Anda di halaman 1dari 22

TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI
1. Defisi Cidera Kepala
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi setelah
trauma kepala, yang dapat melibatkan setiap komponen yang ada, mulai dari kulit
kepala, tulang, dan jaringan otak atau kombinasinya. Cedera kepala merupakan salah
satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan
sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Price dan Wilson, 2021).
Menurut The Centers for Disease Control and Prevention (CDC), cedera kepala
disebabkan oleh benturan, pukulan atau sentakan ke kepala atau cedera yang menembus
dan mengganggu fungsi normal otak (Betrus, Kreipke, 2013).
Cedera kepala merupakanmasalah nondegeneratif dan nonkongenital yang
merugikan terhadap otak akibat kekuatan mekanis eksternal, dan kemungkinan
menyebabkan kerusakan fungsi kognitif, fisik dan psikososial permanen, serta dapat
menurunkan tingkat kesadaran (Amyot, Arciniegas, Brazaitis, et al., 2015).
Cedera kepala atau trauma kapitisadalah suatu gangguan trauma dari otak
disertai/tanpa perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas dari otak (Nugroho, 2015).
Berdasarkan defenisi cedera kepala diatas maka dapat menarik kesimpulan bahwa
cedera kepala adalah suatu cedera yang disebabkan oleh trauma benda tajam maupun
benda tumpul yang menimbulkan perlukaan pada kulit, tengkorak, dan jaringan otak
yang disertai atau tanpa pendarahan.

2. Definisi Kraniotomi

Kraniotomi adalah operasi untuk membuka kepala untuk mengekspos otak. Kata
craniotomy berarti membuat lubang (-otomi) di tengkorak (cranium). (Brain and Spain
Foundation, 2013).
Tindakan kraniotomi merupakan pembukaan tengkorak melalui operasi yang
bertujuan untuk meningkatkan akses pada struktur intrakranial. Pembedahan tulang
dibuat ke dalam tulang tengkorak dan akan dilakukan pemasangan kembali setelah
tindakan pembedahan, dan ditempatkan dengan jahitan periosteal atau kawat. Terdapat
dua pendekatan yang digunakan yaitu kraniotomi supratentorial dan fossa posterior.
Kraniotomi supratentorial di atas tentorium ke dalam kompartemen supratentorial dan
fossa posterior (Smelstzer dan Bare, 2002)
Craniotomy adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk mengeluarkan hematom di
dalam ruangan intrakranial dan untuk mengurangi tekanan intrakranial dari bagian otak
dengan cara membuat suatu lubang pada tulang tengkorak kepala (Siska & Zam, 2017).
Craniotomy adalah suatu tindakan pembedahan yang dilakukan sebagai penanganan
untuk peningkatan tekanan intrakranial, dimana dilakukan pengangkatan bagian
tertentu dari tulang tengkorak kepala dan duramater dibebaskan agar otak dapat
membesar tanpa adanya herniasi. Bagian dari tulang tengkorak kepala yang diangkat ini
desebut dengan bone flap. Bone flap ini dapat disimpan pada perut pasien dan dapat
dipasang kembali ketika penyebab dari peningkatan ICP tersebut telah disingkirkan.
Material sintetik digunakan sebagai pengganti dari bagian tulang tengkorak yang
diangkat. Tindakan pemasangan material sintetik ini di kenal dengan Cranioplasty
(Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).
Jadi post kraniotomi adalah setelah dilakukannya operasi pembukaan tulang
tengkorak untuk mengangkat tumor, mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan darah atau
menghentikan perdarahan.

B. ETIOLOGI
Penyebab cedera kepala antara lain (Rosjidi, 2007):
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.

Menurut Brain and Spain Foundation (2013) penyebab cidera kepala antara lain :

1. Trauma tajam : trauma oleh beda tajam menyebabkan cedera setempat dan cedera
local. Kerusakan local meliputi contusion serebral, hematol serebral, kerusakan otak
sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak hernia
2. Trauma tumpul : trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh
(difusi): kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk yaitu cedera
akson kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil
multiple otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer cerebral, batang
otak atau kedua-keduanya.

C. MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.
1. Cedera kepala ringan (Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson, 2005)
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau lebih
lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2. Cedera kepala sedang (Diane C. Baughman dan Joann C. Hackley 2003)
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau hahkan
koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologik,
perubahan tanda-tanda vital (TTV), gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan
3. Cedera kepala berat (Diane C. Baughman dan Joann C. Hackley 2003)
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya
penurunan kesadaran
b. Pupil tidak actual, pemeriksaan motorik tidak actual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologic
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukkan fraktur
d. Fraktur pada kubah cranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut

D. PATOFISIOLOGI
Proses patofisiologi cedera otak dibagi menjadi dua yang didasarkan pada asumsi
bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan fisik yang lalu diikuti
proses patologis yang terjadi segera dan sebagian besar bersifat permanen. Dari tahapan
itu, Arifin (2002) membagi cedera kepala menjadi dua :
1. Cedera otak primer
Cedera otak primer (COP) adalah cedera yang terjadi sebagai akibat langsung dari efek
mekanik dari luar pada otak yang menimbulkan kontusio dan laserasi parenkim otak
dan kerusakan akson pada substantia alba hemisper otak hingga batang otak.
2. Cedera otak sekunder
Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi akibat proses metabolisme
dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika intrakranial dan kompartement cairan
serebrosspinal (CSS) yang dimulai segera setelah trauma tetapi tidak tampak secara
klinis segera setelah trauma. Cedera otak sekunder ini disebabkan oleh banyak faktor
antara lain kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak, gangguan
metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan hormonal, pengeluaran
neurotransmitter dan reactive oxygen species, infeksi dan asidosis. Kelainan utama ini
meliputi perdarahan intrakranial, edema otak, peningkatan tekanan intrakranial dan
kerusakan otak.
Cedera kepala menyebabkan sebagian sel yang terkena benturan mati atau rusak
irreversible, proses ini disebut proses primer dan sel otak disekelilingnya akan
mengalami gangguan fungsional tetapi belum mati dan bila keadaan menguntungkan
sel akan sembuh dalam beberapa menit, jam atau hari. Proses selanjutnya disebut
proses patologi sekunder. Proses biokimiawi dan struktur massa yang rusak akan
menyebabkan kerusakan seluler yang luas pada sel yang cedera maupun sel yang tidak
cedera. Secara garis besar cedera kepala sekunder pasca trauma diakibatkan oleh
beberapa proses dan faktor dibawah ini :
a. Lesi massa, pergeseran garis tengah dan herniasi yang terdiri dari : perdarahan
intracranial dan edema serebral
b. Iskemik cerebri yang diakibatkan oleh : penurunan tekanan perfusi serebral,
hipotensi arterial, hipertensi intracranial, hiperpireksia dan infeksi,
hipokalsemia/anemia dan hipotensi, vasospasme serebri dan kejang.
Proses inflamasi terjadi segera setelah trauma yang ditandai dengan aktifasi
substansi mediator yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah, penurunan aliran
darah, dan permeabilitas kapiler yang meningkat. Hal ini menyebabkan akumulasi
cairan (edema) dan leukosit pada daerah trauma. Sel terbanyak yang berperan dalam
respon inflamasi adalah sel fagosit, terutama sel leukosit Polymorphonuclear (PMN),
yang terakumulasi dalam 30 - 60 menit yang memfagosit jaringan mati. Bila penyebab
respon inflamasi berlangsung melebihi waktu ini, antara waktu 5-6 jam akan terjadi
infiltrasi sel leukosit mononuklear, makrofag, dan limfosit. Makrofag ini membantu
aktivitas sel polymorphonuclear (PMN) dalam proses fagositosis (Riahi, 2006).
Inflamasi, yang merupakan respon dasar terhadap trauma sangat berperan dalam
terjadinya cedera sekunder. Pada tahap awal proses inflamasi, akan terjadi perlekatan
netrofil pada endotelium dengan beberapa molekul perekat Intra Cellular Adhesion
Molecules-1 (ICAM-1). Proses perlekatan ini mempunyai kecenderungan
merusak/merugikan karena mengurangi aliran dalam mikrosirkulasi. Selain itu, netrofil
juga melepaskan senyawa toksik (radikal bebas), atau mediator lainnya (prostaglandin,
leukotrin) di mana senyawa- senyawa ini akan memacu terjadinya cedera lebih lanjut.
Makrofag juga mempunyai peranan penting sebagai sel radang predominan pada cedera
otak (Hergenroeder, 2008).
Setelah dilakukannya op kraniotomi terjadi insisi pada bagian kepala frontalis
sehingga timbul luka pada daerah kepala yang dilakukan operasi. Akibat adanya luka
insisi pada kepala timbul gejala seperti gatal, panas, nyeri, kulit mengelupas atau
kemerahan, bahkan terjadi perdarahan. Dari gejala-gejala tersebut sehingga timbul
masalah resiko terjadinya infeksi, nyeri akut, kerusakan intregitas kulit, terjadi
gangguan perfusi jaringan, bahkan bisa kehilangan atau kekurangan volume cairan.
kekurangan volume cairan. Akibat adanya luka insisi pada bagian kepala timbul gejala
dan masalah seperti yang disebutkan diatas. Karena adanya luka insisi supaya keadaan
lebih membaik, biasanya diberikan obat anestesi sesuai indikasi yang diberikan oleh
dokter. Namun pemberian obat anestesi juga menimbulkan efek samping pada tubuh
maupun pada luka yang dialami.
Efek pada obat anestesi bisa menimbulkan masalah yang bermacam-macam.
Sebagai contoh pola nafas yang tidak efektif terjadi akibat diberikannya obat anestesi
sehingga bisa timbul penekanan pada pusat pernapasan. Karena terjadi penekanan
sehingga kerja organ pernapasan tidak bisa bekerja secara efektif sehingga ekspansi
paru mengalami penurunan dan suplai O2 untuk tubuh menjadi berkurang. Selain
ekspansi paru akibat fungsi organ pernapasan tidak bisa bekerja secara efektif,  bisa
timbul penumpukan penumpukan secret pada organ pernapasan sehingga timbul
masalah ketidakbersihan jalan napas.
Selain organ pernapasan yang terganggu, efek obat anestesi juga bisa mengganggu
sistem perkemihan. Efek dari obat-obatan biasanya bisa menimbulkan masalah pada
ginjal kita. Karena terjadi gangguan pada ginjal, reflek berkemih bisa mengalami
penuran sehingga seseorang tidak bisa menahan reflek berkemihnya. Kemudian timbul
masalah perubahan pola eliminasi urin.
Tidak hanya sistem perkemihan, sistem pencernaan juga bisa terganggu akibat
diberikannya obat anestesi. Efek dari obat sendiri biasanya menyebabkan nafsu makan
pada seseorang menjadi menurun. Sehingga menstimulasi medulla kemudian  bisa
terjadi terjadi reflek muntah atau mual. Karena makanan yang sudah dicerna
dikeluarkan kembali sehingga tubuh bisa menjadi kekurangan nutrisi.

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menurut Manurung (2018) hasil pemeriksaan laboratorium yang sering ditemukan
pada pasien dengan cedera kepala sebagai berikut :
1. Foto Polos
Foto polos indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm , luka tembus (peluru/tajam),
deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal
neurologis, dan gangguan kesadaran.
2. CT – Scan
CT scan kepala adalah standart baku dalam penatalaksanaan cedera kepala.
Pemeriksaan CT scan kepala untuk memastikan adanya patah tulang, pendarahan,
pembengkakan jaringan otak, dan kelainan lain di otak. Indikasi CT Scan adalah :
a. Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat-obatan analgesia atau antimuntah.
b. Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat pada lesi
intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
c. Penurunan GCS lebih dari 1 dimana faktor – faktor ekstrakranial telah disingkirkan
(karena penurunan GCS dapat terjadi misalnya karena syok, febris, dll).
d. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.
e. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
f. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS
3. Untuk pemeriksaan laboratorium, umumnya pemeriksaan darah lengkap, gula darah
sewaktu, ureum-kreatinin, analisis gas darah dan elektrolit.
4. Pemeriksaan neuropsikologis (sistem saraf kejiwaan) adalah komponen penting pada
penilaian dan penatalaksanan cedera (Anurogo and Usman, 2014)
5. MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) biasa digunakan untuk pasien yang memiliki
abnormalitas status mental yang digambarkan oleh CT Scan. MRI telah terbukti lebih
sensitif daripada CT-Scan, terutama dalam mengidentifikasi lesi difus non hemoragik
cedera aksonal.
6. EEG
Peran yang paling berguna EEG pada cedera kepala mungkin untuk membantu dalam
diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat melihat perkembangan gelombang
yang patologis. Dalam sebuah studi landmark pemantauan EEG terus menerus pada
pasien rawat inap dengan cedera otak traumatik. Kejang konfulsif dan non konfulsif
tetap terlihat dalam 22%. Pada tahun 2012 sebuah studi melaporkan bahwa perlambatan
yang parah pada pemantauan EEG terus menerus berhubungan dengan gelombang delta
atau pola penekanan melonjak dikaitkan dengan hasil yang buruk pada bulan ketiga dan
keenam pada pasien dengan cedera otak traumatik.
7. Serebral angiography: menunjukan anomalia sirkulasi serebral , seperti perubahan
jarigan otak sekunder menjadi udema, perubahan dan trauma.
8. Serial EEG: dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.
9. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
10. BAER: mengoreksi bats fungsi corteks dan otak kecil
11. PET: mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
12. CSF, lumbalis punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
13. ABGs: mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial
14. Kadar elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial
15. Screen toxicologi: untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran (Rendy and Margaret Clevo, 2012)
16. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral) Rontgen thoraks menyatakan akumulasi
udara/cairan pada area pleural
17. Toraksentesis menyatakan darah/cairan
18. Analisa Gas Darah (AGD/Astrup) Analisa gas darah adalah salah satu tes diagnostic
untuk menentukan status repirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan melalui
pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan status asam basa.

F. PENATALAKSANAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN


Penatalaksanaan pasien dengan cedera kepala meliputi sebagai berikut (Manurung, 2018):
1. Keperawatan
a. Observasi 24 jam
b. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu. Makanan atau
cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya cairan infus dextrose 5%,
amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian
diberikan makanan lunak
c. Berikan terapi intravena bila ada indikasi
d. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring
2. Medis
a. Terapi obat-obatan
1) Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma
2) Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu mannitol 20 % atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %
3) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidasol
4) Pembedahan bila ada indikasi (hematom epidural besar, hematom sub dural,
cedera kepala terbuka, fraktur impresi >1 diplo)
5) Lakukan pemeriksaan angiografi serebral, lumbal fungsi, CT Scan dan MRI
(Satyanegara, 2010).
Menurut Rendy & Margaret Clevo (2012) penatalaksanaan konservatif adalah sebagai
berikut.
a. Bedrest Total
b. Pemberian Obat-Obatan
1) Obat Anti Kejang
Profilaksis anti kejang efektif diberikan pada 1 minggu pertama pasca trauma.
Alternatif obat yang efektif adalah phenytoin dan levetiracetam. Pengobatan
profilaksis anti kejang sebaiknya tidak rutin dilakukan setelah 7 hari pasca
trauma karena tidak menurunkan risiko kejang fase lanjut pasca trauma.
Pemberian profilaksis fenitoin efektif untuk mencegah kejang fase dini pasca
trauma.
2) Manitol dan Sodium Laktat Hipertonis
Manitol membantu menurunkan TIK pada pasien COB. Pemberian secara bolus
dengan dosis 0,25–1gr/kgBB lebih dianjurkan dibandingkan pemberian secara
terus menerus
3) Antibiotika Profilaksis pada Pemasangan Kateter Ventrikel Pemberian
antibiotik pada pemasangan dan penggantian kateter ventrikel setiap 5 hari tidak
mengurangi risiko infeksi. Penggunaan antibiotik lokal maupun sistemik tidak
menurunkan risiko infeksi pada pemasangan kateter ventrikel.
4) Analgetik Ketorolac dan acetaminophen dapat digunakan pada pasien trauma
kepala. Ketorolac hanya boleh diberikan maksimal 5 hari. Obat-obatan NSAID
lainnya seperti ibuprofen dan naproxen bisa diberikan per-oral. Ketoprofen supp
dan acetaminophen supp bermanfaat menguranginyeri pada COR.
5) Kortikosteroid Terapi dengan dan tanpa kortikosteroid pada pasien memar otak
secara statistic hasil terapi tidak berbeda bermakna
6) Sedatif/Tranquilizer Midazolam mengurangi CBF sehingga cenderung aman
dan efektif untuk anestesiadan sedasi pasien dengan peningkatan ICP. Propofol
memberikan hasil yang baik dalam fungsi sedasi serta memudahkan dalam
evaluasi fungsi neurologis secara awal. Dexmedetomidine merupakan sedasi
tanpa efek neurologis dan memberikan efek proteksi pada otak (Wahyuhadi et
al., 2014).

G. KOMPLIKASI
1. Kejang Pasca Trauma Kejang merupakan salah satu masalah yang dapat timbul
setelah terjadi trauma kepala. Kejang pada minggu pertama setelah cedera kepala
disebut kejang pascatrauma dini. Sekitar 25% orang yang mengalami kejang pasca
trauma dini akan mengalami kejang dalam satu bulan atau bertahun-tahun kemudian.
Kejang lebih dari tujuh hari setelah cedera otak disebut kejang pasca trauma lambat.
Sekitar 80% orang yang mengalami kejang pasca trauma akan mengalami kejang lain
(epilepsi). Memiliki lebih dari satu kejang disebut epilepsi (Englander, Cifu, Diaz
arrastia, 2015). Penyebab cedera kepala pasien dapat membantu dokter mengetahui
seberapa besar kemungkinan mengalami kejang. Sekitar 65% orang dengan luka otak
akibat luka peluru mengalami kejang. Pendarahan antara otak dan tengkorak, yang
disebut hematoma subdural, juga bisa menyebabkan kejang. Lebih dari 60% orang
yang membutuhkan 2 atau lebih operasi otak setelah mengalami cedera otak dan
mengalami kejang (Englander, Cifu, Diaz-arrastia, 2015).
2. Hirosepalus Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil
oedema, demensia, ataksia dan gangguan miksi. Berdasarkan sebuah penelitian dapat
diidentifikasi empat faktor utama yang terkait dengan hidrosefalus pasca-trauma,
yaitu perdarahan intraventrikular, perdarahan subarachnoid, fraktur dasar tengkorak,
dan hygroma subdural interhemispheric. Kaen et al., mengatakan bahwa hygroma
subdural interhemispheric merupakan penanda radiologi prediktif hidrosefalus dalam
enam bulan pertama (Nor, Rahman, Adnan, 2013).
3. Spastisitas Setelah trauma kepala, onset spastisitas dan sekuele ortopedi berlangsung
cepat, dimulai sejak satu minggu setelah cedera. Spastisitas secara klinis telah
didefinisikan sebagai peningkatan resistensi perpanjangan otot-otot skeletal yang
meningkat pada gerakan pasif. Gejala spastisitas meliputi peningkatan tonus otot
(hipertonisitas), kejang otot, refleks tendon yang dalam, bentuk ekstremitas seperti
menggunting dan persendian tetap. Tingkat kejang bervariasi dari kekakuan otot
ringan sampai kejang otot yang sangat tidak terkendali (Kobeissy, 2015).
4. Agitasi Di antara komplikasi cedera kepala, agitasi merupakan masalah perilaku yang
sering dijumpai. Ketidakpercayaan, defisit memori, dan disorientasi adalah
konsekuensi dari cedera kepala yang dapat menyebabkan agitasi. Agitasi telah
didefinisikan sebagai keadaan kebingungan selama periode gangguan kesadaran yang
mengikuti cedera awal, juga disebut amnesia pasca-trauma, dan ditandai dengan
perilaku yang berlebihan seperti kerusuhan emosional, akognisia, impulsif, pemikiran
yang tidak teratur atau disinhibisi, dan agresi. Faktor risiko yang diduga untuk agitasi
mengikuti cedera kepala meliputi rangsangan lingkungan, usia, nyeri, infeksi, pola
tidur terganggu, dan kerusakan lobus frontal (Williamson, Frenette, Burry, et al.,
2016).
5. Gangguan Psikiatri Gangguan psikiatri pasca cedera kepala merupakan kejadian yang
sering. Beberapa jenis gangguan psikiatri yang terjadi seperti depresi, mania,
ObsessiveCompulsive Disorder (OCD), Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD),
psikosis, dan perubahan kepribadian. Insidensi dan prevalensi depresi pasca cedera
kepala secara berurutan sekitar 15,3-33% dan 18,5-61%. Manik memiliki insidensi
9% dan prevalensi 4,2%. Prevalensi OCD 1,6-15%. PTSD memiliki insidensi 11,3%
dan prevalensi 3-27,1%. Insidensi psikosis 0,1-9,8 % dan prevalensi 0,7%. Perubahan
kepribadian yang dapat terjadi yaitu apati pada cedera kepala berat, afektif yang labil
dan agresif (Schwarzbold, Diaz, Martins, et al., 2008).
H. PATHWAY
I. FOKUS PENGKAJIAN
Pengkajian dalam melakukan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama
dan hal yang penting di lakukan baik saat pasien pertama kali masuk rumah sakit maupun
selama pasien dirawat di rumah sakit (Widyorini et al. 2017).
a. Identitas Klien Keluarga (Penanggung Jawab)
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, dll.
b. Pengkajian Primary Survay
1) Airway
Pasien dengan post op craniotomy akan terpasang ventilator sebagai penunjang
alat pernafasan serta juga terpasang ETT, OPA. Pada jalan akan tertumpuk 
secret karena terjadi penurunan kesadaran.  
2) Breathing
Breathing Terpasang ventilator. Suara nafas ronchi. Pernafasan pada pasien
dengan post op craniotomy tidak teratur dan kedalamannya juga tidak teratur.
3) Circulation
Pasien dengan post op craniotomy tekanan darahnya tidak menentu. Akralnya
dingin, warna kulitnya pucat karena ketika operasi banyak menghabiskan darah
dan menyebabkan Hb nya menjadi rendah.
4) Disability
Kesadaran akan menurun karena telah di lakukan pembedahan pada otak. Besar
pupil normal (±2 mm). Reflek terhadap cahaya ada. Semua aktifitas di  bantu
karena mengalami penurunan kesadaran serta harus bedrest total.
c. Pengkajian Secondary Survey
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya pasien dengan post op craniotomy mengalami penurunan kesadaran
atau masih di bawah pengaruh obat (GCS < 15), lemah, terdapat luka di daerah
kepala, terdapat secret pada saluran pernafasan kadang juga kejang.  
2) Riwayat Kesehatan Dahulu
Riwayat Kesehatan Dahulu Riwayat kesehatan dahulu harus diketahui baik
berhubungan dengan sistem  persarafan maupun riwayat penyakit sistematik
lainnya. Biasanya pasien mempunyai riwayat penyakit seperti kepala terbentur
atau jatuh, riwayat hipertensi, riwayat stroke.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Pasien dengan post op craniotomy mempunyai riwayat keturunan seperti
penyakit hipertensi dan stroke.
d. Pengkajian Fokus B6
1) B1 Breathing
Hal yang perlu dikaji diantaranya :
- Adakah sumbatan jalan karena penumpukan sputum dan kehilangan reflek 
batuk 
- Adakah tanda-tanda lidah jatuh ke belakang
- Adakah suara nafas tambahan dengan cara melakukan auskultasi suara nafas
- Catat jumlah dan irama nafas  
2) B2 (Blood/sirkulasi)
Kaji adanya tanda-tanda peningkatan TIK yaitu peningkatan tekanan darah
disertai dengan pelebaran nadi dan penurunan jumlah nadi.
3) B3 (Brain/persarafan otak)
- Kaji adanya keluhan nyeri kepala hebat, periksa adanya pupil unilateral dan
observasi tingkat kesadaran
- Kaji status mental Observasi penampilan, tingkah laku, gaya bicara, ekspresi
wajah dan aktifitas motorik 
- Kaji fungsi intelektual Observasi adanya penurunan dalam ingatan dan
memori baik jangka pendek maupun jangka panjang serta penurunan
kemampuan berhitung dan kalkulasi
- Kaji kemampuan bahasa adanya disfasia baik disfasia reseptif  maupun
disfasia ekspresif, disartria dan apraksia
- Kaji Lobus Frontal Kaji adanya kerusakan fungsi kognitif dan efek   
psikologis seperti kesulitan dalam pemahaman, mudah lupa, kurang
motivasi, frustasi dan depresi.
4) B4 (Bladder/Perkemihan)
Kaji adanya tanda-tanda inkontinensia urin akibat ketidakmampuan untuk 
mengendalikan kandung kemih karena adanya kerusakan kontrol motorik dan
postural
5) B5 (Bowel/Pencernaan)
Kaji adanya kesulitannya menelan, nafsu makan menurun, mual muntah &
konstipasi
6) B6 (Bone/Tulang dan integumen)
Kaji adanya kelumpuhan atau kelemahan, kaji adanya dekubitus, warna itus,
warna kulit dan turgor
e. Pemeriksaan fisik head to toe
1) Kepala
Pasien dengan post op craniotomy tampak luka bekas operasi pada kepala klien
dan terpasang drain, tidak terdapat pembengkakan pada kepala  
2) Mata
Pasien dengan post op craniotomy akan terjadi pengeluaran darah yang  berlebih
jadi  berlebih jadi conjuntiva pucat, ukuran pupil (2 mm). Reaksi terhadap
cahaya ada, tidak ada edema pada palpebra, palpebra tertutup, sklera tidak
ikterik.
3) Hidung
Pasien akan terpasang NGT untuk pemenuhan nutrisi, hidung bersih, tidak  ada
perdahan pada hidung. Tidak ada pembengkakan pada daerah hidung.
4) Mulut
Mukosa bibir tampak kering, pasien akan terpasang ETT dan OPA, mulut.
Tidak ada pembengkakan di sekitar mulut.
5) Leher  
Pasien dengan post op craniotomy tidak mengalami kelainan pada leher.
6) Dada
- Inspeksi : Dada tampak simetris, gerkan sama kiri dan kanan, tidak ada luka
atau lesi, tampak terpasang elektroda kardiogram.
- Palpasi : Tidak ada pembengkakan
- Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
- Auskultasi : Suara nafas ronchi karena penumpukan secret pada jalan nafas,
irama tidak teratur 
7) Kardiovaskuler 
- Inspeksi : Arteri carotis normal , tidak terdapat ditensi vena jungularis, ictus
cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V 2 cm medial lateral mid cl l mid
clavicula sinistra
- Perkusi : Letak jantung normal yaitu batas jantung : ICS I, ICS II parasternal
sinistra, batas kanan jantung : linea parasternal dextra, batas kiri jantung :
midclavicula sinistra
- Auskultasi : tidak mengalami kelainan pada suara jantung : S1 dan S2 normal
reguler, tidak ada suara jantung tambahan seperti gallop kecuali  pasien
mengalami riwayat penyakit jantung.

8) Abdomen
- Inspeksi : Perut datar, tidak ada lesi pada abdomen
- Auskultasi : Bising usus normal 12 x/
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola Napas Tidak Efektif 
2. Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif
3. Penurunan Kapasitas Adaptif Intrakranial
4. Gangguan Mobilitas Fisik 
5. Nyeri Akut
6. Defisit Nutrisi
K. INTERVENSI KEPERAWATAN

No Diagnosa SLKI SIKI


1. Pola Napas Tidak Setelah dilakukan intervensi selama ... Manajemen Jalan Napas
Efektif  x... jam, maka  pola napas membaik Observasi :
dengan kriteria hasil : - Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
Pola Napas - Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling, mengi, wheezing,
ronkhi kering)
- Ventilasi semenit (5) - Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
- Kapasitas vital (5)
Terapeutik :
- Diameter thoraks anterior   posterior
- Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift
(5) ( jaw-thrust jika curiga trauma cervical)
- Posisikan semi-Fowler atau Fowler 
- Tekanan ekspirasi (5)
- Berikan minum hangat
- Tekanan inspirasi (5) - Lakukan fisioterapi dada,  jika perlu
- Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik 
- Dispnea (5)
- Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
- Penggunaan otot bantu napas (5) - Keluarkan sumbatan benda  padat dengan forsep McGill
- Berikan oksigen, jika perlu
- Pemanjangan fase ekspirasi (5)
- Ortopnea (5) Edukasi
- Pernapasan pursed-tip (5) - Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak kontraindikasi
- Ajarkan teknik batuk efektif
- Pernapasan cuping hidung (5)
- Frekuensi napas (5) Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian  bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika
- Kedalaman napas (5) perlu
- Ekskursi dada (5)
2. Risiko Perfusi Serebral Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial
Tidak Efektif (D.0017) selama …….x……. maka Perfusi Observasi :
Serebral Meningkat dengan kriteria - Identifikasi penyebab  peningkatan  peningkatan TIK (mis. Lesi,
gangguan metabolisme, edema serebral)
hasil :
- Monitor tanda /gejala  peningkatan  peningkatan TIK (mis.
- Tingkat kesadaran meningkat (5) Tekanan darah meningkat, tekanan nadi melebar,  bradikardi,
- Kognitif meningkat (5) bradikardi, pola nafas ireguler, kesadaran menurun)
- Sakit kepala menurun (5) - Monitor MAP (Mean Arterial Pressure)
- Gelisah menurun (5) - Monitor CVP (Central Venous Pressure), jika  perlu
- Kecemasan menurun (5) - Monitor PAWP, jika perlu
- Agitasi menurun (5) - Monitor PAP , jika perlu
- Demam menurun (5) - Monitor ICP (Intra Cranial Pressure), jika tersedia
- Tekanan arteri rata-rata membaik (5) - Monitor CPP (Cerebral
- Tekanan intra kranial membaik (5) - Monitor gelombang ICP
- Tekanan darah sistolik membaik (5) - Monitor setatus pernapasan
- Tekanan darah diastolit membaik (5) - Monitor intake dan ouput cairan
- Reflex saraf membaik (5) - Monitor cairan serebrospinalis (mis. Warna, konsistensi)

Terapeutik 
- Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang
tenang
- Berikan posisi semi Fowler 
- Hindari maneuver valsava
- Cegah terjadinya kejang
- Hindari penggunaan PEEP
- Hindari pemberian cairan IV hipotonik 
- Atur ventilator agar PaCO2 optimal
- Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan,  jika perlu
- Kolaborasi pemberian diuretik osmosis, jika perlu
- Kolaborasi pemberian  pelunak tinja , jika perlu
3. Penurunan Kapasitas Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial
Adaptif Intrakranial selama …….x……. maka Kapasitas Observasi :
Adaptif Intrakranial membaik dengan - Monitor MAP (Mean Arterial Pressure)
kriteria hasil - Monitor CVP (Central Venous Pressure), jika  periu
- Monitor PAWP, jika pertu  Monitor PAP, jika perlu - Monitor
Kapasitas Adaptif Intrakranial: ICP (Intra Cranial Pressure), jika tersedia
- Tingkat kesadaran meningkat (5) - Monitor CPP (Cerebral Perfusion Pressure)
- Sakit Kepala menurun (5) - Monitor gelombang ICP
- Bradikardia menurun (5)
- Gelisah menurun (5) Terapeutik 
- Tekanan darah membaik (5) : (systole: - Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang
100-130 mmHg, diastole : 70-90 tenang
mmHg) - Berikan posisi semi Fowler 
- Tekanan nadi membaik (5) : 60-100 - Hindari manuver Valsava Cegah terjadinya kejang
x/menit - Hindari penggunaan PEEP
- Pola napas membaik (5): 16-20 - Hindari pemberian cairan IV hipotonik 
x/menit - Atur ventilator agar PaCO2
- Refleks neurologis membaik (5)
- Respon pupil membaik (5) Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan,  jika perlu
- Kolaborasi pemberian diuretik osmosis, jika periu
- Kolaborasi pemberian  pelunak tinja, jika perlu
4. Gangguan Mobilitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Dukungan Ambulasi
Fisik selama … x …  jam, maka diharpkan:
Observasi
Mobilitas Fisik membaik, dengan
kriteria hasil : - Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
- Peningkatan ekstrem ekstremitas - Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
meningkat (5) - Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai
- Kekuatan otot meningkat (5) ambulasi
- Rentang gerak (ROM) meningkat (5) - Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi

Terapeutik
- Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat  bantu (mis. tongkat,
kruk)
- Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika perlu
- Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
ambulasi

Edukasi
- Jelaskan tujuan dan  prosedur ambulasi
- Anjurkan melakukan ambulasi dini
- Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan (mis. berjalan
dari temapt tidur ke kursi roda, berjalan dari tempat tidur ke
kamar mandi,  berjalan sesuai toleransi)
5. Nyeri Akut (D.0077) Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nyeri (I.08238)
selama .... X .... jam menit diharapkan Observasi
tingkat nyeri menurun (L.08066) - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas ,
dengan kriteria hasil: intensitas nyeri
- Keluhan nyeri (5) - Identifikasi skala nyeri
- Meringis (5) - Identifikasi respons nyeri non verbal
- Sikap protektif (5) - Identifikasi faktor yang memperberat nyeri dan memperingan
- Gelisah (5) nyeri
- Kesulitan tidur (5) - Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri 
- Menarik diri (5) Identifikasi pengaruh  budaya  budaya terhadap terhadap respon
- Berfokus pada diri sendiri (5) nyeri
- Diaforesis (5) Terapeutik 
- Perasaan depresi (tertekan) (5) - Berikan teknik   nonfarmakologis untuk  mengurangi rasa nyeri
- Perasan takut mengalami cedera (mis. TENS, hypnosis, akupresur, terapi music, biofeedback,
berulang (5) terapi pijat, aromaterapi, teknik  imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
- Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu
ruangan,  pencahayaan, kebisingan)
- Fasilitas istirahat dan tidur 
- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam  pemilihan
pemilihan strategi strategi meredakan nyeri

Edukasi
- Jelaskan penyebab,  periode, dan pemicu
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik   nonfarmakologis untuk  mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
6. Defisit Nutrisi (D.0019) Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nutrisi (I.03119)
selama .... X .... jam menit diharapkan Observasi
status nutrisi membaik  dengan kriteria - Identifikasi status nutrisi
hasil: - Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
- Porsi makanan yang dihabiskan (5) - Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
- Kekuatan otot  pengunyah (5) - Identifikasi perlunya  penggunaan  penggunaan sela nasogastric
- Kekuatan otot menelan (5)
Terapeutik 
- Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
- Fasilitasi menentukan pedoman  pedoman diet (mis.  piramida
makanan)
- Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
- Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi

Edukasi
- Anjurkan posisi duduk,  jika mampu
- Anjurkan diet yang diprogramkan

Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. Pereda
nyeri, antipiretik), jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Chesnut RM, Gautille T, Blunt BA, et al. 2016. The Localizing Value Of Asymmetry In
Pupillary Size In Severe Head Injury: Relation To Lesion Type And Locat And Location.
Neurosurgery.
Hamilton MG, Frizzell JB, Tranmer BI. JB, Tranmer BI. 2017. Chronic Subdural Hematom .
Chronic Subdural Hematoma: The Role The Role For  Craniotomy Reevaluated.
Neurosurgery.

Padila. 2021. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika

PPNI, Tim Pokja SDKI DPP. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. DPP PPNI.
Jakarta Selatan.

PPNI, Tim Pokja SIKI DPP . (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. DPP PPNI.
Jakarta Selatan.

PPNI, Tim Pokja SLKI DPP. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. DPP PPNI.
Jakarta Selatan

Rubenstein dkk, 2017. Lecture Notes : Kedokteran Klinis. Jakarta: Penerbit Erlangga; 389-391.

Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong. 2012. Buku Ajar Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong. 2012. Buku
Ajar Ilmu Bedah. EGC, Jakarta.

Smeltzer & Bare.2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8.EGC, Jakarta.
Pemeriksaan Penunjang

a. CT-SCAN

Kesan : Epidural Hemathom

b. RONGENT THORAX

Kesan :

Anda mungkin juga menyukai