Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA Nn.P DENGAN CKR DI RUANG ABU BAKAR ASH-


SHIDDIQ
RUMAH SAKIT ISLAM SUNAN KUDUS
(Disusun Untuk Memenuhi tugas Kompetensi Praktik Klinik Keperawatan Medikal Bedah)

Disusun Oleh
Nama : Dewi Novia Ningrum
NIM : 920173013
Prodi : S1 Ilmu Keperawatan

PROGAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS
TAHUN AJARAN 2019/2020
LANDASAN TEORI

A. Pengertian
Cedera Kepala meliputi luka pada kulit kepala,tengkorak, dan otak. Cedera Kepala
dapat menimbulkan berbagai kondisi, dari gagar otak ringan, koma, sampai kematian,
kondisi paling serius disebut dengan istilah cedera otak traumatik (traumatik Brain Injury
(TBI) (Smeltzer, 2013).
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau
tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta
mengakibatkan gangguan neurologis (Sjahrir,2012).
Cedera kepala merupakan sebuah proses dimana terjadi cedera langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang dapat mengakibatkan kerusakan tengkorak dan otak
(Pierce dan Neil, 2014).
Menurut George (2009), Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan
dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh Jennet dan
Teasdale pada tahun 1974. GCS yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat
kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi. Ada 3 aspek yang dinilai yaitu
reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan reaksi lengan
serta tungkai (motor respons).Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok
berdasarkan nilai GCS yaitu:
1. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat kelainan
berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat di
rumah sakit < 48 jam.
2. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan pada CT scan
otak, memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial, dirawat di rumah sakit
setidaknya 48 jam.
3. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma, score GCS <
9.

B. Etiologi
Penyebab Cedera Kepala adalah Jatuh (28%),Kecelakaan Kendaraan bermotor (20
%), tertabrak benda (19%) dan perkelahian (11%) (Smeltzer, 2013).

C. Manifestasi
Menurut Reisner (2009), gejala klinis cedera kepala yang dapat membantu
mendiagnosis adalah battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os
mastoid),hemotipanum (perdarahan di daerah membran timpani telinga), periorbital
ekhimosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung), rhinorrhoe (cairan serebrospinal
keluar dari hidung), otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga).
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala ringan adalah pasien
tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh, sakit
kepala yang menetap atau berkepanjangan, mual dan atau muntah, gangguan tidur dan
nafsu makan yang menurun, perubahan kepribadian diri, letargik. Tanda–tanda atau
gejala klinis untuk yang cedera kepala berat adalah perubahan ukuran pupil (anisocoria),
trias Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan) apabila
meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi abnormal ekstremitas
(Reisner, 2009).
D. Pathofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan
proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan
dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian
besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak,
terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan
tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada
substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan,
gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda
pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.
a) Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya
fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini adalah kerusakan otak
tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan
tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan
dan perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak,
perdarahan segera intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan kematian langsung
pada daerah yang terkena.

b) Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan
primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai
gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti.
Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi
dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor
seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak,
gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma
saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang
tergantung lokasi kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus frontalis
akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus
lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan
dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis
mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan
adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan
terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi
sistem vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma
tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus
yang berhubungan dengan hipofisis.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui urine
dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif. Hiperglikemi dan
glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang
mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak. Batang otak dapat
mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat fleksi atau torsi
akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena
penekanan oleh herniasi unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi
tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi
tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan
kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila hubungan batang otak dengan
korteks serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan-
kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala neurologis
khas. Nafas dangkal tak teratur yang dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan
menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada
gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi respiratorik.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan: tanpa/dengan kontras mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan
ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
3. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
4. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
5. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrakranial.
6. MRI (Magnetic Resonance Imaging) : untuk mengevaluasi cedera vascular
serebral dengan cara noninvasive.
7. EEG (elektro ensefalogram) : mengukur aktivitas gelombang otak disemua regio
korteks dan berguna dalam mendiagnosis kejang serta mengaitkan pemeriksaan
neurologis abnormal.
8. BAER (Brainsteam Auditory Evoked Responses) dan SSEP (Somatosensory
Evoked Potensial) : pemeriksaan prognostic yang bermanfaat pada pasien cedera
kepala. Hasil abnormal dari salah satu pemeriksaan tersebut dapat membantu
menegakan diagnosis disfungsi batang otak yang tidak akan menghasilkan
pemulihan fungsional yang bermakna.
F. Penatalaksanaan medis
1. Penatalaksaan Keperawatan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili
tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder
serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Untuk penatalaksanaan penderita cedera
kepala, Adveanced Cedera Life Support (2004) telah menepatkan standar yang
disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan berat.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan
survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan
antara lain : A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E
(exposure/environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.
Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat
survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan
menjaga homeostasis otak.
Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas
dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2
dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera
kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan
oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat
kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan
adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur
kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan
lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik.
Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya
dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang
adekuat. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada
luka.
Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan
resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan
dua jalur intra vena.
Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down
(kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di
kepala dan menaikkan tekanan intracranial.
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan
keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita
sudah stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita.
Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos
buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola
mata (doll’s eye phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu
dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea.
2. Penatalaksanaan Khusus:
1) Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat
dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila
memenuhi kriteria berikut:
 Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya
berjalan) dalam batas normal
 Foto servikal jelas normal
 Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati pasien selama 24
jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat
darurat jika timbul gejala perburukan
 Kriteria perawatan di rumah sakit:
 Adanya darah intracranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan
 Konfusi, agitasi atau kesadaran menurun
 Adanya tanda atau gejala neurologia fokal
 Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
 Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di
rumah
a. Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak),
dengan skala korna Glasgow 15 dan CT Scan normal, tidak pertu dirawat. Pasien
ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala,
mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko timbuInya lesi intrakranial lanjut
yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
b. Cedera kepala berat: Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan
segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf
segera (hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera
dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera
kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif.
 Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi
 Pertahankan posisi kepala sejajar atau gunakan tekhnik chin lift atau jaw trust.
 Monitor tekanan darah
 Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS <
8, bila memungkinkan.
 Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan
Ringer laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air
bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W) dapat
menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
 Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan
katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.
 Temperatur badan: demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati
secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin.
 Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari
intravena. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah
7- 10 hari. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien
dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan risiko infeksi, hiperglikemia,
dan komplikasi lain. Untuk itu, Steroid hanya dipakai sebagai pengobatan
terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg intravena sebap 4-6
jam selama 48-72 jam).
 Profilaksis trombosis vena dalam
 Profilaksis ulkus peptic
 Antibiotik masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi risiko
meningitis pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal
atau udara intrakranial tetapi dapat meningkatkan risiko infeksi dengan
organisme yang lebih virulen.
 CT Scan lanjutan

