi mental atau kejang
sering terjadi sebagai akibat kerusakan serebral yang tidak dapat diperbaiki
(Smeltzer and Bare, 2006).
Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi
cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif ikut terlibat, maka rasa mual,
muntah dan gangguan pernapasan bisa terjadi.
Menurut Corwin (2000) manifestasi yang muncul pada pasien dengan
contusion cerebri adalah defisit neurologis jika mengenai daerah motorik atau
sensorik otak., secara klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak
sadar selama lebih dari 15 menit atau didapatkan adanya kelainan neurologis
akibat kerusakan jaringan otak. Pada pemerikasaan CT Scan didapatkan daerah
hiperdens di jaringan otak.

5. Pathofisologi
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di
dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata, meskipun
neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk
terjadinya lesi contusio ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga
menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang
destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena
itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade
reversible terhadap lintasan asendens retikularis difus.
Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input aferen dan karena itu,
kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung. Timbulnya lesi
contusio di daerah coup, contrecoup, dan intermediate menimbulkan gejala
deficit neurologik yang bisa berupa refleks babinsky yang positif dan
kelumpuhan. Setelah kesadaran pulih kembali, penderita biasanya
menunjukkan organic brain syndrome. Lesi akselerasi-deselerasi, gaya tidak
langsung bekerja pada kepala tetapi mengenai bagian tubuh yang lain, tetapi
kepala tetap ikut bergerak akibat adanya perbedaan densitas tulang kepala
dengan densitas yang tinggi dan jaringan otot yang densitas yang lebih rendah,
maka terjadi gaya tidak langsung maka tulang kepala akan bergerak lebih dulu
sedangkan jaringan otak dan isinya tetap berhenti, pada dasar tengkorak
terdapat tonjolan-tonjolan maka akan terjadi gesekan antara jaringan otak dan
tonjolan tulang kepala tersebut akibatnya terjadi lesi intrakranial berupa
hematom subdural, hematom intra serebral, hematom intravertikal, kontra coup
kontusio. Selain itu gaya akselerasi dan deselarasi akan menyebabkan gaya tarik
atau robekan yang menyebabkan lesi diffuse berupa komosio serebri, diffuse
axonal injuri. Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme
yang beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh
darah cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadi
rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena
pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa
timbul (Corwin, 2010)

6. Pathway (terlampir)

7. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak
lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Pemeriksaan
tambahan yang perlu dilakukan ialah foto rontgen polos, bila perlu scan
tomografik, EEG dan pungsi lumbal.
8. Penatalaksaan medik
Penatalaksaan umum
a) Observasi GCS dan tanda vital (TD, nadi, suhu, RR dann saturasi O2)
b) Head Up 30 °
c) Oksigen lembab 4-6 lpm
d) IVFD NaCl 0.9 % (30-40 cc/Kg BB/ Perhari
e) Antibiotik
f) Analgesik
g) Antagonis H2 reseptor
h) Manitol, antikonvulsan (K/P)
i) Pasang NGT dan Folley cateter
Terapi konservatif untuk penatalaksanaan peningkatan TIK :
a) Head Up 30°
b) Hiperventilasi ringan 15-30 menit
c) Manitol 20% dosis 0.2 – 2 gr/ Kg BB/kali pemberian tiap 4-6 jam

