Anda di halaman 1dari 28

DEPARTEMEN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN


PADA TN.A DENGANDIAGNOSA CEDERA OTAK RINGAN
(COR) DI RUANG AROFAH RSM SITI KHODIJAH
GURAH KEDIRI

Oleh :

AGUNG KURNIA
NIM. 202106110

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA KEDIRI
2021/2022
LEMBAR PENGESAHAN

Keperawatan Jiwa dengan judul “Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan


Pada Tn. A Dengan Diagnosa Cidera Otak Ringan (COR) di Ruang Arofah RSM Siti
Khodijah Gurah Kediri ” Oleh :
Nama : Agung Kurnia
NIM : 202106110
Prodi : Pendidikan Profesi Ners
Sebagai salah satu syarat dalam pemenuhan tugas praktik Pendidikan Profesi Ners
Departemen Keperawatan Anak, yang dilaksanakan pada tanggal 24 Januari - 29
Januari 2022, yang telah di setujui dan disupervisi pada :

Mahasiswa

Agung Kurnia
NIM. 202106110
Mengetahui,

Pembimbing Akademik CI Ruangan Arofah

(Linda Ishariani, S.Kep.Ns.,M.Kep.) (Maya Kristanti, S.Kep.Ns)

Kepala Ruangan Arofah

(Setyo Herlina, S.Kep.Ns)


BAB I
KONSEP DASAR MEDIS

A. Definisi
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung
atau tidak langsung megenai kepala yang mengakibatkan luka dikulit kepala,
fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak,
serta mengakibatkan gangguan neurologis (Putri, Rahayu, & Sidharta, 2016).
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan
lalu lintas (Mansjoer, A. 2011).
Cidera kepala adalah trauma yang mengenai otak yang dapat mengakibatkan
perubahan fisik intelektual, emosional, dan sosial. Trauma tenaga dari luar
yang mengakibatkan berkurang atau terganggunya status kesadaran dan
perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik dan emosional (Judha & Rahil,
2011).
Cidera kepala adalah adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi-decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk di pengaruhi oleh
perubahan peningkatan dan percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta
notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan (Rendy, 2012).
B. Etiologi
1. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam : menyebabkan cedera setempat&menimbulkan
cedera lokal. Kerusakan local meliputi Contusio serebral, hematoma
serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi,
pergeseran otak atau hernia.
2. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul&menyebabkan cedera menyeluruh (difusi) :
Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk : cedera
akson, keruskan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi
kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera kepala menyebar
pada hemisfer cerebral, batang otak atau keduaduanya.
a) Akibat trauma tergantung pada
1) Kekuatan benturan menyebabkan parahnya kerusakan
2) Akselerasi dan decelerasi.
3) Cup dan kontra cup
b) Cedera cup menyebabkan kerusakan pada daerah dekat yang terbentur
c) Cedera kontra cup menyebabkan kerusakan cedera berlawanan pada
sisi desakan benturan.
1) Lokasi benturan
2) Rotasi merupakan pengubahan posisi rotasi pada kepala
menyebabkan alba dan batang otak.
3) Depresi fraktur merupakan kekuatan yang mendorong fragmen
tulang turun menekan otak lebeh dalam. Akibatnya CSS mengalir
keluar ke hidung, kuman masuk telinga berkontaminasi
menyebabkan infeksi dan kejang.
C. Manifestasi klinis
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi
cedera otak.
1. Cedera kepala ringan
a. Kebingungan saat kejadian dan kebingungan terus menetap
setelah cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan
cemas
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah
tingkah laku
2. Cedera kepala sedang
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan
atau bahkan koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba Defisit
neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan
pergerakan.
3. Cedera kepala berat
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motoric tidak aktual, adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut
D. Patofisiologi
Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan
aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang
diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan
benda tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah bila kepala membentur
objek yang secara relatife tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah.
Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan
kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan
diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bias dikombinasi dengan
pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan
dan robekan pada substansi alba dan batangotak.
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu
cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah
cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan
merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen.
Tidak banyak yang bias kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga
sel-sel yang sedang sakit bias mengalami proses penyembuhan yang optimal.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi
karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bias
mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh system dalam tubuh.
Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang
berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi
sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area
cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma
ekstrakranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala
selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena
perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia,
hiperemi peningkatan volume darah pada area peningkatan permeabilitas
kapiler, serta vasidilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun,
hipotensi (Yosepha et al., 2017).
E. WOC
Terlampir
F. Pemeriksaan Penunjang
a. CT scan
CT scan digunakan untuk mengidentifikasi adanya hemoragig, ukuran
ventrikuler, infark pada jaringan mati.
b. Foto tengkorak atau cranium
Foto tengkorak atau cranium digunakan untuk mengetahui adanya fraktur
pada tengkorak.
c. MRI
MRI digunakan sebagai penginderaan yang menggunakan gelombang
elektomagnetik.
d. Laboratorium
1) Kimia darah : Untuk mengetahui keseimbangan elektrolit
2) Kadar elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intracranial.
3) Screen toksikologi : untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesedaran.
e. Serebral angiographi
Menunjukkan anomaly sirkulasi serebral, seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
f. Serial EEG
Serial EEG digunakan untuk melihat perkembangan gelombang yang
patologis.
g. X-ray
Digunakan untuk mendeteksi perubahan struktur tulang, perubahan
truktur garis (perdarahan atau edema), frakmen tulang.
h. BAER
BAER digunakan untuk mengoreksi batas fungsi kortek dan otak kecil
i. PET
PET digunakan untuk mendeteksi perubahan aktivitas metabolism otak
j. CSF & lumbalpungsi
CSF & lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subaracnoid.
k. ABGs
ABGs digunakan untuk mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah
pernafasan (oksigenasi) jika terjadi
G. Penatalaksanaan
a. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
b. Therapihiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi.
c. Pemberian analgetik.
d. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,
glukosa 40% atau gliserol.
e. Antibiotik yang mengandung barrier darah otak (pinicilin) atau untuk
infeksi anaerobdi berikan metronidazole.
f. Makanan atau cairan infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.
g. Tidur tanpa bandal atau diganjal dengan bantal (kurang lebih 30º)
h. Pembedahan.
H. Komplikasi
a. Faktor kardiovaskular
1) Cedera kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup
aktivitas atipikal moikardial, peubahan tekanan vaskuler dan edema
paru
2) Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi
penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini menyebabkan penurunan
curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium kiri. Akibatnya
tubuh berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sisolik.
Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah
terjadinya edema paru.
b. Faktor respiratori
1) Adanya edema paru pada cedera kepala dan vasokonstriksi paru atau
hipetensi paru menyebabkan hiperpnoe dan bronkokonstriksi
2) Konsentrasi oksigen dan karbon doiksida mempengaruhi aliran darah.
Bila PO2 rendah, aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi.
Penurunan PCO2, akan tejadi alkalosis yang menyebabkan
vasokonstriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF (Cerebral Blood
Fluid) sehingga oksigen tidak sampai ke otak denan baik.
3) Edema otak ini menyebabkan kematian otak (iskemik) dan tingginya
tekanan intra cranial (TIK) yang dapat menyebabkan herniasi dan
penekanan batang otak atau medulla oblongata.
c. Faktor metabolism
1) Pada cedera kepala terjadi perubahan metabolisme seperti trauma
tubuh lainnya yaitu kecenderungan retensi natrium dan air, dan
hilangnya sejumlah nitrogen
2) Retensi natrium juga disebabkan karena adanya stimulus terhadap
hipotalamus, yang menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi
aldosteron.
d. Faktor gastrointestinal
Trauma juga mempegaruhi system gastrointestinal. Setelah cedera kepala
(3 hari) terdapat respon tubuh dengan meransang aktivitas hipotalamus
dan stimulus vagal. Hal ini akan meransang lambung menjadi
hiperasiditas, dan mengakibatkan terjadinya stress alser.
e. Faktor piskologis
Selain dampak masalah yang mempengaruhi fisik pasien, cedera kepala
pada pasien adalah suatu pengalaman yang menakutkan. Gejala sisa yang
timbul pascatrauma akan mempengaruhi psikis pasien. Demikian pula
pada trauma berat yang menyebabkan penurunan kesadaran dan
penururnan fungsi neurologis akan mempengaruhi psikososial pasien dan
keluarga.

BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Proses keperawatan adalah penerapan pemecahan masalah keperawatan secara
ilmiah yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah- masalah pasien,
merencanakan secara sistematis dan melaksanakannya serta mengevaluasi hasil
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
Menurut Rendi dan Margareth. ( 2012 ), asuhan keperawatan pada pasien cedera
kepala meliputi:
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Berisi biodata pasien yaitu nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal
lahir, golongan darah, pendidikan terakhir, agama, suku, status
perkawinan, pekerjaan, TB/BB, alamat.
b. Identitas penanggung jawab
Berisikan biodata penangguang jawab pasien yaitu nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien, pendidikan terakhir,
pekerjaan, alamat
c. Keluhan utama
Keluhan yang sering menjadi alasan klien untuk memnita pertolongan
kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai
penurunan tingkat kesadaran. Biasanya klien akan mengalami penurunan
kesadaran dan adanya benturan serta perdarahan pada bagian kepala
klien yang disebabkan oleh kecelakaan ataupun tindaka kejahatan.
d. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Berisikan data adanya penurunan kesadaran (GCS <15), letargi,
mual dan muntah, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah,
paralysis, perdarahan, fraktur, hilang keseimbangan, sulit
menggenggam, amnesia seputar kejadian, tidak bias beristirahat,
kesulitan mendengar, mengecap dan mencium bau, sulit
mencerna/menelan makanan.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Berisikan data pasien pernah mangalami penyakit system
persyarafan, riwayat trauma masa lalu, riwayat penyakit darah,
riwayat penyakit sistemik/pernafasan cardiovaskuler, riwayat
hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus,
penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat antikoagulan,
aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan konsumsi alkohol.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Berisikan data ada tidaknya riwayat penyakit menular seperti
hipertensi, diabetes mellitus, dan lain sebagainya.
e. Pemeriksaan fisik
1) Tingkat kesadaran
a) Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya, nilai GCS: 15 - 14.
b) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh, nilai GCS: 13 - 12.
c) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal,
nilai GCS: 11-10.
d) Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat
pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur
lagi, mampu memberi jawaban verbal, nilai GCS: 9 – 7.
e) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi
ada respon terhadap nyeri, nilai GCS: 6 – 4.
f) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun
reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap
cahaya), nilai GCS: ≤ 3 (Satyanegara 2010).
2) Fungsi motorik

Setiap ekstermitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut ini


yang digunakan secara internasional :

Respon Skala

Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang, Bisa terangkat, bisa melawan
4
gravitasi, namun tidak mampu melawan tahanan
pemeriksa, gerakan tidak terkoordinasi
Kelemahan berat, Terangkat sedikit < 450, tidak
3
mampu melawan gravitasi
Kelemahan berat, Dapat digerakkan, mampu
2
terangkat sedikit
Gerakan trace/ Tidak dapat digerakkan, tonus otot
1
Ada

Tidak ada gerakan 0

(Sumber : Wijaya dan Yessi 2013).

Biasanya klien yang mengalami cedera kepala kekuatan ototnya


berkisar antar 0 sampai 4 tergantung tingkat keparahan cedera
kepala yang dialami klien.

3) Aspek neurologis

a) Kaji GCS (cedera kepala ringan 14-15, cedera kepala sedang


9-13, cedera kepala berat 3-8).

b) Disorientasi tempat/waktu

c) Reflek patologis dan fisiologis 4.) Perubahan status mental

d) Nervus Cranial XII (sensasi, pola bicara abnormal)

e) Perubahan pupil/penglihatan kabur, diplopia, fotophobia,


kehilangan sebagian lapang pandang

f) Perubagan tanda-tanda vital

g) Gangguan pengecapan dan penciuman, serta pendengaran

h) Tanda-tanda peningkatan TIK

(1) Penurunan kesadaran

(2) Gelisah letargi

(3) Sakit kepala

(4) Muntah proyektil e

(5) Pupil edema

(6) Pelambatan nadi

(7) Pelebaran tekanan nadi

(8) Peningkatan tekanan darah systole

4) Aspek kardiovaskuler

a) Peubahan tekanan darah (menurun/meningkat)


b) Denyut nadi (bradikardi, tachi kardi, irama tidak teratur)

c) TD naik, TIK naik


5) System pernafasan
a) Perubahan poa nafas (apnea yang diselingi oleh
hiperventilasi), nafas berbunyi stridor, tersedak
b) Irama, frekuensi, kedalaman, bunyi nafas
c) Ronki, mengi positif
6) Kebutuhan dasar
a) Eliminasi : perubahan pada BAB/BAK (inkontinensia,
obstipasi, hematuri)
b) Nutrisi : mual, muntah, gangguan pencernaan/menelan
makanan, kaji bising usus
c) Istirahat : kelemahan, mobilisasi, kelelahan, tidur kurang

7) Pengkajian psikologis

a) Gangguan emosi/apatis, delirium

b) Perubahan tingkah laku atau kepribadian

8) Pengkajian social

a) Hubungan dengan orang terdekat

b) Kemampuan komunikasi, afasia motorik atau sensorik, bicara


tanpa arti, disartria, anomia
9) Nyeri/kenyamanan
a) Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi berbeda
b) Gelisah
2. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan diagnostic
1) X-ray/CT scan
a) Hematom serebral
b) Edema serebral
c) Perdarahan intracranial
d) Fraktur tulang tengkorak
2) MRI : Dengan/tanpa mempengaruhi kontras.
3) Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
4) EEG : memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
5) BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : menentukan fungsi
korteks dan batang otak.
6) PET (Positron Emission Tomograpfy) : menunjukan perubahan
aktivitas metabolism pada otak.
b. Pemeriksaan laboratorium

1.) AGD, PO2, PH, HCO3 : untuk mengkaji keadekuatan ventilasi


(mempertahankan AGD dalam rentang normaluntuk menjamin
aliran darah serebral adekuat) atau untuk melihat masalah
oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK.
2.) Elektrolit serum : cedera kepala dapat dihubungkan dengan
gangguan regulasi natrium, retensi Na dapat berakhir beberap hari,
diikuti dengan dieresis Na, peningkatan letargi, konfusi dan kejang
akibat ketidakseimbangan elektrolit.
3.) Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum.

4.) CSS : menentukan kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid


(warna, komposisi, tekana).
5.) Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mengakibatkan
penurunan kesadaran.
6.) Kadar Antikonvulsan darah : untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif mengatasi kejang.
3. Diagnosa Keperawatan
Nyeri akut
Nausea
Defisit nutrisi
Gangguan Pola Tidur
Gangguan mobilitas fisik
Resiko perfusi serebral tidak efektif
Resiko infeksi

4. Intervensi
No Dx. Keperawatan Kriteria Hasil Intervensi
1 Nyeri akut Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nyeri
(D.0077) selama 1x8 jam perhari (I.08238)
diharapkan tingkat nyeri Observasi
menurun, dengan kriteria hasil 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,
: durasi, frekuensi, kualitas,
1. Tingkat Nyeri intensitas nyeri
a. Keluhan nyeri menurun 2. Identifikasi skala nyeri
(5) 3. Identifikasi respon nyeri non
b. Tampak meringis verbal
menurun (5) Terapeutik
c. Sikap protektif menurun 4. Berikan teknik nonfarmakologis
(5) untuk mengurangi rasa nyeri
d. Gelisah menurun (5) (mis. TENS, hipnosis, akupresur,
e. Kesulitan tidur menurun terapi musik, biofeedback, terapi
(5) pijat, aromaterapi, teknik
f. Frekuensi nadi membaik imajinasi terbimbing, kompres
(5) hangat/dingin, terapi bermain)
5. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
Edukasi
6. Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
7. Kolaborasi pemberian analgetik
2 Nausea Setelah dilakukan intervensi MENEJEMEN MUAL
(D.0076) selama 1 x24 jam diharapkan (I. 03117)
perfusi serebral meningkat,
dengan kriteria hasil : Observasi

a. Perasaan ingin muntah


menurun (5) 1. Identifikasi pengalaman mual
b. Takikardia menurun (5) 2. Identifikasi isyarat nonverbal
c. Nafsu makan membaik ketidak nyamanan (mis. Bayi,
(5) anak-anak, dan mereka yang
tidak dapat berkomunikasi
secara efektif)
3. Identifikasi dampak mual
terhadapkualitas hidup (mis.
Nafsu makan, aktivitas, kinerja,
tanggung jawab peran, dan
tidur)
4. Identifikasi faktor penyebab
mual (mis. Pengobatan dan
prosedur)
5. Monitor mual (mis. Frekuensi,
durasi, dan tingkat keparahan)
6. Monitor asupan nutrisi dan
kalori

Terapeutik

7. Kendalikan faktor lingkungan


penyebab mual (mis. Bau tak
sedap, suara, dan rangsangan
visual yang tidak
menyenangkan)
8. Kurangi atau hilangkan
keadaan penyebab mual (mis.
Kecemasan, ketakutan,
kelelahan)
9. Berikan makan dalam jumlah
kecil dan menarik

Edukasi

10. Anjurkan istirahat dan tidur


yang cukup
11. Anjurkan sering membersihkan
mulut, kecuali jika merangsang
mual
12. Anjurkan makanan tinggi
karbohidrat dan rendah lemak
13. Ajarkan penggunaan teknik
nonfarmakologis untuk
mengatasi mual (mis.
Biofeedback, hipnosis,
relaksasi, terapi musik,
akupresur)

Kolaborasi

14. Kolaborasi pemberian


antiemetik, jika perlu
3 Defisit nutrisi Setelah dilakukan Manajemen nutrisi
(D.0019) intervensi selama 1 x24 jam (L.03119)

diharapkan Status nutrisi


Observasi
membaik (L.03030)
membaik, dengan kriteria 1. Identifikasi status nutrisi
hasil : 2. Identifikasi alergi dan
a. Porsi makan yang intoleransi makanan
dihabiskan meningkat 3. Identifikasi makanan yang
(5) disukai
b. Nafsu makan membaik 4. Identifikasi kebutuhan kalori
(5) dan jenis nutrient
c. Indeks masa tubuh 5. Identifikasi perlunya
(IMT) membaik (5) penggunaan selang nasogastrik
6. Monitor asupan makanan
7. Monitor berat badan
8. Monitor hasil pemeriksaan
laboratorium

Terapeutik

9. Lakukan oral hygiene sebelum


makan, jika perlu
10. Fasilitasi menentukan pedoman
diet (mis. Piramida makanan)
11. Sajikan makanan secara menarik
dan suhu yang sesuai
12. Berikan makan tinggi serat
untuk mencegah konstipasi
13. Berikan makanan tinggi kalori
dan tinggi protein
14. Berikan suplemen makanan, jika
perlu
15. Hentikan pemberian makan
melalui selang nasigastrik jika
asupan oral dapat ditoleransi

Edukasi

16. Anjurkan posisi duduk, jika


mampu
17. Ajarkan diet yang diprogramkan

Kolaborasi

18. Kolaborasi pemberian medikasi


sebelum makan (mis. Pereda
nyeri, antiemetik), jika perlu
19. Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah kalori
dan jenis nutrient yang
dibutuhkan, jika perlu
4 Gangguan Pola Setelah dilakukan Dukungan Tidur
Tidur intervensi selama 1 x24 jam (

(D.0055) diharapkan pola tidur Observasi


1. Identifikasi pola aktivitas dan
(L.05045) membaik,
tidur
dengan kriteria hasil :
2. Identifikasi faktor
a. Keluhan sulit tidur
pengganggu tidur
menurun (5)
(fisikdan/atau psikologis)
b. Keluhan sering terjaga 3. Identifikasi makanan dan
saat tidur menurun (5) minuman yangmengganggu
c. Keluhan tidak puas tidur (mis. kopi, teh,
tidur menurun (5) alkohol,makanan mendekati
d. Keluhan pola tidur waktu tidur, minum banyakair

berubah menurun (5) sebelum tidur)


4. Identifikasi obat tidur yang
e. Keluahan istirahat
dikonsumsi
tidak cukup menurun
Terapeutik
(5)
5. Modifikasi lingkungan (mis.
pencahayaan,kebisingan, suhu,
matras, dan tempat tidur)
6. Batasi waktu tidur siang, jika
perlu
7. Fasilitasi menghilangkan stres
sebelum tidur
8. Tetapkan jadwal tidur rutin
9. Lakukan prosedur untuk
meningkatkankenyamanan
(mis. pijat, pengaturan
posisi,terapi akupresur)
10. Sesuaikan jadwal pemberian
obat dan/atautindakan untuk
menunjang siklus tidur-terjaga

Edukasi
11. Jelaskan pentingnya tidur cukup
selama sakit
12. Anjurkan menepati kebiasaan
waktu tidur
13. Anjurkan menghindari
makanan/minuman yang
mengganggu tidur
14. Anjurkan penggunaan obat
tidur yang tidak mengandung
supresor terhadap tidur REM
15. Ajarkan faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap
gangguan pola tidur (mis.
psikologis:gaya hidup, sering
berubah shift bekerja)
16. Ajarkan relaksasi otot
5 Resiko Perfusi Setelah dilakukan Manajemen Peningkatan Tekanan
Serebral Tidak intervensi selama 1 x24 jam Intra Kranial

Efektif diharapkan perfusi serebral (I.06198)


Observasi
(D.0017) (L.02014) meningkat,
dengan kriteria hasil :
1. Identifikasi penyebab
peningkatan TIK (mis. Lesi,
a. Tingkat kesadaran
gangguan metabolisme, edema
meningkat (5)
serebral)
b. Tekanan intracranial
2. Monitor tanda/gejala
menurun (5)
peningkatan TIK (mis. Tekanan
c. Sakit kepala menurun
darah meningkat, tekanan nadi
(5) melebar, bradikardia, pola
d. Nilai rata-rata tekanan napas ireguler, kesadaran
darah membaik (5) menurun)
e. Tekanan darah 3. Monitor MAP (Mean Arterial
diastolic membaik (5) Pressure)
f. Gelisah menurun (5) 4. Monitor CVP (Central Venous
Pressure), jika perlu
5. Monitor PAWP, jika perlu
6. Monitor PAP, jika perlu
7. Monitor ICP (Intra Cranial
Pressure), jika tersedia
8. Monitor CPP (Cerebral
Perfusion Pressure)
9. Monitor gelombang ICP
10. Monitor status pernapasan
11. Monitor intake dan output
cairan
12. Monitor cairan serebro-spinalis
(mis. Warna, konsistensi)
Terapeutik
13. Minimalkan stimulus dengan
menyediakan lingkungan yang
tenang
14. Berikan posisi semi fowler
15. Hindari maneuver Valsava
16. Cegah terjadinya kejang
17. Hindari penggunaan PEEP
18. Hindari pemberian cairan IV
hipotonik
19. Atur ventilator agar PaCO2
optimal
20. Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi
21. Kolaborasi pemberian sedasi
dan antikonvulsan, jika perlu
22. Kolaborasi pemberian diuretic
osmosis, jika perlu
6 Gangguan Setelah dilakukan Dukungan Ambulansi
mobilitas fisik intervensi selama 1 x24 jam (I.06171)

(D.0054) diharapkan Mobilitas fisik Observasi


meningkat, dengan kriteria
1. Identifikasi adanya nyeri atau
hasil :
keluhan fisik lainnya
a. Nyeri menurun (5)
2. Identifikasi toleransi fisik
b. Gerakan terbatas
melakukan ambulasi
menurun (5)
c. Kelemahan fisik Terapeutik
menurun (5)
3. Fasilitasi aktivitas ambulasi
dengan alat bantu (mis. tongkat,
kruk)
4. Fasilitasi melakukan mobilisasi
fisik, jika perlu
5. Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi

Edukasi

6. Jelaskan tujuan dan prosedur


ambulasi
7. Anjurkan melakukan ambulasi
dini
8. Ajarkan ambulasi sederhana
yang harus dilakukan (mis.
berjalan dari tempat tidur ke
kursi roda, berjalan dari tempat
tidur ke kamar mandi, berjalan
sesuai toleransi)
7 Resiko Infeksi Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi
(D.0142) intervensi selama 1 x 24 (I.14539)

jam diharapkan resiko


Observasi
infeksi menurun dengan
kriteria hasil : 1. Monitor tanda –tanda inveksi
a. Kerusakan jaringan
2. Identifikasi riwayat kesehatan
menurun (5)
dan riwayat alergi
b. Kerusakan lapisan
3. Monitor tanda gejala infeksi
kulit menurun (5) local dan sistemik
c. Nyeri menurun (5)
Terapeutik

4. Batasi jumlah pengunjung


5. Berikan perawatan kulit pada
sekitar edema/luka
6. Cuci tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan pasien
dan lingkungan pasien
7. Pertahankan tekhnik aseptic
pada pasien beresiko tinggi

Edukasi

8. Jelaskan tanda dan gejala


infeksi
9. Ajarkan cara memeriksa luka
10. Anjurkan meningkatkan asupan
cairan

Kolaborasi

11. Kolaborasi pemberian antibiotic

5. Implementasi
Diagnoasa Tgl Jam Implementasi
Nyeri akut Manajemen Nyeri
(D.0077) Observasi
1. Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Mengidentifikasi skala nyeri
3. Mengidentifikasi respon nyeri non verbal
Terapeutik
4. Memberikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hipnosis,
akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi
pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin, terapi bermain)
5. Mengontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri
Edukasi
6. Mengajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
7. Berkolaborasi pemberian analgetik
Nausea MENEJEMEN MUAL
(I. 03117)
(D.0076)

Observasi

1. Mengidentifikasi pengalaman mual


2. Mengidentifikasi isyarat nonverbal ketidak nyamanan
(mis. Bayi, anak-anak, dan mereka yang tidak dapat
berkomunikasi secara efektif)
3. Mengidentifikasi dampak mual terhadapkualitas hidup
(mis. Nafsu makan, aktivitas, kinerja, tanggung jawab
peran, dan tidur)
4. Mengidentifikasi faktor penyebab mual (mis.
Pengobatan dan prosedur)
5. Memonitor mual (mis. Frekuensi, durasi, dan tingkat
keparahan)
6. Memonitor asupan nutrisi dan kalori

Terapeutik
7. Mengendalikan faktor lingkungan penyebab mual
(mis. Bau tak sedap, suara, dan rangsangan visual
yang tidak menyenangkan)
8. Mengurangi atau hilangkan keadaan penyebab mual
(mis. Kecemasan, ketakutan, kelelahan)
9. Memberikan makan dalam jumlah kecil dan menarik

Edukasi

10. Menganjurkan istirahat dan tidur yang cukup


11. Menganjurkan sering membersihkan mulut, kecuali
jika merangsang mual
12. Menganjurkan makanan tinggi karbohidrat dan rendah
lemak
13. Mengajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis
untuk mengatasi mual (mis. Biofeedback, hipnosis,
relaksasi, terapi musik, akupresur)

Kolaborasi
14. Berkolaborasi pemberian antiemetik, jika perlu
Defisit nutrisi Manajemen nutrisi
(L.03119)
(D.0019)

Observasi

1. Mengidentifikasi status nutrisi


2. Mengidentifikasi alergi dan intoleransi makanan
3. Mengidentifikasi makanan yang disukai
4. Mengidentifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
5. Mengidentifikasi perlunya penggunaan selang
nasogastrik
6. Memonitor asupan makanan
7. Memonitor berat badan
8. memonitor hasil pemeriksaan laboratorium

Terapeutik

9. Melakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu


10. Memfasilitasi menentukan pedoman diet (mis. Piramida
makanan)
11. Menyajikan makanan secara menarik dan suhu yang
sesuai
12. Memberikan makan tinggi serat untuk mencegah
konstipasi
13. Memberikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
14. Memberikan suplemen makanan, jika perlu
15. menghentikan pemberian makan melalui selang
nasigastrik jika asupan oral dapat ditoleransi

Edukasi

16. menganjurkan posisi duduk, jika mampu


17. Mengajarkan diet yang diprogramkan

Kolaborasi

18. Berkolaborasi pemberian medikasi sebelum makan


(mis. Pereda nyeri, antiemetik), jika perlu
19. Berkolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis nutrient yang dibutuhkan, jika
perlu
Gangguan pola Dukungan Tidur
(
tidur
Observasi
(D.0055)
1. Mengidentifikasi pola aktivitas dan tidur
2. Mengidentifikasi faktor pengganggu tidur
(fisikdan/atau psikologis)
3. Mengidentifikasi makanan dan minuman
yangmengganggu tidur (mis. kopi, teh,
alkohol,makanan mendekati waktu tidur, minum
banyakair sebelum tidur)
4. Mengidentifikasi obat tidur yang dikonsumsi
Terapeutik
5. Memodifikasi lingkungan (mis.
pencahayaan,kebisingan, suhu, matras, dan tempat
tidur)
6. Membatasi waktu tidur siang, jika perlu
7. Memfasilitasi menghilangkan stres sebelum tidur
8. Menetapkan jadwal tidur rutin
9. Melakukan prosedur untuk
meningkatkankenyamanan (mis. pijat, pengaturan
posisi,terapi akupresur)
10. Menyesuaikan jadwal pemberian obat
dan/atautindakan untuk menunjang siklus tidur-terjaga
Edukasi
11. Menjelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit
12. Menganjurkan menepati kebiasaan waktu tidur
13. Menganjurkan menghindari makanan/minuman yang
mengganggu tidur
14. Menganjurkan penggunaan obat tidur yang tidak
mengandung supresor terhadap tidur REM
15. Mengajarkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap
gangguan pola tidur (mis. psikologis:gaya hidup,
sering berubah shift bekerja)
Gangguan Dukungan Ambulansi
(I.06171)
mobilitas fisik
(D.0054)
Observasi

1. Mengidentifikasi adanya nyeri atau keluhan


fisik lainnya
2. Mengidentifikasi toleransi fisik melakukan
ambulasi

Terapeutik

3. Memfasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat


bantu (mis. tongkat, kruk)
4. Memfasilitasi melakukan mobilisasi fisik,
jika perlu
5. Melibatkan keluarga untuk membantu pasien
dalam meningkatkan ambulasi

Edukasi

6. Menjelaskan tujuan dan prosedur ambulasi


7. Menganjurkan melakukan ambulasi dini
8. Mengajarkan ambulasi sederhana yang harus
dilakukan (mis. berjalan dari tempat tidur ke
kursi roda, berjalan dari tempat tidur ke
kamar mandi, berjalan sesuai toleransi)
Resiko perfusi Manajemen Peningkatan Tekanan Intra Kranial
(I.06198)
cerebral tidak
Observasi
efektif
(D.0017) 1. Mengidentifikasi penyebab peningkatan TIK
(mis. Lesi, gangguan metabolisme, edema
serebral)
2. Memonitor tanda/gejala peningkatan TIK
(mis. Tekanan darah meningkat, tekanan nadi
melebar, bradikardia, pola napas ireguler,
kesadaran menurun)
3. Memonitor MAP (Mean Arterial Pressure)
4. Memonitor CVP (Central Venous Pressure),
jika perlu
5. Memonitor PAWP, jika perlu
6. Memonitor PAP, jika perlu
7. Memonitor ICP (Intra Cranial Pressure), jika
tersedia
8. Memonitor CPP (Cerebral Perfusion
Pressure)
9. Memonitor gelombang ICP
10. Memonitor status pernapasan
11. Memonitor intake dan output cairan
12. Memonitor cairan serebro-spinalis (mis.
Warna, konsistensi)
Terapeutik
13. Meminimalkan stimulus dengan
menyediakan lingkungan yang tenang
14. Memberikan posisi semi fowler
15. Menghindari maneuver Valsava
16. Mencegah terjadinya kejang
17. Menghindari penggunaan PEEP
18. Menghindari pemberian cairan IV hipotonik
19. Mengatur ventilator agar PaCO2 optimal
20. Mempertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi
21. Berkolaborasi pemberian sedasi dan
antikonvulsan, jika perlu
22. Berkolaborasi pemberian diuretic osmosis,
jika perlu
Resiko infeksi Observasi
(D.0142)
1. Memonitor tanda –tanda inveksi
2. Mengidentifikasi riwayat kesehatan dan
riwayat alergi
3. Memonitor tanda gejala infeksi local dan
sistemik
Terapeutik

4. Membatasi jumlah pengunjung


5. Memberikan perawatan kulit pada sekitar
edema/luka
6. Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak
dengan pasien dan lingkungan pasien
7. Mempertahankan tekhnik aseptic pada pasien
beresiko tinggi
Edukasi

8. Menjelaskan tanda dan gejala infeksi


9. Mengajarkan cara memeriksa luka
10. Menganjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi

11. Berkolaborasi pemberian antibiotic

6. Evaluasi
Diagnosa SOAP
Nyeri Akut S : Pasien mengatakan tidak nyarei keluhan nyeri
O:- Tampak meringis menurun (5)
- Sikap protektif menurun (5)
- Gelisah menurun (5)
- Kesulitan tidur menurun (5)
- Frekuensi nadi membaik (5)
A : Masalah Teratasi
P : Hentikan Intervensi
Nausea S : Pasien mengatakan tidak mual
O:- Perasaan ingin muntah menurun (5)
- Takikardia menurun (5)
- Nafsu makan membaik (5)
A : Masalah Teratasi
P : Hentikan Intervensi
Defisit Nutrisi S : Pasien mengatakan napsu makan meningkat
O :- Porsi makan yang dihabiskan meningkat (5)
- Nafsu makan membaik (5)
- Indeks masa tubuh (IMT) membaik (5)
A : Masalah Teratasi
P : Hentikan Intervensi
Gangguan pola S : Pasien mengatakan tidak sulit tidur
tidur O:- Keluhan sulit tidur menurun (5)
- Keluhan sering terjaga saat tidur menurun (5)
- Keluhan tidak puas tidur menurun (5)
- Keluhan pola tidur berubah menurun (5)
- Keluahan istirahat tidak cukup menurun (5)
A : Masalah Teratasi
P : Hentikan INtervensi
Gangguan S : Pasien mengatakan suda tidak mengalami hambatan saat
mobilitas fisik bergerak
O:- Nyeri menurun (5)
- Gerakan terbatas menurun (5)
- Kelemahan fisik menurun (5)
A : Masalah Teratasi
P : Hentikan Intervensi
Resiko perfusi S:-
serebral tidak O : Tingkat kesadaran meningkat (5)
efektif - Tekanan intracranial menurun (5)
- Sakit kepala menurun (5)
- Nilai rata-rata tekanan darah membaik (5)
- Tekanan darah diastolic membaik (5)
- Gelisah menurun (5)
A : Masalah Teratasi
P : Hentikan Intervensi
Resiko infeksi S: -
O:- Kerusakan jaringan menurun (5)
- Kerusakan lapisan kulit menurun (5)
- Nyeri menurun(5)
A : Masalah Teratasi
P : Hentikan Intervensi

DAFTAR PUSTAKA

Kozier, Barbara. (2011). Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep, Proses, dan
Praktik (7th ed.). Jakarta : EGC.
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik (Edisi 1).
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan (Edisi 1).
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawtan (Edisi 1). DPP PPNI.
Yosepha et al. (2017) Karya Ilmiah Akhir Ners Analisa praktik klinik keperawatan
pada pasien cedera kepala dengan intervensi terapi musik terhadap perubahan
nyeri dan tekanan darah di ruang ICU RSUD A. W. Sjahranie Samarinda’.

Anda mungkin juga menyukai