G. Pengkajian
1. Pengkajian
Anamnesa pada stroke meliputi identitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan pengkajian
psikososial. (Muttaqin, 2008)
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor
register, dan diagnosis medis.
b. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah
kelemahan anggota gerak sebelah badan, nyeri kepala hebat, bicara pelo, tidak
dapat berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak, pada
saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah
bahkan kejang sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau
gangguan fungsi otak yang lain.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan
perubahan di dalam intrakranial. Keluhari perubahan perilaku juga umum terjadi.
Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan konia.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes melitus,
penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama,
penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan
kegemukan. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti
pemakaian obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya.
Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi
oral. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit
sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk
memberikan tindakan selanjutnya.
e. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus,
atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
f. Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi bebera pa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk rnemperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan
klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu
timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmarnpuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan citra tubuh).
Sedangkan menurut Dewanto et al. (2009) dalam pemeriksaan pada trauma
kepala dapat dilakukan primary dan secondary survei. Yaitu sebagai berikut :
1) Primary Survey
a) Airway
Kaji ada tidaknya sumbatan pada jalan nafas pasien.
• L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela
iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran
• L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan
• F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan menggunakan pipi
perawat
b) Breathing
Kaji ada atau tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya dispnea, takipnea,
bradipnea, ataupun sesak.Kaji juga apakah ada suara nafas tambahan seperti
snoring, gargling, rhonki atau wheezing.Selain itu kaji juga kedalaman nafas
pasien.
c) Circulation
Kaji ada tidaknya peningkatan tekanan darah, kelainan detak jantung misalnya
takikardi, bradikardi. Kaji juga ada tidaknya sianosis dan capilarrefil.Kaji juga
kondisi akral dan nadi pasien.
d) Disability
Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks, pupil
anisokor dan nilai GCS.Menilai kesadaran dengan cepat, apakah sadar, hanya
respon terhadap nyeri atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan
mengukur GCS. Adapun cara yang cukup jelas dan cepat dengan metode AVPU.
Namun sebelum melakukan pertolongan, pastikan terlebih dahulu 3A yaitu aman
penolong, aman korban dan aman lingkungan.
• A = Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
• V = Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara keras di
telinga korban, pada tahap ini jangan sertakan dengan menggoyang atau
menyentuh pasien, jika tidak merespon lanjut ke P.
• P = Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling mudah adalah
menekan bagian putih dari kuku tangan (di pangkal kuku), selain itu dapat juga
dengan menekan bagian tengah tulang dada (sternum) dan juga areal diatas mata
(supra orbital).
• U = Unresponsive : Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak
bereaksi maka pasien berada dalam keadaan unresponsive.

e) Exposure of extermitas
Mengkaji ada tidaknya peningkatan suhu pada pasien, adanya deformitas, laserasi,
contusio, bullae, atau abrasi.