Tindakan yang diambil pada kontusio berat ditujukan untuk mencegah


meningginya tekanan intrakranial.
a. Usahakan jalan napas yang lapang dengan :
1) Membersihkan hidung dan mulut dari darah dan muntahan
2) Melonggarkan pakaian yang ketat
3) Menghisap lendir dari mulut, tenggorok dan hidung
4) Untuk amannya gigi palsu perlu dikeluarkan
5) Bila perlu pasang pipa endotrakea atau lakukan trakeotomi
6) O2 diberikan bila tidak ada hiperventilasi
b. Hentikan perdarahan
c. Bila ada fraktur pasang bidai untuk fiksasi
d. Letakkan pasien dalam posisi miring hingga bila muntah dapat bebas keluar
dan tidak mengganggu jalan napas.
e. Berikan profilaksis antibiotika bila ada luka-luka yang berat.
f. Bila ada syok, infus dipasang untuk memberikan cairan yang sesuai. Bila
tidak ada syok, pemasangan infus tidak perlu dilakukan dengan segera dan
dapat menunggu hingga keesokan harinya. Pada hari pertama pemberian
infus berikan 1,5 liter cairan perhari, dimana 0,5 liternya adalah NaCl 0,9%.
Bila digunakan glukosa pakailah yang 10% untuk mencegah edema otak
dan kemungkinan timbulnya edema pulmonum. Setelah hari keempat
jumlah cairan perlu ditambah hingga 2,5 liter per 24 jam. Bila bising
usus sudah terdengar, baik diberi makanan cair per sonde. Mula-mula
dimasukkan glukosa 10% 100 cm3 tiap 2 jam untuk menambah kekurangan
cairan yang telah masuk dengan infus. Pada hari berikutnya diberi susu dan
pada hari berikutnya lagi, makanan cair lengkap 2-3 kali perhari, 2000
kalori, kemudian infus dicabut.
g. Pada keadaan edema otak yang hebat diberikan manitol 20% dalam infus
sebanyak 250 cm3 dalam waktu 30 menit yang dapat diulang tiap 12-24 jam.
h. Furosemid intramuskuler 20 mg/24 jam, selain meningkatkan diuresis
berkhasiat mengurangi pembentukan cairan otak.
i. Untuk menghambat pembentukan edema serebri diberikan deksametason
dalam rangkaian pengobatan sebagai berikut :
a) Hari I : 10 mg intravena diikuti 5 mg tiap 4 jam
b) Hari II : 5 mg intravena tiap 6 jam
c) Hari III : 5 mg intravena tiap 8 jam
d) Hari IV-V : 5 mg intramuskular tiap 12 jam
e) Hari IV : 5 mg intramuskular
j. Pemantauan keadaan penderita selain keadaan umumnya perlu diperiksa
secara teratur PCO2 dan PO2 darah. Keadaan yang normal adalah
PCO2 sekitar 42 mmHg dan PO2 di atas 70 mmHg.
k. Pada pasien yang koma (Skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda
herniasi, lakukan tindakan berikut ini:
a) Elevasi kepala 30°
b) Hiperventilasi: intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermitten
c) Pasang kateter Folley

B. Konsep Asuhan Keperawatan Gawat Darurat


1. Pengkajian Emergency dan Kritis
a. Primer Survey
1) Circulation
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama
jantung, efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi (tekanan darah meningkat atau menurun). Tekanan pada
pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik
ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat,
merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi
jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia). Selain itu pengkajian lain yang perlu dikumpulkan adalah
adanya perdarahan atau cairan yang keluar dari mulut, hidung, telinga,
mata.
2) Airway
Napas berbunyi stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena
aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan
napas. Adanya sekret pada tracheo brokhiolus.
3) Breathing
Terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing.
4) Disability
Tingkat kesadaran, GCS, adanya nyeri.
Tingkat Kesadaran secara kualitatif :
a) Composmentis : Reaksi segera dengan orientasi sempurna, sadar
akan sekeliling, orientasi baik terhadap orang tempat dan waktu.
b) Apatis : Terlihat mengantuk saat terbangun klien terlihat acuh tidak
acuh terhadap lingkungannya.
c) Confusi : Klien tampak bingung, respon psikologis agak lambat.
d) Samnolen : Dapat dibangunkan jika rangsangan nyeri cukup kuat,
bila rangsangan hilang, klien tidur lagi.
e) Sopor : Keadaan tidak sadar menyerupai koma, respon terhadap
nyeri masih ada, biasanya inkontinensia urine, belum ada gerakan
motorik sempurna.
f) Koma : Keadaan tidak sadar, tidak berespon dengan rangsangan.
Tingkat kesadaran menurut kuantitas dengan GCS:
a) Mata (eye)
- Selalu menutup mata dengan rangsangan nyeri 1
- Membuka mata dengan rangsangan nyeri 2
- Membuka mata dengan perintah 3
- Membuka mata spontan 4
b) Motorik (M)
- Tidak berespon dengan rangsangan nyeri 1
- Eksistensi dengan rangsangan nyeri 2
- Fleksi lengan atas dengan rangsangan nyeri 3
- Fleksi siku dengan rangsangan nyeri 4
- Dapat bereaksi dengan rangsangan nyeri 5
- Bergerak sesuai perintah 6
c) Verbal (V)
- Tidak ada suara 1
- Merintih/mengerang 2
- Dapat diajak bicara tapi tidak mengerti 3
- bicara atau jawaban kacau 4
- Dapat berbicara, orientasi baik 5
5) Exposure : lokasi luka, perdarahan terbuka/hematoma pada bagian
tubuh lainnya. Suhu, peningkatan suhu tubuh dapat terjadi karena
adanya infeksi atau rangsangan terhadap hipotalamus sebagai pusat
pengatur suhu tubuh.

b. Secondary Survey
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
Tanyakan kapan cedera terjadi. Bagaimana mekanismenya. Apa
penyebab nyeri/cedera: Apakah peluru kecepatan tinggi? Objek yang
membentur kepala ? Jatuh ? Darimana arah dan kekuatan pukulan?
posisi jatuh? adakah alergi terhadap obat?
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah klien pernah mengalami kecelakaan/cedera sebelumnya, atau
kejang/ tidak. Apakah ada penyakti sistemik seperti DM, penyakit
jantung dan pernapasan. Apakah pernah mengalami gangguan sensorik
atau gangguan neurologis sebelumnya. Jika pernah kecelakaan
bagimana penyembuhannya serta bagaimana asupan nutrisi.
3) Riwayat Keluarga
Apakah ibu klien pernah mengalami preeklamsia/ eklamsia, penyakit
sistemis seperti DM, hipertensi, penyakti degeneratif lainnya.
4) Pengkajian Head To Toe
a) Pemeriksaan kepala dan leher
Adanya pembengkakan pada kepala, perdarahan, teraba
lunak/keras, adanya benjolan, luka/lesi, nyeri tekan
b) Mata
Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia. Perubahan pupil
(respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
c) Hidung : Adanya napas cuping hidung
d) Mulut : Adanya secret (hipersekresi), Gangguan nervus hipoglosus.
Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia,
disatria, sehingga kesulitan menelan.
e) Telinga : Terjadi penurunan daya pendengaran, adanya perdarahan
pada telinga (othoroe)
f) Genetalia
Pada contusio cerebri sering terjadi gangguan berupa retensi,
inkontinensia urin dan ketidakmampuan menahan miksi.
g) Pencernaan
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual,
muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan
selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses
eliminasi alvi. Hal ini menjadi dasar dalam pemberian makanan.
Terdapat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat
hiponatremia atau hipokalemia.
h) Muskuloskeletal
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan hemiparese atau
paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena
imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau
ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan
refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot
juga terjadi rigiditas dekortikasi yaitu kedua tungkai kaku dalam
sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam sikap fleksi pada sendi
siku.
i) Aspek Neurologis :
- Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas
sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak.
Kerusakan nervus I (Olfaktorius) : memperlihatkan gejala
penurunan daya penciuman dan anosmia bilateral.
- Nervus II (Optikus), pada trauma frontalis : memperlihatkan
gejala berupa penurunan gejala penglihatan.
- Nervus III (Okulomotorius), Nervus IV (Trokhlearis) dan
Nervus VI (Abducens), kerusakannya akan menyebabkan
penurunan lapang pandang, refleks cahaya ,menurun, perubahan
ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti perintah,
anisokor.
- Nervus V (Trigeminus), gangguannya ditandai ; adanya anestesi
daerah dahi.
- Nervus VII (Fasialis), pada trauma kapitis yang mengenai
neuron motorik atas unilateral dapat menurunkan fungsinya,
tidak adanya lipatan nasolabial, melemahnya penutupan kelopak
mata dan hilangnya rasa pada 2/3 bagian lidah anterior lidah.
- Nervus VIII (Akustikus), pada pasien sadar gejalanya berupa
menurunnya daya pendengaran dan kesimbangan tubuh.
- Nervus IX (Glosofaringeus), Nervus X (Vagus), dan Nervus XI
(Assesorius), gejala jarang ditemukan karena penderita akan
meninggal apabila trauma mengenai saraf tersebut. Adanya
Hiccuping (cekungan) karena kompresi pada nervus vagus, yang
menyebabkan kompresi spasmodik dan diafragma. Hal ini
terjadi karena kompresi batang otak. Cekungan yang terjadi,
biasanya yang berisiko peningkatan tekanan intrakranial.
- Nervus XII (hipoglosus), gejala yang biasa timbul, adalah
jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disfagia dan disartria. Hal ini
menyebabkan adanya kesulitan menelan.
c. Tertiery Survey
Pada pemerikasaan CT Scan didapatkan daerah hiperdens di jaringan otak.

2. Diagnosa Keperawatan Emergency dan Kritis


1) Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan edena cerebral
2) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan
produksi secret dan penurunan kemampuan batuk
3) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernapasan
4) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan hiperventilasi
3. Tujuan dan Rencana Tindakan keperawatan Emergency dan Kritis
1) Diagnosa 1: Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan
edena cerebral
Tujuan :
Setelalah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam diharapakan
perfusi jaringan otak adekuat dengan kriteria hasil :
- GCS : E4 V5 M6
- TD stabil antara 90/60 s/d 180/110 mmHg
- HR 60-100x/mnt
- RR 16-20x/mnt
- meningkatnya tingkat kesadaran, kognitif, motorik dan sensorik
- Tidak ada nyeri kepala dan pusing
- Tidak ada tanda peningkatan TIK
Intervensi :
a. Monitor Status Neurologi :
- Kaji tingkat kesadaran, GCS, pupil, sensorik dan motorik
- Monitor status orientasi terhadap waktu, tempat, orang dan situasi
- Monitor tanda peningkatan tekanan intrakranial : muntah proyektil,
nyeri kepala, penurunan kesadaran, pandangan kabur/papil edema.
- Edukasi keluarga perlunya monitoring status neurologis secara
continue
b. Tingkatkan Perfusi Cerebral :
- Atur posisi kepala elevasi 15-30 °
- Pertahankan tirah baring selama 48-72 jam
- Cegah valsava maneuver
- Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan
- Manajemen lingkungan
- Edukasi keluarga tentang pencegahan resiko jatuh
c. Monitor tanda vital
- Monitor tanda vital sesuai kebutuhan (1-2 jam sekali)
- Identifikasi perubahan tanda vital
- laporkan perubahan tanda vital
d. Kolaborasi
- Pemberian Obat-obatan : cairan intravena NaCl 0.9 % atau cairan
isotonic RL, Manitol 20% untuk mengurangi edema cerebri,
Diuretik (furosemid/lasix) untuk meningkatkan diuresis berkhasiat
mengurangi pembentukan cairan otak, Dexametason untuk
menghambat pembentukan edema serebri, analgetik dan
antikonvulsan serta antipiretik bila klien demam.
- Konsultasi dengan tim gizi atau dokter dalam pemberian nutrisi
sesuai kebutuhan

2) Diagnosa 2 : Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan


peningkatan produksi secret dan menurunnya kemampuan batuk.
Tujuan :
Setelalah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam diharapakan
bersihan jalan napas kembali efektif dengan kriteria hasil :
- Tidak sesak napas
- Suara napas bronkovesikuler
- RR dalam batas normal (16-20x/mnt)
- Dahak dapat keluar
- Batuk efektif
Intervensi
a) Manajemen jalan napas
- Kaji kepatenan jalan napas dengan melihat pengembangan dada,
merasakan hembusan napas dan dengarkan adanya suara napas
tambahan (gurgling, snoring, stridor)
- Monitor status hemodinamik dan status oksigenasi
- Kaji perlunya dilakukan suction
- Lakukan pengisapan/suction dengan prinsip 3A (aseptic, asionotik,
atraumatik)
- Auskultasi bunyi napas sebelum dan sesudah dilakuknnya suction
- Bersihakan secret dengan menganjurkan batuk efektif atau
pengisapan
- Alih baring sesuai indikasi
- Ajarkan cara mengeluarkan sputum dengan batuk efektif
- Edukasi pentingnya dilakukan suction
- Jelaskan pada pasien dan keluarga tujuan dari tindakan dan
pengobatan serta alat bantu yang digunakan (missal ventilator,
oksigen, pengisapan)
b) Kolaborasi
- Berikan nabulasi ultrasonic sesuai indikasi
- Laporkan perubahan sehubungan dengan pengkajian data (misal
bunyi napas, sputum, efek dari pengobatan)
- Lakukan pemeriksaan laboratorium sputum

