Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

CEDERA OTAK BERAT (COB)

1. Konsep Teori

A. Definisi

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat
temporer atau permanent (PERDOSSI, 2007).
Cedera otak adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak (Hudak & Gallo, 2010).

B. Klasifikasi
Cedera kepala menurut Dewantoro, dkk (2007) di klasifikasikan menjadi 3
kelompok berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu:
a. CKR (Cedera Kepala Ringan)
1) GCS > 13
2) Tidak ada fraktur tengkorak
3) Tidak ada kontusio serebri, hematom
4) Dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi <30 menit
5) Tidak terdapat kelainan pada CT scan otak
6) Tidak memerlukan tindakan operasi
b. CKS (Cedera Kepala Sedang)
1) GCS 9-13
2) Kehilangan kesadaran (amnesia) >30 menit tapi < 24 jam
3) Muntah
4) Dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung)
5) Ditemukan kelainan pada CT scan otak
6) Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial
7) Dirawat di RS setidaknya 48 jam
c. CKB (Cedera Kepala Berat)
1) GCS 3-8
2) Hilang kesadaran > 24 jam
3) Adanya kontusio serebri, laserasi/ hematoma intracranial
C. Etiologi
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas ( Mansjoer, 2000:3).Penyebab cidera kepala antara lain:
kecelakaan lalu lintas, perkelahian, terjatuh, dan cidera olah raga. Cidera
kepala terbuka sering disebabkan oleh peluru atau pisau (Corkrin, 2001:175).
a. Cedera Kepala Primer yaitu cedera yang terjadi akibat langsung dari
trauma:
1) Kulit       :  Vulnus, laserasi, hematoma subkutan, hematoma
subdural.
2) Tulang     :  Fraktur lineal, fraktur bersih kranial, fraktur infresi
(tertutup & terbuka).
3) Otak        :  Cedera kepala primer, robekan dural, contusio (ringan,
sedang, berat), difusi laserasi.

a) Kecelakaan Lalu Lintas


b) Jatuh
c) Kekerasan
b. Cedera Kepala Sekunder yaitu cedera yang disebabkan karena komplikasi:
1) Oedema otak
2) Hipoksia otak
3) Kelainan metabolic
4) Kelainan saluran nafas
5) Syok
Selain itu penyebab lain terjadinya trauma kepala (Smeltzer, 2001:2210;
Long,1996:203), antara lain :

1) Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana merobek
otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam
2) Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih
berat sifatnya
3) Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh
pukulan maupun bukan dari pukulan
4) Kontak benturan (Gonjatan langsung)
5) Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu objek
D. Manisfestasi Klinis
1. Nyeri yang menetap atau setempat.
2. Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial.
3. Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan
darah terlihat di bawah konjungtiva, memar diatas mastoid (tanda
battle), otoreaserebro spiral ( cairan cerebros piral keluar dari
4. telinga ), minoreaserebrospiral (les keluar dari hidung).
5. Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah.
6. Penurunan kesadaran.
7. Pusing / berkunang-kunang.Absorbsi cepat les dan penurunan volume
intravaskuler 
8. Peningkatan TIK 
9. Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis edkstremita.
10. Peningkatan TD, penurunan frek. Nadi, peningkatan pernafasan

E. Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap
yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera
pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat
disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala ( Gennarelli,
1996 dalam Israr dkk, 2009 ). Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi
yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-
titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi
kontusio. Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara
tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid)
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan
dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009).

Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus


pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek
kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari
beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali
jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu
yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel
dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin
secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan
pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya
kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel
fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien
yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan
terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan
hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah
sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah
tertentu dalam otak ( Lombardo, 2003).

F. Komplikasi
Menurut Hudak dan Gallo (2010), komplikasi cedera kepala antara lain:
1. Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera
kepala adalah edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari
gangguana neurologis atau akibat dari sindrom distres pernapasan
dewasa. Edema paru dapat akibat dari cedera pada otak yang
menyebabkan adanya refleks cushing. Peningkatan pada tekanan darah
sistemik terjadi sebagai respons dari sistem saraf simpatis pada
peningkatan TIK. Peningkatan vasokonstriksi tubuh umum ini
menyebabkan lebih bnyak darah dialirkan ke paru-paru. Perubahan
permeabilitas pembuluh darah peru-peru berperan dalam proses
dengan memungkinkan cairn berpindah ke dalam alveolus. Kerusakan
difusi oksigen dan karbon dioksida dari darah dapat menimbulkan
peningkatan TIK lebih lanjut.
2. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari pasien cedera kepala selama
fase akut. Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan
kejang dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantakan atau
jalan napas oral di samping tempat tidur dan peralatan penghisap dekat
dalam jangkauan. Pagar tempat todur harus tetap dipasang, diberi
bantalan pada pagar dengan bantal atau busa untuk meminimalkan
resiko sekunder terhadap cedera karena kejang. Selama kejang,
perawat harus memfokuskan perhatian pada upaya mempertahankan
jalan napas paten ketika mengamati perkembangan kejang dan
mencegah cedera lanjut pada pasien. Jika terdapat waktu yang cukup
sebelum spasitisitas otot terjado, dan rahang terkunci, spatel lidah yang
diberi bantalan, jalan napas oral, atau tongkat gigit plastik harus
dipasang diantara gigi pasien.
Satu-satunya tindakan medis terhadap kejang adalah terapi
obat. Diazepam merupakan obat yang paling banyak digunakan dan
diberikan secara perlahan melalui intravena. Karena obat ini menekan
pernapan, maka frekuensi dan irama pernapasan pasien harus dipantau
dengan cermat. Jika kejang tiak bisa lagi diatasi dengan obat ini,
dokter mungkin akan memberikan fenobarbital atau fenitoin untuk
mempertahankan konrol terhadap kejang.
3. Kebocoran Cairan Serebrospinal
Buka hal yang tidak umum pada beberapa pasien cedera kepala
dengan fraktur tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dar telinga
atau hidung. Ini dapat akibat dari fraktur pada fossa anteroir dekat
sinus frontal atau dari fraktur tengkorak basiliar bagian petrous dari
tulang temporal.

G. Pemeriksaan Diagnostik
1. CT scan
Pemeriksaan awal yang paling umum dilakukan karena
pemeriksaan ini dapat dengan cepat dilakukan dan sensitive terhadap
perdarahan. Satu kelemahan CT scan adalah bahwa pemeriksaan
tersebut tidak dapat secara adekuat menangkap struktur fosa posterior.
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Bermanfaat karena artifak tulang diminimalkan sehingga
struktur pada dasar tengkorak dan medulla spinalis dapat
divisualisasikan lebih baik dan perubahan neuronal dapat diamati.
Selain itu MRI dapat digunakan untuk mengevaluasi cedera vascular
serebral dengan cara noninvasive.
3. Angiografi serebral
Alat yang berguna dalam mengkaji diseksi dalam pembuluh
darah dan tidak adanya aliran darah serebral pada pasien yang
dicurigai mengalami kematian batang otak. Risiko prosedur tersebut
meliputi rupture pembuluh darah, stroke akibat debris emboli, reaksi
alergi akibat terpajan pewarna radiopak, gagal ginjal akut akibat
pewarna IV, dan perdarahan retroperitoneal dari area pemasangan
selubung setelah infus dilepaskan.
4. Ultrasonografi Doppler Transkranial
Secara tidak langsung mengevaluasi aliran darah serebral dan
mekanisme autoregulasi dengan mengukur kecepatan darah yang
melewati pembuluh darah. Kemampuan pemeriksaan ini dalam
meberikan informasi mengenai autoregulasi serebral dapat
mempengaruhi penatalaksanaan dinamik intracranial pada pasien
cedera kepala dimasa yang akan datang.
5. EEG (elektro ensefalogram)
Mengukur aktivitas gelombang otak disemua regio korteks dan
berguna dalam mendiagnosis kejang serta mengaitkan pemeriksaan
neurologis abnormal dengan fungsi kortikal abnormal. Pemeriksaan
yang penting dalam mengeliminasi kejang subklinis atau non
konvulsif. Temuan yang paling umum pada pasien cedera kepala
adalah perlambatan aktivitas gelombang listrik pada area cedera.
6. BAER (brainsteam auditory evoked responses) dan SSEP
(somatosensory evoked potential)
Pemeriksaan prognostik yang bermanfaat pada pasien cedera
kepala. Hasil abnormal dari salah satu pemeriksaan tersebut dapat
membantu menegakkan diagnosis disfungsi batang otak yang tidak
akan menghasilkan pemulihan fungsional yang bermakna.

H. Penatalaksanaan
Pengkajian dan penanganan awal pada pasien cedera kepala
dimulai segera setelah cedera, yang seringkali dilakukan oleh tenaga
kesehatan pra-rumahsakit. Penanganan pra-rumahsakit pada pasien cedera
kepala berfokus pada pengkajian system secara cepat dan penatalaksanaan
jalan napas definitive, intervensi yang dapat berdampak positif terhadap
hasil akhir pasien karena koreksi dini hipoksia dan hiperkapnia, yang telah
terbukti menyebabkan dan memperburuk cedera otak sekunder.
Pendekatan perawatan yang benar dan kecepatan dalam
memberikan pertolongan menekan angka kematian hingga 36% (National
Traumatic Coma Data Bank). Prinsip dasarnya sel saraf diberikan
kondisi/suasana yang optimal maka pemulihan akan berfungsi kembali :
1. Penatalaksanaan jalan napas
Langkah awal yang sangat penting dalam merawat pasien cedera
kepala karena hipoventilasi biasa terjadi pada kondisi penurunan
kesadaran, dan hipoksia serta hiperkpnia sangat memperburuk kondisi
pasien pada tahap awal cedera. Evaluasi lanjut terhadap status neurologis
dapat memperlihatkan perlunya terapi hiperventilasi jika terdapat tanda
herniasi serebral dan tidak dapat dikontrol dengan terapi farmakologis
awal, pemantauan lebih lanjut aliran darah serebral.
2. Hiperventilasi
Harus dilakukan hati-hati, dibuat dengan cara menurunkan PCO2 dan
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak, penurunan volume
intracranial ini akan menurunkan TIK. Hiperventilasi yang lama dan
agresif akan menurunkan perfusi otak, terutama bila PCO2 <25mmHg.
PCO2 harus dipertahankan pada 30 mmHg, sehingga bila PCO2
<25mmHg hiperventilasi harus dicegah.
Penatalaksanaan sirkulasi pada pasien cedera kepala bertujuan
meningkatkan perfusi serebral yang adekuat melalui resusitasi cairan dan
penggunaan vasopresor, jika perlu. Penatalaksanaan TIK untuk
menurunkan tahanan intracranial terhadap aliran darah.
3. Cairan
Cairan intravena : jumlah cairan dalam cedera kepala dipertahankan
agar nomovolemia, kelebihan jumlah cairan akan membahayakan jiwa
penderita. Jangan memberikan cairan hipotonik, penggunaan cairan yang
mengandung glukosa dapat menyebabkan penderita hyperglikemia yang
berakibat buruk pada penderita cedera kepala. Karena itu cairan yang
digunakan untuk resusitasi sebaiknya larutan garam fisiologis atau ringer
laktat. Kadar Natrium perlu diperhatikan karena hiponatremia akan dapat
menyebabkan odema otak yang harus dihindari.
4. Obat
a. Manitol : digunakan untuk menurunkan tekanan intra kranial,
umumnya dengan konsentrasi 20%, dosis 1gr/kg bb, diberikan
bolus intra vena dengan cepat. Untuk penderita hipotensi tidak
boleh karena akan memperberat hipovolemi.
b. Furosemide : diberikan bersama manitol untuk untuk menurunkan
TIK, kombinasi keduanya akan meningkatkan diuresis, dosis lazim
0,3-0,5 mg/kg bb IV
c. Steroid : tidak bermanfaat dalam mengendalikan kenaikan TIK dan
tidak memperbaiki hasil terapi, sehingga steroid tidak dianjurkan
d. Barbiturate : bermanfaat menurunkan TIK, karena punya efek
hipotensi tak diberikan pada penderita dengan kondisi tersebut.
Tidak dianjurkan pada resusitasi akut
e. Anti konvulsan : epilepsy pasca trauma terjadi 5% pada penderita
trauma kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Anti
konvulsan hanya berguna untuk minggu pertama terjadinya kejang,
tidak minggu yang berikut, jadi hanya dianjurkan pada minggu
pertama saja.
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
CEDERA OTAK BERAT (COB)
A. Pengkajian
a. Data subjektif :
 Identitas (pasien dan keluarga/penanggung jawab) meliputi: Nama,
umur,jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan,
status perkawinan, alamat, dan hubungan pasien dengan
keluarga/pengirim).
 Keluhan utama: Bagaimana pasien bisa datang ke ruang gawat
darurat, apakah pasien sadar atau tidak, datang sendiri atau dikirim
oleh orang lain
 Riwayat cedera, meliputi waktu mengalami cedera (hari, tanggal,
jam), lokasi/tempat mengalami cedera.
 Mekanisme cedera: Bagaimana proses terjadinya sampai pasien
menjadi cedera.
 Allergi (alergi): Apakah pasien mempunyai riwayat alergi terhadap
makanan (jenisnya), obat, dan lainnya.
 Medication (pengobatan): Apakah pasien sudah mendapatkan
pengobatan pertama setelah cedera, apakah pasien sedang
menjalani proses pengobatan terhadap penyakit tertentu
 Past Medical History (riwayat penyakit sebelumnya): Apakah
pasien menderita penyakit tertentu sebelum menngalami cedera,
apakah penyakit tersebut menjadi penyebab terjadinya cedera
 Last Oral Intake (makan terakhir): Kapan waktu makan terakhir
sebelum cedera? Hal ini untuk memonitor muntahan dan untuk
mempermudah mempersiapkan bila harus dilakukan tindakan lebih
lanjut/operasi.
 Event Leading Injury (peristiwa sebelum/awal cedera): Apakah
pasien mengalami sesuatu hal sebelum cedera, bagaimana hal itu
bisa terjadi
Pemeriksaan fisik
Kaji ABCD

AIRWAY
- Cek jalan napas paten atau tidak
- Ada atau tidaknya obstruksi misalnya karena lidah jatuh kebelakang,
terdapat cairan, darah, benda asing, dan lain-lain.
- Dengarkan suara napas, apakah terdapat suara napas tambahan seperti
snoring, gurgling, crowing.
BREATHING
- Kaji pernapasan, napas spontan atau tidak
- Gerakan dinding dada simetris atau tidak
- Irama napas cepat, dangkal atau normal
- Pola napas teratur atau tidak
- Suara napas vesikuler, wheezing, ronchi
- Ada sesak napas atau tidak (RR)
- Adanya pernapasan cuping hidung, penggunaan otot bantu pernapasan
CIRCULATION
- Nadi teraba atau tidak (frekuensi nadi)
- Tekanan darah
- Sianosis, CRT
- Akral hangat atau dingin, Suhu
- Terdapa perdarahan, lokasi, jumlah (cc)
- Turgor kulit
- Diaphoresis
- Riwayat kehilangan cairan berlebihan
DISABILITY
- Kesadaran : composmentis, delirium, somnolen, koma
- GCS : EVM
- Pupil : isokor, unisokor, pinpoint, medriasis
- Ada tidaknya refleks cahaya
- Refleks fisiologis dan patologis
- Kekuatan otot

Kebutuhan sehari-hari :
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadreplegia,
ataksia cara berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera
(tauma) ortopedi, kehilangan tonus otot, otot spastic
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi),
perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi
dengan bradikardi, disritmia
c. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau
dramatis)
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung,
depresi dan inpulsif
d. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami
gangguan fungsi
e. Makanan/Cairan
Gejala : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera
Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air
liur keluar, disfagia)
f. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian.
Vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal
pada ekstermitas.Perubahan dalam penglihatan, seperti
ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang,
fotofobia.
g. Gangguan pengecapan dan juga penciuman.
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status
mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan
masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada
mata, ketidakmampuan mengikuti.
Kehilangan pengindraan, spt: pengecapan, penciuman dan
pendengaran.
Wajah tidak simetris, genggaman lemah, tidak seimbang, reflek
tendon dalam tidak ada atau lemah, apraksia, hemiparese,
quadreplegia, postur (dekortikasi, deserebrasi), kejang. Sangat
sensitive terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi
sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh
h. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda,
biasanya lama
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri
yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
i. Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh
hiperventilasi). Napas berbunyi, stridor, tersedak.Ronkhi, mengi
positif (kemungkinan karena respirasi)
j. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan.
k. Kulit: laserasi, abrasi, perubahan warna, spt “raccoon eye”, tanda
battle disekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma). Adanya
aliran cairan (drainase) dari telinga/hidung (CSS).
l. Gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang,
kekuatan secara umum mengalami paralysis. Demam, gangguan
dalam regulasi suhu tubuh.
m. Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik dan sensorik, bicara tanpa arti, bicara
berulang ulang, disartris, anomia.
n. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Penggunaan alcohol/obat lain
B. Diagnosa Keperawatan
a. Perfusi jaringan serebral tidak efektif b.d PTIK
b. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat
pernapasan otak).
c. Nyeri akut b.d agen cedera fisik trauma kepala
d. Resiko infeksi b.d trauma jaringan, kulit rusak, prosedur invasif.
C. Rencana Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1: Perfusi jaringan serebral tidak efektif b.d PTIK
Kriteria Hasil :
- Mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai dengan :
 Tekanan systole dan diastole dalam rentang yang diharapkan
 Tidak ada ortostatikhipertensi
 Tidak ada tanda tanda peningkatan tekanan intrakranial (tidak lebih dari 15
mmHg)
- Mendemonstrasikan kemampuan kognitif yang ditandai dengan:
 Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan
 Menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi
 Memproses informasi
 Membuat keputusan dengan benar
- Menunjukkan fungsi sensori motori cranial yang utuh : tingkat kesadaran
mambaik, tidak ada gerakan gerakan involunter
Intervensi
Intrakranial Pressure (ICP) Monitoring (Monitor tekanan intrakranial)
1. Berikan informasi kepada keluarga
2. Set alarm
3. Monitor tekanan perfusi serebral
4. Catat respon pasien terhadap stimuli
5. Monitor tekanan intrakranial pasien dan respon neurology terhadap aktivitas
6. Monitor jumlah drainage cairan serebrospinal
7. Monitor intake dan output cairan
8. Restrain pasien jika perlu
9. Monitor suhu dan angka WBC
10. Kolaborasi pemberian antibiotik
11. Posisikan pasien pada posisi semifowler
12. Minimalkan stimuli dari lingkungan

Diagnosa 2: Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada
pusat pernapasan otak).
Kriteria Hasil :
1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada
sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas
dengan mudah, tidak ada pursed lips)
2. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama
nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas
abnormal
3. Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan)
Intervensi

1) Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan


pernapasan.
Rasional : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau
menandakan lokasi/luasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode
apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.
2) Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien
untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.
Rasional : Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi penting
untuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan refleks menelan atau batuk
menandakan perlunaya jalan napas buatan atau intubasi.
3) Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai indikasi.
Rasional : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan
adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
4) Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien sadar.
Rasional : Mencegah/menurunkan atelektasis.
5) Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik.
Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
Rasional : Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam
keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri.
Penghisapan pada trakhea yang lebih dalam harus dilakukan dengan ekstra
hati-hati karena hal tersebut dapat menyebabkan atau meningkatkan hipoksia
yang menimbulkan vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh
cukup besar pada perfusi jaringan.
6) Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara
tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.
Rasional : Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis,
kongesti, atau obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi cerebral
dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru.
7) Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri
Rasional : Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan
kebutuhan akan terapi.
8) Lakukan ronsen thoraks ulang.
Rasional : Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tandakomplikasi
yang berkembang misal: atelektasi atau bronkopneumoni.
9) Berikan oksigen.
Rasional : Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam
pencegahan hipoksia. Jika pusat pernapasan tertekan, mungkin diperlukan
ventilasi mekanik.
10) Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.
Rasional : Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan
peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini seringkali berguna pada fase
akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan
menurunkan resiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.
WOC

Cedera kepala

Ekstra Kranial Tulang Kranial Intra Kranial

Terputusnya Terputusnya Cedera otak


kontinuitas jaringan kontinuitas (kontusio,
kulit, otot & Vaskuler jaringan tulang laserasi)

Gangguan Perubahan
Perdarahan Gangguan Resiko Nyeri neurologis autoregulasi
suplai darah infeksi fokal
Hematoma Edema serebral

Perubahan perfusi jaringan Bersihan jalan


Iskemia Kejang
sirkulasi CSS serebral tidak napas
efektif Pola nafas
Hipoksia Dispnea
PTIK tidak efektif
Henti napas
Girus medialis Gangguan Gangguan fungsi luhur
lobus temporalis fungsi otak
tergeser Perubahan perilaku

Lobus Frontal Gangguan fungsi motorik


Herniasi unkus
AfasiaGangguan fungsi
Lobus oksipital penglihatan
Mesensefalon
tertekan
Lobus temporal Gangguan
keseimbangan
Gangguan
kesadaran Lobus parietal Gangguan memori
Gangguan fungsi
sensorik (anosmia,
hipestesi, parestesi, dll)
Resiko Immobilisasi Cemas
injury

Resiko gangguan Defisit perawatan diri


integritas kulit
DAFTAR PUSTAKA

Dewantoro, G., Suwono, W. J., Riyanto, B., Turana, Y. (2007). Panduan Praktis
Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.

Dewi, Ni Made Ayu A. 2013. Autoregulasi Serebral Pada Cedera Kepala.


Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Bedah Fakultas Kedokteran Udayana.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82587&val=970

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. 2005. Cedera Kepala. Jakarta:


Deltacitra Grafind.

Ganong, William F. (2005). Review of Medical Physiology. California: McGraw


Hill Professional.
Hudak, Carolyn M. 2010. Keperawatan Kritis Pedekatan Holistik Edisi 6 Volume
2. Jakarta: EGC

Jakarta Medical Service 119 Training Division, 2012

Kidd, Pamela s. (2011). Pedoman Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC


Morton, Patricia G, et al. (2011). Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan
Holistik. Jakarta: EGC
NANDA Internasional. (2012). Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi
2012-2014. Jakarta: EGC.
Oman, K. S., McLain. J. K., & Scheetz, L. J. (2002). Panduan Belajar
Keperawatan Emergensi. Jakarta: EGC.

PERDOSSI cabang Pekanbaru. 2007. Simposium trauma kranio-serebral tanggal


3November 2007. Pekanbaru : PERDOSI.

Potter, Patricia A. & Anne G. Perry. (2006). Fundamental Keperawatan: Konsep,


Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A. & Lorraine Wilson. (1995). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Snell RS. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.Sugiharto
L, Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk,
penerjemah. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai