Anda di halaman 1dari 47

REDHAZIZAH/233/SK2/EMERGENCY |1

LI.1 Memahami dan menjelaskan trauma kapitis

1.1Definisi

Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada
kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rut land-Brown,
Thomas, 2006). Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).

1.2 Epidemiologi

1.3 Etiologi

Trauma kepala oleh karena kekerasan tumpul


Trauma kepala oleh karena kekerasan tajam
Trauma kepala akibat tembakan
Trauma kepala oleh karena gerakan mendadak

1.4 Klasifikasi

Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari dua, yaitu secara garis besar adalah
a. Trauma kepala tertutup
Fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala setelah luka.
The Brain and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan trauma kepala tertutup
adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-tiba sehingga
menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak.
b. Trauma kepala terbuka

REDHAZIZAH/233/SK2/EMERGENCY |2

Luka tampak luka telah menembus sampai kepada dura mater. (Anderson,
Heitger, and Macleod,2006).Berdasarkan mekanisme terjadinya :
o Cedera kepala tumpul : biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas,
jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi
yang menyebabkan otak bergerak di dalam rongga kranial dan melakukan kontak
pada protuberas tulang tengkorak.
o Cedera tembus
: disebabkan oleh luka tembak atau tusukan. Berdasarkan
morfologi cedera kepala:
o Luka pada kepala:
1. Laserasi kulit kepala : Diantara galea aponeurosis dan periosteum
terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap
tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini.
Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat
longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan
yang cukup banyak.
2. Luka memar (kontusio)
: Luka memar adalah apabila terjadi
kerusakan jaringan subkutan dimana pembuluh darah
(kapiler)
pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak,
menjadi
bengkak dan berwarna merah kebiruan.
3. Abrasi
: Luka yang tidak begitu dalam, hanya
superfisial. Luka ini tidak sampai pada jaringan subkutis tetapi akan terasa
sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak.
4. Avulsi
: Apabila kulit dan jaringan bawah kulit
terkelupas, tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial.
Intak kulit pada kranial terlepas setelah kecederaan.
c. Fraktur tulang kepala
-

Fraktur linier
: Fraktur dengan bentuk garis tunggal. Fraktur linier dapat terjadi
jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak
menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat fraktur yang masuk ke dalam
rongga intrakranial.
Fraktur diastasis
: Jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak yang
menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Pada usia dewasa sering terjadi pada
sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.
Fraktur kominutif
: Jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari satu fragmen
dalam satu area fraktur.
Fraktur impresi
: Fraktur ini terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang
langsung mengenai tulang kepala. Dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada
durameter dan jaringan otak.
Fraktur basis cranii

REDHAZIZAH/233/SK2/EMERGENCY |3

Berdasarkan tingkat keparahan :Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum
dalam deskripsi beratnya penderita cedera otak. Menurut Brain Injury Association of
Michigan (2005), klasifikasi keparahan dariTraumatic Brain Injury yaitu :

Cedera kepala di area intrakranial.


Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera otak difus.
a) Cedera otak fokal yang meliputi :
- Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH) : Epidural hematom (EDH) adalah
adanya darah di ruang epidural yitu ruang potensial antara tabula interna tulang tengkorak
dan durameter. Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran adanya
interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa
hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan
antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.
- Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut. Perdarahan subdural akut
adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (6-3 hari).Perdarahan ini
terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri.Perdarahan subdural
biasanya menutupi seluruh hemisfir otak.Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih
berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.
- Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik. Subdural hematom kronik adalah
terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma.Subdural
hematom kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di
ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah
atau clot yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke
dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar
(durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti dengan pembentukan

REDHAZIZAH/233/SK2/EMERGENCY |4

kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi atau likoefaksi
bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi membran semi
permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor diluar membran masuk
kedalam membran sehingga cairan subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat
ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan
gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic attack).disamping itu dapat terjadi defisit
neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik dan kejang.
Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH). Intra cerebral hematom
adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat didalam parenkim
otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak
dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat
trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di
parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang
ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya penurunan kesadaran. Derajat penurunan
kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari trauma yang dialami.
Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH). Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh
pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat
trauma dapat memasuki ruang subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit
(PSA).Luasnya PSA menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga
menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme
pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.

b) Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011)


Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi gaya
rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan
terhadap parenkim yang sebelah dalam. Maka cedera kepala difus dikelompokkan
menjadi :
- Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI. Difus axonal injury adalah keadaan
dimana serabut subkortikal yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti
profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam
satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghbungkan inti-inti permukaan kedua
hemisfer (komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan
karena gaya rotasi antara initi profunda dengan inti permukaan .
- Kontusio cerebri. Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan
karena efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab
kontosio cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut
menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang
terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi kontusio
yang begitu khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang berlawanan dengan arah
datangnya gaya yang mengenai kepala.
- Edema cerebri. Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma
kepala.Pada edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat

REDHAZIZAH/233/SK2/EMERGENCY |5

pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema.Edema otak bilateral lebih
disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan
hipovolemik.
Iskemia cerebri. Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak
berkurang atau terhenti.Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan
disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.

1.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi Klinik Trauma Kepala


Assesment dan klasifikasi pasien-pasien yang diduga mengalami cedera kepala, harus dipandu
secara primer menggunakan Glasgow Coma Scale versi untuk dewasa dan anak-anak dan ini
diturunkan dari Glasgow Coma Score.
Glasgow Coma Scale bernilai antara 3 dan 15, 3 adalah yang paling buruk dan 15 adalah yang
terbaik. Terdiri dari tiga parameter: Respon mata terbaik, respon verbal terbaik, dan respon motor
terbaikGlasgow Coma Scale (Dewasa)

REDHAZIZAH/233/SK2/EMERGENCY |6

Gejala klinis ditentukan oleh derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera otak kurang
lebih sesuai dengan tingkat gangguan kesadaran penderita. Tingkat yang paling ringan
ialah pada penderita gegar otak, dengan gangguan kesadaran yang berlangsung hanya
beberapa menit saja. Atas dasar ini trauma kepala dapat digolongkan menjadi ringan bila
derajat koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) total adalah 13-15, sedang bila 9-12,
dan berat bila 3-8. lokasi cedera otak primer dapat ditentukan pada pemeriksaan klinik
(7).
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:

REDHAZIZAH/233/SK2/EMERGENCY |7

Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:


o
o
o
o
o

Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan:

Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh.
Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
Mual atau dan muntah.
Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
Perubahan keperibadian diri.
Letargik.

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat:


Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak menurun
atau meningkat.
Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).
Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstrimitas.
1.6 Patofisiologi

Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan
otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan
lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio coup, di seberang
area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka
lesi tersebut dinamakan lesi kontusio countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi
linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi
rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan
secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi
kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi
yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono dan Sidharta, 2008).
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat

REDHAZIZAH/233/SK2/EMERGENCY |8

terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia
otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder
terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf
mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan,
menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.

REDHAZIZAH/233/SK2/EMERGENCY |9

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 10

1.7 Diagnosis

ANAMNESIS
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan : riwayat kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Pada orang tua dengan kecelakaan
yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari tangga, jatuh di kamar mandi atau sehabis bangun
tidur, harus dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga
kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya, jatuh kemudian tidak sadar atau
kehilangan
kesadaran
lebih
dahulu
sebelum
jatuh.
Anamnesis lebih rinci tentang:
a. Sifat kecelakaan.
b. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit.
c. Ada tidaknya benturan kepala langsung.
d. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa.
Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak sebelum
terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan
adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial.
Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang / turun kesadarannya), tapi dapat
kelihatan bingung / disorientasi (kesadaran berubah)
Indikasi Rawat Inap :
1. Perubahan kesadaran saat diperiksa.
2. Fraktur tulang tengkorak.
3. Terdapat defisit neurologik.
4. Kesulitan menilai kesadaran pasien, misalnya pada anak-anak, riwayat minum alkohol,
pasien tidak kooperatif.
5. Adanya faktor sosial seperti :
a. Kurangnya pengawasan orang tua/keluarga bila dipulangkan.
b. Kurangnya pendidikan orang tua/keluarga.
c. Sulitnya transportasi ke rumah sakit.

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 11

Pasien yang diperbolehkan pulang harus dipesan agar segera kembali ke rumah sakit bila
timbul gejala sebagai berikut :
1. Mengantuk berat atau sulit dibangunkan. Penderita harus dibangunkan tiap 2 jam
selama periode tidur.
2. Disorientasi, kacau, perubahan tingkah laku
3. Nyeri kepala yang hebat, muntah, demam.
4. Rasa lemah atau rasa baal pada lengan atau tungkai, kelumpuhan, penglihatan kabur.
5. Kejang, pingsan.
6. Keluar darah/cairan dari hidung atau telinga
7. Salah satu pupil lebih besar dari yang lain, gerakan-gerakan aneh bola mata, melihat
dobel, atau gangguan penglihatan lain
8. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat atau pola nafas yang tidak biasa
Rawat inap mempunyai dua tujuan, yakni observasi (pemantauan) dan perawatan.
Observasi ialah usaha untuk menemukan sedini mungkin kemungkinan terjadinya
penyulit atau kelainan lain yang tidak segera memberi tanda atau gejala.
Pada penderita yang tidak sadar, perawatan merupakan bagian terpenting dari
penatalaksanaan. Tindakan pembebasan jalan nafas dan pernapasan mendapat prioritas
utama untuk diperhatikan. Penderita harus diletakkan dalam posisi berbaring yang aman
(4,5).
PEMERIKSAAN FISIK
Hal terpenting yang pertama kali dinilai bahkan mendahului trias adalah status fungsi
vital dan status kesadaran pasien.
STATUS FUNGSI VITAL
Yang dinilai dalam status fungsi vital adalah:
Airway (jalan napas) dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila perlu
segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher
harus berhati-hati bila ada riwayat / dugaan trauma servikal (whiplash injury).
Breathing (pernapasan) dapat ditemukan adanya pernapasan Cheyne-Stokes,
Biot / hiperventilasi, atau pernapasan ataksik yang menggambarkan makin buruknya
tingkat kesadaran.
Circulation (nadi dan tekanan darah). Pemantauan dilakukan untuk menduga
adanya shock, terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax,
trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai
dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan
intrakranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh hematoma epidural.
STATUS KESADARAN PASIEN

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 12

Cara penilaian kesadaran yang luas digunakan ialah dengan Skala Koma Glasgow; cara
ini sederhana tanpa memerlukan alat diagnostik sehingga dapat digunakan balk oleh
dokter maupun perawat. Melalui cara ini pula, perkembangan/perubahan kesadaran dari
waktu ke waktu dapat diikuti secara akurat. Yang dinilai adalah respon membuka mata,
respon verbal dan respon motoric

Pemeriksaan kesadaran
Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale
(GCS). Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi :
GCS 13-15 : cedera kepala ringan
GCS 9-12 : cedera kepala sedang
GCS 3-8
: pasien koma dan cedera kepala berat.

STATUS NEUROLOGIS
Pemeriksaan neurologik pada kasus trauma kapitis terutama ditujukan untuk mendeteksi
adanya tanda-tanda fokal yang dapat menunjukkan adanya kelainan fokal, dalam hal ini
perdarahan intrakranial. Tanda fokal tersebut ialah : anisokori, paresis / paralisis, dan
refleks patologis..
Selain trauma kepala, harus diperhatikan adanya kemungkinan cedera di tempat lain
seperti trauma thorax, trauma abdomen, fraktur iga atau tulang anggota gerak harus selalu
dipikirkan dan dideteksi secepat mungkin
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto Rontgen tengkorak (AP Lateral) biasanya dilakukan pada keadaan: defisit
neurologik fokal, liquorrhoe, dugaan trauma tembus/fraktur impresi, hematoma luas di
daerah kepala.
Perdarahan intrakranial dapat dideteksi melalui pemeriksaan arterografi karotis atau CT
Scan kepala yang lebih disukai, karena prosedurnya lebih sederhana dan tidak invasif,
dan hasilnya lebih akurat. Meskipun demikian pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan di
setiap rumah sakit. CT Scan juga dapat dilakukan pada keadaan: perburukan kesadaran,
dugaan fraktur basis kranii dan kejang.

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 13

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 14

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 15

PENANGGULANGAN PERAWATAN
Setelah ditentukan fungsi vital, kesadaran, dan status neurologis harus diperhatikan
kesembilan aspek sebagai berikut.
1. Pemberian cairan dan elektrolit disesuaikan dengan kebutuhan. Harus dicegah
terjadinya hidrasi berlebih dan hiponatremia yang akan memperberat edem otak.
2. Pemasangan kateter kandung kemih diperlukan untuk memantau keseimbangan
cairan.
3. Pencegahan terhadapa pneumonia hipostatik dilakukan dengan fisioterapi paru,
mengubah secara berkala posisi berbaring, dan mengisap timbunan sekret.
4. Kulit diusahakan tetap tetap bersih dan kering untuk mencegah dekubitus.
5. Anggota gerak digerakkan secara pasif untuk mencegah kontraktur dan
hipotrofi.
6. Kornea harus terus menerus dibasahi dengan larutan asam borat 2 % untuk
mencegah keratitis.
7. Keadaan gelisah dapat disebabkan oleh perkembangan massa didalam
tengkorak, kandung kemih yang penuh, atau nyeri. Setelah ketiga hal tersebut
dapat dipastikan dan diatasi, baru boleh diberikan sedatif. Mengikat penderita
hanya akan menambah kegelisahan, yang justru akan menaikkan tekanan
intrakranial.

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 16

8. Kejang-kejang harus segera diatasi karena akan menyebabkna hipoksia otak


dan
kenaikan
tekanan
darah
serta
memperberat
edem
otak.
Hipernatremi dapat timbul pada hari pertama pasca trauma, karena gangguan pada
hipotalamus, batang otak, atau dehidrasi. Kenaikan suhu badan setelah hari kedua
dapat disebabkan oleh dehidrasi, infeksi paru, infeksi saluran kemih, atau infeksi
luka. Reaksi tranfusi dapat juga menimbulkan demam. Pemakaian antibiotik yang
berlebihan dapat menyebabkan tumbuhnya kuman yang resisten, mengakibatkan
kolitis pseudomembranosa, dan mengundang terjadinya sepsis.

1.8 Tatalaksana

PENANGANAN SEBELUM SAMPAI DI RUMAH SAKIT ATAU FASILITAS YANG LEBIH


MEMADAI
I. Pada pertolongan pertama :
Perhatikan imobilisasi kepala leher, lakukan pemasangan neck collar, sebab sering trauma
kepala disertai trauma leher.
Hyperventilasi dengan oksigen 100 %, monitor tingkat sat.O2 dan CO2
Pada kasus berat mungkin diperlukan pemasangan ETT
Pasang BACK BOARD ( spinal board)
Sediakan suction untuk menghindari penderita aspirasi karena muntah.
Hentikan perdarah dengan melakukan penekanan pada daerah luka sebelum dilakukan
penjahitan situsional.
Perdarahan kepala yang tidak terkontrol akan mengakibatkan syock. Atasi syok dengan
pemasangan IV canule yang besar (bila perlu 2 line ), beri cairan yang memadai. (lihat
penatalaksanaan hemoragik syok)
Pemberian obat-obatan lasix, manitol dilapangan tidak dianjurkan, begitu pula obat
penenang tidak boleh diberikan tanpa supervisi dokter.
II. Penatalaksanaan di Rumah Sakit.

Begitu diagnosa ditegakan, penanganan harus segera dilakukan


Cegah terjadinya cedera otak sekunder dengan cara :
Pertahankan metabolisme otak yang adekuat
Mencegah dan mengatasi hyper tensi

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 17

A. Mempertahankan kebutuhan metabilisme otak


Iskemia otak atau hypoxia terjadi akibat tidak cukupnya penyampaian oksige ke otak,
metabolisme perlu oksigen dan glucosa.
Usahakan PaO2 > 80 mmHg
Pertahankan PaCO2 26 28 mmHg
Trnsfusi darah mungkin diperlukan sebagai oxygen carrying capacity
B. Mencegah hypertensi intra cranial
Hypertensi ini dapat terjadi akibat :
Masa lesi
Pembengkakan otak akut
Odema otak
Cara mengatasi HT. :
a. Lakukan hypocapnia
Konsentrasi Co2 arteri mempengaruhi sirkulasi otak
Co2 meningkat terjadi vasodilatasi sehingga menigkatkan volume intrakranial
Co2 menurun terjadi tekanan intra kranial menurun
Tindakan hyperventilasi :
Menurunkan intra cerebral acidosis
Meningkatkan metabolisme otak
Anjurkan hyperventilasi dan pertahankan Pco2 antara 26 28 mmHg
Hati-hati pada saat melakukan tindakan intubasi
b. Kontrol cairan
Cegah overhidrasi
IV jangan hypoosmolar
Jangan dilakukan loading
c. Diuretic :
Manitol menurunkan volume otak dan menurunkan tekanan intra kranial
Dosis 1 gr / kg BB IV cepat
Furosemid 40 80 mg IV (Dewasa)
Lakukan observasi dengan ketat
d. Steroid
Tidak direkomendasikan pada cedera kepala akut

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 18

I. CEDERA KEPALA RINGAN (GCS = 14 15 )


Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit
kepala hebat.
3 % penderita CK. Ringan ditemukan fraktur tengkorak
Klinis :
a. Keadaan penderita sadar
b. Mengalami amnesia yang berhubungna dengan cedera yang dialaminya
c. Dapat disertai dengan hilangnya kesadaran yang singkat
Pembuktian kehilangan kesadaran sulit apabila penderita dibawah pengaruh obatobatan / alkohol.
d. Sebagain besar penderita pulih sempurna, mungkin ada gejala sisa ringan
Fractur tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun indikasi
adanya fractur dasar tengkorak meliputi :
a. Ekimosis periorbital
b. Rhinorea
c. Otorea
d. Hemotimpani
e. Battles sign
Penilaian terhadap Foto ronsen meliputi :
a. Fractur linear/depresi
b. Posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah
c. Batas udara air pada sinus-sinus
d. Pneumosefalus
e. Fractur tulang wajah
f. Benda asing
Pemeriksaan laboratorium :
a. Darah rutin tidak perlu
b. Kadar alkohol dalam darah, zat toksik dalam urine untuk diagnostik / medikolagel
Therapy :
a. Obat anti nyeri non narkotik
b. Toksoid pada luka terbuka
Penderita dapat diobservasi selama 12 24 jam di Rumah Sakit
II. CEDERA KEPALA SEDANG ( GCS = 9 13 )
Pada 10 % kasus :
Masih mampu menuruti perintah sederhana
Tampak bingung atau mengantuk
Dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis
Pada 10 20 % kasus :
Mengalami perburukan dan jatuh dalam koma
Harus diperlakukan sebagai penderita CK. Berat.
Tindakan di UGD :
Anamnese singkat

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 19

Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis


Pemeriksaan CT. scan
Penderita harus dirawat untuk diobservasi
Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat bila :
Status neulologis membaik
CT. scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang memerlukan
pembedahan
Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan CK. Berat.
Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya

III. CEDERA KEPALA BERAT ( GCS 3 8 )


Kondisi penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun status
kardiopulmonernya telah distabilkan
CK. Berat mempunyai resiko morbiditas sangat tinggi
Diagnosa dan therapy sangat penting dan perlu dengan segara penanganan
Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita CK. Berat harus dilakukan
secepatnya.
A. Primary survey dan resusitasi
Di UGD ditemukan :
30 % hypoksemia ( PO2 < 65 mmHg )
13 % hypotensia ( tek. Darah sistolik < 95 mmHg ) Mempunyai mortalitas 2 kali
lebih banyak dari pada tanpa hypotensi
12 % Anemia ( Ht < 30 % )
1.

Airway dan breathing


Sering terjadi gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian karena terjadi
apnoe yang berlangsung lama
Intubasi endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan penderita cedera
kepala berat dengan memberikan oksigen 100 %
Tindakan hyeprveltilasi dilakukan secara hati-hati untuk mengoreksi sementara
asidosis dan menurunkan TIK pada penderita dengan pupil telah dilatasi dan
penurunan kesadaran
PCo2 harus dipertahankan antara 25 35 mm Hg

2.

Sirkulasi
Normalkan tekanan darah bila terjadi hypotensi
Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat pada kasus
multiple truama, trauma medula spinalis, contusio jantung / tamponade
jantung dan tension pneumothorax.

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 20

Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan untuk


mengganti cairan yang hilang
UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan adanya akut
abdomen

B. seconady survey
Penderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain.
C. Pemeriksaan Neurologis
Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan
terdiri dari :
GCS
Reflek cahaya pupil
Gerakan bola mata
Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf
Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita
dilakukan sedasi atau paralisis
Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang
Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 6 mg ) IV
Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon
motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang
terbaik
Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita
Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah
Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan
pasien.
Prosedur Diagnosis
VII. TERAPY MEDIKAMENTOSA UNTUK TRAUMA KEPALA
Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder
terhadap otak yang telah mengaalami cedera
A. Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik
Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih
Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan hyperglikemia
yang berakibat buruk pada otak yangn cedera
Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl
Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia
menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati secara agresig

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 21

B. Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat menurunkan
PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak
HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak menurun
PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah
Pertahankan level PCo2 pada 25 30 mmHg bila TIK tinggi.
C. Manitol
Dosis 1 gram/kg BB bolus IV
Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian
terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis
Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan
memperberat hypovolemia
D. Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan
meningkatkan diuresis
Dosis 0,3 0,5 mg/kg BB IV
E. Steroid
Steroid tidak bermanfaat
Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan
F. Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK
Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena
barbiturat dapat menurunkan tekanan darah
G. Anticonvulasan
Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah terjadinya
epilepsi pasca trauma
Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I
Obat lain diazepam dan lorazepam
VIII. PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN
A. Luka Kulit kepala
Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka dan mencuci
bersih sebelum dilakukan penjahitan
Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak adekuat

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 22

Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok, perdarahan dapat


dihentikan dengan penekanan langsung, kauteraisasi atau ligasi pembuluh besar dan
penjahitan luka
Lakukan insfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS pada luka
menunjukan adanya robekan dura. Consult ke dokter ahli bedah saraf
Lakukan foto teengkorak / CT Scan
Tindakan operatif
B. Fractur depresi tengkorak
Tindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan tulang di dekatnya
CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya perdarahan di
intra kranial atau adanya suatu kontusio
C. Lesi masa Intrakranial
Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat mengancam jiwa
dan untuk mencegah kematian
Prosedur ini penting pada penderita yang mengalami perburukan secara cepat dan
tidak menunjukan respon yang baik dengan terapy yang diberikan
Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada intubasi endotracheal ,
hiperventilasi moderat dan pemberian manitol

komplikasi trauma kepala.


a. Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early seizure, dan yang terjadi
setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu ada fraktur
impresi, hematoma intrakranial, kontusio di daerah korteks; diberi profilaksis fenitoin dengan
dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari.
b. Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada fraktur tulang terbuka,
luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian profilaksis antibiotik ini masih kontroversial. Bila ada
kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik dengan dosis meningitis.
c. Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan gastritis erosi dan lesi
gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah. Kelainan tukak stres ini merupakan
kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas karena berbagai kelainan patologik atau stresor
yang dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak stres terjadi karena

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 23

hiperasiditas. Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida 3x1 tablet peroral atau H2
receptor blockers (simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1 ampul IV selama 5 hari.

LI.2 Memahami dan menjelaskan perdarahan intracranial

2.1 Definisi

Perdarahan intrakranial adalah perdarahan (patologis) yang terjadi di dalam kranium, yang
mungkin ekstradural, subdural, subaraknoid, atau serebral (parenkimatosa). Perdarahan
intrakranial dapat terjadi pada semua umur dan juga akibat trauma kepala seperti kapitis,tumor
otak dan lain-lain.
8-13% ICH menjadi penyebab terjadinya stroke dan kelainan dengan spectrum yang luas.
Bila dibandingkan dengan stroke iskemik atau perdarahan subaraknoid, ICH umumnya lebih
banyak mengakibatkan kematian atau cacat mayor. ICH yang disertai dengan edema akan
mengganggu atau mengkompresi jaringan otak sekitarnya, menyebabkan disfungsi neurologis.
Perpindahan substansi parenkim otak dapat menyebabkan peningkatan ICP dan sindrom herniasi
yang berpotensi fatal.

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 24

2.2 Epidemiologi

2.3 Etiologi

Penyebab perdarahan dalam otak yang non hipertensi antara lain:


-

Kelainan pembuluh darah yang kecil seperti angioma, biasanya lokasi perdarahannya

lobar. Umumnya terjadi pada usia muda. Lokasi perdarahan biasanya superfisial.
Obat-obat symptomatik. Perdarahan dalam otak berhubungan dengan penggunaan
amphetamine. Penggunaan obat ini kebanyakan secara intra vena, juga dilaporkan
dengan intra nasal

atau oral. Lokasi perdarahan kebanyakan luas. Efeknya karena

tekanan darah meninggi (50% dari kasus) atau perubahan histologis pembuluh darah
seperti arteritis, mirip, periarteritis nodosa. Ini oleh karena efek toksik dari obat tersebut.
Pada angiography dijumpai multiple area dari fokal arteri stenosis atau konstriksi dengan
ukuran sedang pada arteri besar intra kranial. Ini bersifat reversible dan akan hilang
-

dengan berhentinya penyalah gunaan obat ini.


Cerebral amyloid angiopathy atau congophilic angiopathy merupakan bentuk yang unik
dan pada angiography khas adanya penumpukan/deposit amyloid pada bagian media dan
adventitia dengan ukuran sedang dan kecil dari arteri cortical dan leptomeningeal.
Deposit pada dinding arteri cenderung menyebabkan penyumbatan pada lumen arteri
karena penebalan dasar membran, fragmentasi dari lamina interna elastik dan hilangnya
sel-sel endothel. Juga terjadi nekrosis fibrinoid pada pembuluh darah. Keadaan ini tidak
berhubungan dengan amyloidosis vascular sistemik. Cerebral amyloid angiopathy
berhubungan dengan dementia senilis yang progressive. Biasanya terjadi pada usia yang

lebih lanjut dan jarang berhubungan dengan hipertensi.


Tumor intrakranial (jarang terjadi perdarahan pada tumor otak; dijumpai sekitar 6-10%).
Yang paling sering menimbulkan perdarahan yaitu tumor ganas, baik primer ataupun
metastase; jarang pada meningioma atau oligodendroma. Tumor ganas primer pada otak
yang paling sering menimbulkan perdarahan yaitu glioblastoma multiform, lokasi
perdarahan umumnya deep cortical seperti basal ganglia, corpus callosum. Tumor
metastase yang paling sering menimbulkan perdarahan yaitu tumor sel germinal, sekitar
60% dan lokasi perdarahan umumnya sucortical.

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 25

Anti koagulan. Pemakaian obat oral antikoagulan yang lama dengan warfarin sering
menyebabkan perdarahan otak; dijumpai sekitar 9% dari kasus. Resiko terjadinya
perdarahan dengan pemakaian antikoagulan oral dalam jangka panjang, 8-11 kali
dibandingkan dengan yang tidak menggunakan obat tersebut pada usia yang sama.
Lokasi perdarahan paling sering pada serebellum. Mekanisme terjadinya perdarahan ini

masih belum diketahui.


Agen fibrinolitik. Ini termasuk Streptokinase, Urokinase dan tissue type plasminogen
aktivator (tPA) yang digunakan dalam pengobatan coronary, arteri dan venous trombosis.
Kemampuan obat-obat ini yaitu menghancurkan klot dan relatif menurunkan tingkatan
sistemik hipofibrinogenemia, sehingga sangat ideal dalam pengobatan trombosis akut.
Komplikasi utama, walaupun jarang, adalah perdarahan intraserebral. Dijumpai 0,4%1,3% penderita dengan miokard infark yang diobati dengan tPA. Perdarahan yang
cenderung terjadi setelah pemberian tPA 40% sewaktu dalam pemberian infus, 25%
terjadai dalam 24 jam setelah pemberian. 70-90% lokasi perdarahan lobar, 30%
perdarahannya multiple dan mortality 40-65%. Mekanisme terjadinya perdarahan ini
masih belum diketahui.

Vaskulitis. Vaskulitis serebri dapat menyebabkan penyumbatan arteri dan infark serebri, serta
jarang menimbulkan perdarahan intraserebral. Proses radang umumnya terjadi dalam lapisan
media dan adventitia, serta pada pembuluh darah arteri dan vena dengan ukuran kecil dan
sedang. Biasanya berhubungan dengan pembentukan mikroaneurysma. Gejalanya sakit kepala
kronis, penurunan kesadaran atau kognitif yang progresif, kejang-kejang, infark serebri yang
recurrent. Diagnosanya berupa limpositik CSF pleocytosis dengan protein yang tinggi. Lokasi
perdarahan umumnya lobar.

2.4 Klasifikasi
Berdasarkan cedera kepala di area intrakranial.
Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera otak difus.

Cedera otak fokal yang meliputi :


o Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)
Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang
potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan durameter. Epidural hematom

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 26

dapat menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid selama beberapa


jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan
gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala,
muntah, kejang dan hemiparesis.
o Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut.
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang
terjadi akut (6-3 hari).Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil
dipermukaan korteks cerebri.Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh
hemisfir otak.Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya
jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.
o Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik
Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari
3 minggu setelah trauma.Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut dengan
jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya
inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang bersifat
tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke dalam clot dan
membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar
(durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti dengan
pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses
degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan
hipertonis yang dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka
akan menarik likuor diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan
subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH
kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang
menyerupai TIA (transient ischemic attack).disamping itu dapat terjadi defisit
neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik dan kejang
o Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang
terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh
benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh
gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya
pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh
darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 27

lain adanya penurunan kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi


oleh mekanisme dan energi dari trauma yang dialami.
o Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)
Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik
arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang
subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit (PSA).Luasnya PSA
menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan
burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh
darah dan menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.
Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011)
Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi gaya
rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan
terhadap parenkim yang sebelah dalam. Maka cedera kepala difus dikelompokkan
menjadi :
o Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI
Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang
menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut
proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer
(asosiasi) dan serabut yang menghbungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer
(komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan karena
gaya rotasi antara initi profunda dengan inti permukaan .
o Kontsuio cerebri
Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek
gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio
cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut
menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang
terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi
kontusio yang begitu khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang
berlawanan dengan arah datangnya gaya yang mengenai kepala.
o Edema cerebri
Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala.Pada edema
cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat
pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema.Edema otak bilateral

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 28

lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya


renjatan hipovolemik.
o Iskemia cerebri
Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau
terhenti.Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan
disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.

2.5 Manifestasi Klinis


Perdarahan epidural :
- Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan
perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral.Lebih dari
50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari
saat terjadinya cedera.Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan
dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval lucid.Interval
lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal.Interval ini menggambarkan
waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama diderita karena trauma dan
dimulainya kekacauan pada diencephalic karena herniasi transtentorial.Panjang dari
interval lucid yang pendek memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal
-

dari arteri.
Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran
massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat juga

menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.


Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun
sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya

kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.
Perdarahan subdural :

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 29

Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai
penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat deperti kasus
cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya.Gejala yang timbul tidak
khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti : sakit kepala,
mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil,
dan defisit neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga
tumor otak.

2.6 Patofisiologi

Perdarahan epidural :
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang lambat,
seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu berhubungan dengan fraktur cranial
linier.Pada kebanyakan pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau
keduanya.Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur melewati lekukan
minengeal pada squama temporal.
Perdarahan subdural :
Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau laserasi, adalah
lokasi umum terjadinya perdarahan.Hal ini sangat berhubungan dengan comtusio serebral dan
oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari
ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.

2.7 Diagnosis dan diagnosis banding

Pemeriksaan penunjang

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 30

Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting dalam
penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma.
Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang
mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika pembedahan akan
dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan pre-operatif dan intra-operatif.
Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan yang signifikan
pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume darahnya terbatas,
perdarahan epidural dalam kranium meluas dengan sutura terbuka yang menyebabkan
kehilangan darah yang berarti.Perdarahan yang demikian mengakibatkan ketidakstabilan
hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering terhadap level
hematokrit.
Pencitraan

Radiografi
o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan vaskular
cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga mungkin
diamati.
o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan epidural.
Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan fraktur kranium.
Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena kecacatan kranium yang lebih besar.

CT-scan
o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam mendiagnosa
perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang ditempati perdarahan
epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema bagian dalam kranium, khususnya
pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus
mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan epidural fossa posterior yang
besar mendesak efek massa dan menghambat ventrikel keempat.
o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu hematom
kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin dalam hematom
menentukan jumlah radiasi yang diserap.
o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari
waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 31

tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4
minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah hiperakut
mungkin diamati sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin
mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level hemoglobin
serum yang rendah.
o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana
konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex dapat
disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan CT-scan aksial tradisional.
Bahkan ketika terdeteksi dengan benar, volume dan efek massa dapat dengan
mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital
dapat digunakan untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.
o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi intrakranial
lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural, kontusio serebral, dan
hematom intraserebral.

Gambar 1. Perdarahan epidural

Gambar 2. Perdarahan subdural

MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang tepat untuk
mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun, dapat diamati ketika
meluas.

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 32

2.8 Tatalaksana

Terapi Obat-obatan
Pengobatan perdarahan epidural bergantung pada berbagai faktor. Efek yang kurang baik
pada jaringan otak terutama dari efek massa yang menyebabkan distorsi struktural, herniasi otak
yang mengancam-jiwa, dan peningkatan tekanan intrakranial.
Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah (1) intervensi bedah segera dan (2)
pengamatan klinis ketat, di awal dan secara konservatif dengan evakuasi tertunda yang
memungkinkan.Catatan bahwa perdarahan epidural cenderung meluas dalam hal volume lebih
cepat dibandingkan dengan perdarahan subdural, dan pasien membutuhkan pengamatan yang
sangat ketat jika diambil rute konservatif.
Tidak semua kasus perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi bedah segera.Jika
lesinya kecil dan pasien berada pada kondisi neurologis yang baik, mengamati pasien dengan
pemeriksaan neurologis berkala cukup masuk akal.
Meskipun manajemen konservatif sering ditinggalkan dibandingkan dengan penilaian
klinis, publikasi terbaru Guidelines for the Surgical Management of Traumatic Brain Injury
merekomendasikan bahwa pasien yang memperlihatkan perdarahan epidural < 30 ml, < 15 mm
tebalnya, dan < 5 mm midline shift, tanpa defisit neurologis fokal dan GCS > 8 dapat ditangani
secara non-operatif. Scanning follow-up dini harus digunakan untukmenilai meningkatnya
ukuran hematom nantinya sebelum terjadi perburukan.Terbentuknya perdarahan epidural
terhambat telah dilaporkan.Jika meningkatnya ukuran dengan cepat tercatat dan/atau pasien
memperlihatkan

anisokoria

atau

defisit

neurologis,

maka

pembedahan

harus

diindikasikan.Embolisasi arteri meningea media telah diuraikan pada stadium awal perdarahan
epidural, khususnya ketika pewarnaan ekstravasasi angiografis telah diamati.
Ketika mengobati pasien dengan perdarahan epidural spontan, proses penyakit primer
yang mendasarinya harus dialamatkan sebagai tambahan prinsip fundamental yang telah
didiskusikan diatas.
Terapi Bedah
Berdasarkan pada Guidelines for the Management of Traumatic Brain Injury,
perdarahan epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan intervensi bedah, tanpa

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 33

mempertimbangkan GCS. Kriteria ini menjadi sangat penting ketika perdarahan epidural
memperlihatkan ketebalan 15 mm atau lebih, dan pergeseran dari garis tengah diatas 5 mm.
Kebanyakan pasien dengan perdarahan epidural seperti itu mengalami perburukan status
kesadaran dan/atau memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi.
Lokasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan pembedahan.Hematom
temporal, jika cukup besar atau meluas, dapat mengarah pada herniasi uncal dan perburukan
lebih cepat.Perdarahan epidural pada fossa posterior yang sering berhubungan dengan gangguan
sinus venosus lateralis, sering membutuhkan evakuasi yang tepat karena ruang yang tersedia
terbatas dibandingkan dengan ruang supratentorial.
Sebelum adanya CT-scan, pengeboran eksplorasi burholes merupakan hal yang biasa,
khususnya ketika pasien memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi atau perburukan yang
cepat.Saat ini, dengan teknik scan-cepat, eksplorasi jenis ini jarang dibutuhkan.
Saat ini, pengeboran eksplorasi burholes disediakan bagi pasien berikut ini :

Pasien dengan tanda-tanda lokalisasi menetap dan bukti klinis hipertensi intrakranial
yang tidak mampu mentolerir CT-scan karena instabilitas hemodinamik yang berat.

Pasien yang menuntut intervensi bedah segera untuk cedera sistemiknya.


Menjelaskan komplikasi perdarahan intrakranial.
Kebanyakan dari komplikasi perdarahan epidural muncul ketika tekanan yang mereka

kerahkan mengakibatkan pergeseran otak yang berarti.Ketika otak menjadi subyek herniasi
subfalcine, arteri serebral anterior dan posterior mungkin tersumbat, menyebabkan infark
serebral.Herniasi kebawah batang otak menyebabkan perdarahan Duret dalam batang otak,
paling sering di pons.Herniasi transtentorial menyebabkan palsy nervus III kranialis ipsilateral,
yang seringnya membutuhkan berbulan-bulan untuk beresolusi sekali tekanan dilepaskan. Palsy
nervus III kranialis bermanifestasi sebagai ptosis, dilatasi pupil, dan ketidakmampuan
menggerakkan mata ke arah medial, atas, dan bawah.Pada anak-anak < 3 tahun, fraktur kranium
dapat menyebabkan kista leptomeningeal atau fraktur bertumbuh.Kista ini diyakini muncul
ketika pulsasi dan pertumbuhan otak tidak mengijinkan fraktur untuk sembuh, lalu menambah
robek dura dan batas fraktur membesar. Pasien dengan kista leptomeningeal biasanya
memperlihatkan massascalp pulsatil.
Menjelaskan komplikasi perdarahan intrakranial.

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 34

Kebanyakan dari komplikasi perdarahan epidural muncul ketika tekanan yang mereka
kerahkan mengakibatkan pergeseran otak yang berarti.Ketika otak menjadi subyek herniasi
subfalcine, arteri serebral anterior dan posterior mungkin tersumbat, menyebabkan infark
serebral.Herniasi kebawah batang otak menyebabkan perdarahan Duret dalam batang otak,
paling sering di pons.Herniasi transtentorial menyebabkan palsy nervus III kranialis ipsilateral,
yang seringnya membutuhkan berbulan-bulan untuk beresolusi sekali tekanan dilepaskan. Palsy
nervus III kranialis bermanifestasi sebagai ptosis, dilatasi pupil, dan ketidakmampuan
menggerakkan mata ke arah medial, atas, dan bawah.Pada anak-anak < 3 tahun, fraktur kranium
dapat menyebabkan kista leptomeningeal atau fraktur bertumbuh.Kista ini diyakini muncul
ketika pulsasi dan pertumbuhan otak tidak mengijinkan fraktur untuk sembuh, lalu menambah
robek dura dan batas fraktur membesar. Pasien dengan kista leptomeningeal biasanya
memperlihatkan massascalp pulsatil.
LI.3 Memahami dan menjelaskan fraktur basis cranii

3.1 Definisi

Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat benturan
langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita). Dalam
beberapa studi telah terbukti fraktur basis cranii dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme
termaksud ruda paksa akibat fraktur maksilofacial, ruda paksa dari arah lateral cranial dan dari
arah kubah cranial, atau karena beban inersia oleh kepala.

3.2 Epidemiologi

3.3 Etiologi

3.4 Klasifikasi

Fraktur Temporal

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 35

Dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 suptipe dari fraktur temporal
berupa longitudinal, transversal dan mixed. Fraktur longitudinal terjadi pada regio
temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari
canalis acusticus externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu
bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa
cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal
merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari
foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial
media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua frakturlongitudinal dan
transversal.
fraktur condylar occipital,
Adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi aksial, lateral bending, atau
cedera rotational pada pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan
morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative membagi fraktur ini menjadi displaced
dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi
aksial yang mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil.
Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas,
fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar dan membrane
tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa
dan lateral bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil.
Fraktur clivus
Digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam kecelakaan kendaraann bermotor.
Longitudinal, transversal, dan tipe oblique telah dideskripsikan dalam literatur. Fraktur
longitudinal memiliki prognosis terburuk, terutama bila melibatkan sistem vertebrobasilar.
Defisit pada nervus cranial VI dan VII biasanya dijumpai pada fraktur tipe ini.
Jenis jenis fraktur tulang tengkorak :
Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada calvarium (atap tengkorak), disebut Fraktur
Calvarium dan fraktur pada basis cranium (dasar tengkorak), disebut Fraktur Basis Cranium.
a. Fraktur Calvarium.
Beberapa contoh fraktur calvarium
Fraktur Liniair

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 36

Bila fraktur merupakan sebuah garis (celah) saja. Fraktur liniair yang berbahaya ialah fraktur
yang melintas os temporal; pada os temporal terdapat alur yang dilalui Arteri Meningia Media.
Bila fraktur memutuskan Arteri Meningia Media maka akan terjadi perdarahan hebat yang akan
terkumpul di ruang diantara dura mater dan tulang tengkorak , disebut perdarahan epidural.
Fraktur Berbentuk Bintang (Stellate Fracture)
Bila fraktur berpusat pada satu tempat dan garis garis frakturnya nya menyebar secara radial.
Fraktur Impressie
Pada fraktur impressie ,fragment-fragment fraktur melekuk kedalam dan menekan jaringan otak.
Fraktur bentuk ini dapat merobek dura mater dan jaringan otak di bawahnya dan dapat
menimbulkan prolapsus cerebri (jaringan otak keluar dari robekan duramater dan celah fraktur)
dan terjadi perdarahan.
b. Fraktur basis tengkorak
Fraktur atap orbita
Fraktur akan merobek dura mater dan arachnoid sehingga Liquor Cerebro Spinal (LCS) bersama
darah keluar melalui celah fraktur masuk ke rongga orbita ; dari luar disekitar mata tampak
kelopak mata berwarna kebiru biruan . Bila satu mata disebut Monocle Hematoma, bila dua mata
disebut Brill Hematoma / Raccoons eyes
Fraktur melintas Lamina Cribrosa
Fraktur akan menyebabkan rusaknya serabut serabut saraf penciuman ( Nervus Olfactorius)
sehinggan dapat terjadi gangguan penciuman mulai berkurangnya penciuman (hyposmia) sampai
hilangnya penciuman (anosmia). Fraktur juga merobek dura mater dan arachnoid sehingga LCS
bercampur darah akan keluar dari rongga hidung (Rhinorrhoea)
Fraktur Fossa Media
Fraktur Os Petrossum
Puncak (Apex ) os petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah masuk kedalam rongga
telinga tengah dan memecahkan Membrana Tympani; dari telinga keluar LCS bercampur darah
(Otorrhoea).

Fraktur Sella Tursica

Di atas sella tursica terdapat kelenjar Hypophyse yang terdiri dari 2 bagian pars anterior dan pars
posterior (Neuro Hypophyse). Pada fraktur sella tursica yg biasa terganggu adalah pars posterior

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 37

sehingga terjadi gangguan sekresi ADH (Anti Diuretic Hormone) yang menyebabkan Diabetes
Insipidus.

Sinus Cavernosus Syndrome.

Syndrome ini adalah akibat fraktur basis tengkorak di fossa media yang memecahkan Arteri
Carotis Interna yang berada di dalam Sinus Cavernosus sehingga terjadi hubungan langsung
arteri vena (disebut Arterio-Venous Shunt dari Arteri Carotis Interna dan Sinus Cavernsus >
Carotid Cavernous Fistula).
Mata tampak akan membengkak dan menonjol, terasa sakit , conjunctiva berwarna merah. Bila
membran stetoskop diletakkan diatas kelopak mata atau pelipis akan terdengar suara seperti air
mengalir melalui celah yang sempit yang disebut Bruit ( dibaca BRUI ).
Gejala-gejala klinis sebagai akibat pecahnya A.Carotis Interna didalam Sinus Cavernosus , yang
terdiri atas : mata yang bengkak menonjol , sakit dan conjunctiva yang terbendung (berwarna
merah) serta terdengar bruit , disebut Sinus Cavernosus Syndrome,
Fraktur Fossa Posterior.
Fraktur melintas os petrosum
Garis fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os petrossum sampai os mastoid,
menyebabkan LCS bercampur darah keluar melalui celah fraktur dan berada diatas mastoid
sehingga dari luar tampak warna kebiru biruan dibelakang telinga , disebut Battles Sign.

Fraktur melintas Foramen Magnum

di Foramen Magnum terdapat Medula Oblongata, sehingga getaran fraktur akan merusak Medula
Oblongata , menyebabkan kematian seketika.

3.5 Manifestasi Klinis

Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar pada mastoids
(battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa anterior adalah dengan rhinorrhea dan
memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat
bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial.
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan
ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu.tuli
sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 38

hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial
numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.
Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga
menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural
hearing loss).
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius.Sebagian besar
pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan
koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis.Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower
cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis IX,
X, dan XI akibat fraktur.Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan paralysis
ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal constrictor,
sternocleidomastoid, dan trapezius.Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital
dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII.

3.6 Patofisiologi

3.7 Diagnosis dan diagnosis banding

Pemeriksaan Lanjutan
Studi Imaging

Radiografi: Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada kriteria panel
memutuskan bahwa skull film kurang optimal dalam menvisualisasikan fraktur basis

cranii. Foto xray skull tidak bermanfaat bila tersedianya CT scan.


CT scan: CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam diagnosis
skull fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-1,5 mm, dengan potongan sagital,
bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT scan Helical sangat membantu dalam

menvisualisasikan fraktur condylar occipital, biasanya 3-dimensi tidak diperlukan.


MRI: MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai tambahan untuk
kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan vaskular. Cedera pada tulang
jauh lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan CT scan.

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 39

Pemeriksaan lainnya
Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya kebocoran CSF, dapat
dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan mengoleskan darah tersebut pada
kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari darah,
maka disebut halo atau ring sign. Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan dengan
menganalisa kadar glukosa dan dengan mengukur transferrin.

3.8 Tatalaksana

Terapi medis
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural neurologis
tidak memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat dipulangkan untuk berobat jalan dan
kembali jika muncul gejala. Sementara itu, pada bayi dengan simple fraktur linier harus
dilakukan pengamatan secara terus menerus tanpa memandang status neurologis. Status
neurologis

pasien dengan fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara

conservative, tanpa antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika disertai
rupture membran timpani biasanya akan sembuh sendiri.
Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada neurologis pada
bayi ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur depress dengan baik
membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur depress. Obat anti kejang dianjurkan
jika kemungkinan terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika terkontaminasi,
mungkin memerlukan antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole direkomendasikan
pada kasus ini. Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara konservatif dengan
stabilisasi leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.
Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-anak dengan open
fraktur depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk
mengevaluasi fraktur depress jika segmen depress lebih dari 5 mm di bawah inner table dari
adjacent bone. Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear
dengan pneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya.

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 40

Kadang kadang, craniectomy dekompressi dilakukan jika otak mengalami kerusaksan dan
pembengkakan akibat edema. Dalam hal ini, cranioplasty dilakukan dikemudian hari. Indikasi
lain untuk interaksi bedah dini adalah fraktur condylar os oksipital tipe unstable (tipe III) yang
membutuhkan arthrodesis atlantoaxial. Hal ini dapat dicapai dengan fiksasi dalam-luar.
Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan kerusakan
ossicular (tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis longitudinal pada os temporal.
Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan berlangsung selama lebih dari 3 bulan atau
jikamembrane timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain adalah terjadinya kebocoran CSF
yang persisten setelah fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan secara tepat lokasi kebocoran
sebelum intervensi bedah dilakukan.
komplikasi fraktur basis cranii.
Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai dengan
rhinorrhea. Facial palsy dan gangguan ossicular yang berhubungan dengan fraktur basis cranii
dibahas di bagian klinis. Namun, terutama, facial palsy yang terjadi pada hari ke 2-3 pasca
trauma adalah akibat sekunder untuk neurapraxia dari nervus cranialis VII dan responsif terhadap
steroid, dengan prognosis yang baik. Onset facila palsy secara tiba tiba pada saat bersamaan
terjadinya fraktur biasanya akibat skunder dari transeksi nervus, dengan prognosis buruk.
Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis cranii. Fraktur pada ujung
pertosus os temporale mungkin melibatkan ganglion gasserian. Cedera nervus cranialis VI yang
terisolasi bukanlah akibat langsung dari fraktur, tapi mungkin akibat skunder karena terjadinya
ketegangan pada nervus.
Nervus kranialis (IX, X, XI,dan XII) dapat terlibat dalam fraktur condylar os oksipital,
seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam Vernet dan sindrom Collet-Sicard (vide supra).
Fraktur os sphenoidalis dapat mempengaruhi nervus cranialis III, IV,dan VI dan juga
dapat mengganggu arteri karotis interna dan berpotensi menghasilkan pembentukan
pseudoaneurysma dan fistula caroticocavernous (jika melibatkan struktur vena). cedera
carotiddiduga terdapat pada kasus kasus dimana fraktur berjalan melalui kanal karotid, dalam
hal ini, CT-angiografi dianjurkan.
TERAPI
A. Penananganan Khusus
Penanganan khusus dari fraktur basis Cranii terutama untuk mengatasi komplikasi yang timbul,
meliputi : fistula cairan serebrospinal, infeksi, dan pneumocephalus dengan fistula.
a) Fistula cairan serebrospinal:

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 41

Mengakibatkan kebocoran cairan dari ruang subarachnoid ke ruang extraarachnoid, duramater,


atau jaringan epitel.Yang terlihat sebagai rinore dan otore.Sebagian besar rinore dan otore baru
terlihat satu minggu setelah terjadinya trauma.Kebocoran cairan ini membaik satu minggu
setelah dilakukan terapi konservatif. Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan
secara bed rest dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, dan melakukan
aktivitas berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diuretic dan steroid.
Rinore
Terjadi pada sekitar 25 persen pasien dengan fraktura basis anterior. CSS mungkin bocor
melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau pelat orbital dari tulang frontal), melalui
sinus sfenoid, dan agak jarang mela- lui klivus. Kadang-kadang pada fraktura bagian petrosa
tulang temporal, CSS mungkin memasuki tuba Eustachian dan bila membran timpani intak,
mengalir dari hidung. Pengaliran dimulai dalam 48 jam sejak cedera pada hampir 80 persen
kasus
Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala lebih
tinggi. Hindari batuk, bersin, meniup hidung dan melakukan aktivitas berat. Dapat diberikan
obat-obatan seperti laxantia, diureticdan steroid. Dilakukan punksi lumbal secara serial dan
pemasangan kateter sub-rachnoid secara berkelanjutan. Disamping itu diberikan antibiotik
untuk mencegah infeksi.
Pendekatan pembedahan dapat secara intraCraniial, ekstraCraniial dan secara bedah sinus
endoskopi. Pendekatan intraCraniial yaitu dengan melakukan Craniiotomi melalui daerah
frontal (frontal anterior fossa craniotomi), daerah temporal (temporal media fossa craniotomi)
atau daerah oksipital (ocsipital posterior fossa craniotomi) tergantung dari lokasi kebocoran.
Keuntungan teknik ini dapat melihat langsung robekan dari dura dan jaringan sekitarnya. Bila
dilakukan tampon pada kebocoran akan berhasil baik dan berguna bagi pasien yang tidak
dapat diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang abnormal. Kerugian teknik ini adalah angka
kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari otak seperti edema, hematoma dan perdarahan.
Disamping itu dapat terjadi anosmia yang permanen. Sering terjadi kebutaan terutama pada
pembedahan didaerah fossa Craniii anterior. Kerugian lain adalah waktu operasi dan
perawatan yang lama.
Pendekatan EkstraCraniial dilakukan dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus endoskopi.
Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan flap osteoplasti anterior dengan sayatan pada
koronal dan alis mata. Disamping itu dapat juga dengan pendekatan eksternal etmoidektomi,
trans-etmoidal sfenoidotomi, trans-septal sfenoidotomi atau trans antral, tergantung dari
lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini adalah memiliki lapangan pandang yang baik, angka
kematian yang rendah, tidak terdapat anosmia dan angka keberhasilan 80%. Kerugian teknik
ini adalah cacat pada wajah dan tidak dapat mengatasi fistel yang abnormal. Disamping itu
sulit menangani fistel pada sinus frontal dan sfenoid.
Pendekatan bedah Sinus

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 42

endoskopi merupakan tehnik operasi yang lebih disukai dengan angka keberhasilan yang
tinggi (83% - 94%) dan angka kematian yang rendah. Pada fistel yang kecil (<3mm) dapat
diperbaiki dengan free graftmukoperikondrial yang diletakkan diatas fistel. Pada fistel yang
besar (>3mm) digunakan graft dari tulang rawan dan tulang yang diletakkan dibawah fistel
dan dilapisi dengan flap local atau free graft. Keuntungan teknik ini adalah lapangan pandang
yang jelas sehingga memberikan lokasi kebocoran yang tepat. Mukosa dapat dibersihkan dari
kerusakan tulang tanpa memperbesar ukuran dan kerusakan dari tulang. Disamping itu graft
dapat ditempatkan lebih akurat pada kerusakannya.(1)
Otore
Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktura, duramater dibawahnya serta arakhnoid
robek, serta membran timpanik perforasi. Fraktura tulang petrosa diklasifi- kasikan menjadi
longitudinal dan transversal, berdasar hubungannya terhadap aksis memanjang dari piramid
petrosa; namun kebanyakan fraktura adalah campuran. Pasien dengan fraktura longitudinal
tampil dengan kehilangan pendengaran konduktif, otore, dan perdarahan dari telinga luar.
Pasien dengan fraktura transversal umumnya memiliki membran timpanik normal dan
memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural akibat kerusakan labirin, kokhlea, atau
saraf kedelapan didalam kanal auditori. Paresis fasial tampil hingga pada 50 persen pasien.
Fraktura longitudinal empat hingga enam kali lebih sering dibanding yang transversal, namun
kurang umum menyebabkan cedera saraf fasial. Otore CSS berhenti spontan pada kebanyakan
pasien dalam seminggu. Insidens meningitis pasien dengan otore mungkin sekitar 4 persen,
dibanding 17 persen pada rinore CSS. Pada kejadian jarang, dimana ia tidak berhenti,
diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan operasi.(2)
Infeksi
Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis Cranii.Penyebab paling sering dari
meningitis pada fraktur basis Cranii adalah S. Pneumoniae.Profilaksis meningitis harus segera
diberikan, mengingat tingginya angka morbiditas dan mortalitas walaupun terapi antibiotic
telah digunakan.Pemberian antibiotic tidak perlu menunggu tes diagnostic.Karena pemberian
antinbiotik yang terlambat berkaitan erat dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang
tinggi.Profilaksis antibiotic yang diberikan berupa kombinasi vancomycin dan
ceftriaxone.Antiobiotik golongan ini digunakan mengingat tingginya angka resistensi antibiotic
golongan penicillin, cloramfenikol, maupun meropenem.(3)
Pnemocephalus:
Adanya udara pada cranial cavity setelah trauma yang melalui menings.Meningkatnya tekanan
di nasofaring menyebabkan udara masuk melalui cranial cavity melalui defek pada duramater
dan menjadi terperangkap.Tik yang meningkat dapat memperbesar defek yang ada dan
menekan otak dan udara yang terperangkap. Terapi dapat berupa kombinasi dari: operasi untuk
membebaskan udara intracranial,serta memperbaiki defek yang ada, dan tredelenburg position.
(2)

Adapun penangannan umum dari trauma kepala sendiri, meliputi:

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 43

Penatalaksanaan :
1. Pengendalian Tekanan IntraCraniial
Manitol efektif untuk mengurangi edem serebral dan TIK. Selain karena efek osmotik ,
manitol juga dapat mengurangi TIK dengan meningkatkan arus microcirculatory otak dan
pengiriman oksigen. Efek pemberian bolus manitol tampaknya sama selama rentang 0,25
sampai 1,0 g / kg
2. Mengontrol tekanan perfusi otak
Tekanan perfusi otak harus dipertahankan antara 60 dan 70 mmHg , baik dengan mengurangi
TIK atau dengan meninggikan MAP . Rehidrasi secara adekuat dan mendukung
kardiovaskular dengan vasopressors dan inotropik untuk meningkatkan MAP dan
mempertahankan tekanan perfusi otak > 70 mmHg.
3. Mengontrol hematokrit
Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematokrit. Viskositas darah meningkat sebanding dengan
semakin meningkatnya hematokrit dan tingkat optimal sekitar 35%. Aliran darah otak
berkurang jika hematokrit meningkat lebih dari 50% dan meningkat dengan tingkat hematokrit
di bawah 30.
4. Obat obatan
Pemberian rutin obat sedasi, analgesik dan agen yang memblokir neuromuscular. Propofol
telah menjadi obat sedative pilihan. Fentanil dan morfin sering diberikan untuk membatasi
nyeri , memfasilitasi ventilasi mekanis dan mempotensiasi efek sedasi. Obat yang memblokir
neuromuscular mencegah peningkatan TIK yang dihasilkan oleh batuk dan penegangan pada
endotrachealtube.
5. Pengaturan suhu
Demam dapat memperberat defisit neurologis yang ada dan dapat memperburuk kondisi
pasien. Metabolisme otak akan oksigen meningkat sebesar 6-9 % untuk setiap kenaikan derajat
Celcius. Tiap fase akut cedera kepala , hipertermia harus diterapi karena akan memperburuk
iskemik otak.
6. mengontrol bangkitan
Bangkitan terjadi terutama di mereka yang telah menderita hematoma , menembus cedera,
termasuk patah tulang tengkorak dengan penetrasi dural , adanya tanda fokal neurologis dan
sepsis. Antikonvulsan harus diberikan apabila terjadi bangkitan.
7. Kontrol cairan
NaCl 0,9% , dengan osmolaritas 308 mosm / l, telah menjadi kristaloid pilihan dalam
manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan 0,9 % saline membutuhkan 4 kali volume
darah yang hilang untuk memulihkan parameter hemodinamik . 8. posisi kepala

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 44

Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-300 dapat menurunkan TIK dan meningkatkan
venous return ke jantung.
9. merujuk ke dokter bedah saraf
Rujukan ke seorang ahli bedah saraf:

GCS kurang dari atau sama dengan setelah resusitasi awal

Disorientasi yang berlangsung lebih 4 jam

penurunan skor GCS terutama respon motoric

tanda-tanda neurologis fokal progresif

kejang tanpa pemulihan penuh

cedera penetrasi

kebocoran cairan serebrospinal(4)

A Airway Pembersihan jalan nafas, pengawasan vertebra servikal hingga diyakini tidak ada
cedera
B Breathing Penilaian ventilasi dan gerakan dada, gas darah arteri
C Circulation Penilaian kemungkinan kehilangan darah, pengawasan secara rutin tekanan
darah pulsasi nadi, pemasangan IV line
D Dysfunction of CNS Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) secara rutin
E Exposure Identifikasi seluruh cedera, dari ujung kepala hingga ujung kaki, dari depan dan
belakang.
Setelah menyelesaikan resusitasi cardiovaskuler awal, dilakukan pemeriksaan fisis menyeluruh
pada pasien. Alat monitor tambahan dapat dipasang dan dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Nasogastric tube dapat dipasang kecuali pada pasien dengan kecurigaan cedera nasal dan basis
cranii, sehingga lebih aman jika digunakan orogastric tube. Evaluasi untuk cedera cranium dan
otak adalah langkah berikut yang paling penting. Cedera kulit kepala yang atau trauma kapitis
yang sudah jelas memerlukan pemeriksaan dan tindakan dari bagian bedah saraf. Tingkat
kesadaran dinilai berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS), fungsi pupil, dan kelemahan
ekstremitas.
Fraktur basis cranii sering terjadi pada pasien-pasien dengan trauma kapitis. Fraktur ini
menunjukkan adanya benturan yang kuat dan bisa tampak pada CT scan. Jika tidak bergejala
maka tidak diperlukan penanganan. Gejala dari fraktur basis cranii seperti defisit neurologis
(anosmia, paralisis fasialis) dan kebocoran CSF (rhinorhea, otorrhea). Seringkali kebocoran
CSF akan pulih dengan elevasi kepala terhadap tempat tidur selama beberapa hari walaupun
kadang memerlukan drain lumbal atau tindakan bedah repair langsung. Belum ada bukti
efektifitas antibiotik mencegah meningitis pada pasien-pasien dengan kebocoran CSF.
Neuropati cranial traumatik umumnya ditindaki secara konservatif. Steroid dapat membantu
pada paralisis nervus fasialis.
Tindakan bedah tertunda dilakukan pada kasus frakur dengan inkongruensitas tulang-tulang

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 45

pendengaran akibat fraktur basis cranii longitudinal tulang temporal. Mungkin diperlukan
ossiculoplasty jika terjadi hilang pendengaran lebih dari 3 bulan apabila membran timpani
tidak dapat sembuh sendiri. Indikasi lain adalah kebocoran CSF persisten setelah mengalami
fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan deteksi yang tepat mengenai lokasi kebocoran sebelum
dilakukan tindakan operasi.
Prognosis
Pada frakur basis Cranii fossa anterior dan media, prognosis baik selama tanda tanda vital dan
status neurologis dievaluasi secara teratur dan dilakukan tindakan sedini mungkin apabila
ditemukan deficit neurologis serta diberikan profilaksis antibiotic untuk mencegah terjadinya
infeksi sekunder, sedangkan pada fraktur basis Cranii posterior, prognosis buruk dikarenakan
fraktur pada fossa posterior dapat mengakibatkan kompresi batang otak.
Walaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk cedera nervus cranialis,
pembuluh darah, dan cedera langsung pada otak, sebagian besar jenis fraktur adalah jenis
fraktur linear pada anak-anak dan tidak disertai dengan hematom epidural. Sebagian besar
fraktur, termasuk fraktur depresi tulang cranium tidak memerlukan tindakan operasi.

LI.4 Memahami dan menjelaskan trias cushing


4.1 Definisi

Sindrom Cushing merupakan kumpulan gejala-gejala berupa peningkatan berat badan yang
cepat terutama pada perut (obesitas sentral) dan wajah (moon face), penumpukan lemak pada
leher bagian belakang (buffalo hump), hiperhidrosis (berkeringat berlebihan), striae pada
abdomen, penipisan kulit, hirsutisme, hipertensi, penurunan libido, gangguan menstruasi, dan
lain-lain. Kelainan ini disebabkan oleh kelebihan hormon kortisol dalam darah. Patologi penyakit
ini dijelaskan oleh Harvey Cushing pada 1932.

Trias cushing merupakan kumpulan gejala yang diakibatkan oleh meningkatnya tekanan
intrakranial.

Hipertensi

Bradikardi

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 46

Depresi pernapasan

Tekanan intrakranial pada umumnya bertambah secara berangsur-angsur. Setelah cedera kepala,
timbulnya edema memerlukan waktu 36 sampai 48 jam untuk mencapai maksimum. Peningkatan
tekanan intrakranial sampai 33 mmHg mengurangi aliran darah otak secara bermakna.Iskemia
yang timbul merangsang pusat motor, dan tekanan darah sistemik meningkat, Rangsangan pada
pusat inhibisi jantung mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi lambat.Mekanisme
kompensasi ini, dikenal sebagai refleks Cushing, membantu mempertahankan aliran darah
otak.Akan tetapi, menurunnya pernapasan mengakibatkan retensi Co2 dan mengakibatkan
vasodilatasi otak yang membantu menaikkan tekananan intrakranial.

4.2 Patofisiologi
Secara umum penyebab dari sindrom Cushing adalah kelebihan sekresi hormon kortisol dalam
darah. Namun penyebab dari berlebihnya sekresi hormon kortisol tersebut dapat berbeda-beda.
Segala kondisi yang menyebabkan peningkatan sekresi dari hormon kortisol adalah penyebab
terjadinya sindrom Cushing. Sindrom Cushing ini dapat diklasifikasikan menjadi 2
berdasarkan penyebabnya yaitu eksogen dan endogen. Pada umumnya sindrom Cushing
disebabkan oleh penyebab eksogen yaitu administrasi glukokortikoid jangka lama (disebut
juga Sindrom Cushing iatrogenik). Biasanya terapi steroid ini diberikan untuk penyakit asma
atau reumatoid artritis dan terapi imunosurpresi setelah transplantasi organ. Penyebab eksogen
lainnya adalah administrasi ACTH namun lebih jarang ditemukan.
Sindrom Cushing juga dapat disebabkan oleh penyebab endogen dimana terjadi kelainan pada
sekresi kortisol dalam tubuh kita sendiri. Penyebab endogen sindrom Cushing ini bisa dibagi
menjadi 2 macam yaitu ACTH-dependent (kelainan terdapat pada kelenjar pituitari) dan
ACTH-independent (kelainan terdapat pada kelenjar adrenal) seperti dapat dilihat pada tabel
di atas.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ACTH-secreting pituitary adenoma adalah penyebab
tersering sindrom Cushing yang disebabkan penyebab endogen. Pada kebanyakan kasus
adenoma yang terjadi adalah mikroadenoma (<10mm). ACTH-secreting pituitary adenoma
bertanggung jawab atas 70% kasus sindrom Cushing endogen dan sering juga disebut Cushing
disease.
Sekresi dari ACTH ektopik oleh sel tumor nonpituitari terjadi pada sekitaar 10% kasus
sindrom Cushing endogen. Pada sebagian besar kasus, tumor yang menyebabkan hal ini
adalah small cell carcinoma pada paru-paru. Varian ini biasa terjadi pada usia antara 40
sampai 50 tahun.

R E D H A Z I Z A H / 2 3 3 / S K 2 / E M E R G E N C Y | 47

Neoplasma adrenal primer seperti adenoma adrenal dan karsinoma adrenal merupakan
penyebab tersering pada sindrom Cushing ACTH-independent. Secara biokimia tanda yang
bisa dilihat adalah peningkatan kortisol serum namun ACTH rendah. Hiperkortisolisme pada
karsinoma biasanya lebih parah daripada adenoma atau hiperplasia.

4.3 Manifestasi Klinis


Hiperkortisolisme mendorong penumpukan lemak ke jaringan-jaringan tertentu khususnya
pada wajah bagian atas (menyebabkan moon face), diantara tulang belikat (buffalo hump)
dan mesenterik (obesitas sentral). Alasan untuk distribusi jaringan adiposa yang aneh ini
belum diketahui namun diperkirakan berhubungan dengan resistensi insulin atau
peningkatan kadar insulin.
Selain itu hiperkortisolisme juga menyebabkan atrofi selektif pada otot fast-twitch (tipe 2)
yang berakibat pada penurunan massa otot dan kelemahan pada ekstremitas bagian
proksimal. Glukokortikoid dapat menginduksi glukoneogenesis dan menghambat
pengambilan glukosa oleh sel yang menyebabkan hiperglikemia, glucosuria, dan polidipsi.
Efek kataboliknya menyebabkan resorpsi tulang dan hilangnya kolagen sehingga kulit
menjadi tipis, mudah luka, penyembuhan luka yang buruk, dan striae. Resorpsi tulang
menyebabkan osteoporosis.
Pada wanita, peningkatan androgen adrenal menyebabkan jerawat, hirsutisme, oligomenorea
atau amenorea. Hipertensi sering terjadi dan dapat dijumpai perubahan emosional, mudah
tersinggung dan emosi labil sampai depresi berat, bingung, atau psikosis.
Tatalaksana
Sebagian besar kasus Sindrom Cushing merupakan kasus iatrogenik akibat administrasi
glukokortikoid jangka panjang. Jadi untuk tata laksana nya adalah memberikan terapi secara
hati-hati dengan pengawasan atau menghentikan terapi glukokortikoidnya.
Pada pasien dengan adenoma pituitari ataupun adenoma adrenal, adenoma dapat dicabut
(opeerasi) setelah diagnosis ditegakkan. Biasanya pasien akan membutuhkan terapi
replacement steroid pascaoperasi tidak peduli dimana lokasi adenomanya. Pada pasien yang
dicabut kedua kelenjar adrenalnya, replacement dapat dilakukan dengan hydrocortisone dan
prednisolone.
Kebanyakan pasien dengan karsinoma adrenal meninggal dalam 3 tahun setelah diagnosis
karena terjadi metastasis. Metastasis tersering terjadi di hati dan paru. Obat utama untuk
karsinoma adrenal adakah mitotan. Obat ini menekan produksi kortisol dan menurunkan
kadar kortisol dalam darah dan urine. Obat ini biasa diberikan 3-4 kali sehari dengan dosis
ditingkatkan bertahap 8-10g perhari.

Anda mungkin juga menyukai