3) Diagnosa 3 : Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat


pernapasan
Tujuan :
Setelalah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam diharapakan
pola napas kembali efektif dengan kriteria hasil :
- Ekspansi paru optimal dan simetris kanan kiri
- Tidak ada sesak napas
- RR dalam batas normal (16-20x/mnt)
- Irama teratur
Intervensi :
- Kaji frekwensi napas, irama, kedalaman dan kecepatan pernapasan
- Observasi adanya pola napas abnormal seperti bradipnea, takipnea dan
hiperventilasi
- Monitor hasil rongent
- Catat pergerakan dada dan penggunaan otot bantu pernapasan
- Auskultasi suara napas dan catat adanya suara napas tambahn
- Berikan pasien posisi semi fowler/fowler
- Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang indikasi pemberian oksigen
dan tujuannya
- Kolaborasi : Pemberian terapi oksigen sesuai indikasi dan obat
bronkodilator
- Monitor aliran oksigen, keefektifan terapi oksigen, dan monitor adanya
kecemasan pasien terhadap oksigen.

4) Diagnosa 4 : Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan hiperventilasi


Tujuan :
Setelalah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam diharapakan
pertukaran gas adekuat dengan kriteria hasil :
- Tidak sianosis
- Kesadaran komposmentis
- Hasil AGD dalam batas normal
- RR normal (16-20x/mnt)
- Tidak ada nyeri kepala, pusing maupun malaise

Intervensi
a) Manajemen asam basa
- Kaji frekuensi, kedalaman dan kemudahan pernapasan
- Pertahankan kepatenan jalan napas dan terapi IV
- Monitor status hemodinamik (Tanda vital dan saturasi O2 secara
continue) dan tingkat kesadaran
- Monitor gambaran seri AGD dan elektroklit
- Observasi warna kulit, membran mukosa, kuku dan adanya dispnea
- Auskultasi bunyi napas abnormal, suara napas tambahan dan adanya
sianosis perifer
- Catat adanya cianosis perifer
- Berikan posisi yang nyaman untuk memaksimalkan potensial
ventilasi
- Berikan posisi semi fowler atau posisi yang mengurangi dispnea
- Jelaskan pada pasien dan keluarga tujuan dari tindakan dan
pengobatan serta alat bantu yang digunakan (missal ventilator,
oksigen, pengisapan)
b) Kolaborasi
- Berikan oksigen yang dilembabkan sesuai indikasi
- Berikan bronkodilator sesuai dengan keperluan
- Pasang ventilasi mekanik bila diperlukan
- Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan akan pemeriksaan
gas darah srteri dan penggunaan alat bantu yang dianjurkan sesuai
dengan adanya perubahan kondisi pasien
- Laporkan perubahan sehubungan dengan pengkajian data (misal
bunyi napas, pola napas, analisa gas darah arteri, sputum, efek dari
pengobatan)
Daftar Pustaka

Corwin. (2010). Hand Book Of Pathofisiologi. EGC : Jakarta

Doenges,M.E & Geissler, A.C., (2006). Rencana Asuhan Keperawatan untuk


perencanaan dan pendokumentasian perawatan Pasien, Edisi-3, Alih bahasa;
Kariasa,I.M., Sumarwati,N.M. EGC: Jakarta

Harsono. (2010). Kapita Selekta Neurologi. Gadjah Mada University Press :


Yogyakarta

Herdman, T. Heater. (2012). NANDA International Diagnosis keperawatan definisi


dan klasifikasi 2012-2014. EGC : Jakarta.

http://kamuskesehatan.com/arti/kontusio-serebri/di unduh tgl 23 Oktober 2013.

Mansjoer, A. (2002). Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius FK-UI : Jakarta

Mardjono M., Sidharta P., Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2000

Smeltzer, S. C & Bare, G. B. (2006) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
and Suddart, Edisi 8. Vol 3 EGC, Jakarta.

Wilkinson, Judith, 2007, Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC
dan Kriteria Hasil NOC. EGC : Jakarta.
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


PADA KLIEN DENGAN CONTUSIO CEREBRI

Disusun Oleh :
RIDA NURHAYANTI
(070112b026)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


STIKES NGUDI WALUYO
UNGARAN
2013

Anda mungkin juga menyukai