PENDAHULUAN
1, maka sebaiknya pasien yang mempunyai gejala yang mengarah ke Karsinoma Nasofaring
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan serologi yaitu antibodi anti-EBV (EBNA-1).
Penderita Karsinoma Nasofaring tersebar diseluruh dunia dan terdapat daerah
endemik di China selatan. Jenis Karsinoma ini merupakan bentuk keganasan ketiga yang
dijumpai pada pria dengan insidensi di China Selatan berkisar antara 15-50% pertahun. Di
Indonesia Karsinoma Nasofaring paling banyak dijumpai diantara tumor ganas dibidang
THT. Dan usia terbanyak yang menderita adalah usia 40 tahun keatas. Prevalensi Karsinoma
Nasofaring di indonesia sebesar 4,7/100.000 per-penduduk per-tahun. Dibagian THT RSUD
Dr. Soetomo (selama tahun 2000-2001) poliklinik onkologi melaporkan penderita baru
Karsinoma Nasofaring berjumlah 623 orang, laki-laki dua kali lebih banyak dibandingakan
perempuan. Di bagian THT RSUP H. Adam Malik, selama 1991-1996 mendapat kasus 160
tumor ganas, 94 kasus (58,81%) merupakan Karsinoma Nasofaring.
BAB II
2
ANATOMI FARING
Sebelum membahas struktur anatomi dari nasofaring, terlebih dahulu kita membahas
mengenai faring. Faring adalah tenggorokan, ruang muskulo-membranosa di belakang rongga
hidung, mulut, dan laring, berhubungan dengan rongga-rongga tersebut dan dengan esofagus.
Atau secara lebih jelas, faring merupakan bangunan tabung fibromuskuler yang berbentuk
corong ( membesar di bagian atas dan mengecil dibagian bawah ) yang ke arah inferior akan
berlanjut menjadi esofagus. Bangunan ini terbentang mulai dari basis kranii hingga
menyambung ke esofagus setinggi vertebra servical VI, dengan panjang kurang lebih 5 inci
(13 cm).
Secara anatomis, faring dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :
1. Nasofaring
2. Orofaring
3. Laringofaring, yang juga sering disebut hipofaring
Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku diatas , belakang dan lateral
yang secara anatomi termasuk bagian faring.
-
Ke anterior berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang
septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul.
Ke arah posterior dinding nasofaring melengkung ke superior-anterior dan terletak
dibawah os sfenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan
ruang retrofaring, fasia pre-vertebralis dan otot-otot dinding faring.
Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustachius dimana
orifisium ini dibatasi superior dan posterior torus tubarius, sehingga penyebaran
tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustachis dan akan
mengganggu pendengaran.
Ke arah postero-superior dari torus tubarius terdapat fossa Rosenmuller yang
merupakan lokasi tersering Karsinoma Nasofaring.
Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh
jaringan lunak sub mukosa, dimana pada usia muda dinding postero-superior nasofaring
umumnya tidak rata. Hal ini disebabkan karena adanya jaringan adenoid. Di nasofaring
terdapat banyak saluran getah bening yang terutama mengalir ke lateral bermuara di kelenjar
retrofaring Krause (kelenjar Rouviere).
Nasofaring juga berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti: n.
Glossopharingeus, n. Vagus dan n. Asesorius saraf spinal cranial dan vena jugularis interna.
Faring mendapat darah dari berbagai sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang
terutama berasal dari cabang a. Karotis eksterna, serta dari cabang a. Maksilaris interna,
yakni cabang palatine superior.
BAB III
KARSINOMA NASOFARING
4
1.
EPIDEMIOLOGI
Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk non-mongoloid, namun
demikian daerah China bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi, yaitu dengan 2500
kasus baru pertahun untuk propinsi guang-dong (Kwantung) atau prevalensi 39,84/100.000
penduduk.
Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya Karsinoma Nasofaring,
sehinggga kekerapannya cukup tinggi pada penduduk China bagian Selatan, Hongkong,
Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian Utara seperti Aljazair
dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alasaka dan Tanah Hijau yang di duga penyebabnya
adalah karena mereka memakan makanan yang di awetkan dalam musim dingin dengan
menggunakan bahan pengawet Nitrosamin.
Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUDPN Dr.
Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan
Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, palembang 25 kasus, 15 kasus
setahun di Denpasar, dan 11 kasus di Padang dan Bukit tinggi. Demikian pula angka-angka
yang di dapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan lain-lain menunjukkan bahwa tumor
ganas ini terdapat merata di Indonesia. Dalam pengamatan dari pengunjung poloklinik tumor
THT RSCM, pasien Karsinoma Nasofaring dari ras China relatif sedikit lebih banyak dari
suku bangsa lainnya.
2.
3. Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat Karsinogen. Yaitu yang dapat
menyebabkan kanker, antara lain Benzopyrene, Benzoathracene ( sejenis Hidrokarbon
dalam arang batubara ), gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa Ekstrak
tumbuhan- tumbuhan.
4. Ras dan keturunan. Ras kulit putih jarang terkena penyakit ini. Di Asia terbanyak
adalah bangsa Cina, baik yang negara asalnya maupun yang perantauan. Ras melayu
yaitu Malaysia dan Indonesia termasuk yang banyak terkena karsinoma nasofaring.
5. Radang kronis di daerah nasofaring. Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa
nasofaring menjadi lebih rentan terhadapa karsinogen lingkungan.
3.
MANIFESTASI KLINIK
Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan
yang sedini mungkin memegang peranan penting untuk mengetahui gejala dini KNF dimana
tumor masih terbatas di rongga nasofaring.
A. Gejala Dini :
Gejala telinga :
1. Kataralis/sumbatan tuba eutachius
Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai
dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat
dini.
2. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga.
Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan
muara tuba, dimana rongga teliga tengah akan terisi cairan. Cairan yang
diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran
gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran.
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat
terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya
berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus,
sehingga berwarna merah jambu. Epistaksis ini juga dapat disebabkan oleh
penjalaran tumor ke selaput lendir hidung yang dapat mencederai dinding
pembuluh darah daerah ini.
2. Sumbatan hidung
Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam
rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadangkadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental.
Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini,
karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lainlainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang.
B. Gejala Lanjut :
1. Pembesaran kelenjar limfe leher
Tidak semua benjolan leher menandakan penyakit ini. Yang khas jika
timbulnya di daerah samping leher, 3-5 sentimeter di bawah daun telinga dan
tidak nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai
pertahanan pertama sebelum sel tumor ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan
ini tidak dirasakan nyeri, karenanya sering diabaikan oleh pasien.
Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan
mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit
digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran
kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke
dokter. Kadang pembesaran kelenjar di leher ini salah didiagnosis sebagai
tuberkulosis kelenjar.
2. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar.
Tumor dapat meluas ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga
tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan
menyebabkan gejala akibat kelumpuhan syaraf otak. Penjalaran melalui foramen
laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI, dan dapat pula ke V, sehingga
yang sering ditemukan ialah penglihatan ganda (diplopia) dan pada pemeriksaan
tampak bola mata juling. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering
ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII
jika penjalaran melalui foramane jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh
dari nasofaring. Hal ini akan menimbulkan rasa baal (mati rasa) didaerah wajah
sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, bahu, leher dan gangguan pendengaran
serta gangguan penciuman.
Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke
selaput otak, rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang
terkena tumor.
Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral)
tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh.
7
4.
PATOFISIOLOGI
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid icosahedral dan
termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa
penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan karsinoma nasofaring
(KNF). KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu
pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak faktor
yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu:
1. adanya infeksi EBV,
2. Faktor lingkungan
3. Genetik
1) Virus Epstein-Barr
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B.
Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel
limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus,
yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul
EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan
rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan
selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini
mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan
pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke
8
dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR ( Polimeric Immunogloblin Receptor ). Sel
yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel
menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau
virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel
kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus
sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel
menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs EBNA1,
LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada
infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase
yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang
paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas
368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein
transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein
transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor ) dan
meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon
imun lokal.
2) Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerentana terhadap
karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan memiliki
agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan
gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan
terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi
metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen
3) Faktor lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah
di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang
awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene
(NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik
karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena paparan asap rokok
yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma
nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.
5.
HISTOPATOLOGI
Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan
limfosit, sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dengan
jaringan limfosit ini sangat erat, sehingga sering disebut Limfoepitel. Bloom dan Fawcett
(1965) membagi mukosa nasofaring atas empat macam epitel :
1. Epitel selapis thorax bersilia Simple Columnar Cilated Epithelium
2. Epitel thorax berlapis Stratified Columnar Epithelium
9
Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau
mengenai saraf-saraf otak.
11
Stadium III : T1/T2 dan N1/N2 dan M0 atau T3 dan N0/N1/N2 dan M0
12
13
7.
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring,
protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium
tumor:
I.
II.
III.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.
Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik
keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung. Demikian juga
kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas.
Kemudian dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan
dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop
yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas. Bila
dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.
14
IV.
V.
Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang
diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic tersebut adalah:
Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada
daerah nasofaring
Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.
a) Foto polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari
kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak ( soft tissue technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
Tomogram Lateral daerha nasofaring
Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
b)C.T.Scan
Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi polos
adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bula kecil mungkin
tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah submukosa, maka
15
hal ini akan sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika
penyebaran ke jaringan sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukarankesukaran dalam mendeteksi hal tersebut. Keunggulan C.T. Scan dibandingkan
dengan foto polos ialah kemampuanya untuk membedakan bermacam-macam
densitas pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan lunak maupun perubahanperubahan pada tulang, gengan criteria tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring
yang masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapatdinilai pakah sudah ada
perluasan tumor ke jaringna sekitarnya, menilai ada tidaknya destruksi tulang serta
ada tidaknya penyebaran intracranial.
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari
kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak ( soft tissue technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
Tomogram Lateral daerha nasofaring
Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
VI.
Pemeriksaan neuro-oftalmologi
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala
lanjut KNF ini.
VII.
Pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid
antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi
karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien
karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah
97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan
terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya
30,0%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis
pengobatan, titer yang didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160.
8.
Penatalaksanaan
1. Radioterapi(8)
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk
karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
Definisi Terapi Radiasi :
Terapi radiasi adalah terapi sinar menggunakan energi tinggi yang dapat
menembus jaringan dalam rangka membunuh sel neoplasma.
Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat
meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada
keadaan kambuh.
Definisi Kemoterapi
Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat
pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker.
Obat-obat anti kaker ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal (active
single agents), tetapi kebanyakan berupa kombinasi karena dapat lebih
meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang
resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya. Dosis
obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek samping menurun.
Berdasar siklus sel kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus
(Cell Cycle non Spesific ) artinya bisa pada sel yang dalam siklus pertumbuhan
sel bahkan dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi yang hanya bisa
bekerja pada siklus pertumbuhan tertentu ( Cell Cycle phase spesific ).
Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu pada
siklus sel disebut cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat menghambat
pembelahan sel pada semua fase termasuk fase G0 disebut cell cycle
nonspecific. Obat-obat yang tergolong cell cycle specific antara lain
Metotrexate dan 5-FU, obat-obat ini merupakan anti metabolit yang bekerja
dengan cara menghambat sintesa DNA pada fase S. Obat antikanker yang
tergolong cell cycle nonspecific antara lain Cisplatin (obat ini memiliki
mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga mencegah replikasi, bekerja
pada fase G1 dan G2), Doxorubicin (fase S1, G2, M), Bleomycin (fase G2,
M), Vincristine (fase S, M).
Dapat dimengerti bahwa zat dengan aksi multipel bisa mencegah
timbulnya klonus tumor yang resisten, karena obat-obat ini cara kerjanya tidak
sama. Apabila resiten terhadap agen tertentu kemungkinan sensitif terhadap
agen lain yang diberikan, dikarenakan sasaran kerja pada siklus sel berbeda.
19
3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher
radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa
kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa
tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan
radiologik dan serologi.(5) Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif
yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada
nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.(1)
4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah
virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan
imunoterapi.
Prosedur follow up
20
tidak sepert keganasan kepala leher lainnya , KNF mempunyai resiko terjadinya
rekurensi, sehingga follow up jangka panjang diperlukan. Kekeambuhan tersering terjadi
kurang dari 5 tahun, 5 15 % kekambuhan sering kali terjadi antara 5-10 tahun. Sehingga
pasien KNF perlu di follow up setidaknya 10 tahun setelah terapi. Jadwal follow up yang
dianjurkan sebagai berikut :
- Dalam 3 tahun pertama : setiap 3 bulan
- Dalam 3-5 tahun : setiap 6 bulan
- Setelah 5 tahun : setiap setahun sekali untuk seumur hidup
9.
Prognosis
Pengobatan radiasi, terutama pada kasus dini, pada umumnya akan memberikan hasil
pengobatan yang memuaskan. Namun radiasi pada kasus lanjutpun dapat memberikan hasil
pengobatan paliatif yang cukup baik sehingga diperoleh kualitas hidup pasien yang baik pula.
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh
beberapa faktor, seperti :
10.
Pencegahan
- Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein
Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan
resiko tinggi.
- Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.
- Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan
untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.
- Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan
sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinankemungkinan faktor penyebab.
- Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa
yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara
lebih dini.
21
BAB IV
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Farid W, Ramsi L. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Medan : FK USU, 1998.h.
1-20.
2. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher.13 th Ed. Jilid 1.
Alih bahasa staf ahli bagian THT RSCM-FK UI. Jakarta : Binarupa Aksara, 1994.h.
391-6.
3. Myers EN, Suen JY. Cancer of the head and neck. 2nd ed. New York : Churchill
Livingstone, 1989. h. 495-507.
4. Iskandar N, Munir M, Soetjiepto D. Tumor Ganas THT. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, 1989.
5. Damayanti Soetjipto. Karsinoma nasofaring.Dalam : Nurbaiti Iskandar (ed).Tumor
telinga-hidung-tenggorok diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta : FK UI,1989.h. 7184.
6. Ballenger JJ. Otorhinolaryngology : head and neck surgery. 15th ed. Philadelphia :
Williams & Wilkins, 1996.p. 323-36.
7. Ramsi Lutan, Nasution YU. Karsinoma nasofaring. Dalam : Program & abstrak
PITIAPI. Medan : FK USU, 2001.h. 9-25.
8. Susworo. Dalam : Kanker Nasofaring Epidemologi dan Pengobatan Mutakhir. Cermin
Dunia Kedokteran. 2004 : 16-20
9. Averdi Roezin, Anida Syafril. Karsinoma nasofaring. Dalam : Efiaty A. Soepardi (ed).
Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ketiga. Jakarta : FK UI,
1997. h. 149-53.
10. Davidson. Neck Masses : Differential Diagnosis and Evaluation. San Diego :
University
of
California.
Available
at
:
http://drdavidson.ucsd.edu/Portals/0/CMO/CMO_05.htm. Accessed July 31, 2009.
23