Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

CEDERA KEPALA

Disusun Oleh : Gani Mutiara

NIM : 2130282067

CI AKADEMIK CI KLINIK

( ) ( )

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHTAN

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

T.A 2021/2022
A. LANDASAN TEORI
1. PENGERTIAN
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent
(PERDOSSI, 2007).
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik (Snell, 2006).
Cedera otak adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas
otak (Hudak & Gallo, 2010).
Cedera kepala primer merupakan cedera mekanis pada otak dan terjadi pada saat
benturan (yaitu, kontusio atau komusio). Sedangkan cedera kepala sekunder terjadi
dalam waktu beberapa detik, jam atau hari setelah cedera primer. Penyebab cedera
sekunder meliputi hipoksemia, hipotensi sistemik, dan tekanan intrakranial yang terus
meningkat. Penyebab cedera mikroskopik mencakup radikal bebas dan reaksi
inflamasi (Oman, McLain, & Scheetz, 2002).
2. ETIOLOGI
a. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam : menyebabkan cedera setempat & menimbulkan
cedera local. Kerusakan local meliputi Contusio serebral, hematom serebral,
kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran
otak atau hernia.
b. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul & menyebabkan cedera menyeluruh (difusi) :
kerusakannya menyebar secara luas & terjadi dalam 4 bentuk: cedera akson,
kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil,
multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer,
cerebral., batang otak atau kedua-duanya (Wijaya, 2013)
3. KLASIFIKASI
Cedera kepala menurut Dewantoro, dkk (2007) di klasifikasikan menjadi 3kelompok
berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu:
a. CKR (Cedera Kepala Ringan)
1) GCS > 13
2) Tidak ada fraktur tengkorak
3) Tidak ada kontusio serebri, hematom
4) Dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi <30 menit
5) Tidak terdapat kelainan pada CT scan otak
6) Tidak memerlukan tindakan operasi
b. CKS (Cedera Kepala Sedang)
1) GCS 9-13
2) Kehilangan kesadaran (amnesia) >30 menit tapi < 24 jam
3) Muntah
4) Dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung)
5) Ditemukan kelainan pada CT scan otak
6) Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial
7) Dirawat di RS setidaknya 48 jam
c. CKB (Cedera Kepala Berat)
1) GCS 3-8
2) Hilang kesadaran > 24 jam
3) Adanya kontusio serebri, laserasi/ hematoma intracranial
Menurut Wijaya dan Putri (2013) jenis cedera kepala:
a. Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan
jaringan otak. Luka kepala terbuka akibat cedera kepala pecahnya tenkorak atau
luka penetrasi, besarnya cedera pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan
bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak
menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak,
jaringan sel otak akibat benda tajam/tembakan. Cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.
b. Cedera kepala tertutup dapat disamakan dengan keluhan geger otak ringan dan
oedem serebral yang luas
Sedangkan menurut Morton, dkk (2012), Cedera kepala diklasifikasikan
menjadi cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera primer adalah
akibat cedera awal. Cedera awal menyebakan gangguan integritas fisik, kimia dan
listrik dari sel area tersebut, yang menyebabkan kematian sel. Cedera sekunder
meliputi meliputi respon fisiologis cedera otak, termasuk edema serebral, iskemia
serebral, perubahan biokomia, dan perubahan hemodinamika serebral.
a. Cedera otak primer
1) Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering menyebabkan perdarahan dalam jumlah besar
karena vaskularitas kulit kepala, dan sering menunjukkan adanya cedera lain
pada tuang tengkorak dan jaringan otak.
2) Fraktur tulang tengkorak (fraktur basis Cranii)
Tulang tengkorak memberikan perlindungan pada otak dengan
mendistribusikan tekanan keluar, yang mengurangi dampak langsung pada
otak. Penting untuk diingat bahwa pembuluh darah menjalar sepanjang
lekukan tulang permukaan dalam tulang tengkorak. Fraktur yang langsung
mengenai pembuluh darah tersebut dapat mencederai pembuluh darah yang
mengakibatkan hematoma epidural.Fraktur basis kranii (fraktur dasar
tengkorak) dapat menimbulkan perembesan cairan serebrospinal lewat
duramater yang robek. Perembesan cairan serebrospinal yang terus-menerus
dapat mengakibatkan meningitis atau abses (Oman, McLain, & Scheetz,
2012).
Tanda-tanda dan gejala-gejala fraktur basis cranii (Oman, McLain, &
Scheetz, 2012):
a) Sakit kepala
b) Perubahan tingkat kesadaran
c) Ekimosisi
d) Rinore atau otore cairan serebrospinal
Penanganan fraktur basis cranii (Umar Kasan : 2000).
a) Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah
batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.
b) Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu
dilakukan tampon steril (Consul ahli THT) pada bloody
otorrhea/otoliquorrhea.
c) Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea
penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang
sehat
3) Komusio (Gegar otak)
Gegar otak dikalsifikasikan sebagai cedera otak traumatik ringan dan
didefinisikan sebagai setiap perubahan status mental yang disebkan oleh
trauma yang dapat/ tidak dapat menimbulkan kehilangan kesadaran.
4) Kontusio (Memar otak)
Kontusio serebral adalah cedera fokal yang derajat keparahannya tergantung
pada ukuran dan luasnya cedera jaringan otak. Kontusia terjadi akibat laserasi
pembuluh darah kecil.
5) Hematoma epidural
Hematoma epidural adalah akumulasi darah diantara dural dan strukutur
bagian dalam otak, yang biasanya disebakan oleh laserasi arteri ekstradural.
Hematoma epidural berasal dari perdarahan arteri yang terletak diantara
meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak
yang telah merobek arteri. Dara di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi
sehingga lebih cepat memancar.
6) Hematoma subdural
Hematoma subdural adalah akumulasi darah dibawah dura dan diatas araknoid
yang menutupi otak. Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di
sekeliling otak. Perdarahan bias terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala
berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadi cedera kepala yang lebih
ringan.
7) Hematoma intraserebral
Hematoma intraserebral adalah akumulasi darah dalam jaringan otak.
Penyebabnya yaitu adanya ffraktur tulang terdepresi, cedera tembak, dan
akselerasi-deselerasi mendadak.
8) Hemoragi subaraknoid traumatic
Hemoragi subaraknoid traumatic terjadi karena robek/ terpotongnya pembuluh
darah mikro pada lapisan araknoid.
9) Cedera aksonal difus
Cedera aksonal difus ditandai dengan sobeknya/ terpotongnya akson secara
langsung, yang memburuk selama 12-24 jam pertama karena adanya edema
difus dan lokal.
10) Cedera serebrovaskular
Cedera atau diseksi arteri ditandai dengan perdarahan kedalam dinding
pembuluh darah, yang menyebabkan kerusakan pada lapisan endotelial paling
dalam (intima). Kerusakan intima dapat menyebabkan pembentukan bekuan
darah/ flap intima, yang menyebabkan peyumbatan pembuluh darah sehingga
terjadi stroke.
b. Cedera otak sekunder
Cedera otak sekunder mencakup semua kejadian yang menyebabkan kerusakan
otak lebih lanjut yang terjadi setelah trauma.
1) Edema serebral
Edema serebral umumnya dialami oleh pasien cedera kepala saat 24-48 jam
setelah gangguan primer dan terutama memuncak pada 72 jam. Edema
serebral dapat memperburuk kondisi pasien sebelum kondisinya membaik.
2) Iskemia
Iskemia serebral terdiri dari kelas cedera sekunder yang serius dan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas. Iskemia serebral muncul pada saat kondisi
aliran darah berkurang atau tidak adekuat dalam memenuhi kebutuha
metabolic. Akhir dari iskemia yang tidak teratasi adalah infark/ kematian
jaringan, yang mendorong terjadinya edema tambahan.
3) Sindrom herniasi
Sindrom herniasi menggambarkan kondisi dengan struktur serebral bergeser
didalam cranium karena tekanan yang tinggi. Triad cushing menggambarkan
tiga tanda akhir herniasi, peningkatan tekanan darah sistolik, penurunan
frekuensi jantung, dan pola napas tidak teratur.
Perbandingan hasil pemeriksaan TIK dan sindrom herniasi

Peningkatan TIK Sindrom herniasi


Tingkat respon terhadap Diperlukan peningkatan Tidak dapat distimulasi
stimulus stimulus
Fungsi motoric Kelemahan motorik Kelemahan motorik nyata,
samara tau penyimpangan tidak ada respon
pronator
Respon pupil Respon pupil lembam Pupil dilatasi unilateral dan
terfiksasi
Tanda-tanda vital Dapat stabil atau labil Triad cushing
menggambarkan tiga tanda
akhir herniasi, peningkatan
tekanan darah sistolik,
penurunan frekuensi
jantung, dan pola napas
tidak teratur.
4) Koma
Koma adalah perubahan kesadaran yang disebabkan oleh kerusakan hemisfer
otak/ batang otak. Koma terjadi akibat gangguan system yang mengaktivasi
retrikular (RAS). Koma dapat disebabkan oleh banyak hal seperti infeksi
system saraf pusat, gangguan elektrolit, hipertiroidisme, hipotiroidisme,
hipoksia, kejang, toksin. Kondisi koma dapat dibagi menjadi koma ringan,
koma, koma dalam.
5) Kondisi vegetative persisten
Kondisi vegetative persisten ditandai dengan periode koma seprti tidur yan
diikuti oleh kembali terjaga, tetapi disertai tidak adanya tingkat kognisi yang
jelas. Diagnosis kondisi vegetative persisten tidak dapat ditetapkan sebelum 4
minggu awitan cedera otak traumatic dan koma.
4. MANIFESTASI KLINIS
a. Cedera kepala ringan
a. Kebingungan, sakit kepala, rasa mengantuk yang abnormal dan sebagian besar
pasien mengalami penyembuhan total dalam jam atau hari
b. Pusing, kesulitan berkonsentrasi, pelupa, depresi, emosi, atau perasaannya
berkurang dan cemas,kesulitan belajar dan kesulitan bekerja.
b. Cedera kepala sedang
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan bahkan koma
b. Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik,
perubahan tanda-tanda vital, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungdi
sensorik, kejang oto, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan. (Smeltzer &
Bare, 2002)
c. Cedera kepala berat a. Amnesia dan tidak dapat lagi mengingat peristiwa sesaat
sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesehatan. b. Pupil tidak ekual,
pemeriksaan motorik tidak ekual, adanya cedera terbuka, fraktur tengkorak dan
penurunan neurologic.
5. KOMPLIKASI
Menurut Hudak dan Gallo (2010), komplikasi cedera kepala antara lain:
a. Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala adalah
edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguana neurologis atau akibat
dari sindrom distres pernapasan dewasa. Edema paru dapat akibat dari cedera
pada otak yang menyebabkan adanya refleks cushing. Peningkatan pada tekanan
darah sistemik terjadi sebagai respons dari sistem saraf simpatis pada
peningkatan TIK. Peningkatan vasokonstriksi tubuh umum ini menyebabkan
lebih bnyak darah dialirkan ke paru-paru. Perubahan permeabilitas pembuluh
darah peru-peru berperan dalam proses dengan memungkinkan cairn berpindah
ke dalam alveolus. Kerusakan difusi oksigen dan karbon dioksida dari darah
dapat menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
b. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala selama fase akut.
Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan
menyediakan spatel lidah yang diberi bantakan atau jalan napas oral di samping
tempat tidur dan peralatan penghisap dekat dalam jangkauan. Pagar tempat todur
harus tetap dipasang, diberi bantalan pada pagar dengan bantal atau busa untuk
meminimalkan resiko sekunder terhadap cedera karena kejang. Selama kejang,
perawat harus memfokuskan perhatian pada upaya mempertahankan jalan napas
paten ketika mengamati perkembangan kejang dan mencegah cedera lanjut pada
pasien. Jika terdapat waktu yang cukup sebelum spasitisitas otot terjado, dan
rahang terkunci, spatel lidah yang diberi bantalan, jalan napas oral, atau tongkat
gigit plastik harus dipasang diantara gigi pasien.
Satu-satunya tindakan medis terhadap kejang adalah terapi obat.
Diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara
perlahan melalui intravena. Karena obat ini menekan pernapan, maka frekuensi
dan irama pernapasan pasien harus dipantau dengan cermat. Jika kejang tiak bisa
lagi diatasi dengan obat ini, dokter mungkin akan memberikan fenobarbital atau
fenitoin untuk mempertahankan konrol terhadap kejang.

c. Kebocoran Cairan Serebrospinal


Buka hal yang tidak umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan fraktur
tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dar telinga atau hidung. Ini dapat
akibat dari fraktur pada fossa anteroir dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basiliar bagian petrous dari tulang temporal..
6. PATOFISIOLOGI
Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung terhadap
jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang membentur sisi luar
tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri dalam rongga tengkorak. Pada
cedera deselerasi, kepala biasanya membentur suatu objek seperti kaca depan mobil,
sehingga terjadi deselerasi tengkorak yang berlangsung tiba-tiba. Otak tetap
bergerak ke arah depan, membentur bagian dalam tengorak tepat di bawah titik
bentur kemudian berbalik arah membentur sisi yang berlawanan dengan titik bentur
awal. Oleh sebab itu, cedera dapat terjadi pada daerah benturan (coup) atau pada sisi
sebaliknya (contra coup).
Sisi dalam tengkorak merupakan permukaan yang tidak rata. Gesekan jaringan
otak tehadap daerah ini dapat menyebabkan berbagai kerusakan terhadap jaringan
otak dan pembuluh darah.
Respon awal otak yang mengalami cedra adalah ”swelling”. Memar pada otak 
menyebabkan vasoliditasi dengan peningkatan aliran darah ke daerah tersebut,
menyebabkan penumpukan darah dan menimbulkan penekanan terhadap jaringan
otak sekitarnya. Karena tidak terdapat ruang lebih dalam tengkorak kepala maka
‘swelling’ dan daerah otak yang cedera akan meningkatkan tekanan intraserebral dan
menurunkan aliran darah ke otak. Peningkatan kandungan cairan otak (edema) tidak
segera terjadi tetapi mulai berkembang setelah 24 jam hingga 48 jam. Usaha dini
untuk mempertahankan perfusi otak merupakan tindakan  penyelamatan hidup.
Kadar CO2 dalam darah mempengaruhi aliran darah serebral. Level normal
CO2 adalah 35-40 mmHg. Peningkatan kadar CO2 (Hipoventilasi) menyebabkan
vasodilatasi dan bengkak otak, sedangkan penurunan kadar CO2 (Hiperventilasi)
menyebabkan vasokontruksi dan serebral iskemia. Pada saat lampau, diperkirakan
bahwa dengan menurunkan kadar CO2 (hiperventilasi) pada penderita cedera kepala
akan mengurangi bengkak otak dan memperbaiki aliran darah otak. Akhir-akhir ini
dibuktikan bahwa hiperventilasi hanya memberikan peranan kecil terhadap bengkak
otak, tetapi berpengaruh besar dalam menurunkan aliran darah otak karena
vasokonstriksi. Hal ini menyebabkan hipoksia serebral. Otak yang mengalami
cedera tidak mampu mentoleransi hipoksia.
Hipoventilasi atau hipoksia meningkatkan angka kematian dengan
mempertahankan ventilasi yang baik pada frekuensi nafas berkisar 15 kali permenit
dan aliran oksigen yang memadai merupakan hal yang sangat penting. Hiperventilasi
profilaksis pada cedera kepala sudah tidak direkomendasikan.
Tekanan intracranial
Dalam rongga tengkorak dan selaput yang membungkus otak terdapat
jaringan otak, liquor serebrospinal. Dan darah peningkatan volume salah satu
komponen akan diikuti dengan pengurangan atau penekanan terhadap masing-
masing volume komponen yang lain karena tengkorak kepala orang dewasa (suatu
kotak yang kaku) tidak dapat mengembang (membesar). Walaupun CSF
memberikan toleransi, namun ruang yang diberikan tidak mampu mentoleransi
bengkak otak yang terjadi dengan cepat. Aliran darah tidak boleh terganggu karena
otak membutuhkan suplai darah yang konstan (oksigen dan glukosa) untuk bertahan
hidup. Tidak satu pun dari komponen yang mendukung otak dapat mentoloransi hal
ini, oleh sebab itu, bengkak otak yang terjadi akan cepat menyebabkan kematian.
Tekanan yang ditimbulkan oleh isi tengkorak disebut tekanan intracranial (ICP).
Tekanan ini biasanya sangat rendah. Tekanan intra kranial dinilai berbahaya jika
meningkat hingga 15mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan di atas 25
mmHg. Tekanan darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekanan perfusi
serebral (CPP). Nilai CPP diperoleh dengan mengurangkan MABP terhadap ICP.
Tekanan perfusi harus dipertahankan 70 mmHg atau lebih. Jika otak membengkak
atau terjadi pendarahan dalam tengkorak, tekanan intrakranial akan meningkat dan
tekanan perfusi akan menurun. Tubuh memiliki refleks perlindungan
(respons/refleks cushing) yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam
keadaan konstan. Saat tekanan intraserebral meningkat, tekanan darah sistematik
meningkat untuk mencoba mempertahankan aliran darah otak. Saat keadaan semakin
kritis, denyut nadi menurun (bradikardia) dan bahkan frekuensi respirasi berkurang.
Tekanan dalam tengkorak terus meningkat hingga titik kritis tertentu dimana cedera
kepala memburuk dan semua tanda vital terganggu, dan berakhir dengan kematian
penderita. Jika terdapat peningkatan intrakranial, hipotensi akan memperburuk
keadaan. Harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang
membutuhkan tekanan sistolik 100-110 mmHg  pada penderita cedera kepala.
Sindroma herniasi
Saat otak membengkak, khususnya setelah benturan pada kepala,
peningkatan tekanan intrakranial yang tiba-tiba dapat terjadi. Hal ini dapat
mendorong bagian otak ke arah bawah, menyumbat aliran CSF dan menimbulkan
tekanan besar terhadap batang otak. Hal ini merupakan keadaan yang mengancam
hidup di tandai dengan penurunan tingkat kesadaran yang secara progresif menjadi
koma, dilatasi pupil dan deviasi mata ke arah bawah dan lateral pada mata sisi
kepala yang mengalami cedera, kelemahan pada tungkai dan lengan sisi tubuh
berlawanan terhadap sisi yang mengalami cedera, dan postur deserebrasi (dijelaskan
berikut ini) penderita selanjutnya akan kehilangan semua gerakan, berhenti nafas
dan meninggal. Sindroma ini sering terjadi setelah perdarahan subdural akut.
Sindroma herniasi merupakan satu-satunya keadaan di mana hiperventilasi masih
merupakan indikasi.
Cedera otak anoksia
Cedera pada otak akibat kurangnya oksigen ( misal henti jantung, obstruksi
jalan nafas) mempengarui otak secara serius. Jika otak tidak mendapatkan oksigen
selama 4 hingga 6 menit, kerusakan irreversible hampir selalu terjadi. Setelah
episode anoksia, perfusi korteks akan terganggu akibat spasme yang terjadi pada
arteri kecil pada serebral. Setelah anoksia 4 hingga 6 menit, perbaikan oksigenasi
dan tekanan darah tidak akan memperbaiki perfusi korteks (tidak ada fenomena
reflow) dan cedera anoksia akan terus berlangsung dalam sel otak. Sepertinya
hipotermia mampu melindungi otak terhadap efek tersebut dan terdapat laporan
kasus pasien hipotermia yang diresusitasi setelah mengalami hipoksia selama 1 jam

7. PATHWAY
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSIS
a. Sinar X : mengidentifikasikan distribusi struktural (misal: lobar, bronchial); dapat
juga menyatakan abses).
b. Pemeriksaan gram/kultur, sputum dan darah: untuk dapat mengidentifikasi semua
organisme yang ada.
c. Pemeriksaan serologi: membantu dalam membedakan diagnosa organisme khusus.
d. Pemeriksaan fungsi paru: untuk mengetahui paru-paru, menetapkan luas berat
penyakit dan membantu diagnosa keadaan.
e. Biopsi paru: untuk menetapkan diagnosi
f. Spirometrik static: untuk mengkaji jumlah udara yang diaspirasi.
g. Bronkostopi: untuk menetapkan diagnosa dan mengangkat benda asing (Meadow,
2015).

9. PENATALAKSANAAN

Pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi tapi karena halitu perlu
waktu dan pasien pneumonia diberikan terapi secepatnya :

1. Penicillin G: untuk infeksi pneumonia staphylococcus.


2. Amantadine, rimantadine: untuk infeksi pneumonia virus
3. Eritromisin, tetrasiklin, derivat tetrasiklin: untuk infeksi pneumonia mikroplasma.
4. Pemberian oksigen jika terjadi hipoksemia.
5. Kebersihan pulmonari yang baik seperti: napas dalam, batuk, terpi fisik dada
(Meadow, 2015).

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Menurut Wong (2009), asuhan keperawatan pada anak dengan pneumonia meliputi :

a. Identitas

Terdiri dari Nama, No.Rek.Medis, Umur , Agama, Jenis Kelamin ,Pekerjaan, Status

perkawinan, Alamat, Tanggal masuk, Yang mengirim, Cara masuk RS, dan Diagnosa

medis dan nama Identitas Penanggung Jawab meliputi : Nama, Umur, Hub dengan

pasien, Pekerjaan dan Alamat.


b. Riwayat Kesehatan

1) Keluhan utama

Keluhan utama merupakan hal-hal yang dirasakan oleh pasien sebelum

masuk ke rumah sakit. Riwayat Kesehatan Sekarang

2) Riwayat Kesehatan Dahulu

3) Riwayat kesehatan keluarga

Biasanya pasien mempunyai anggota keluarga yang pernah menderita

penyakit yang sama dengan pasien.

c. Pemeriksaan Fisik (dada Paru)

1) Inspeksi:

a) Amati bentuk thorax

b) Amati Frekuensi napas, irama, kedalamannya

c) Amati tipe pernapasan : Pursed lip breathing, pernapasan diapragma,

penggunaan otot Bantu pernapasan

d) Tanda tanda reteraksi intercostalis , retraksi suprastenal

e) Gerakan dada

f) Adakan tarikan didinding dada , cuping hidung, tachipnea

g) Apakah daa tanda tanda kesadaran meenurun

2) Palpasi

a) Gerakan pernapasan

b) Raba apakah dinding dada panas

c) Kaji vocal premitus

d) Penurunan ekspansi dada

3) Auskultasi

a) Adakah terdenganr stridor


b) Adakah terdengar wheezing

c) Evaluasi bunyi napas, prekuensi,kualitas, tipe dan suara tambahan

4) Perkusi

1) Suara Sonor/Resonans merupakan karakteristik jaringan paru normal

2) Hipersonor , adanya tahanan udara

3) Pekak/flatness, adanya cairan dalan rongga pleura

4) Redup/Dullnes, adanya jaringan padat

5) Tympani, terisi udara

d. Pola Kebutuhan

1) Aktivitas/istirahat

Gejala : Kelemahan, kelelahan, insomnia

Tanda : Letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas.

2) Sirkulasi

Gejala : Riwayat adanya

Tanda : Takikardia, penampilan kemerahan, atau pucat

3) Makanan/cairan

Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual, muntah, riwayat diabetes mellitus

Tanda : Kistensi abdomen, kulit kering dengan turgor buruk, penampilan kakeksia

(malnutrisi)

4) Neurosensori

Gejala : Sakit kepala daerah frontal (influenza)

Tanda : Perusakan mental (bingung)

5) Nyeri/kenyamanan

Gejala : Sakit kepala, nyeri dada (meningkat oleh batuk), imralgia, artralgi
Tanda : Melindungi area yang sakit (tidur pada sisi yang sakit untuk membatasi

gerakan)

6) Pernafasan

Gejala : Adanya riwayat ISK kronis, takipnea (sesak nafas), dispnea.

Tanda : Sputum: merah muda, berkarat

perpusi: Pekak datar area yang konsolidasi

premikus: Taksil dan vocal bertahap meningkat dengan konsolidasi

Bunyi nafas menurun : Warna: pucat/sianosis bibir dan kuku

7) Keamanan

Gejala : Riwayat gangguasn sistem imun misal: AIDS, penggunaan steroid,

demam.

Tanda : Berkeringat, menggigil berulang, gemetar (Wong, 2009).

2. DIAGNOSA

3. INTERVENSI
4. IMPLEMENTASI
5. EVALUASI
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito. 2003. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC

Depkes RI, (2007). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007.

Depkes RI, (2010). Buku profile Kesehatan Indonesia tahun 2010.

Hidayat, A.A.A. (2006). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba


Medika.

Moorhead, Marion Johnson, L.2012. Maas Meridean, Elizabeth Swanson. 2016.


Nursing Outcome Classifications (NOC), Edisi 5 terjemahan Bahasa
Indonesia.

Moorhead, Marion Johnson, L. 2012. Maas Meridean, Elizabeth Swanson. 2016.


Nursing Interventions Classifications (NIC), Edisi 5 terjemahan Bahasa
Indonesia.

Meadow, Roy.2015. Notes pediatrik Edisi 7. Erlangga. Jakarta.

Nurarif, amin huda. 2015. Nanda: aplikasi Asuhan Keperawatan nic-noc. Mediaction
Jogja : Yogyakarta

Setiadi. 2012. Konsep & Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan Teori dan
Praktik. Yogyakarta : Graha Ilmu

Suriadi, Skp. MSN & Rita Yuliani, Skp. M.Psi. (2010) ”Asuhan Keperawatan Pada
Anak” , Edisi 2.  Jakarta : EGC

Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan: diagnosa NANDA,


intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Jakarta: EGC.

Wong, Donna L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Vol. 1. Edisi 6. Jakarta :
EGC

Anda mungkin juga menyukai