1. Definisi
Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai
perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin,
2008).
Cedera Kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon
terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (Smeltzer, 2000 : 2210).
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak, atau
otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi
dan Rita juliani, 2001).
Cedera Kepala sedang adalah suatu trauma yang menyebabkan Kehilangan kesadaran dan
amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam dapat mengalami fraktur tengkorak dengan
GCS 9-12.
2. Etiologi
a. Trauma tumpul
b. Trauma tembus
(Mansjoer, 2000:3)
adanya kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari trauma. Dapat terjadi
memar otak dan laserasi
kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia metabolisme, fisiologi yang timbul setelah
trauma.
3. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi
yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak
mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar
metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan
glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa
plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses
metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat,
hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob.
Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 60 ml / menit / 100 gr. jaringan
otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan
tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi . Pengaruh persarafan
simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
Kontosio : di tandai oleh adanya perlukaan pada permukaan jaringan otak yang
menyebabkan perdarahan pada area yang terluka, perlukaan pada permukaan jaringan
otak ini dapat terjadi pada sisi yang terkena ( coup) atau pada permukaan sisi yang
berlawanan (contra coup).
Laserasi : ditandai oleh adanya perdarahan ke ruang subaraknoid, ruang epidural atau
subdural.Perdarahan yang berasal dari vena menyebabkan lambatnya pembentukan
hematome, karena rendahnya tekanan. Laserasi arterial ditandai oleh pembentukan
hematome yang cepat karena tingginya tekanan.
c. Hematom epidural.
Penurunan kesadaran ringan saat kejadian periode Lucid (beberapa menit beberapa jam)
- penurunan kesadaran hebat koma, deserebrasi, dekortisasi, pupil an isokor, nyeri kepala
hebat, reflek patologik positip.
d. Hematom subdural.
Perdarahan antara duramater dan arachnoid.
Akut :
Gejala 24 48 jam.
PTIK meningkat.
Sub Akut :
Kronis :
e. Hematom intrakranial.
Sistem pernapasan
Sistem kardiovaskuler.
Sistem Metabolisme.
5. Pemeriksaan Penunjang
b. Aniografi Cerebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema,
perdarahan, trauma
c. X-Ray
Mengidentifikasi atau mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/ edema)
Mendeteksi ventilasi atau masalah pernapsan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan intrakranial
e. Elektrolit
6. Penatalaksanaan Medis
Konservatif:
Bedrest total
Pemberian obat-obatan
Obat-obatan :
Pengobatan anti edema dnegan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau glukosa 40 %
atau gliserol 10 %.
Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidasol.
Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-
apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan), 2 3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-
3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam
kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah
makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500 3000 TKTP). Pemberian protein
tergantung nilai ure nitrogen
Pembedahan.
7. Jomplikasi
b. Edema Cerebral : Terutama besarnya massa jaringan di otak di dalam rongga tulang tengkorak
yang merupakan ruang tertutup.
d. infeksi
e. hidrosefalus
8. Prognosis
Tingkat kecelakaan di jalan raya di dunia berdasarkan laporan WHO mencapai 1, 2 juta korban
meninggal dan lebih dari 30 juta korban luka-luka/cacat akibat kecelakaan lalu lintas per tahun
(2.739 jiwa dan luka-luka 63.013 jiwa per hari)
Cedera kepala bertanggung jawab atas separuh kematian karena cedera. Ditemukan pada 75%
korban tewas karena kecelakaan lalu-lintas, untuk setiap kematian terdapat dua kasus dengan
cacat tetap, biasanya sekunder terhadap cedera kepala
1. Pengkajian
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesalahan, letargi, hemisparase, quadriplegia, ataksia cara berjalan tak tegap,
masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot, otot spastik.
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (Hipertensi), perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia, distritmia).
c. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, Delirium, Agitasi, bingung, depresi dan impulsif.
d. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi.
e. Makanan/Cairan
Gejala : Mual/muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, dispagia),
berkeringat, penurunan berat badan, penurunan massa otot/lemak subkutan.
f. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, Amnesia seputar kejadian, Vertigo, Sinkope, tinnitus,
kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstrimitas, perubahan pola dalam penglihatan
seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia, gangguan
pengecapan dan penciuman
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental, perubahan pupil
(respon terhadap cahaya simetris/deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti).
Kehilangan pengindraan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris,
genggaman lemah, tidak seimbang, reflex tendon dalam tidak ada atau lemah, apraksia,
quadriplegia, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian
tubuh.
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak
dapat beristirahat, merintih.
h. Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas (apnoe yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi stridor,
tersedak, ronkhi, mengi positif. (kemungkinan adanya aspirasi).
i. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan.
Kulit : laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti raccoon eye tanda battle disekitar telinga
(merupakan tanda adanya trauma), adanya aliran (drainage) dari telinga/hudung (CSS), gangguan
kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami pralisis,
demam dan gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
j. Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, berbicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria.
k. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Penggunaan alkohol atau obat lain.
Rencana pemulangan : membutuhkan bantuan pada perawatan diri, ambulasi, transportasi,
menyiapkan makan, belanja, perawatan, pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata
ruang, dan pemanfaatan fasilitas lainnya di rumah sakit.
2. Diagnosis Keperawatan
a. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.
e. Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya
sirkulasi perifer.
3. Intervensi Keperawatan
Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.
Tujuan :
Kriteria evaluasi :
Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda hipoksia tidak ada
dan gas darah dalam batas-batas normal.
Rencana tindakan :
Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. pernapasan yang cepat dari pasien dapat
menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat meningkatkan tekanan Pa Co2
dan menyebabkan asidosis respiratorik.
Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam pemberian tidal
volume.
Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih panjang dari
inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi terperangkapnya udara terhadap
gangguan pertukaran gas.
Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat mengeringkan sekresi /
cairan paru sehingga menjadi kental dan meningkatkan resiko infeksi.
Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak
adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat.
Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu membarikan ventilasi yang
adekuat bila ada gangguan pada ventilator.
Tujuan :
Kriteria Evaluasi :
Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi alarm karena peninggian
suara mesin, sianosis tidak ada.
Rencana tindakan :
1. Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi dapat disebabkan
pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah terhadap tube.
2. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan yang simetris dan
suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya
penumpukan sputum.
3. Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum banyak.
Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah hipoksia.
4. Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian paru
dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum.
Tujuan :
Kriteria hasil :
Rencana tindakan :
Respon motorik menentukan kemampuan berespon terhadap stimulus eksternal dan indikasi
keadaan kesadaran yang baik.
Reaksi pupil digerakan oleh saraf kranial oculus motorius dan untuk menentukan refleks batang
otak.
Pergerakan mata membantu menentukan area cedera dan tanda awal peningkatan tekanan
intracranial adalah terganggunya abduksi mata.
Peningkatan sistolik dan penurunan diastolik serta penurunan tingkat kesadaran dan tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Adanya pernapasan yang irreguler indikasi terhadap adanya
peningkatan metabolisme sebagai reaksi terhadap infeksi. Untuk mengetahui tanda-tanda
keadaan syok akibat perdarahan.
Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan
menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
4) Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan pengukuran urin dan
hindari konstipasi yang berkepanjangan.
Kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat meningkatkan tekanan intrakrania.
Membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi / kimia seperti osmotik diuritik
untuk menarik air dari sel-sel otak sehingga dapat menurunkan udem otak, steroid
(dexametason) untuk menurunkan inflamasi, menurunkan edema jaringan. Obat anti kejang
untuk menurunkan kejang, analgetik untuk menurunkan rasa nyeri efek negatif dari peningkatan
tekanan intrakranial. Antipiretik untuk menurunkan panas yang dapat meningkatkan pemakaian
oksigen otak.
Tujuan :
Kriteria hasil :
Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan,
oksigen adekuat.
Rencana Tindakan :
Penjelasan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama yang dilakukan pada
pasien dengan kesadaran penuh atau menurun.
Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan mata dan kuku, mulut,
telinga, merupakan kebutuhan dasar akan kenyamanan yang harus dijaga oleh perawat untuk
meningkatkan rasa nyaman, mencegah infeksi dan keindahan.
Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi untuk menjaga
kelangsungan perolehan energi. Diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien baik jumlah, kalori,
dan waktu.
4) Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga lingkungan yang aman
dan bersih.
Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk menjaga hubungan klien keluarga. Penjelasan perlu
agar keluarga dapat memahami peraturan yang ada di ruangan.
Tujuan :
Kriteri evaluasi :
Rencana tindakan :
2. Beri penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan yang akan dilakukan pada pasien.
Semangat keagamaan dapat mengurangi rasa cemas dan meningkatkan keimanan dan
ketabahan dalam menghadapi krisis.
Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya
sirkulasi perifer.
Tujuan :
Rencana tindakan :
1. Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk menetapkan
kemungkinan terjadinya lecet pada kulit.
2. Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.
3. Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk daerah yang
menonjol.
6. Massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali.
8. Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8 jam.
9. Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 8 jam dengan
menggunakan H2O2.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ).
Philadelpia, F.A. Davis Company.
Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process
Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.