2) Secondary Survey
Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan
secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan
setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-
tanda syok telah mulai membaik.
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien.Riwayat pasien meliputi keluhan
utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga,
sosial, dan sistem.(Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian riwayat
pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan dengan
bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan
dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat
kejadian.
Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran
mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
 Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera
wajah, maksilo-fasial, servikal, toraks, abdomen dan tungkai bawah.
 Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal
atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
 Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien
dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
a) A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
b) M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
c) P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
d) L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini)
e) E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)

g. Pemeriksaan fisik
1) Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa.Sering terjadi pada penderita yang datang
dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian
belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah
untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam,
perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Arif Muttaqin, 2008).
2) Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel.Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri.
Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena
pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi
sulit. Reevaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
a) Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakahisokor atau
anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau
midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies visus dan acies campus), apakah
konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis,
exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia.
b) Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan penciuman,
apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan
krepitasi dari suatu fraktur.
c) Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, perdarahan, penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan membrane
timpani atau adanya hemotimpanum.
d) Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
e) Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
f) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,
kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah
tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/
tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil meradang atau
tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri.
3) Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi,
edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan)
dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan
pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan,
emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap
jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal.Jaga airway, pernafasan, dan
oksigenasi.Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.
4) Toraks
a) Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosis, bekas luka,
frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada,
penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah
terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (Musliha, 2010)
b) Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
c) Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan.
d) Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan
bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub).
5) Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sendorik.Perubahan dalam status
neurologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Pada pemeriksaan neurologis,
inspeksi adanya kejang, twitching, parese, hemiplegi atau hemiparese (ganggguan
pergerakan), distaksia (kesukaran dalam mengkoordinasi otot), rangsangan
meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan respon sensori. Adanya paralisis
dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf
perifer.Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar servikal, dan
alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal.
Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada
kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak dengan leher
sebagai sumbu. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus
dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra
cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti
ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC).Perlu adanya tindakan bila ada
perdarahan epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf
(Satyanegara, 2010).

H. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis
(NANDA 2018- 2020, domain 12 kelas 1 kode 00132
2. Gangguan Citra Tubuh berhubungan dengan perubahan persepsi diri
(NANDA 2018 – 2020, domain 1 kelas 3 kode 00118)
3. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan hematoma
(NANDA 2018- 2020, domain 4 kelas 4 kode 00201)

I. Intervensi Keperawatan

DX NOC NIC
Kep

1 Tujuan: setelah dilakukan  Observasi adanya petunjuk


tindakan keperawatan diharapkan verbal/ non verbal mengenai
nyeri pasien dapat terkontro. ketidaknyamanan.
Dengan kriteria Hasil:  Lakukan pengkajian nyeri
 Tingkat nyeri menurun komprehensif yang meliputi
 Nyeri ringan lokasi, karakteristik, onset/
 Panjang episode nyeri durasi, frekuensi, kualitas,
ringan itensitas atau beratnya nyeri dan
 Ekspresi nyeri wajah faktor pencetus
menurun  Ajarkan penggunaan tekhnik non
farmakologi
 Beritahu dokter jika tindakan
tindak berhasil atau jika keluhan
pada saat ini berubah signifikan
dari pengalaman sebelumnya].

2 Tujuan: setelah dilakukan  Monitor apakah pasien bisa


tindakan keperawatan diharapkan meliha bagia tubuh mana yang
harga diri pasien meningkat berubah
dengan kriteria hasil:  Tentukan harapan citra diri
 Penerimaan terhaadap pasien didasarkan pada tahap
keterbatas diri sering perkembangan
positif  Banu pasienuntuk menentukan
 Gambaran diri pasien pengaruh terhadap persepsi diri
positif pasien mengenai citra tubuh
 Mempertahankan pasien saat ini
penampilan dan  Ajarkan pasien mengenai
kebersihan positif perubahan – perubahan normal
yang terjadi pada tubuhnya
 Fasilitasi kontak dengan individu
yang mengalami perubahan yang
sama dalam hal citra tubuh.

3 Tujuan; setelah dilakukan  Monitor tanda – tanda vitak


tindakan keperawatan diharapkan  Catat perubahan pasien dalam
risiko menurun beresponterhadap stimulus
 Saring percakaan dalam
pendengaran pasien
 Ajurkaan pasie tentang periode
istirahat
 Kolaborasi dengan dokter
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA

Adams, et al., (2007). American of Academy of Neurology affirms the value of this
guidelineasan Quality of Care Outcames in Research Interdiciplinary Working.
Groups. Stroke,;38:16655-1771. Journal Of Nursing 1(1).

Dewanto, George., Suwono, Wita. J., Riyanto, Budi., Turana, Yuda. (2009). Panduan
Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: ECG.

Dewantaro, Rudy.,& Nurhidayat, S. (2014). Peningkatan Tekanan intrakranial &


gangguan peredaran darah otak. Yogyakarta: ANDI.

Emergency Nurses Association. (2007). Sheehy`s manual of emergency care 6th


edition. St. Louis Missouri : Elsevier Mosby.

Hudak dan Gallo. (2010). Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume II. Edisi
6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Kementerian Kesehatan RI, (2013), Pusat Data dan Informasi Kesehatan, Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.

Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafa. Jakarta : Salemba Medika.

Musliha.(2010). Keperawatan Gawat Darurat.Yogyakarta:Nuha Medika.

RISKESDAS, (2013). Profil Kesehatan, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.

Satyanegara.2010. Ilmu Bedah Syaraf Edisi IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai