Cedera kepala adalah Suatu gangguan trauma fungsi yang disertai pendarahan interstisial
dalam sub stansi otak tampa diikuti terputusnya continuitas otak (R. Samsuhidayat, dkk,
EGC, 1997)
Cendera Kepala (terbuka & tertutup) terdiri dari fraktur tengkorak Cranio serebri (geger),
Kontusio (memar) / Laserusi & perdarahan serebral (subarakhnoid, subdural, epidural,
intraserebral batang otak). Trauma primer terjadi karena benturan langsung atau tidak
langsung (akselerasi / deselerasi otak). Trauma sekunder akibat trauma syaraf (mil akson)
yang meluas hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea atau hipertensi sistemik
(Doengoes,1993)
LO.1.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000
kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah
sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala
sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala
terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas
merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan
3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi (Turner DA, 1996).
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS
Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20%
CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB,
5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal (PERDOSSI, 2007).
(PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3 November 2007.
Pekanbaru.)
LO.1.3 etiologi
Menyebabkan cedera setempat& menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi Contusio
serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi,
pergeseran otak atau hernia.
Kerusakannya menyebar secara luas & terjadi dalam 4 bentuk : cedera akson, kerusakan otak
hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena
cedera menyebar pada hemisfer cerebral, batang otak atau kedua-duanya.
LO.1.4 klasifikasi
Klasifikasi Cedera Kepala
Gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Perdarahan dapat kurang dari
5mm tebalnya tetapi melebar luas.
b. Hematoma Subdural Sub-Akut
Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah trauma. Perdarahan dapat
lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsul disekitarnya.
c. Hematoma Subdural Kronik
Gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah trauma. Kapsula
jaringan ikat mengelilingi hematoma. Kapsula mengandung pembuluh-pembuluh
darah yang tipis dindingnya terutama di sisi durameter. Pembuluh darah ini dapat
pecah dan membentuk perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya
hematoma. Darah di dalam kapsula akan terurai membentuk cairan kental yang dapat
mengisap cairan dari ruangan subarakhnoid. Hematoma akan membesar dan
menimbulkan gejala seperti tumor serebri.
5. Hematoma intraserebral
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam jaringan
otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat.
Gejala-gejala yang ditemukan adalah :
-
Hemiplegi
Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang meningkat.
Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari arteri perikalosa ke
sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri serebri media yang tidak
normal.
6. Fraktura basis kranii
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan fraktur pada
dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang menurun,
bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari. Dapat
tampak amnesia retrigad dan amnesia pascatraumatik.
Gejala tergantung letak frakturnya :
a. Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua matadikelilingi
lingkaran biru (Brill Hematoma atau Racoons Eyes), rusaknyaNervus Olfactorius
sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.
b. Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan arteri
carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi hubungan antara
darah arteri dan darah vena (A-V shunt).
c. Fraktur fossa posterior
Muntah
Kejang
Fraktur tengkorak
Lesi intracranial
LO.1.5 patofisiologi
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Meskipun otak hanya
seberat 2 % dari berat badan orang dewasa, ia menerima 20 % dari curah jantung. Sebagian besar
yakni 80 % dari glukosa dan oksigen tersebut dikonsumsi oleh substansi kelabu.
Cedera kepala yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera primer. Proses lanjutan yang
sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel yaitu oksigen dan nutrien, terutama glukosa.
Kekurangan oksigen dapat terjadi karena berkurangnya oksigenasi darah akibat kegagalan fungsi
paru, atau karena aliran darah otak menurun, misalnya akibat syok. Karena itu pada cedera
kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak
terganggu, sehingga oksigenasi tubuh cukup. Gangguan metabolisme jaringan otak akam
menyebabkan edem yang mengakibaykan hernia melalui foramen tentorium, foramen magnum,
atau herniasi dibawah falks serebrum.
Jika terjadi herniasi jaringan otak yang bersangkutan akan mengalami iskemik sehingga dapat
menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang menimbulkan kematian (3).
Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Cedera Primer
Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak, robek pembuluh darah
(hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk robeknya duramater, laserasi, kontusio).
2. Cedera Sekunder
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut melampaui batas kompensasi
ruang tengkorak.
Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan volumenya tetap.
Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan parenkim otak. Kemampuan
kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif dan terjadi
penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal pada tingkat seluler.
Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi :
CPP = MAP ICP
CPP : Cerebral Perfusion Pressure
MAP : Mean Arterial Pressure
ICP : Intra Cranial Pressure
Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak mengakibatkan
edema sitotoksik kerusakan seluler yang makin parah (irreversibel). Diperberat oleh kelainan
ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang, dll.
3. Edema Sitotoksik
Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis Neurotransmitter yang
menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid a.l. glutamat, aspartat). EAA melalui reseptor
AMPA (N-Methyl D-Aspartat) dan NMDA (Amino Methyl Propionat Acid) menyebabkan Ca
influks berlebihan yang menimbulkan edema dan mengaktivasi enzym degradatif serta
menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-kejang).
4. Kerusakan Membran Sel
Dipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan menyebabkan kerusakan DNA,
protein, dan membran fosfolipid sel (BBB breakdown) melalui rendahnya CDP cholin (yang
berfungsi sebagai prekusor yang banyak diperlukan pada sintesa fosfolipid untuk menjaga
integritas dan repair membran tersebut).
Melalui rusaknya fosfolipid akan meyebabkan terbentuknya asam arakhidonat yang
menghasilkan radikal bebas yang berlebih.
5. Apoptosis
Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound apoptotic bodies terjadi
kondensasi kromatin dan plenotik nuclei, fragmentasi DNA dan akhirnya sel akan mengkerut
(shrinkage). Dalam penelitian ternyata program bunuh diri ini merupakan suatu proses yang
dapat dihentikan.
a.
Fraktura Tengkorak
Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur kalvaria ditentukan apakah
terbuka atau tertutup, linear atau stelata, depressed atau nondepressed. Fraktur tengkorak basal
sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT scan dengan setelan jendela-tulang
untuk memperlihatkan lokasinya. Sebagai pegangan umum, depressed fragmen lebih dari
ketebalan tengkorak (> 1 tabula) memerlukan operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau
compound berakibat hubungan langsung antara laserasi scalp dan permukaan serebral karena
duranya
robek,
dan
fraktura
ini
memerlukan
operasi
perbaikan
segera
(Http://findlaw.doereport.com [diakses 9 Januari 2013])
Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian
dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear
mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali
pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma
intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak
sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah
sakit untuk pengamatan, tidak peduli bagaimana baiknya tampak pasien tersebut.
b.
Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk cedera ini
sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan
kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara
umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan
koma dalam. Basis selular cedera otak difusa menjadi lebih jelas pada tahun-tahun terakhir ini.
Lesi Fokal
1)
Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula
interna dan duramater. Paling sering terletak diregio temporal atau temporal-parietal dan sering
akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial,
namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma
epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa
posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9%
dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak
segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya
masih terbatas. Outcome5 langsung bergantung pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas
dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan
20% pada pasien koma dalam. (Http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery . [diakses 9 Januari
2013]), (Hickey JV, 2003),
2)
Hematoma Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan arakhnoid.
SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera
kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan
sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak.
Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari
hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari
hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi
yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. (Http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery .
[diakses 9 Januari 2013])
3)
Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan
dengan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal,
walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara
kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat
zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam
beberapa hari (Http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery . [diakses 9 Januari 2013])
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak.
Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan
pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling
sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan
(coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi
dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan (FKUPH, 2005).
LO.1.6 manifestasi klinis
1.
2.
3. Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di
bawah konjungtiva,memar diatas mastoid (tanda battle),otorea serebro spiral ( cairan cerebros
piral keluar dari telinga ), minorea serebrospiral (les keluar dari hidung).
4.
5.
Penurunan kesadaran.
6.
Pusing / berkunang-kunang.
7.
8.
Peningkatan TIK
9.
Sumber lain:
GCS : 14 15 = CKR (cidera kepala ringan)
GCS : 9 13 = CKS (cidera kepala sedang)
GCS : 3 8 = CKB (cidera kepala berat)
Indikasi pemeriksaan CT Scan pada kasus cedera kepala adalah :
bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi cedera kepala sedang dan berat.
Pemeriksaan Diagnostik
CT Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran ventrikel pergeseran
cairan otak.
MRI : sama dengan CT Scan dengan atau tanpa kontraks.
Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan dan trauma.
EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.
Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan garis
tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).
BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang otak..
PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada otak.
Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid.
Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam peningkatan
TIK.
GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat
meningkatkan TIK.
Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan
kesadaran.
Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif
untuk mengatasi kejang.
DB: koma diabetik, koma alkoholik, CVD atau epilepsy (jika pasien kejang).
LO.1.8 terapi
PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA
Penatalaksanaan cedera kepala bertujuan mempertahankan fisiologi umum tubuh, penanganan
segera akibat cedera primer, pencegahan atau meminimalkan cedera kapala sekunder dengan
Terapi Farmakologi
Cairan intravena : pertahankan status cairan euvolemik, hindari dehidrasi, jangan menggunakan
cairan hipotonis / glukosa
Hiperventilasi fase akut (option):
pada peningkatan tekanan intrakranial pertahankan PaCO2 pada 25-30 mmHg, hindari Pa CO2<
25 mmHg (vasokonstriksi).
Penanganan cedera kepala sedang sering kali terlambat mendapat penanganan Karena gejala
yang timbul sering tidak dikenali . Gejala terbanyak antara lain : mudah lupa, mengantuk, nyeri
kepala, gangguan konsentrasi dan dizziness. Penetalaksanaan utamanya ditujukan pada
penatalaksanaan gejala, strategi kompensasi dan modifikasi lingkungan ( terapi wicara dan
okupasi ) untuk disfungsi kognitif , dan psiko edukasi .
III. Cedera kepala berat (GCS 3-8)
Diagnosis dan penanganan yang cepat meliputi: primari survei: stabilisasi cardio pulmoner,
secondary survei : penanganan cedera sistemik, pemeriksaan mini neurologi dan ditentukan perlu
penanganan pembedahan atau perawatan di ICU.
LO.1.9 komplikasi
1.Kejang pasca trauma.
Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di awal cedera 4-25% (dalam
7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Faktor risikonya adalah trauma
penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri,
GCS <10.
2.Demam dan mengigil :
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolism dan memperburuk outcome.
Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek sentral. Penatalaksanaan dengan
asetaminofen, neuro muscular paralisis. Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma
barbiturat, asetazolamid.
3.Hidrosefalus:
Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non komunikan. Hidrosefalus
komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala dengan obstruksi, Hidrosefalus non
komunikan terjadi sekunder akibat penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus
ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil udema, dimensia, ataksia, gangguan miksi.
4.Spastisitas :
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan gerakan. Merupakan
gambaran lesi pada UMN. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa penanganan
ditujukan pada : Pembatasan fungsi gerak, Nyeri, Pencegahan kontraktur, Bantuan dalam
posisioning.Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi sekunder dengan
splinting, casting, farmakologi: dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum, benzodiasepin
5. Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala
agresi, akatisia, disinhibisi,
penggunaan obat-obat yang
menggunakan antikonvulsan,
terapi modifikasi lingkungan.
terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk delirium,
dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi akibat nyeri dan
berpotensi sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan
antihipertensi, antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodisepin dan
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yangdirancang untuk
mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan pemberian
pertolongan pertama
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat,
penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas untuk
mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup. Pencegahan tertier ini penting untuk
meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan
psikologis bagi penderita.
Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu ditangani
melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.
1. Rehabilitasi Fisik
a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan bawah
tubuh.
b. Perlengkapan splint dan kaliper
c. Transplantasi tendon
2. Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tamadimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan memotivasi
kembali keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan
harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial serta seksual yang semuanya memerlukan
semangat hidup.
3. Rehabilitasi Sosial
a. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan paling sederhana
adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan
orang lain.
b. Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat).
LO.1.11 prognosis
Mortalitas pasien dengan peningkatan tekanan Intrakranial > 20 mmHg selama perawatan
mencapai 47%, sedangkan TIK di bawah 20 mmhg kematiannya 39%. Tujuh belas persen pasien
sakit cedera kepala berat mengalami gangguan kejang-kejang dalam dua tahun pertama post
trauma. Lamanya koma berhubungan signifikan dengan pemulihan amnesia.
Pemeriksaan penunjang preditor prognosis cedera kepala:
Skor GCS: Penurunan kesadaran pada saat kejadian, penurunan kesadaran < 30 menit, penurunan
kesadaran setelah 30 menit, amnesia < 24 jam.
William, 2001 meneliti 215 cedera kepala : pasien-pasien cedera kepala sedang dengan
komplikasi (CT Scan +) terdapat gangguan fungsi neuropsikiatri setelah 6 bulan. Rontgen tulang
tidak direkomendasikan untuk evaluasi cedera kepala ringan dan sedang dan sensitifitasnya
rendah terhadap adanya lesi intrakranial.
Faktor-faktor yang dapat menjadikan Predictor outcome cedera kepala adalah:
lamanya koma, durasi amnesia post trauma, area kerusakan cedera pada otak mekanisme cedera
dan umur.
Pengukuran outcome:
Beberapa pengukuran outcome setelah cedera kepala yang sering digunakan antara lain:
Glasgow Outcome Scale (GOS) :
Terdiri 5 kategori, meninggal, status vegetative, kecacatan yang berat, kecacaatan sedang (dapat
hidup mandiri tetapi tidak dapat kembali ke sekolah dan pekerjaannya), kembali pulih sempurna
(dapat kembali bekerja/sekolah).
Dissabily Rating Scale (DRS)
Merupakan skala tunggal untuk melihat progress perbaikan dari koma sampai ke kembali ke
lingkungannya. Terdiri dari 8 kategori termasuk komponen kesadaran (GCS), kecacatan (activity
of daily living, handicap dalam bekerja).
Fungsional Independent Measure (FIM)
Banyak digunakan untuk rehabilitasi terdiri dari 18 items skala yang digunakan untuk
mengevalusi tingkat kemandirian mobilitas, perawatan diri, kognitif.
Beberapa pendekatan farmakologi yang digunakan banyak yang tidak efektif. Strategi terapi
masa yang akan datang lebih ditujukan pada fase hipoperfusi awal antara lain: induksi hipertensi
arterial, terapi farmakologi yang dapat memperbaiki peningkatan resistensi mikrosirkulasi dan
terapi hipotermi yang dapat memproteksi neuron akibat iskemik.
LO.2.2 klasifikasi
Perdarahan epidural
Perdarahan epidural adalah perdarahan yang menghasilkan sekumpulan darah diluar dura mater
otak atau tulang belakang. Perdarahan biasanya sebagai akibat dari robeknya arteri meningea
media dan mungkin dengan cepat mengancam jiwa. Juga disebut perdarahan ekstradural.
Perdarahan epidural atau kita singkat dengan EDH adalah perdarahan yang terjadi di
antaraselaput pembungkus otak (duramater) dan tulang kepala. Perdarahan ini terjadi akibat
retaknya tulang kepala pada trauma kepala yang selanjutnya retakan tulang itu akan menjadi
sumber perdarahan atau dapat pula mencederai pembuluh darah yang berada diselaput
pembungkus otak tersebut. Darah kemudian akan berkumpul dan bertambah banyak baik secara
perlahan-lahan atau dalam tempo yang singkat. Pada awalnya dimana jumlah darah masih sangat
sedikit, mungkin penderita tidak merasakan suatu keluhan yang berat atau berarti sehingga sering
diabaikan. Namun bila jumlah perdarahannya sudahcukup banyak maka dampaknya sangat berat
hingga kematian.
Etiologi
Trauma merupakan penyebab khas perdarahan epidural, meskipun perdarahan spontan bisa
saja muncul. Trauma seringnya berupa benturan tumpul pada kepala akibat serangan, terjatuh,
atau kecelakan lain; trauma akselerasi-deselerasi dan gaya melintang. Distosia, ektraksi forseps,
dan tekanan kranium berlebihan pada jalan lahir juga mencakup perdarahan pada bayi baru lahir.
Manifestasi klinik
Gejala klinis yang khas adalah : Lucid Interval (adanya fase sadar diantara 2 fase tidak sadar
karena bertambahnya volume darah). Gelaja paling menonjol yaitu penurunan kesadaran secara
progresif. Pasien dengan epidural hematom yang mengenai fossa posterior akan menyebabkan
keterlambatan atau kemunduran aktivitas yang drastis. Penderita akan merasa kebingungan dan
berbicara kacau, lalu beberapa saat kemudian menjadi apneu, koma, kemudian meninggal.
Respon chusing yang menetap dapat timbul sejalan dengan adanya peningkatan tekanan intara
kranial, dimana gejalanya dapat berupa :
Hipertensi
Bradikardi
Bradipneu
Kontusio, laserasi atau tulang yang retak dapat diobservasi di area trauma. Dilatasi pupil,
lebam, pupil yang terfixasi, bilateral atau ipsilateral kearah lesi, adanya gejala gejala
peningkatan tekanan intrakranial, atau herniasi. Adanya hemiplegi kontralateral lesi dengan
gejala herniasi harus dicurigai adanya epidural hematom.
Adanya tiga gejala klasik sebagai indikasi dari adanya herniasi yang menetap, yaitu:
Coma
Fixasi dan dilatasi pupil
Deserebrasi
Gejala lain yang sering tampak :
Bingung
Penglihatan kabur
Susah bicara
Nyeri kepala yang hebat
Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala
Mual
Pusing
Berkeringat
Pucat
Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar
Pemeriksaan penunjang
- Foto polos : sulit untuk menentukan
- CT Scan akan tampak area hiperdens biconvex.
- MRI
Penatalaksanaan
Penatalaksaan epidural hematoma dapat dilakukan segera dengan cara trepanasi dengan tujuan
melakukan evakuasi hematoma dan menghentikan perdarahan
Prognosis
Prognosis tergantung pada :
Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
Besarnya
Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan
otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami
koma sebelum operasi.
SUBDURAL HEMATOMA
Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid, yang biasanya meliputi
perdarahan vena.
Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang
mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Hemoragi subdura biasanya
disebabkan oleh sobeknya vena di tempat vena itu melalui rongga subdura. Gerak otak depan
relatif terhadap dura dengan mendadak, dapat terjadi setelah mendapat pukulan yang tidak
mengakibatkan fraktur tengkorak.
Hemoragi subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh trauma kapitis walaupun
traumanya mungkin tidak berarti (trauma pada orang tua) sehingga tidak terungkap oleh
anamnesis. Yang seringkali berdarah ialah bridging veins, karena tarikan ketika terjadi
pergeseran rotatorik otak.
Subdural merupakan lapisan sebelum dura ( duramater adalah membran pembungkus terluar
dari otak ). Subdural hematom terjadi ketika darah vena yang berlokasi antara lapisan
pembungkus otak ( meningen ) ditemukan darah setelah head injury pada kepala. Subdural
hematom timbul ketika vena-vena yang berjalan antara dura dan permukaan otsk pecah dan
mengeluarkan darah. Pengumpulan darah kemudian terbentuk diatas permukaan otak. Pada
pengumpulan subdural kronik, darah yang berasal dari vena-vena berjalan lambat. Ini dapat
terjadi karena head injury atau frekuensi kurang, itu dapat terjadi spontan jika pasien agak
tua.
Hematom subdural kronik biasanya dihubungkan dengan atropi serebral. Vena batang kortek
diperkirakan tekanannya menjadi lebih rendah sebagaimana penyusunan otak yang
berangsur-angsur dari tulang tengkorak, bahkan trauma minor bisa menyebabkan satu dari
vena menjadi bocor. Perdarahan yang lambat dari sistem vena yang bertekanan rendah sering
bisa memperbesar bentuk hematom sebelum nampak tanda-tanda klinis. Hematom subdural
yang kecil sering diabsorbsi secara spontan. Kumpulan yang besar dari darah subdural sering
mengatur dan membentuk membran vaskuler yang menyelubungi hematom subdural.
Perdarahan kecil yang berulang , vena bersama dengan membran ini bertanggung jawab
terhadap perluasan dari beberapa hematom subdural
Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
- Trauma kapitis
- Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak
terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
- Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila
ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada
anak anak.
- Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdura.
- Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang
spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.
- Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.
Patofisiologi
Pada perlukaan kepala , dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid, kedalam
rongga subdural (hemoragi subdural) antara dura bagian luar dan tengkorak (hemoragi
ekstradural) atau ke dalam substansi otak sendiri. Putusnya vena-vena penghubung
( bridging veins ) antara permukaan otak dan sinus dural adalah penyebab perdarahan
subdural yang paling sering terjadi. Perdarahan ini seringkali terjadi sebagai akibat dari
trauma yang relatif kecil, dan mungkin terdapat sedikit darah di dalam rongga subaraknoid.
Anak-anak ( karena anak-anak memiliki vena-vena yang halus ) dan orang dewasa dengan
atropi otak ( karena memiliki vena-vena penghubung yang lebih panjang ) memiliki resiko
yang
lebih
besar.
Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan
sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging veins . Karena perdarahan
subdural sering disebabkan oleh perdarahan vena, maka darah yang terkumpul hanya 100200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah
5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari.
Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul lagi
perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural dan dengan
demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan kantong subdural
yang
penuh
dengan
cairan
dan
sisa
darah
(higroma).
Kondisi- kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga mekanisme.
Perdarahan yang terjadi akibat rusaknya arteri kortikal (termasuk epidural hematom),
perdarahan dari rusaknya dasar parenkim, dan kebocoran pembuluh darah dari korteks
terhadap satu dari aliran sinus venosus.
Pada semua kasus , pergerakan sagital dari kepala bisa dihasilkan dengan suatu akselerasi
angular (kaku ) yang menyebabkan ruptur batang vena parasagital dan suatu hematom
subdural yang berat. Gennereli dan Thibault menggambarkan bahwa rata-rata akselerasi dan
deselerasi dari kepala merupakan factor utama kegagalan vena
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat
robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan
sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang
bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan
terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena
halus pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan
menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan
ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan
dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan
intracranial yang berangsur meningkat
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan
dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun
hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan
terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan
terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural
yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya
menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.
Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan
penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan
dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan
dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor
ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra
kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi.
Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui
mekanisme kompensasi tersebut.
Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi
serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar
melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui
incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural
kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu
dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari
Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan
meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma
dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma.
Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari
perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata
dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata
hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan
bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural
kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan
subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan
vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi,
level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.
Klasifikasi
Terbagi atas 3 bagian iaitu:
a) Perdarahan subdural akut
- Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan, respon yang
lambat, serta gelisah.
- Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
- Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan cedera
batang otak.
b) Perdarahan subdural subakut
- Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari setelah cedera dan
dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat.
- Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
c) Perdarahan subdural kronis
- Terjadi karena luka ringan.
- Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang subdural.
PERDARAHAN INTRASEREBRAL
Perdarahan intrasereblar adalah perdarahan yang terjadi akibat pecahnya pembuluh darah otak
intrasereblar, sehingga darah keluar dari pembuluh darah dan kemudian masuk ke dalam jaringan
otak, bukan disebabkan oleh trauma.
Etiologi
Etilogi terbanyak adalah hipertensi yang berlangsung lama atau kronis (60-90%),
deformitas pembuluh darah bawaan, tumor otak yang kaya pembuluh darah, dan kelainan
hemostasis darah. Faktor resiko untuk perdrahan intrasereblar adalah hipertensi, kelainan
jantung, hiperkolesterolemia, diabetes mellitus. obesitas, polisitemia vera, merokok, usia lanjut
dan herediter.
Perdarahan intraserebral ini juga dapat dicetuskan oleh stress fisik, emosi, peningkatan
tekanan darah mendadak, yang mengakibatkan pecahnya pembuluh darah otak intraserebral.
Patofisiologi
Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriol berdiameter 100-400 mengalami
perubahan patologis pada dinding pembuluh darah berupa hipohialinosis, nekrosis fibrinoid,
keduanya menyebabkan kelemahan muskularis arteriol. Hipertensi yang terus berlangsung akan
mendesak dinding arteriol yang lemah tadi, membuat herniasi atau pecahnya tunika intima yang
kemudian menjadi aneurisma atau terjadi robekan-robekan kecil.
Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan dapat berlangsung sampai dengan 6
jam dan jika volumenya besar akan merusak struktur anatomi otak dan menimbulkan gejala
klinik. Jika perdarahannya sedikit maka darah hanya akan menyela diantara selaput akson tanpa
merusaknya. Pada keadaan ini, absorpsi darah akan diikuti oleh pulihnya fungsi-fungsi
neurologis, sedangkan pada perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peninggian
tekanan intra kranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk serebri
atau lewat foramen magnum.
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan
batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel
otak terjadi pada 1/3 kasus perdarahan otak di nucleus kaudatus, thalamus, dan pons.
Selain kerusakan parenkim otak, akibat dari volume perdarahan yang relatif banyak akan
menyebabkan peninggian tekanan intra kranial, dan myebabkan perdarahan intra kranial dan
menyebabkan penurunan tekanan perfusi otak karena terganggunya drainase otak. Jumlah darah
yang keluar menentukan prognosis. Apabila jumlah darah yang keluar lebih dari 60 cc maka
resiko kematian mencapai 93% pada perdarahan dalam. Sedangkan bila terjadi perdarahan
serebral dengan volume 30-60 cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 70%, tetapi
volume darah 5 cc yang terdapat pada pons sudah berakibat fatal.
Gejala Klinis
Secara umumgejala perdarahanpada otak adalah :
1. Sakit kepala, muntah, pusing (vertigo), gangguan kesadaran.
2. Defisit neurologis, tergantung lokasi perdarahan.
3. Bila perdarahan ke kapsula interna (perdarahan kapsuler) maka ditemukan :
Hemiparese kontralateral
Hemiplegia
koma
Perdarahan di Thalamus :
1. Defisit hemisensorik
2. Hemiparesis atau hemiplegi kontralateral
3. Afasia, anomia dan mutisme bila mengenai hemisfer yang dominan.
Perdarahan di Putamen :
1. Hemiparesis atau hemiplegi kontralateral.
2. Defisit hemisensorik dan mungkin disertai hemianopsia homonim.
3. Afasia bila mengenai hemisfer dominan.
Perdarahan di Lobus :
1. Frontalis : hemiparesis kontralateral dengan lengan lebih nyata, sakit kepala bifrontal,
deviasi konjugae.
2. Parietalis : defisit persepsi sensorik kontralateral dengan hemiparesis ringan.
3. Oksipitalis : hemianopsia dengan atau tanpa hemiparesis minimal, pada ipsilateral dengan
hemianopsia.
4. Temporalis : afasia sensorik, bila area wernicke hemisfer dominant terkena, hemianopsia
atau kuadranopsia.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : Darah rutin (Hemoglobin, Laju endap darah, Leukosit, Hitung jenis,
Hematokrit, Trombosit, Waktu perdarahan dan pembekuan, Gula darah puasa, Gula darah
2 jam post prandial, Total kolesterol, HDL-Kolesterol, LDL-Kolesterol, Trigliserida,
Asam urat, Natrium, Kalium, Klorida).
Elektrokardiografi
Elektroensefalografi
CT-Scan kepala
Angiografi
Penatalaksanaan
1. Terapi Umum
a. Breathing : menjaga jalan nafas dengan memposisikan kepala sedikit ekstensi untuk
mencegah lidah jatuh ke belakang, pemberian oksigen 2-3 L/menit.
b. Blood
c. Brain
d. Bladder
e. Bowel
d. Burn
2. Terapi Khusus
a. Anti udema : manitol bolus 1 gr/kgBB dalam 20-30 menit, kemudian dilanjutkan dengan
dosis 0,25-0,5 gr/kgBB setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam. Target osmolaritas 300320 mosm/L atau dengan gliserol 10% 10 ml/kg dalam 3-4 jam atau dengan furosemide 1
mg/kgBB IV. Pemberian steroid tidak diberikan secara rutin, bila ada indikasi harus
diikuti oleh pengamatn yang ketat.
b. Obat homeostasis : Transamic acid 6 gram/hari IV (2 minggu), berperan sebagai
antiinflamasi dan mencegah perdarahan ulang.
c. Anti hipertensi : bila tekanan darah sistolik > 230 mmHg atau tekanan diastolik > 140
mmHg berikan : Nikardipin 5-15 mg/jam infus kontinyu atau Diltiazem 5-40
mg/kg/menit infus kontinyu. Bila tekanan sistolik 180-230 mmHg atau tekanan diastolik
105-140 mmHg, atau tekanan darah arterial rata-rata 130 mmHg berikan : Labetalol 1020 mg IV selama 1-2 menit, ulangi atau gandakan setiap 10 menit sampai maksimmum
300 mg atau berikan dosis awal bolus diikuti oleh Labetalol drip 2-8 mg/menit atau
Nikardipin 5-15 mg/jam infus kontinyu atau Diltiazem 5-40 mg/kg/menit infus kontinyu
atau Nimodipin. Bila tekanan sistolik <180 mmHg atau tekanan diastolic < 105 mmHg,
tangguhkan pemberian obat anti hipertensi.
d. Bila terdapat kejang diatasi segera dengan Diazepam IV perlahan atau dengan
antikonvulsan lain.
e. Neurotropik agent : Piracetam 3x400 mg.
f. Tindakan bedah dilakukan dengan pertimbangan usia dan skala Glasgow > 4, dan hanya
dilakukan pada penderita dengan : peradarahan serebelum dengan diameter lebih dari 3
cm dilakukan kraniotomi dekompresi, hidrosefalus akut akibat perdarahan intraventrikel
atau serebelum dapat dilakukan VP shunting, perdarahan lobus diatas 60 cc dengan
tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial akut disertai dengan ancaman herniasi.
g. Rehabilitasi : penderita perlu perawatan lanjutan secara intensif dan dimobilisasi sesegera
mungkin bila klinis neurologis dan hemodinamik stabil. Perubahan posisi badan dan
ekstremitas setiap 2 jam untuk mencegah dekubitus.
PERDARAHAN SUBARAKNOID
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga diantara otak dan selaput
otak (rongga subaraknoid). Sumber dari perdarahan adalah pecahnya dinding pembuluh darah
yang lemah (apakah suatu malformasi arteriovenosa ataupun suatu aneurisma) secara tiba-tiba.
Kadang aterosklerosis atau infeksi menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah sehingga
pembuluh darah pecah.
Pecahnya pembuluh darah bisa terjadi pada usia berapa saja, tetapi paling sering menyerang usia
25-50 tahun. Perdarahan subaraknoid jarang terjadi setelah suatu cedera kepala. Perdarahan
subaraknoid karena aneurisma biasanya tidak menimbulkan gejala. Kadang aneurisma menekan
saraf atau mengalami kebocoran kecil sebelum pecah, sehingga menimbulkan pertanda awal,
seperti sakit kepala, nyeri wajah, penglihatan ganda atau gangguan penglihatan lainnya.
Pertanda awal bisa terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa minggu sebelum aneurisma
pecah. Jika timbul gejala-gejala tersebut harus segera dibawa ke dokter agar bisa diambil
tindakan untuk mencegah perdarahan yang hebat. Pecahnya aneurisma biasanya menyebabkan
sakit kepala mendadak yang hebat, yang seringkali diikuti oleh penurunan kesadaran sesaat.
Beberapa penderita mengalami koma, tetapi sebagian besar terbangun kembali, dengan perasaan
bingung dan mengantuk.
Darah dan cairan serebrospinal di sekitar otak akan mengiritasi selaput otak (meningen), dan
menyebabkan sakit kepala, muntah dan pusing. Denyut jantung dan laju pernafasan sering naik
turun, kadang disertai dengan kejang. Dalam beberapa jam bahkan dalam beberapa menit,
penderita kembali mengantuk dan linglung. Sekitar 25% penderita memiliki kelainan neurologis,
yang biasanya berupa kelumpuhan pada satu sisi badan.
Diagnosis
-
Sekitar sepertiga penderita meninggal pada episode pertama karena luasnya kerusakan otak. 15%
penderita meninggal dalam beberapa minggu setelah terjadi perdarahan berturut-turut. Penderita
aneurisma yang tidak menjalani pembedahan dan bertahan hidup, setelah 6 bulan memiliki
resiko sebanyak 5% untuk terjadinya perdarahan. Banyak penderita yang sebagian atau seluruh
fungsi mental dan fisiknya kembali normal, tetapi kelainan neurologis kadang tetap ada.
Penderita segera dirawat dan tidak boleh melakukan aktivitas berat. Obat pereda nyeri diberikan
untuk mengatasi sakit kepala hebat. Kadang dipasang selang drainase di dalam otak untuk
mengurangi tekanan.
Pembedahan untuk menyumbat atau memperkuat dinding arteri yang lemah, bisa mengurangi
resiko perdarahan fatal di kemudian hari. Pembedahan ini sulit dan angka kematiannya sangat
tinggi, terutama pada penderita yang mengalami koma atau stupor. Sebagian besar ahli bedah
menganjurkan untuk melakukan pembedahan dalam waktu 3 hari setelah timbulnya gejala.
Menunda pembedahan sampai 10 hari atau lebih memang mengurangi resiko pembedahan tetapi
meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan kembali.
LO.3.2 klasifikasi
Trauma dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak yang diklasifikasikan menjadi :
fraktur sederhana (simple) suatu fraktur linear pada tulang tengkorak
fraktur depresi (depressed) apabila fragmen tulang tertekan ke bagian lebih dalam dari tulang
tengkorak
fraktur campuran (compound) bila terdapat hubungan langsung dengan lingkungan luar. Ini
dapat disebabkan oleh laserasi pada fraktur atau suatu fraktur basis cranii yang biasanya
melalui
sinus-sinus.
Pada dasarnya, suatu fraktur basiler adalah suatu fraktur linear pada basis cranii. Biasanya
disertai dengan robekan pada duramater dan terjadi pada pada daerah-daerah tertentu dari basis
cranii.
Fraktur Temporal terjadi pada 75% dari seluruh kasus fraktur basis cranii. Tiga subtipe dari
fraktur temporal yaitu : tipe longitudinal, transversal, dan tipe campuran (mixed).
a. Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan pars skuamosa os
temporal, atap dari canalis auditorius eksterna, dan tegmen timpani. Fraktur-fraktur ini dapat
berjalan ke anterior dan ke posterior hingga cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir di
fossa media dekat foramen spinosum atau pada tulang mastoid secara berurut.
b. Fraktur transversal mulai dari foramen magnum dan meluas ke cochlea dan labyrinth,
berakhir di fossa media.
c. Fraktur campuran merupakan gabungan dari fraktur longitudinal dan fraktur transversal.
Masih ada sistem pengelompokan lain untuk fraktur os temporal yang sedang diusulkan.
Fraktur temporal dibagi menjadi fraktur petrous dan nonpetrous; dimana fraktur nonpetrous
termasuk didalamnya fraktur yang melibatkan tulang mastoid. Fraktur-fraktur ini tidak
dikaitkan dengan defisit dari nervus cranialis.
Fraktur condylus occipital adalah akibat dari trauma tumpul bertenaga besar dengan kompresi
ke arah aksial, lengkungan ke lateral, atau cedera rotasi pada ligamentum alar. Fraktur jenis ini
dibagi menjadi tiga tipe berdasarkan mekanisme cedera yang terjadi. Cara lain membagi
fraktur ini menjadi fraktur bergeser dan fraktur stabil misalnya dengan atau tanpa cedera
ligamentum yakni :
a. Fraktur tipe I, adalah fraktur sekunder akibat kompresi axial yang mengakibatkan fraktur
kominutif condylus occipital. Fraktur ini adalah suatu fraktur yang stabil.
b. Fraktur tipe II merupakan akibat dari benturan langsung. Meskipun akan meluas menjadi
fraktur basioccipital, fraktur tipe II dikelompokkan sebagai fraktur stabil karena masih
utuhnya ligamentum alae dan membran tectorial.
c. Fraktur tipe III adalah suatu fraktur akibat cedera avulsi sebagai akibat rotasi yang
dipaksakan dan lekukan lateral. Ini berpotensi menjadi suatu fraktur yang tidak stabil.
Fraktur clivus digambarkan sebagai akibat dari benturan bertenaga besar yang biasanya
disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sumber literatur mengelompokkannya
menjadi tipe longitudinal, transversal, dan oblique. Fraktur tipe longitudinal memiliki
prognosis paling buruk, terutama bila mengenai sistem vertebrobasilar. Biasanya fraktur tipe
ini disertai dengan defisit n.VI dan n.VII.
Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis Cranii. Terdapat 3 suptipe
dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Tipe transversal dari fraktur
temporal dan type longitudinal fraktur temporal ditunjukkan di bawah ini.
(A)Transverse temporal bone fracture and (B)Longitudinal temporal bone fracture (courtesy of
Adam Flanders, MD, Thomas Jefferson University, Philadelphia, Pennsylvania)
Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa pada
os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur
ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine
capsule, berakhir pada fossa Cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells.
Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur
transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth,
berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua
fraktur longitudinal dan transversal.
Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan. Sistem ini membagi
fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous fraktur, yang terakhir termasuk
fraktur yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur tersebut tidak disertai dengan deficit nervus
cranialis.
Fraktur condylar occipital (Posterior), adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan
kompresi aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada pada ligamentum Alar. Fraktur
tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi
alternative membagi fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera
ligamen. Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari
kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari
pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan
sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar dan membrane tectorial tidak mengalami
kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini
berpotensi menjadi fraktur tidak stabil.
Manifestasi Klinik
Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar pada
mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis Cranii fossa anterior adalah dengan
rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow
Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial.
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan ketulian
konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu. tuli sementara
yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena hemotympanum
dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial numbness adalah
akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.
Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga
menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural
hearing loss).
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius12. Sebagian besar
pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan
koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis. Pasien ini juga memperlihatkan cedera
lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis IX, X, dan
XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan paralysis
ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal constrictor,
sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital
dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII.
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis Craniii. Khusus di regio temporal,
kalvaria tipis tetapi dilapisi oleh otot temporalis. Basis Craniii berbentuk tidak rata sehingga
dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Lantai
dasar rongga tengkorak dibagi atas 3 fossa yaitu: fossa anterior tempat lobus frontalis, fossa
media tempat lobus temporalis dan fossa posterior adalah ruang untuk bagian bawah batang
otak dan otak kecil (serebelum).
Fraktur basis Craniii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak,
fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada durameter yang merekat erat pada dasar
tengkorak. Fraktur basis Craniii berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi fraktur fossa
anterior, fraktur fossa media dan fraktur fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur
di daerah basis Craniii dan tulang kalvaria. Durameter daerah basis Cranii lebih tipis
dibandingkan daerah kalfaria dan durameter daerah basis melekat lebih erat pada tulang
dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan
robekan durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang
menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis). Tanda/gejala klinis fraktur
tulang tengkorak antara lain:
1. Ekimosis periorbital (raccoon eyes sign) ditemukan jika frakturnya pada bagian basis
Craniii fossa anterior.
2. Ekimosis retroaurikuler (Battle sign), kebocoran cairan serebro spinal (CSS) dari hidung
(rhinorrhea) dan telinga (otorrhea) dimana keluarnya cairan otak melalui telinga
menunjukan terjadi fraktur pada petrous pyramid yang merusak kanal auditory eksternal
dan merobek membrane timpani mengakibatkan bocornya cairan otak atau darah
terkumpul disamping membrane timpani tidak robek tanda ini ditemukan jika frakturnya
pada bagian basis Craniii fossa media.
Kondisi ini juga dapat menyebabkan lesi/gangguan nervus Craniialis VII dan VIII (parase otot
wajah dan kehilangan pendengaran), yang dapat timbul segera atau beberapa hari setelah
trauma.
LO.3.3 MK/Diagnosa/DB
Diagnosa cedera kepala dibuat melalui suatu pemeriksaan fisis dan pemeriksaan diagnostik.
Selama pemeriksaan, bisa didapatkan riwayat medis yang lengkap dan mekanisme trauma.
Trauma pada kepala dapat menyebabkan gangguan neurologis dan mungkin memerlukan
tindak lanjut medis yang lebih jauh. Alasan kecurigaan adanya suatu fraktur cranium atau
cedera penetrasi antara lain :
Keluar cairan jernih (CSF) dari hidung
Keluar darah atau cairan jernih dari telinga
Adanya luka memar di sekeliling mata tanpa adanya trauma pada mata (panda eyes)
Adanya luka memar di belakang telinga (Battles sign)
Adanya ketulian unilateral yang baru terjadi
Luka yang signifikan pada kulit kepala atau tulang tengkorak.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan neurologis lengkap, pemeriksaan darah rutin, dan
pemberian tetanus toxoid (yang sesuai seperti pada fraktur terbuka tulang tengkorak),
pemeriksaan yang paling menunjang untuk diagnosa satu fraktur adalah pemeriksaan radiologi.
b. Pemeriksaan Radiologi
Foto Rontgen: Sejak ditemukannya CT-scan, maka penggunaan foto Rontgen cranium
dianggap kurang optimal. Dengan pengecualian untuk kasus-kasus tertentu seperti fraktur pada
vertex yang mungkin lolos dari CT-can dan dapat dideteksi dengan foto polos maka CT-scan
dianggap lebih menguntungkan daripada foto Rontgen kepala.
Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia, maka foto polos x-ray dapat memberikan
informasi yang bermanfaat. Diperlukan foto posisi AP, lateral, Townes view dan tangensial
terhadap bagian yang mengalami benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi. Foto
polos cranium dapat menunjukkan adanya fraktur, lesi osteolitik atau osteoblastik, atau
pneumosefal. Foto polos tulang belakang digunakan untuk menilai adanya fraktur,
pembengkakan jaringan lunak, deformitas tulang belakang, dan proses-proses osteolitik atau
osteoblastik.
CT scan : CT scan adalah kriteria modalitas standar untuk menunjang diagnosa fraktur pada
cranium. Potongan slice tipis pada bone windows hingga ketebalan 1-1,5 mm, dengan
rekonstruksi sagital berguna dalam menilai cedera yang terjadi. CT scan Helical sangat
membantu untuk penilaian fraktur condylar occipital, tetapi biasanya rekonstruksi tiga dimensi
tidak
diperlukan.
MRI (Magnetic Resonance Angiography) : bernilai sebagai pemeriksaan penunjang tambahan
terutama untuk kecurigaan adanya cedera ligamentum dan vaskular. Cedera pada tulang jauh
lebih baik diperiksa dengan menggunakan CT scan. MRI memberikan pencitraan jaringan
lunak yang lebih baik dibanding CT scan.
c. Pemeriksaan Penunjang Lain
Perdarahan melalui telinga dan hidung pada kasus-kasus yang dicurigai adanya kebocoran
CSF, bila di dab dengan menggunakan kertas tissu akan menunjukkan adanya suatu cincin
jernih pada tissu yang telah basah diluar dari noda darah yang kemudian disebut suatu halo
atau ring sign. Suatu kebocoran CSF juga dapat diketahui dengan menganalisa kadar glukosa
dan mengukur tau-transferrin, suatu polipeptida yang berperan dalam transport ion Fe.
Adapun pemeriksaan penunjamg untuk fraktur basis Craniii antara lain:
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, fungsi
2. Pemeriksaan radiologi
a. Foto rontgen
b. CT-scan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.
c. MRI (Magnetic Resonance Angiography)
d. Pemeriksaan arteriografi
Diagnosis Banding
Echimosis periorbita (racoon eyes) dapat disebabkan oleh trauma langsung seperti kontusio
fasial atau blow-out fracture dimana terjadi fraktur pada tulang-tulang yang membentuk dasar
orbita (arcus os zygomaticus, fraktur Le Fort tipe II atau III, dan fraktur dinding medial atau
sekeliling
orbital).
Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur basis cranii juga bisa diakibatkan oleh :
Kongenital
Ablasi tumor atau hidrosefalus
Penyakit-penyakit kronis atau infeksi
Tindakan bedah
LO.3.4 terapi
A. Penananganan Khusus
Penanganan khusus dari fraktur basis Cranii terutama untuk mengatasi komplikasi yang timbul,
meliputi : fistula cairan serebrospinal, infeksi, dan pneumocephalus dengan fistula.
a) Fistula cairan serebrospinal:
Mengakibatkan kebocoran cairan dari ruang subarachnoid ke ruang extraarachnoid, duramater,
atau jaringan epitel.Yang terlihat sebagai rinore dan otore.Sebagian besar rinore dan otore baru
terlihat satu minggu setelah terjadinya trauma.Kebocoran cairan ini membaik satu minggu
setelah dilakukan terapi konservatif. Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan
secara bed rest dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, dan melakukan
aktivitas berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diuretic dan steroid.
Rinore
Terjadi pada sekitar 25 persen pasien dengan fraktura basis anterior. CSS mungkin bocor
melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau pelat orbital dari tulang frontal), melalui
sinus sfenoid, dan agak jarang mela- lui klivus. Kadang-kadang pada fraktura bagian petrosa
tulang temporal, CSS mungkin memasuki tuba Eustachian dan bila membran timpani intak,
mengalir dari hidung. Pengaliran dimulai dalam 48 jam sejak cedera pada hampir 80 persen
kasus
Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala lebih
tinggi. Hindari batuk, bersin, meniup hidung dan melakukan aktivitas berat. Dapat diberikan
obat-obatan seperti laxantia, diureticdan steroid. Dilakukan punksi lumbal secara serial dan
pemasangan kateter sub-rachnoid secara berkelanjutan. Disamping itu diberikan antibiotik
untuk mencegah infeksi.
Pendekatan pembedahan dapat secara intraCraniial, ekstraCraniial dan secara bedah sinus
endoskopi. Pendekatan intraCraniial yaitu dengan melakukan Craniiotomi melalui daerah
frontal (frontal anterior fossa craniotomi), daerah temporal (temporal media fossa craniotomi)
atau daerah oksipital (ocsipital posterior fossa craniotomi) tergantung dari lokasi kebocoran.
Keuntungan teknik ini dapat melihat langsung robekan dari dura dan jaringan sekitarnya. Bila
dilakukan tampon pada kebocoran akan berhasil baik dan berguna bagi pasien yang tidak
dapat diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang abnormal. Kerugian teknik ini adalah angka
kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari otak seperti edema, hematoma dan perdarahan.
Disamping itu dapat terjadi anosmia yang permanen. Sering terjadi kebutaan terutama pada
pembedahan didaerah
perawatan yang lama.
Pendekatan EkstraCraniial dilakukan dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus endoskopi.
Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan flap osteoplasti anterior dengan sayatan pada
koronal dan alis mata. Disamping itu dapat juga dengan pendekatan eksternal etmoidektomi,
trans-etmoidal sfenoidotomi, trans-septal sfenoidotomi atau trans antral, tergantung dari
lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini adalah memiliki lapangan pandang yang baik, angka
kematian yang rendah, tidak terdapat anosmia dan angka keberhasilan 80%. Kerugian teknik
ini adalah cacat pada wajah dan tidak dapat mengatasi fistel yang abnormal. Disamping itu
sulit menangani fistel pada sinus frontal dan sfenoid.
Pendekatan bedah Sinus
endoskopi merupakan tehnik operasi yang lebih disukai dengan angka keberhasilan yang
tinggi (83% - 94%) dan angka kematian yang rendah. Pada fistel yang kecil (<3mm) dapat
diperbaiki dengan free graftmukoperikondrial yang diletakkan diatas fistel. Pada fistel yang
besar (>3mm) digunakan graft dari tulang rawan dan tulang yang diletakkan dibawah fistel
dan dilapisi dengan flap local atau free graft. Keuntungan teknik ini adalah lapangan pandang
yang jelas sehingga memberikan lokasi kebocoran yang tepat. Mukosa dapat dibersihkan dari
kerusakan tulang tanpa memperbesar ukuran dan kerusakan dari tulang. Disamping itu graft
dapat ditempatkan lebih akurat pada kerusakannya.(1)
Otore
Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktura, duramater dibawahnya serta arakhnoid
robek, serta membran timpanik perforasi. Fraktura tulang petrosa diklasifi- kasikan menjadi
longitudinal dan transversal, berdasar hubungannya terhadap aksis memanjang dari piramid
petrosa; namun kebanyakan fraktura adalah campuran. Pasien dengan fraktura longitudinal
tampil dengan kehilangan pendengaran konduktif, otore, dan perdarahan dari telinga luar.
Pasien dengan fraktura transversal umumnya memiliki membran timpanik normal dan
memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural akibat kerusakan labirin, kokhlea, atau
saraf kedelapan didalam kanal auditori. Paresis fasial tampil hingga pada 50 persen pasien.
Fraktura longitudinal empat hingga enam kali lebih sering dibanding yang transversal, namun
kurang umum menyebabkan cedera saraf fasial. Otore CSS berhenti spontan pada kebanyakan
pasien dalam seminggu. Insidens meningitis pasien dengan otore mungkin sekitar 4 persen,
dibanding 17 persen pada rinore CSS. Pada kejadian jarang, dimana ia tidak berhenti,
diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan operasi.(2)
Infeksi
Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis Cranii.Penyebab paling sering dari
meningitis pada fraktur basis Cranii adalah S. Pneumoniae.Profilaksis meningitis harus segera
diberikan, mengingat tingginya angka morbiditas dan mortalitas walaupun terapi antibiotic
telah digunakan.Pemberian antibiotic tidak perlu menunggu tes diagnostic.Karena pemberian
antinbiotik yang terlambat berkaitan erat dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang
tinggi.Profilaksis antibiotic yang diberikan berupa kombinasi vancomycin dan
ceftriaxone.Antiobiotik golongan ini digunakan mengingat tingginya angka resistensi antibiotic
golongan penicillin, cloramfenikol, maupun meropenem.(3)
Pnemocephalus:
Adanya udara pada cranial cavity setelah trauma yang melalui menings.Meningkatnya tekanan
di nasofaring menyebabkan udara masuk melalui cranial cavity melalui defek pada duramater
dan menjadi terperangkap.Tik yang meningkat dapat memperbesar defek yang ada dan
menekan otak dan udara yang terperangkap. Terapi dapat berupa kombinasi dari: operasi untuk
membebaskan udara intracranial,serta memperbaiki defek yang ada, dan tredelenburg position.
(2)
Bangkitan terjadi terutama di mereka yang telah menderita hematoma , menembus cedera,
termasuk patah tulang tengkorak dengan penetrasi dural , adanya tanda fokal neurologis dan
sepsis. Antikonvulsan harus diberikan apabila terjadi bangkitan.
7. Kontrol cairan
NaCl 0,9% , dengan osmolaritas 308 mosm / l, telah menjadi kristaloid pilihan dalam
manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan 0,9 % saline membutuhkan 4 kali volume
darah yang hilang untuk memulihkan parameter hemodinamik . 8. posisi kepala
Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-300 dapat menurunkan TIK dan meningkatkan
venous return ke jantung.
9. merujuk ke dokter bedah saraf
Rujukan ke seorang ahli bedah saraf:
cedera penetrasi
A Airway Pembersihan jalan nafas, pengawasan vertebra servikal hingga diyakini tidak ada
cedera
B Breathing Penilaian ventilasi dan gerakan dada, gas darah arteri
C Circulation Penilaian kemungkinan kehilangan darah, pengawasan secara rutin tekanan
darah pulsasi nadi, pemasangan IV line
D Dysfunction of CNS Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) secara rutin
E Exposure Identifikasi seluruh cedera, dari ujung kepala hingga ujung kaki, dari depan dan
belakang.
Setelah menyelesaikan resusitasi cardiovaskuler awal, dilakukan pemeriksaan fisis menyeluruh
pada pasien. Alat monitor tambahan dapat dipasang dan dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Nasogastric tube dapat dipasang kecuali pada pasien dengan kecurigaan cedera nasal dan basis
cranii, sehingga lebih aman jika digunakan orogastric tube. Evaluasi untuk cedera cranium dan
otak adalah langkah berikut yang paling penting. Cedera kulit kepala yang atau trauma kapitis
yang sudah jelas memerlukan pemeriksaan dan tindakan dari bagian bedah saraf. Tingkat
kesadaran dinilai berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS), fungsi pupil, dan kelemahan
ekstremitas.
Fraktur basis cranii sering terjadi pada pasien-pasien dengan trauma kapitis. Fraktur ini
menunjukkan adanya benturan yang kuat dan bisa tampak pada CT scan. Jika tidak bergejala
maka tidak diperlukan penanganan. Gejala dari fraktur basis cranii seperti defisit neurologis
(anosmia, paralisis fasialis) dan kebocoran CSF (rhinorhea, otorrhea). Seringkali kebocoran
CSF akan pulih dengan elevasi kepala terhadap tempat tidur selama beberapa hari walaupun
kadang memerlukan drain lumbal atau tindakan bedah repair langsung. Belum ada bukti
efektifitas antibiotik mencegah meningitis pada pasien-pasien dengan kebocoran CSF.
Neuropati cranial traumatik umumnya ditindaki secara konservatif. Steroid dapat membantu
pada paralisis nervus fasialis.
Tindakan bedah tertunda dilakukan pada kasus frakur dengan inkongruensitas tulang-tulang
pendengaran akibat fraktur basis cranii longitudinal tulang temporal. Mungkin diperlukan
ossiculoplasty jika terjadi hilang pendengaran lebih dari 3 bulan apabila membran timpani
tidak dapat sembuh sendiri. Indikasi lain adalah kebocoran CSF persisten setelah mengalami
fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan deteksi yang tepat mengenai lokasi kebocoran sebelum
dilakukan tindakan operasi.
LI.4 MM trias cushing
DEFINISI
Sindrom Cushing merupakan kumpulan gejala-gejala berupa peningkatan berat badan yang cepat
terutama pada perut (obesitas sentral) dan wajah (moon face), penumpukan lemak pada leher
bagian belakang (buffalo hump), hiperhidrosis (berkeringat berlebihan), striae pada abdomen,
penipisan kulit, hirsutisme, hipertensi, penurunan libido, gangguan menstruasi, dan lain-lain.
Kelainan ini disebabkan oleh kelebihan hormon kortisol dalam darah. Patologi penyakit ini
dijelaskan oleh Harvey Cushing pada 1932.
ETIOLOGI & PATOGENESIS
Secara umum penyebab dari sindrom Cushing adalah kelebihan sekresi hormon kortisol dalam
darah. Namun penyebab dari berlebihnya sekresi hormon kortisol tersebut dapat berbeda-beda.
Segala kondisi yang menyebabkan peningkatan sekresi dari hormon kortisol adalah penyebab
terjadinya sindrom Cushing. Sindrom Cushing ini dapat diklasifikasikan menjadi 2
berdasarkan penyebabnya yaitu eksogen dan endogen. Pada umumnya sindrom Cushing
disebabkan oleh penyebab eksogen yaitu administrasi glukokortikoid jangka lama (disebut
juga Sindrom Cushing iatrogenik). Biasanya terapi steroid ini diberikan untuk penyakit asma
atau reumatoid artritis dan terapi imunosurpresi setelah transplantasi organ. Penyebab eksogen
lainnya adalah administrasi ACTH namun lebih jarang ditemukan.
Sindrom Cushing juga dapat disebabkan oleh penyebab endogen dimana terjadi kelainan pada
sekresi kortisol dalam tubuh kita sendiri. Penyebab endogen sindrom Cushing ini bisa dibagi
menjadi 2 macam yaitu ACTH-dependent (kelainan terdapat pada kelenjar pituitari) dan
ACTH-independent (kelainan terdapat pada kelenjar adrenal) seperti dapat dilihat pada tabel
di atas.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ACTH-secreting pituitary adenoma adalah penyebab
tersering sindrom Cushing yang disebabkan penyebab endogen. Pada kebanyakan kasus
adenoma yang terjadi adalah mikroadenoma (<10mm). ACTH-secreting pituitary adenoma
bertanggung jawab atas 70% kasus sindrom Cushing endogen dan sering juga disebut Cushing
disease.
Sekresi dari ACTH ektopik oleh sel tumor nonpituitari terjadi pada sekitaar 10% kasus
sindrom Cushing endogen. Pada sebagian besar kasus, tumor yang menyebabkan hal ini
adalah small cell carcinoma pada paru-paru. Varian ini biasa terjadi pada usia antara 40
sampai 50 tahun.
Neoplasma adrenal primer seperti adenoma adrenal dan karsinoma adrenal merupakan
penyebab tersering pada sindrom Cushing ACTH-independent. Secara biokimia tanda yang
bisa dilihat adalah peningkatan kortisol serum namun ACTH rendah. Hiperkortisolisme pada
karsinoma biasanya lebih parah daripada adenoma atau hiperplasia.
MANIFESTASI KLINIS
Hiperkortisolisme mendorong penumpukan lemak ke jaringan-jaringan tertentu khususnya
pada wajah bagian atas (menyebabkan moon face), diantara tulang belikat (buffalo hump)
dan mesenterik (obesitas sentral). Alasan untuk distribusi jaringan adiposa yang aneh ini
belum diketahui namun diperkirakan berhubungan dengan resistensi insulin atau
peningkatan kadar insulin.
Selain itu hiperkortisolisme juga menyebabkan atrofi selektif pada otot fast-twitch (tipe 2)
yang berakibat pada penurunan massa otot dan kelemahan pada ekstremitas bagian
proksimal. Glukokortikoid dapat menginduksi glukoneogenesis dan menghambat
pengambilan glukosa oleh sel yang menyebabkan hiperglikemia, glucosuria, dan polidipsi.
Efek kataboliknya menyebabkan resorpsi tulang dan hilangnya kolagen sehingga kulit
menjadi tipis, mudah luka, penyembuhan luka yang buruk, dan striae. Resorpsi tulang
menyebabkan osteoporosis.
Pada wanita, peningkatan androgen adrenal menyebabkan jerawat, hirsutisme, oligomenorea
atau amenorea. Hipertensi sering terjadi dan dapat dijumpai perubahan emosional, mudah
tersinggung dan emosi labil sampai depresi berat, bingung, atau psikosis.
TATA LAKSANA
Sebagian besar kasus Sindrom Cushing merupakan kasus iatrogenik akibat administrasi
glukokortikoid jangka panjang. Jadi untuk tata laksana nya adalah memberikan terapi secara
hati-hati dengan pengawasan atau menghentikan terapi glukokortikoidnya.
Pada pasien dengan adenoma pituitari ataupun adenoma adrenal, adenoma dapat dicabut
(opeerasi) setelah diagnosis ditegakkan. Biasanya pasien akan membutuhkan terapi
replacement steroid pascaoperasi tidak peduli dimana lokasi adenomanya. Pada pasien yang
dicabut kedua kelenjar adrenalnya, replacement dapat dilakukan dengan hydrocortisone dan
prednisolone.
Kebanyakan pasien dengan karsinoma adrenal meninggal dalam 3 tahun setelah diagnosis
karena terjadi metastasis. Metastasis tersering terjadi di hati dan paru. Obat utama untuk
karsinoma adrenal adakah mitotan. Obat ini menekan produksi kortisol dan menurunkan
kadar kortisol dalam darah dan urine. Obat ini biasa diberikan 3-4 kali sehari dengan dosis
ditingkatkan bertahap 8-10g perhari.