A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap
kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Grace, 2007 hal 91). Sementara
menurut Fransisca (2008. Hal 96) menyatakan bahwa trauma atau cedera kepala adalah di kenal
sebagai cedera otak gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun
trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh
2. Etiologi
Cedera kepala dapat dibagi atas beberapa penyebab, menurut Krisanty (2009. Hal: 63).
a. Trauma tumpul : kekuatan benturan akan menyebabkan kerusakan yang menyebar. Berat
ringannya yang terjadi cedera yang terjadi tergantung pada proses akselerasi-deselerasi, kekatan
benturan dan kekuatan rotasi internal. Rotasi internal dapat menyebabkan perpindahan cairan dan
perdarahan petekie karena pada saat otak bergeser akan terjadi pergeseran antara permukaan otak
dengan tonjolan-tonjolan yang terdapat di permukaan dalam tengkoraklaserasi jaringan otak
tengkorak. Kerusakan tergantung pada kecepatan gerak (velocity ) benda tajam tersebut
menancap ke kepala atau otak. Kerusakam terjadi hanya pada area dimana benda tersebut
merobek otak ( lokal ). Objek dengan velocity tinggi (peluru) menyebabkan kerusakan struktur
pada cedera contracoup kerusakan terjadi pada sisi yang berlawanan dengan cedera coup.
3. Klasifikasi
Menurut Dewanto (2009. Hal 12), Cedera kepala dapat dibagi kedalam 3 kelompok
berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam tengkorak dan mengenai dinding yang
tulang dalam tengkorak (misalnya pada sayap dari tulang steroid). Rotasi yang hebat juga
menyebabkan trauma robekan di dalam substansi putih otak dan batang otak, menyebabkan
merupakan masalah akibat disrupsi tengkorak yang secara otomatis menekan otak. Derajat
cedera otak primer secara langsung berhubungan dengan jumlah kekuatan yang mengenai
kepala. Kerusakan sekunder terjadi akibat komplikasi sistem pernapasan (hipoksia, hiperkarbia,
obstruksi jalan napas), syok hipovolemik (cedera kepala tidak menyebabkan syok hipovolemik-
lihat penyebab lain), perdarahan intra cranial, edema serebral, epilepsy, infeksi dan hidrosefalus.
5. Manifestasi Klinis
Menurut Corwin (2009. Hal 246) manifestasi klinis pada pasien dengan cedera kepala ialah
sebagai berikut :
a. Pada geger otak, kesadaran sering kali menurun.
b. Pola napas dapat menjadi abnormal secara progresif.
c. Respons pupil mungkin tidak ada atau secara progresif mengalami deteriorasi.
d. Sakit kepala dapat terjadi dengan segera atau terjadi bersama penignkatan tekanan intrakranial.
e. Muntah dapat terjadi akibat peningkatan tekanan intrakranial.
f. Perubahan prilaku, kognitif, dan fisik pada gerakan motorik dan berbicara dapat terjadi dengan
segera atau lambat, amnesia yang berhubungan dengan kejadian ini biasa terjadi.
6. Pemeriksaan penunjang
Dewanto (2009. Hal 16) menyatakan memerlukan beberapa pemeriksaan penunjang
untuk menegakkan diagnosa pada pasien dengan trauma atau cedera kepala, adapun pemeriksaan
dalam mendeteksi perdarahan intrakranial . pada era CT scan, foto polos kepala mulai
ditinggalkan
b. CT scan kepala: CT scan kepala merupakan standar baku untuk mendeteksi perdarahan
intracranial. Semua pasien dengan GCS < 15 sebaiknya menjalani pemeriksaan CT scan,
sedangkan pada pasien dengan GCS 15, CT scan dilakukan hanya dengan indikasi tertentu.
c. MRI kepala: MRI adalah teknik pencitraan yang lebih snsitif dibandingkan dengan CT scan,
kelaianan yang tidak tampak pada CT scan dapat dilihata oleh MRI. Namun, dibutuhkan waktu
pemeriksaan lebih lama dibandingkan dengan CT scan sehingga tidak sesuai dalam situasi gawat
darurat.
d. Positron emission tomography (PET) dan single photon emission computer tomography
(SPECT) mungkin dapat memperlihatkan abnormalitas pada fase akut dan kronis meskipun CT
scan atau MRI dan pemeriksaan neurologis tidak memperlihatkan kerusakan. Namun, spesifitas
penemuan abnormalitas tersebut PET atau SPECT pada fase awal kasus CKR masih belum
hematoma.
c. Mungkin diperlukan debridement melalui pembedahan (pengeluaran benda asing dan sel yang
diperlukan.
e. Mungkin dibutuhkan ventilasi mekanis.
f. Antibiotik diperlukan untuk cedera kepala terbuka guna mencegah infeksi.
g. Metode untuk menurunkan tekanan intracranial dapat mencakup pemberian diuretik dan obat
anti-inflamasi.
8. Komplikasi
Perdarah didalam otak, yang disebut hematoma intraserebal, dapat menyertai cedera kepala
tertutup yang berat, atau lebih sering, cedera kepala terbuka. Pada perdarahan diotak, tekanan
intracranial meningkat, dan sel neuron dan vascular tertekan. Ini adalah jenis cedera otak
sekunder. Pada hematoma, kesadaran dapat menurun dengan segera, atau dapat menurun
setelahnya ketika hematoma meluas dan edema interstisial memburuk. Perubahan prilaku yang
tidak kentara dan defisit kognitif dapat terjadi dan tetap ada (Corwin 2009. Hal 246).
B. Asuhan Keperawatan.
Asuhan keperawatan pada klien dengan Cedera Kepala dilaksanakan melalui pendekatan
proses perawatan terdiri dari : pengkajian, diagnosa, perencanaan, tindakan, dan evaluasi
masalah dalam kesimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot, otot palstik.
b. Sirkulasi
Gejala : perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung
beristirahat, merintih
h. Pernafasan
Tanda ; perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperpentilasi), ronki, mengi positif
2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah, edema
serebral
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler
c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan transmisi dan atau integrasi (trauma atau defisit
neurologis).
d. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologi, konflik psikologi.
e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan atau ketahanan.
f. Resiko tinggi infeksi berhunbungan dengan adanya jaringan trauma.
g. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk
serebral
Tujuan : Mempertahankan tingkat kesadaran/perbaikan kognitif dan fungsi motorik/sensori.
Kriteria Hasil : Mendemonstrasikan tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan
lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP dan menentukan tingkat kesadaran.
Intervensi : Pantau Tekanan Darah. Rasional : Peningkatan tekanan darah sistematik yang
diikuti oleh penurunan tingkat kesadaran. Hipovolemia / Hipertensi, dapat juga mengakibat kan
lapang pandang menyempit dan kedalaman persepsi. Rasional : Gangguan penglihatan yang
dapat diakibatkan oleh kerusakan mikroskopik pada otot, mempunyai konsekuensi terhadap
menemukan lokasi area otak yang terlibat. Tanda awal dari peningkatan TIK adalah kegagalan
dalam abduksi pada mata, mengindikasikan penekanan/trauma pada saraf Cranial V. hilangnya
dolls eye mengindikasikan adanya penurunan pada fungsi batang otak dan prognosisnya jelek.
Intervensi : Catat ada/tidaknya refleks-refleks tertentu seperti refleks menelan, batuk dan
babinski, dsb. Rasional : Penurunan refleks menandakan adanya kerusakan pada tingkat otak
tengah atau batang otak dan sangat berpengaruh langsung terhadap keamanan pasien.
Intervensi : Pantau suhu tubuh. Berikan kompres hangat saat demam timbul. Rasional : Demam
oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil) yang selanjutnya akan meningkatkan TIK.
Intervensi : Pantau pemasukan dan pengeluaran. Rasional : Bermanfaat sebagai indikator dari
gulungan handuk kecil atau bantal kecil. Rasional : Kepala miring pada salah satu sisi menekan
vena jugularis dan menghambat aliran darah vena yang selanjutnya akan meningkatkan TIK.
Intervensi : Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi. Rasional : Menurunkan hipoksemia.
Intervensi : Berikan obat sesuai dengan indikasi diuretic, contohnya manitol, Furosemid.
Antikonvulsan, contohnya feniton. Rasional : Diuretik menurunkan edema otak dan TIK.
yang terjadi menunjukkan adanya komplikasi pulmonal dan luasnya bagian otak yang terkena.
Intervensi : Atur posisi semi fowler. Rasional : Supaya ekspansi paru tidak terganggu.
Intervensi : Ajarkan pasien untuk melakukan nafas dalam yang efektif jika pasien sadar.
dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh. Perhatikan adanya masalah penglihatan atau
perhatian/pemahaman selama fase akut dan penyembuhan tindakan ini dapat membantu pasien
penciuman (seperti pada kopi atau minyak tertentu), taktil (sentuhan, memegang tangan pasien),
dan pendengaran (dengan tape, radio, televisi). Rasional : Bermanfaat untuk menstimulasi
menyebabkan dan merupakan potensi terhadap terjadinya ansietas yang mempengaruhi proses
pikir pasien.
Intervensi : Kurangi stimulus yang merangsang, kritik yang negatif, argumentasi dan
Perhatian dan dukungan yang diberikan pada individu akan meningkatkan harga diri dan
emosi akan meningkat secara perlahan namun beberapa pengaruhnya mungkin tetap ada selama
beberapa bulan atau bahkan bisa menetap/permanen. Rasional : kebanyakan pasien dengan
aktivitas
Intervensi : Kaji tingkat kemampuan mobilisasi. Rasional : Untuk menentukan tingkat aktivitas
mobilisasi dan fungsi sendi/posisi normal ekstremitas dan menurunkan terjadinya vena yang
statis.
Intervensi : Tingkat aktivitas dan partisipasi dalam merawat diri sendiri sesuai kemampuan.
Rasional : Keterlibatan pasien dalam perencanaan dan kegiatan sangat penting untuk
penyebab infeksi.
Intervensi : Berikan antibiotik sesuai indikasi. Rasional : Antibiotik untuk
rentang normal.
Intervensi : Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sekresi.
Rasional : Menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien harus terlindung dari
aspirasi.
Intervensi : Timbang berat badan sesuai indikasi. Rasional : Mengevaluasi keefektifan atau
tempat tidur selama pasien makan atau selama pemberian makanan lewat selang NGT.
pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan
dengan makanan lunak dan carian yang kental. Rasional : Pemilihan rute pemberian tergantung
Memungkinkan untuk menyampaikan bahan yang didasarkan atas kebutuhan secara individual.
Intervensi : Berikan kembali informasi yang berhubungan dengan proses trauma dan pengaruh
sesudahnya. Rasional : Membantu dalam menciptakan harapan yang realistis dan meningkatkan
Berbagai tingkat bantuan mungkin perlu direncanakan yang didasarkan atas kebutuhan yang
bersifat individual.
4. Implementasi
Menurut Carpenito (2009, hal 57) komponen implementasi dalam proses keperawatan
berfokus pada: Melakukan aktivitas untuk klien atau membantu klien. Melakukan pengkajian
keperawatan untuk mengidentifikasi masalah baru atau memantau status masalah yang telah ada.
Memberi pendidikan kesehatan untuk membantu klien mendapatkan pengetahuan yang baru
tentang layanan kesehatannya sendiri. Berkonsultasi dan membuat rujukan pada profesi
kesehatan lainnya untuk mendapatkan pengarahan yang tepat. Memberi tindakan yang spesifik
melakukan aktivitasnya sendiri. Membantu klien mengidentifikasi risiko atau masalah dan
yang merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati
dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara
bersinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Jika hasil evaluasi
menunjukkan tercapainya tujuan dan criteria hasil, klien bisa keluar dari siklus proses
keperawatan. Jika sebalinya, kajian ulang (reassessment). Secara umum, evaluasi ditunjukkan
untuk :Melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan. Menetukan apakah tujuan
keperawatan telah tercapai atau belum. Mengkaji penyebab jika tujuan asuhan keperawatab
belum tercapai
A. PENGERTIAN
Cidera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya trauma
pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma
yang terjadi (sylvia anderson Price, 1985)
Disebut cedera kepala sedang bila GCS 9-12, kehilangan kesadaran atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam bahkan sampai berhari-hari. Resiko utama pasien yang
mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau
pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan
peningkatan TIK.
B. PATOFISIOLOGI
Karena bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala berdarah
bila mengalami cedera dalam. Kulit kepala juga merupakan tempat masuknya
infeksi intrakranial. Trauma dapat menimbulkan abrasi, kontisio, laserasi atau avulsi.
Fraktur tengkorak
Cidera otak
Komosio
Kontusio
Hemoragi cranial
2. hematoma subdural
- Gangguan kesadaran
- Konfusi
- Perubahan TTV
- Gangguan penglihatan
- Disfungsi sensorik
- lemah otak
D. TANDA DAN GEJALA
Pola pernafasan
Pusat pernafasan diciderai oleh peningkatan TIK dan hipoksia, trauma langsung
atau interupsi aliran darah. Pola pernafasan dapat berupa hipoventilasi alveolar,
dangkal.
Ketidakseimbangan hidrasi
Aktifitas menelan
Reflek melan dari batang otak mungkin hiperaktif atau menurun sampai hilang
sama sekali
Kerusakan komunikasi
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
CT Scan
Ventrikulografi udara
Angiogram
Ultrasonografi
F. PENATALAKSANAAN
2. Circulation
G. PENGKAJIAN PRIMER
a. Airway
Kaji adanya obstruksi jalan antara lain suara stridor, gelisah karena hipoksia,
penggunaan otot bantu pernafasan, sianosis
b. Breathing
Inspeksi frekuensi nafas, apakah terjadi sianosis karena luka tembus dada, fail
chest, gerakan otot pernafasan tambahan. Kaji adanya suara nafas tambahan
seperti ronchi, wheezing.
c. Sirkulasi
d. Disability
H. PENGKAJIAN SKUNDER
- Kepala
Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar dan membrana
timpani, cedera jaringan lunak periorbital
- Leher
- Neurologis
- Dada
Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan jantung, pemantauan
EKG
- Abdomen
Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma tumpul abdomen
Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma, memar dan cedera
yang lain
1. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral, edema
serebral
2. Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada pusat
pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif)
4. Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekresi, obstruksi jalan nafas
8. Gangguan eliminasi urin b.d kehilangan control volunteer pada kandung kemih
J. RENCANA KEPERAWATAN
Intervensi :
- Letakkan kepala dengan posisi 15-45 derajat lebih tinggi untuk mencegah
peningkatan TIK
2. Diagnosa : Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada
pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif)
Intervensi :
- Kaji pernafasan (irama, frekuensi, kedalaman) catat adanya otot bantu nafas
- Tinggikan bagian kepala tempat tidur dan bantu perubahan posisi secara berkala
- Lakukan pengisapan lendir, lama pengisapan tidak lebih dari 10-15 detik
- Auskultasi bunyi paru, catat adanya bagian yang hipoventilasi dan bunyi
tambahan(ronchi, wheezing)
- Kolaburasi : awasi seri GDA, berikan oksigen tambahan melalui kanula/ masker
sesuai dengan indikasi
3. Diagnosa : kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer terhadap otot
pernafasan
intervensi :
4. Diagnosa : Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekret, obstruksi jalan nafas
intervensi :
- Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misal krekels, mengi, ronchi
- Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat warna lendir yang keluar
tujuan : tidak terjadi cedera pada pasien selama kejang, agitasi atu postur refleksif
intervensi :
- Pantau adanya kejang pada tangan, kaki, mulut atau wajah
- Jika terjadi kejang, jangan mengikat kaki dan tangan tetapi berilah bantalan pada
area sekitarnya. Pertahankan jalan nafas paten tapi jangan memaksa membuka
rahang
Intervensi :
- Pasang pipa lambung sesuai indikasi, periksa posisi pipa lambung setiap akan
memberikan makanan
- Kolaburasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet yang sesuai dengan kondisi
pasien
7. Diagnosa : Gangguan eliminasi urin b.d hilangnya control volunter pada kandung
kemih
intervensi :
KONSEP DASAR
HEAD INJURY
A. Pengertian
Cedera kepala (Head Injury) adalah jejas atau trauma yang terjadi pada kepala
yang dikarenakan suatu sebab secara mekanik maupun non-mekanik.
Cedera kepala adalah penyakit neurologis yang paling sering terjadi diantara
penyakit neurologis lainnya yang biasa disebabkan oleh kecelakaan, meliputi: otak,
tengkorak ataupun kulit kepala saja. (Brunner & Suddart, 1987: 2210).
Jadi, cedera kepala (head Injury) atau trauma atau jejas yang terjadi pada
kepala bisa oleh mekanik ataupun non-mekanik yang meliputi kulit kepala, otak
ataupun tengkorak saja dan merupakan penyakit neurologis yang paling sering
terjadi, biasanya dikarenakan oleh kecelakaan (lalu lintas). atau Ada berbagai
klasifikasi yang di pakai dalam penentuan derajat kepala.
The Traumatic Coma Data Bank mendefinisakan berdasarkan skor Skala Koma
Glasgow (cited in Mansjoer, dkk, 2000: 4):
Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)
Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan orientatif)
Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)
Tidak ada intoksikasi alkohaolatau obat terlarang
Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit kepala
Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.
Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)
Konkusi, Amnesia pasca trauma, Muntah
Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata rabun, hemotimpanum,
otorhea atau rinorhea cairan serebrospinal).
Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)
Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)
Penurunan derajat kesadaran secara progresif
Tanda neurologis fokal
Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.
B. Patofisiologi
Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis
bergantung pada :
1. Besar dan kekuatan benturan
2. Arah dan tempat benturan
3. Sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturan
Sehubungan dengan pelbagai aspek benturan tersebut maka dapat mengakibatkan
lesi otak berupa :
1. Lesi bentur (Coup)
2. Lesi antara (akibat pergeseran tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan
otak, peregangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-lain = lesi media)
3. Lesi kontra (counter coup)
Lesi benturan otak menimbulkan beberapa kejadian berupa :
1. Gangguan neurotransmitter sehingga terjadi blok depolarisasi pada sistem ARAS
(Ascending Reticular Activating System yang bermula dari brain stem)
2. Retensi cairan dan elektrolit pada hari pertama kejadian
3. Peninggian tekanan intra kranial ( + edema serebri)
4. Perdarahan petechiae parenchym ataupun perdarahan besar
5. Kerusakan otak primer berupa cedera pada akson yang bisa merupakan
peregangan ataupun sampai robeknya akson di substansia alba yang bisa meluas
secara difus ke hemisfer sampai ke batang otak
6. Kerusakan otak sekunder akibat proses desak ruang yang meninggi dan komplikasi
sistemik hipotensi, hipoksemia dan asidosis
C. Etiologi
1. Akselerasi, ketika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam.
Contoh : akibat pukulan lemparan.
2. Deselerasi. Contoh : kepala membentur aspal.
3. Deformitas. Dihubungkan dengan perubahan bentuk atau gangguan integritas
bagan tubuh yang dipengaruhi oleh kekuatan pada tengkorak.
D. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala cedera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama
( Hoffman, dkk, 1996):
E. Pemeriksaan Diagnostik
1. CT Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran ventrikel
pergeseran cairan otak.
2. MRI : sama dengan CT Scan dengan atau tanpa kontraks.
3. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
4. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.
5. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur
dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).
6. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang otak..
7. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada otak.
8. Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid.
9. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam
peningkatan TIK.
10. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
yang akan dapat meningkatkan TIK.
11. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran.
12. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif untuk mengatasi kejang.
F. Komplikasi
1. Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus
frontal atau dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.
2. Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini,
minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).
3. Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis
meyulitkan penghentian sekresi hormone antidiupetik.
G. Penatalaksaan Medik
Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah
terjadinya cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor
sistemik seperti hipotesis atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan otak
(Tunner, 2000). Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada
pendertia cedera kepala (Turner, 2000).
Penatalaksanaan umum adalah sebagai berikut :
Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi.
Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma.
Berikan oksigenasi.
Awasi tekanan darah
Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neuregenik
Atasi shock
Awasi kemungkinan munculnya kejang.
Penatalaksanaan lainnya:
Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma.
Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi.
Pemberian analgetika
Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa
40 % atau gliserol 10 %
Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).
Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5% , aminofusin, aminofel (18 jam
pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikana makanan lunak.
Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan.
Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa
5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan
diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp). Pemberian protein tergantung nilai urea N.
Tindakan terhadap peningktatan TIK:
Pemantauan TIK dengan ketat, Oksigenisasi adekuat, Pemberian manitol,
Penggunaan steroid, Peningkatan kepala tempat tidur, Bedah neuro.
Tindakan pendukung lain:
Dukungan ventilasi, Pencegahan kejang, Pemeliharaan cairan, elektrolit dan
keseimbangan nutrisi, Terapi anti konvulsan, Klorpromazin untuk menenangkan
pasien.
Pemasangan selang nasogastrik.
H. Pengkajian Keperawatan
Data tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera dan mungkin diperlukan
oleh cedera tambahan pada organ-organ vital.
Aktivitas/ Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesehatan, letargi, Hemiparase, quadrepelgia, Ataksia cara
berjalan tak tegap, Masalah dalam keseimbangan, Cedera (trauma) ortopedi,
Kehilangan tonus otot, otot spastik
Sirkulasi
Gejala : Perubahan darah atau normal (hipertensi), Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi bradikardia disritmia).
Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung depresi dan impulsif.
Eliminasi
Gejala : Inkontenensia kandung kemih/ usus atau mengalami gngguan fungsi.
Makanan/ cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : Muntah (mungkin proyektil), Gangguan menelan (batuk, air liur keluar,
disfagia).
Neurosensoris
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope, tinitus kehilangan pendengaran, fingking, baal pada ekstremitas.
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, Perubahan status mental,
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), Wajah tidak simetris,
Genggaman lemah, tidak seimbang, Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah,
Apraksia, hemiparese, Quadreplegia.
Nyeri/ Kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya koma.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangangan nyeri yang hebat,
gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
Pernapasan
Tanda : Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Nafas
berbunyi stridor, terdesak, Ronki, mengi positif
Keamanan
Gejala : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/ dislokasi, Gangguan penglihatan, Gangguan kognitif, Gangguan
rentang gerak, tonus otot hilang, kekutan secara umum mengalami paralisis,
Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh
Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang.
I. Diagnosa Keperawatan
1. Perfusi jaringan serebral tidak efektif b/d interupsi aliran darah
2. Resiko terhadap ketidakefektifan pola nafas b/d kerusakan neurovaskuler,
kerusakan persepsi atau kognitif, obstruksi trakeo bronkial
3. Perubahan persepsi sensori b/d perubahan resepsi sensori, transmisi.
4. Perubahan proses pikir b/d perubahan fisiologis, konflik psikologis.
5. Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan
kekuatan.
6. Resiko infeksi b/d jaringan trauma, penurunan kerja silia, kekurangan nutrisi,
respon inflamasi tertekan.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander (1995). Care of the patient in Surgery. (10 th ed.), St Louis ; Mosby. P : 855
930.
Doenges, Moorehouse & Geisser (1993). Nursing Care Plans ; Guidelines for planning
and dokumenting patient care. (3rd ed) philadelphia ; F.A.Davis Company. p : 271
290.
Lemone & burke. (1996). Medical-Surgical Nursing ; critical thinking in client care.
California : Addison-Wesley. p : 1720 - 1728
Lewis, Heitkemper & Dirkssen (2000). Medical Surgical Mursing ; Assessment and
management ofg clinical problems. St.louis : Mosby. P : 1720 171624 1630.
http://adhylsidrap.blogspot.com/2012/11/asuhan-keperawatan-head-injury-trauma.html
Diakses tanggal 17 Februari 2015
LAPORAN PENDAHULUAN
1. KASUS
1) Definisi :
1) Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala
yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak. (Pierce Agrace & Neil R. Borlei, 2006 hal 91)
2) Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi normal otak
karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena
robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa karena hemoragik, serta edema serebral
perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak(Arif
yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala, (Suriadi &
Yuliani 2001),
5) Sedangkan menurut Black & Jacobs, (1993) cedera kepala adalah trauma pada otak yang
diakibatkan kekuatan fisik eksternal yang menyebabkan gangguan kesadaran tanpa terputusnya
kontinuitas otak.
KLASIFIKASI
Beratnya cedera kepala saat ini didefinisikan oleh The Traumatik Coma Data Bank
berdasarkan Skore Scala Coma Glascow (GCS). Penggunaan istilah cedera kepala ringan, sedang
dan berat berhubungan dari pengkajian parameter dalam menetukan terapi dan perawatan.
Nilai GCS 13-15 yang dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia akan tetapi kurang dari
30 menit. Tidak terdapat fraktur tengkorak serta tidak ada kontusio serebral dan hematoma.
Nilai GCS 3-8 yang diikuti dengan kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam meliputi
Membuka Mata
Spontan 4
Terhadap nyeri 1
Tidak ada
Respon Verbal
Orientasi baik 5
orientasi terganggu 4
Mampu bergerak 6
Melokalisasi nyeri 5
Fleksi menarik 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
2) Etiologi/penyebab
Cedera kepala disebabkan oleh :
1) Kecelakaan lalu lintas
2) Jatuh
3) Trauma benda tumpul
4) Kecelakaan kerja
5) Kecelakaan rumah tangga
6) Kecelakaan olahraga
7) Trauma tembak dan pecahan bom (Ginsberg, 2007)
3) Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang muncul pada klien dengan cedera kepala yaitu :
1) Gangguan kesadaran
2) Trias klasik :
2. Pepil edema yang disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus aptik
3) Tekanan nadi yang lebar, berkurangnya denyut nadi dan pernafasan menandakan dekompensasi
II. PATOFISIOLOGI
Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya
konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan aselerasi terjadi jika benda yang
sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau
karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah bila kepala
membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua
kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan
ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma
yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera yang
terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu fenomena mekanik.
Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali membuat
fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang
optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul,
kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh
sistem dalam tubuh. Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang
berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena
metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstra kranial akan
dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena
mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan
hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan terjadi
perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan
kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik
1. Kasus Kegawatdaruratan
A. Primary Survay
1) Airway
Kaji adanya obstruksi jalan antara lain suara stridor, gelisah karena hipoksia, penggunaan
2) Breathing
Inspeksi frekuensi nafas, apakah terjadi sianosis karena luka tembus dada, fail chest,
gerakan otot pernafasan tambahan. Kaji adanya suara nafas tambahan seperti ronchi, wheezing.
3) Sirkulasi
Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea, hipotermi,pucat, akral
5) Eksposure
B. Secondary survey
1) Kepala
Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar dan membrana timpani,
2) Leher
Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang
3) Neurologis
Penilaian fungsi otak dengan GCS
4) Dada
Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan jantung, pemantauan EKG
5) Abdomen
Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma tumpul abdomen
6) Pelvis dan ekstremitas
Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma, memar dan cedera yang lain
1. Diagnosa : gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral,
edema serebral
Tujuan : mempertahankan tingkat kesadaran, kognisi dan fungsi motorik dan sensorik
Intervensi :
2. Diagnosa : Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada pusat
Intervensi :
a. Kaji pernafasan (irama, frekuensi, kedalaman) catat adanya otot bantu nafas
b. Kaji reflek menelan dan kemampuan mempertahankan jalan nafas
c. Tinggikan bagian kepala tempat tidur dan bantu perubahan posisi secara berkala
d. Lakukan pengisapan lendir, lama pengisapan tidak lebih dari 10-15 detik
e. Auskultasi bunyi paru, catat adanya bagian yang hipoventilasi dan bunyi tambahan(ronchi,
wheezing)
f. Catat pengembangan dada
g. Kolaburasi : awasi seri GDA, berikan oksigen tambahan melalui kanula/ masker sesuai dengan
indikasi
h. Monitor pemakaian obat depresi pernafasan seperti sedatif
i. Lakukan program medik
3. Diagnosa : kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer terhadap otot
pernafasan
intervensi :
4. Diagnosa : Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekret, obstruksi jalan nafas
intervensi :
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misal krekels, mengi, ronchi
b. Kaji frekuensi pernafasan
c. Tinggikan posisi kepala tempat tidur sesuai dengan indikasi
d. Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat warna lendir yang keluar
e. Kolaburasi : monitor AGD
5. Diagnosa : resiko cedera b.d penurunan kesadaran
tujuan : tidak terjadi cedera pada pasien selama kejang, agitasi atu postur refleksif
intervensi :
sekitarnya. Pertahankan jalan nafas paten tapi jangan memaksa membuka rahang
f. Pertahankan tirah baring
6. Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan
kesadaran
Intervensi :
a. Pasang pipa lambung sesuai indikasi, periksa posisi pipa lambung setiap akan memberikan
makanan
b. Tinggikan bagian kepala tempat tidur setinggi 30 derajat untuk mencegah terjadinya regurgitasi
dan aspirasi
c. Catat makanan yang masuk
d. Kaji cairan gaster, muntahan
e. Kolaburasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet yang sesuai dengan kondisi pasien
f. Laksanakan program medik
7. Diagnosa : Gangguan eliminasi urin b.d hilangnya control volunter pada kandung kemih
intervensi :
infeksi