Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA Ny.J DENGAN CIDERA KEPALA RINGAN (CKR)

DIRUANG SADEWA 2 RSD K.R.M.T WONGSONEGORO SEMARANG

Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Stase Keperawatan Medikal Bedah

Pembimbing Klinik : Teguh Theryana Bobonera, S.Kep., Ns


Dosen Pembimbing : Sumardino,SST.,M.Kes.

Disusun Oleh :

DEVI AULIA PUTRI

P27220022167

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA

TAHUN AJARAN 2022/2023


BAB I

KONSEP TEORI

A. Pengertian
Cedera kepala ringan merupakan salah satu klasifikasi dari cedera
kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan pada fungsi
persarafan serta penurunan kesadaran pada seseorang tanpa menimbulkan
kerusakan pada organ lainnya. Cedera kepala ringan dapat disebabkan
adanya trauma yang pada kepala dengan nilai GCS: 14-15, tidak terdapat
penurunan kesadaran, biasanya terdapat keluhan pusing dan nyeri akut, serta
lecet atau luka pada kepala maupun terjadi perdarahan di otak (Muttaqin, A,
2008).
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak
gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun
trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba,
iskemia, dan pengaruh masa karena hemoragik, serta edema serebral di
sekitar jaringan otak. (Batticaca Fransisca, 2008).
Cedera kepala merupakan bentuk trauma mekanik pada kepala yang
terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat
berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif,
psikososial, bersifat temporer atau permanen (Riskesdas, 2013).
Cedera kepala adalah istilah luas yang menggambarkan cedera pada
kulit kepala,tengkorak, otak, dan jaringan dibawahnya serta pembuluh
darah pada kepala. Cedera kepala juga biasa disebut cedera otak atau cedera
otak traumatis (TBI),tergantung pada tingkat trauma kepala (Haryanto &
Utami, 2020).
Cedera kepala dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
yang diakibatkan oleh edema serebral sampai dengan perdarahan pada otak.
Peningkatan tekanan intrakranial salah satunya ditandai dengan adanya
nyeri kepala (Arif & Atika,2019).
B. Etiologi
1. Trauma Tajam adalah trauma yang disebabkan oleh benda tajam yang
dapat mengakibatkan cedera setempat dan menimbulkan cedera local.
Kerusakan local meliputi Contosio serebral, hematom serebral,
kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi,
pergeseran otak atau hernia.
2. Trauma tumpul merupakan jenis trauma oleh benda tumpul dan
menyebabkan cedera menyeluruh menyebabkan kerusakan secara luas
dan terjadi dalam 4 bentuk yaitu cedera akson, kerusakan otak hipoksia,
pembengkakan otak menyebar, multiple pada otak koma terjadi karena
cedera menyebar pada hemisfer, cerebral, batang otak atau keduanya
(Wijaya, 2013).

Adapun beberapa penyebab terjadinya cidera kepala menurut


(Haryanto & Utami, 2020) antara lain :
1. Kecelakaan Lalu Lintas.
2. Olahraga.
3. Penyerangan Fisik.
4. Tembakan ke kepala.
5. Jatuh dari ketinggian.
6. Kecelakaan dirumah, kantor, dan diluar rumah.

3. Tanda dan Gejala


Adapun tanda dan gejala cidera kepala menurut Judha (2011) antara
lain yaitu :
a. Skull Fracture
Gejala yang didapatkan CSF atau cairan lain keluar dari telinga dan
hidung (othorrea, rinhorhea), darah dibelakang membran timphani
perobital ecimos (brill haematoma), memar di daerah mastoid
(battle sign), perubahan penglihatan, hilang pendengaran, hilang
indra penciuman, pupil dilatasi, berkurangnya gerakan mata dan
vertigo.
b. Concussion
Tanda yang didapat dalah menurunnya tingkat kesadarn kurang dari
5 menit, amnesia retrogade, pusing, nyeri kepala, mual dan muntah.
Contusion dibagi menjadi 2 yaitu cerebral contusion, brainsteam
contusion. Tanda yang terdapat adalah sebagai berikut :
1) Pernafasan mungkin normal, hilang keseimbangan secraa
perlahan atau cepat.
2) Pupil biasanya mengecil, equl, dan reaktif jika kerusakan
sampai batang otak bagian atas (saraf kranial ke III) dapat
menyebabkan keabnormalam pupil.

4. Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses
primer dan proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena
gaya fisika yang berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru
terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak.
Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak,
terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus
frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30
tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex
adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan,
gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang
merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik
berat.
a. Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera
primer biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson
difus).Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal yang
diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan
tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang
bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses
primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera
intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan kematian langsung
pada daerah yang terkena.
b. Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma
menyusul kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab
sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik,
hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti.
Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga
mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan
kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor
seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak
metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan
neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau
sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang
tergantung lokasi kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang
lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain.
Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui
setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan
dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan.
Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai
pada epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala
disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan
dibagian depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio
optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi sistem
vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama
setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon
ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan
hipofisis.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan
melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya
menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga
disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi
metabolisme karbohidrat didalam batang otak. Batang otak dapat
mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder
akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla,
karena kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh
herniasi unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi
pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus,
regiditas deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber,
lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan
kaku dalam fleksi pada siku terjadi bila hubungan batang otak
dengan korteks serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal.
Kerusakan-kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus
panjang menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas dangkal tak
teratur yang dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan
menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam
yang terjadi pada gangguan setinggi diensefalon akan
mengakibatkan alkalosisi respiratorik.
5. Pathway

Cidera primer Trauma kepala cidera sekunder

FRAKTUR

Pergeseran fragmen tulang (close fraktur)

Timbul respon stimulus nyeri tindakan ORIF

Reaksi nosiseptor pemasangan fiksasi

Eksternal

Respon reflek protektif pada tulang gangguan fungsi

tulang

Nyeri akut
Gangguan
mobilitas fisik

Peningkatan TIK

Tidak ketidakefektifan
perfusi jaringan serebral
6. Pemeriksaan Penunjang
a. CT Scan : tanpa/dengan kontras mengidentifikasi adanya
hemoragik, menentukan adanya ventrikuler, pergeseran jaringan
otak.
b. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral,
seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
c. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
d. Analisa Gas Darah : mendeteksi ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakarnial.
e. MRI (Magnetik Resonance Imaging) : untuk mengevaluasi cedera
vaskular serebral dengan cara non invasive.
f. Elektrolit : untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrakarnial.
g. EEG (Elektro Ensefalogram) : mengukur aktivitas gelombang otak
disemua regio korteks dan berguna dalam mendiagnosis kejang
serta mengaitkan pemeriksaan neurologis abnormal.

h. BAER (Brainsteam Auditory Evoked Responses) dan SSEP


(Somatosensory Evoked Potensial) : pemeriksaan prognostic yang
bermanfaat pada pasien cedera kepala. Hasil abnormal dari salah
satu pemeriksaan tersebut dapat membantu menegakan diagnosis
disfungsi batang otak yang tidak akan menghasilkan pemulihan
fungsional yang bermakna.
7. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya
memikili tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah
cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum
seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel
otak yang sakit. Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala,
Adveanced Cedera Life Support (2004) telah menepatkan standar
yang disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan,
sedang dan berat. Penatalaksanaan penderita cerdera kepala
meliputi survei primer dan survei sekunder.
Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan
antara lain:
a) A (Airway)
b) B (Breathing)
c) C (Circulation)
d) D (Disability)
e) E (Exposure/Environmental Control) yang kemudian
dilanjutkan dengan Resusitasi.
Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala
berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera
otak skunder dan menjaga homeostasis otak.
Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas.
Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat
(breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah
yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau
jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan
oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya
dilakukan intubasi endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa
tingkat kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain
yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan
eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur
tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan
lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif
normovolemik.
Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik
sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk
mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Bila ada
perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada
luka. Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan
yaitu resusitasi. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer
Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena.
Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah
head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat
menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan
tekanan intracranial.
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat
menentukan keluaran penderita. Survei sekunder dapat
dilakukan apabila keadaan penderita sudah stabil yang berupa
pemeriksaan keseluruhan fisik penderita.
Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi
respos buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya
pupil, gerakan bola mata (doll’s eye phonomenome, refleks
okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo
vestibuler) dan refleks kornea.

b. Penatalaksanaan Khusus
1. Cedera kepala ringan
pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan
ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT-Scan bila
memenuhi kriteria berikut :
a) Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental
dan gaya berjalan) dalam batas normal.
b) Foto servikal jelas normal.
c) Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati
pasien selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk
segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala
perburukan.
d) Adanya darah intracranial atau fraktur yang tampak pada
CT-Scan.
e) Konfusi, agitasi atau kesadaran menurun.
f) Adanya tanda atau gejala neurologia fokal.
g) Adanya penyakit medis komorbid yang nyata.
h) Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati
pasien di rumah.
2. Cedera kepala sedang
pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan
skala korna Glasgow 15 dan CT-Scan normal, tidak pertu
dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah,
meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau
amnesia. Risiko timbuInya lesi intrakranial lanjut yang
bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah
minimal.
3. Cedera kepala berat
Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan
segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi
intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang
besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah
saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala
berat dilakukan di unit rawat intensif.
a) Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi.
b) Pertahankan posisi kepala sejajar atau gunakan tekhnik chin
lift atau jaw trust.
c) Monitor tekanan darah.
d) Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien
dengan skor GCS < 8, bila memungkinkan.
e) Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal
atau larutan Ringer laktat) yang diberikan kepada pasien
dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam
salin 0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W) dapat
menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
f) Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons
hipermetabolik dan katabolik, dengan keperluan 50-100%
lebih tinggi dari normal.
g) Temperatur badan: demam mengeksaserbasi cedera otak
dan harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau
kompres dingin.
h) Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena,
kemudian 300 mg/hari intravena. Jika pasien tidak
menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7- 10
hari. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil
pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat
meningkatkan risiko infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi
lain. Untuk itu, Steroid hanya dipakai sebagai pengobatan
terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg
intravena sebap 4-6 jam selama 48-72 jam).
i) Profilaksis trombosis vena dalam.
j) Profilaksis ulkus peptic.
k) Antibiotik masih kontroversial. Golongan penisilin dapat
mengurangi risiko meningitis pneumokok pada pasien
dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara
intrakranial tetapi dapat meningkatkan risiko infeksi dengan
organisme yang lebih virulen.
l) CT Scan lanjutan.
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
Anamnesa meliputi identitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan
pengkajian psikososial (Muttaqin, 2008).
a. Identitas Klien
Identitas klien yang perlu dikaji meliputi nama, jenis kelamin, tanggal
lahir, nomor register, usia, agama, alamat, status perkawinan, pekerjaan,
dan tanggal masuk rumah sakit.
b. Identitas penanggungjawab
Identitas penanggungjawab yang perlu dikaji meliputi nama, umur,
pekerjaan, alamat, dan hubungan dengan klien.
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Adanya penurunan kesadaran, letargi, mual dan muntah, sakit
kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralisis, peredaran, fraktur,
hilang keseimbangan, sulit menggenggam, amnesia seputar
kejadian, tidak bisa istirahat, kesulitan mendengar, mengecap dan
mencium bau, sulit mencerna.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Pasien pernah mengalami sistem persarafan, riwayat trauma
masalalu, riwayat penyakit darah, riwayat penyakit sistemik atau
pernafasan kardiovaskuler dan metabolik.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Perlu dikaji adanya riwayat keluarga yang memiliki penyakit
keturunan seperti adanya riwayat jantung, hipertensi, atau keluarga
ada yang mengalami gangguan psikologi seperti yang dialami oleh
klien, atau adanya penyakit genetik yang mempengaruhi
psikososial.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum :
Biasanya pasien sadar,namun kadang bingung dan terlihat
kesakitan.
2) Tingkat kesadaran :
Biasanya composmentis dengan hasil GCS 13-15.
3) Pemeriksaan tanda-tanda vital
TD : biasanya terjadi hipotensi atau hipertensi
N : biasanya normal
RR : biasanya mengalami nirmal atau meningkat
S : biasanya dalam batas normal
4) Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa.Sering terjadi pada penderita yang
datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang
berasal dari bagian belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi
dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi,
laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam,
perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Arif Muttaqin,
2008).
5) Wajah
Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri.
6) Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang
atau krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan
disfagia (kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan,
cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot
tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan,
emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan
simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi
servikal.Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi.Kontrol
perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.
7) Thoraks
a) Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan
belakang untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar,
ruam , ekimosis, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan,
kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan
tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace
maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (Musliha, 2010)
b) Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma
tajam/tumpul, emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
c) Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan
keredupan.
d) Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing,
rales) dan bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub).
e. Pola fungsi kesehatan
1) Pola nutrisi
pasien dapat mengalami makan berlebih/ kurang karena kadang lupa
apakah sudah makan atau belum.
2) Pola persepsi hidup sehat
Pasien biasanya mengalami gangguan persepsi, klien mengalami
gangguan dalam memelihara dan menangani masalah kesehatan.
3) Pola eliminasi
Tidak ada masalah terkait pola eliminasi.
4) Pola tidur dan istirahat
Pasien biasanya mengalami kesulitan tidur atau insomnia.
5) Pola aktivitas dan istirahat
pasien mengalami gangguan dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari
karena penurunan minat dan keterbatasan fisik.
6) Pola hubungan dan peran
Menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran klien
terhadap anggota keluarga dan masyarakat tempat tinggal,
pekerjaan.
7) Pola nilai dan kepercayaan
Pasien biasanya tidak mengalami gangguan dalam spiritual.

Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):

a.) A : alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, atau makanan).
b.) M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat.
c.) P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit
yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-
obatan herbal).
d.) L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,
dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi
termasuk dalam komponen ini).
e.) E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian
yang menyebabkan adanya keluhan utama).

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu penilaian klinis mengenai respons klien
terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik
yang berlangsung potensial maupun actual yang dimana bertujuan untuk
mengidentifikasi respons klien individu, keluarga dan komunitas terhadap
situasi yang berkaitan dengan kesehatan(Tim Pokja SDKI PPNI, 2016).
a. Nyeri akut Berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur
operasi)
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dibuktikan
dengan kerusakan intregitas struktur tulang
c. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan cidera
kepala.
C. Intervensi Keperawatan
Rencana keperawatan merupakan fase dari proses keperawatan yang penuh
pertimbangan dan sistematis serta mencakup pembuatan keputusan untuk
menyelesaikan masalah (Kozier et al., 2010).
N Diagnosa Tujuan keperawatan Haasil rencana
o. keperawatan dan kriteria hasil tindakan
dx (SDKI) (SLKI) (SIKI)
1. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan Intervensi utama :
agen pencedera tindakan keperawatan manajemen nyeri
fisik (D.0077) ...x24 jam diharapkan (I.08238)
Subjektif : nyeri dapat menurun Observasi:
- Mengelu (L.08066) dengan - identifikasi
h nyeri kriteria hasil : lokaasi,karakterist
Objektif : 1. Keluhan nyeri ik
- Tampak menurun nyeri,durasi,freku
meringis 2. Gelisah ensi,kualitas,inten
- Gelisah menurun sitas nyeri.
- Sulit tidur 3. Kesulitan tidur - Identifikasi skala
- Tekanan menurun nyeri.
darah 4. Tekanan darah Terapiutik:
meningka membaik - Berikan tekhnik
t nonfarmakologoi
os untuk
mengurangi rasa
nyeri (terapi nafas
dalam).
- Fasilitasi istirahat
dan tidur.
Edukasi:
- Anjurkan tekhnik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri.
Kolaborasi:
- Kolaborasi
pemberian
analgetik.
2. Gangguan Setelah dilakukan Intervensi utama
mobilitas fisik tindakan keperawatan dukungan ambulasi
b.d kerusakan selama ...X24 jam (I.06171)
integritas tulang diharapkan mobilitas OBSERVASI
(D.0017) fisik meningkat dengan 1. Identifikasi adanya
Data subjektif : kriteria hasil : nyeri atau keluhan
1. Pasien 1. Pergerakan fisik lainnya
mengatakan ekstremitas 2. Identifikasi toleransi
sulit meningkat fisik melakukan
menggerakka 2. Kekuatan otot pergerakan
n ekstremitas meningkat TERAPEUTIK
kanan bawah. Nyeri menurun 1. Fasilitasi aktivitas
2. Pasien mobilisasi dengan alat
mengatakan bantu ( mis. pagar
nyeri saat tempat tidur )
menggerakan 2. Libatkan keluarga
ekstremitas untuk membantu
bawah. pasien dalam
3. Pasien merasa meningkatkan
cemas saat pergerakan
bergerak. EDUKASI
Data objektif : 1. Jelaskan tujuan dan
1. Kekuatan prosedur mobilisasi
otot Anjarkan mobilisasi
sederhana yang harus
mengalami dilakukan ( mis. duudk di
penurunan tempat tidur, duduk di sisi
2. Rentang tempat tidur, pindah dari
gerak ROM tempat tidur ke kursi)
menurun
3. risiko perfusi Setelah dilakukan Intervensi utama
serebral tidak tindakan keperawatan manajemen peningkatan
efektif selama ...X24 jam intrakarnial (I.09325)
berhubungan diharapkan perfusi OBSERVASI
dengan cidera serebral meningkat 1. Monitor
kepala (D.0017) dengan kriteria hasil : tanda/gejala
data subjektif : 1. Sakit kepala peningkatan TIK
- Pasien menurun (mis. Tekanan
mengatak 2. Gelisah darah, tekanan
an kepala menurun nadi melebar).
terasa TERAPEUTIK
pusing 1. Minimalkan
Data objektif : stimulus dengan
- pasien menyediakan
tampak lingkungan yang
gelisah tenang.
- TTV 2. Berikan posisi
TD : 156/79 semi fowler.
mmHg KOLABORASI
N: 89x/mnt Kolaborasi pemberian
S : 36,7 0C sedasi dan anti konvulsan
RR : 22 jika perlu.
SPO2 : 98%
D. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah kegiatan mengkoordinasikan
aktivitas pasien, keluarga, dan anggota tim kesehatan lain untuk mengawasi
dan mencatat respon pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilakukan untuk membantu pasien dalam proses penyembuhan dan proses
perawatan hingga tujuan yang telah ditetapkan tercapai. Implementasi
adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan meliputi pengumpulan data
berkelanjutan, mengobservasi respon pasien selama dan sesudah
pelaksanaan tindakan, serta menilai data yang baru (Rohmah & Walid,
2012).
Mendokumentasikan semua tindakan keperawatan yang dilakukan
ke dalam catatann keperawatan secara lengkap yaitu: jam, tanggal, jenis
tindakan, respon pasien dan nama lengkap perawat yang melakukan
tindakan keperawatan.
E. Evaluasi
a. S (Subjektif)
Data berdasarkan keluhan yang disampaikan oleh klien atau keluarga
klien.
b. O (Objektif)
Data berdasarkan hasil observasi atau pengkajian langsung kepada
klien.
c. A (Assesment)
Penilaian atau assessment didapatkan setelah dokter mendengarkan
keluhan pasien dan melakukan pemeriksaan. Dokter menyatakan
masalah yang terjadi pada pasien, diagnosis penyakitnya dan diagnosis
banding jika diagnosis belum dapat ditegakkan. Diagnosis dapat diisi
lebih dari satu, termasuk riwayat penyakit pasien yang masih
dideritanya saat itu, tetapi diagnosis harus diurutkan berdasarkan
signifikansinya.
d. P (Planning)
Perencanaan tindakan keperawatan yang akan dilakukan baik
dilanjutkan, dihentikan, atau dimodifikasi.
DAFTAR PUSTAKA

Kusuma, A. H., & Anggraeni, A. D. (2019). Pengaruh posisi head up 30


derajat terhadap nyeri kepala pada pasien cedera kepala ringan.
Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan, 10(2), 417-422.

Marbun, A. S., Amila, A., Simanjuntak, G. V., Mislika, M., Santri, T. W.,
& Sahputra, A. (2020). Penanganan Pertama Pada Cedera Kepala
Ringan. Jurnal Abdimas Mutiara, 1(2), 269-274.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). (2019). Standar Luaran


Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). (2017). Standar Diagnosis


Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). (2018). Standar Intervensi


Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai