Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

CIDERA KEPALA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Individu Stase Keperawatan Gawat Darurat

Disusun Oleh :
MARIA GORETI LUAN
24.19.1302

PROGRAM STUDI PROFESI NERS ANGKATAN XXIV


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
SURYA GLOBAL YOGYAKARTA
2020
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SURYA
GLOBAL YOGYAKARTA PROGRAM STUDI PROFESI
NERS ANGKATAN XXIV

LEMBAR PENGESAHAN

Telah disahkan “Laporan Pendahuluan Dengan Cidera Kepala“ guna


memenuhi tugas stase Keperawatan Gawat Darurat Program Pendidikan Profesi
Ners Stikes Surya Global Yogyakarta Tahun 2020.

Senin, April 2020

Diajukan oleh:
Maria Goreti Luan
24191302

Mengetahui,

Pembimbing Akademik

(Muskhab Eko Riyadi, S.Kep,. Ns. M.Kep)


LAPORAN PENDAHULUAN

A. DEFENISI

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif , psikososial, bersifat
temporer atau permanen (Riskesdas, 2013).

Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu


kerusakan pada kepala , bukan bersifat congenital ataupun degenerative,
tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Snell, 2010).

Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak (Hudak&Gallo, 2010)

Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan
fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam.
Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan
pengaruh masa karena hemoragik, serta edema serebral do sekitar jaringan
otak. (Batticaca Fransisca, 2008, hal 96).

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnyakontinuitas otak (Arif Muttaqin, 2008, hal 270-271).
B. ETIOLOGI
Menurut Wijaya, 2013 etiologi ciedera kepala yaitu :
1. Trauma tajam adalah trauma yang disebabkan oleh benda tajam yang
dapat mengakibatkan cedera setempat dan menimbulkan cedera local.
2. Kerusakan local meliputi Contosio serebral,hematom serebral,kerusakan
otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi , pergeseran otak atau
hernia.

3. Trauma tumpul trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera


menyeluruh menyebabkan kerusakan secara luas dan terjadi dalam 4
bentuk yaitu cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak
menyebar, multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada
hemisfer,cerebral,batang otak atau keduanya.

Menurut Yasmara dkk (2006) Cidera kepala secara umum


disebabkan oleh beberapa faktor seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh
dari tempat tinggi, pukulan pada kepala, tertimpa benda berat,
kecelakaan kerja, luka tembak, atau cidera saat lahir.

C. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Judha (2011), tanda dan gejala dari cedera kepala antara lain :
1. Skull fracture
Gejala yang didapatkan CSF atau cairan lain keluar dari telinga dan
hidung (othorrea, rinhorhea), darah dibelakang membran timphani perobital
ecimos (brill haematoma), memar di daerah mastoid (battle sign),
perubahan penglihatan, hilang pendengaran, hilang indra penciuman, pupil
dilatasi, berkurangnya gerakan mata dan vertigo.

2. Concussion

Tanda yang didapat dalah menurunnya tingkat kesadarn kurang dari


5 menit, amnesia retrogade, pusing, nyeri kepala, mual dan muntah.
Contusion dibagi menjadi 2 yaitu cerebral contusion, brainsteam contusion.
Tanda yang terdapat adalah sebagai berikut :

 Pernafasan mungkin normal, hilang keseimbangan secraa perlahan


atau cepat.
 Pupil biasanya mengecil, equl, dan reaktif jika kerusakan sampai
batang otak bagian atas (saraf kranial ke III) dapat menyebabkan
keabnormalan pupil.

D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer
dan proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika
yang berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat
irreversible untuk sebagian besar daerah otak.
Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak,
terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis,
memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap
jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama
kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan
pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang
menderita cedera kepala traumatik berat.
1. Proses Primer

Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera


primer biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson
difus).Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh
benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat
dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan
perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak,
perdarahan segera intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan
kematian langsung pada daerah yang terkena.

2. Proses Sekunder

Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul


kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari
intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi
merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya tekanan
perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak.
Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai
faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak
metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan
neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau
sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung
lokasi kerusakan.

Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang


lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-
gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita
sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas
kulit pada sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan
timbulnya seperti dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.

Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala


disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian
depan hipotalamus akan terjadi hepertermi.

Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi


sistem vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama
setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari
daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis.

Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan


melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya
menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga
disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi
metabolisme karbohidrat didalam batang otak. Batang otak dapat
mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat
fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan
pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi unkus.

Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi


pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas
deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan
tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi
pada siku terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks serebri
terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal.
Kerusakan-kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang
menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas dangkal tak teratur yang
dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan menimbulkan
timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada
gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi
respiratorik.

E. PATHWAY (Terlampir)

F. KOMPLIKASI
1. Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala
adalah edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguan
neurologis atau akibat dari sindrom distress pernapasan dewasa edema
paru dapat terjadi akibat dari cedera pada otak yang menyebabkan adanya
refleks cushing.

2. Kebocoran Cairan Serebral


Hal yang umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan fraktur
tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dari telinga atau hidung. Ini
dapat akibat dari fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basiliar bagian petrous dari tulang temporal

3. Kerusakan saraf cranial


a. Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi
pembauan yang jika total disebut dengan anosmia dan bila parsial
disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita anosmia.
b. Gangguan penglihatan
Gejala klinik berupa penurunan visus, skotoma, dilatasi
pupil dengan reaksi cahaya negative, atau hemianopia bitemporal.
Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera yang mengakibatkan
kebutaan, tarjadi atrofi papil yang difus, menunjukkan bahwa
kebutaan pada mata tersebut bersifat irreversible.
c. Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata,
umumnya disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada
pengobatan khusus untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan
latihan ortoptik dini. Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan
pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup
mata, mulut moncong, semuanya pada sisi yang mengalami kerusakan.
d. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya disertai
vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat antara koklea,
vestibula dansaraf. Dengan demikian adanya cedera yang berat pada
salah satu organtersebut umumnya juga menimbulkan kerusakan pada
organ lain.
4. Disfasia
Secara ringkas, disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami
atau memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat.
Penderita disfasia membutuhkan perawatan yang lebih lama,
rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah komunikasi. Tidak ada
pengobatan yang spesifik untuk disfasia kecuali speech therapy.

5. Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau
kanan) merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal di
korteks, subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya berkaitan dengan

cedera kepala adalah perdarahan otak, empiema subdural, dan herniasi


transtentorial.

6. Sindrom pasca trauma kepala


Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome)
merupakan kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada
penderita cedera kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo
gugup, mudah tersinggung, gangguan konsentrasi, penurunan daya ingat,
mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan fungsi seksual.
7. Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara
arteri karotis interna dengan sinuskavernosus, umumnya disebabkan oleh
cedera pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa bising pembuluh darah
(bruit) yang dapat didengar pemeriksa dengan menggunakan stetoskop,
disertai hyperemia dan pembengkakan konjungtiva, diplopia dan
penurunanvisus, nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan kelumpuhan otot-
otot penggerak bola mata.

8. Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam
minggu pertama pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan epilepsy
yang muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (late posttraumatic
epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam tahun pertama meskipun
ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi setelah 4 tahun kemudian.

G. PENATALAKSANAAN MEDIS

1. Penatalaksaan Keperawatan

Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili


tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder
serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin

Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei
primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga
homeostasis otak.

Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas
dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2
dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera
kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan
oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakheal.

Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat


kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan
adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta
temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah.
Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya
menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita
dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas
100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Bila ada
perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka. Setelah
survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan resusitasi
yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua
jalur intra vena.

Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down
(kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di
kepala dan menaikkan tekanan intracranial. Pada penderita cedera kepala berat
cedera otak sekunder sangat menentukan keluaran penderita. Survei sekunder
dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah stabil yang berupa
pemeriksaan keseluruhan fisik penderita.

Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos


buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola
mata (doll’s eye phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu
dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea.

2. Penatalaksanaan Khusus:
a. Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya
dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT
Scan bila memenuhi kriteria berikut:
 Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental
dan gaya berjalan) dalam batas normal
 Foto servikal jelas normal
 Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati pasien
selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera
kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala
perburukan
 Kriteria perawatan di rumah sakit:
 Adanya darah intracranial atau fraktur yang tampak pada CT
Scan
 Konfusi, agitasi atau kesadaran menurun
 Adanya tanda atau gejala neurologia fokal
 Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
 Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati
pasien di rumah

b. Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio


otak), dengan skala korna Glasgow 15 dan CT Scan normal, tidak
pertu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah,
meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia.
Risiko timbuInya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien
dengan cedera kepala sedang adalah minimal.

c. Cedera kepala berat: Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital,
keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi
intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang besar).
Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk
tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya
dilakukan di unit rawat intensif.

 Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi

 Pertahankan posisi kepala sejajar atau gunakan tekhnik chin


lift atau jaw trust.

 Monitor tekanan darah

 Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien


dengan skor GCS < 8, bila memungkinkan.

 Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal


atau larutan Ringer laktat) yang diberikan kepada pasien
dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin
0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W) dapat
menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
 Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons
hipermetabolik dan katabolik, dengan keperluan 50-100%
lebih tinggi dari normal.

 Temperatur badan: demam mengeksaserbasi cedera otak dan


harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau
kompres dingin.

 Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena,


kemudian 300 mg/hari intravena. Jika pasien tidak menderita
kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7- 10 hari. Steroid: steroid
tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera
kepala dan dapat meningkatkan risiko infeksi, hiperglikemia, dan
komplikasi lain. Untuk itu, Steroid hanya dipakai sebagai
pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg
intravena sebap 4-6 jam selama 48-72 jam).

 Profilaksis trombosis vena dalam

 Profilaksis ulkus peptic

 Antibiotik masih kontroversial. Golongan penisilin dapat


mengurangi risiko meningitis pneumokok pada pasien dengan
otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial
tetapi

 dapat meningkatkan risiko infeksi dengan organisme yang


lebih virulen.

 CT Scan lanjutan

H. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Anamnesa pada stroke meliputi identitas klien, keluhan


utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu,
riwayat penyakit keluarga, dan pengkajian psikososial. (Muttaqin,
2008)
a. Identitas Klien

Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua),


jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa,
tanggal dan jam MRS, nomor register, dan diagnosis medis.

b. Keluhan utama

Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan


kesehatan adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, nyeri
kepala hebat, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan
penurunan tingkat kesadaran.

c. Riwayat penyakit sekarang

Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat


mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya
terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak
sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan
fungsi otak yang lain. Adanya penurunan atau perubahan pada
tingkat kesadaran disebabkan perubahan di dalam intrakranial.
Keluhari perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai
perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan
konia.

d. Riwayat penyakit dahulu

Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya,


diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma
kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat anti
koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan.
Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien,
seperti pemakaian obatanti hipertensi, anti lipidemia,
penghambat beta, dan lainnya.

Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan


penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini dapat
mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk
memberikan tindakan selanjutnya.
e. Riwayat penyakit keluarga

Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi,


diabetes melitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi
terdahulu.

f. Pengkajian psiko sosio spiritual

Pengkajian psikologis klien stroke meliputi bebera pa


dimensi yang memungkinkan perawat untuk rnemperoleh persepsi
yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting
untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-harinya, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.

Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti
ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmarnpuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan citra tubuh). Sedangkan menurut Dewanto et al. (2009)
dalam pemeriksaan pada trauma kepala dapat dilakukan primary dan
secondary survei. Yaitu sebagai berikut :

a. Primary Survey

 Airway

Kaji ada tidaknya sumbatan pada jalan nafas pasien.

L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya


retraksi sela iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran

L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan

F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan


menggunakan pipi perawat
 Breathing
Kaji ada atau tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya dispnea,
takipnea, bradipnea, ataupun sesak.Kaji juga apakah ada suara nafas
tambahan seperti snoring, gargling, rhonki atau wheezing.Selain itu
kaji juga kedalaman nafas pasien.

1) Circulation

Kaji ada tidaknya peningkatan tekanan darah, kelainan detak


jantung misalnya takikardi, bradikardi. Kaji juga ada tidaknya
sianosis dan capilarrefil.Kaji juga kondisi akral dan nadi pasien.

2) Disability

Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan


refleks, pupil anisokor dan nilai GCS.Menilai kesadaran dengan
cepat, apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri atau atau sama
sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS. Adapun cara
yang cukup jelas dan cepat dengan metode AVPU. Namun sebelum
melakukan pertolongan, pastikan terlebih dahulu 3A yaitu aman
penolong, aman korban dan aman lingkungan.

a) A = Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V

b) V = Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan


berbicara keras di telinga korban, pada tahap ini jangan sertakan
dengan menggoyang atau menyentuh pasien, jika tidak
merespon lanjut ke P.

c) P = Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling


mudah adalah menekan bagian putih dari kuku tangan (di
pangkal kuku), selain itu dapat juga dengan menekan bagian
tengah tulang dada (sternum) dan juga areal diatas mata (supra
orbital).

d) U = Unresponsive : Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien


masih tidak bereaksi maka pasien berada dalam keadaan
unresponsive.
3) Exposure of extermitas

Mengkaji ada tidaknya peningkatan suhu pada pasien, adanya


deformitas, laserasi, contusio, bullae, atau abrasi.

b. Secondary Survey

Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap


yang dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang.
Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai
stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok
telah mulai membaik.

Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat


pasien yang merupakan bagian penting dari pengkajian
pasien.Riwayat pasien meliputi keluhan utama, riwayat masalah
kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan
sistem.(Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian riwayat
pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika
berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien
yang terganggu, konsultasikan dengan anggota keluarga, orang
terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian.

Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan


memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita.
Beberapa contoh:

Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk


pengaman: cedera wajah, maksilo-fasial, servikal, toraks, abdomen
dan tungkai bawah. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan
intra-kranial, fraktur servikal atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.

Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat


dari pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):

 A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan,


plester, makanan)
 M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti
sedang menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung,
dosis, atau penyalahgunaan obat

 P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti


penyakit yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya,
penggunaan obat-obatan herbal)

 L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,


dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode
menstruasi termasuk dalam komponen ini)

 E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera


(kejadian yang menyebabkan adanya keluhan utama)

b. Pemeriksaan fisik

1) Kulit kepala

Seluruh kulit kepala diperiksa.Sering terjadi pada penderita yang


datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang
berasal dari bagian belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan
palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi,
massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri
tekan serta adanya sakit kepala (Arif Muttaqin, 2008).

2) Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel.Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri.
Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai

memeriksa mata, karena pembengkakan di mata akan menyebabkan


pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Reevaluasi tingkat
kesadaran dengan skor GCS.

a) Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil


apakahisokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya,
apakah pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus,
ketajaman mata (macies visus dan acies campus), apakah
konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal
-gatal, ptosis, exoph thalmos, sub conjunctival perdarahan,
serta diplopia.
b) Hidung : periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri,
penyumbatan penciuman, apabila ada deformitas
(pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi
dari suatu fraktur.

c) Telinga : periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan,


perdarahan, penurunan atau hilangnya pendengaran, periksa
dengan senter mengenai keutuhan membrane timpani atau
adanya hemotimpanum.

d) Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas

e) Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur

f) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur,


warna, kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna,
kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan tekan
daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor,
pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil
meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon
nyeri.

3) Vertebra servikalis dan leher

Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang


atau krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan
disfagia (kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan,
cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot
tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan,
emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris
pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal.Jaga
airway, pernafasan, dan oksigenasi.Kontrol perdarahan, cegah
kerusakan otak sekunder.
4) Toraks

a) Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan


belakang untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar,
ruam , ekimosis, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan,
kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan
tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace
maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (Musliha, 2010)

b) Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,


emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.

c) Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan


keredupan.

d) Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing,

rales) dan bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub).

5) Neurologis

Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan


tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan
sendorik.Perubahan dalam status neurologis dapat dikenal dengan
pemakaian GCS. Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya

kejang, twitching, parese hemiplegi atau hemiparese (ganggguan


pergerakan), distaksia (kesukaran dalam mengkoordinasi oror),
rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan respon
sensori.

Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna


vertebralis atausaraf perifer.Imobilisasi penderita dengan
short atau long spine board, kolar servikal, dan alat imobilisasi
dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal.
Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai
terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat
bergerak dengan leher sebagai sumbu. Bila ada trauma kepala,
diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran
penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra cranial.

Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis,


harus diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu
adanya tindakan bila ada perdarahan epidural subdural atau fraktur
kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Satya negara, 2010).

G. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan


penurunan suplai darah dan oksigen ke jaringan oksigen.

2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik

3. Risiko kekurangan volume cairan

4. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi

5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan muskuluskeletel.


H. RENCANA KEPERAWATAN

No Diagnosa Tujuan Kriteria hasil Intervensi


1. Risiko Ketidakefektifan perfusi NOC: NIC:
ketidakefektifan jaringan serebral dapat Circulatory Precaution
perfusi jaringan diminimalkan Setelah Tissue Perfusion: Cerebral
otak dengan dilakukan tindakan 1. Kaji sirkulasi perifer secara komprehensif
Indikator: (nadi perifer, edema, CRT, warna, dan suhu
penurunan suplai keperawatan
darah dan ekstremitas)
1. menunjukkan perfusi jaringan
oksigen ke membaik TD dalam batas 2. Kaji kondisi ekstremitas meliputi kemerahan,
jaringan oksigen. normal, tidak ada keluhan sakit nyeri, atau pembengkakan
kepala.
3. Hindarkan cidera pada area dengan perfusi
2. Tanda-tanda vital stabil yang minimal
3. Tidak menunjukkan adanya 4. Hindarkan klien dari posisi trendelenberg yang
gangguan perfusi meliputi meningkatkan TIK
disorientasi, kebingungan,
maupun nyeri kepala 5. Hindarkan adanya penekanan pada area cidera
6. Pertahankan cairan dan obat-obatan sesuai
program
2. Nyeri Nyeri akan berkurang NOC: NIC:
berhubungan setelah dilakukan
dengan agen fisik perawatan sesuai a. Pain control Pain management
indikasi
b. Pain level 1. Kaji karakteristik nyeri secara komprehensif
Indikator: 2. Gunakan komunikasi terapeutik untuk
menggali pengalaman klien tentang nyeri yang
a. Mampu mengontrol nyeri yang dirasakan
dialami 3. Observasi respon non verbal klien
b. Melaporkan bahwa nyeri yang 4. Evaluasi ketidakefektifan pengobatan yang
dialami berkurang pernah dilakukan terhadap nyeri
5. Gunakan pendekatan multidisipliner untuk
manajemen nyeri: penggunaan analgesik
6. Ajarkan tentang teknik pengontrolan nyeri non
farmakologis
3 Risiko Setelah dilakukan NOC: NIC:
kekurangan tidnakan keperawatan Fluid management :
kekurangan volume Fluid balance :
volume cairan
cairan dapat teratasi 1. Monitor statsu hidrasi
-mempertahankan urine output
2. Monitor vs
Hydration : 3. Kolaborasi pemberian cairan iv
4. Atur kemungkinan transfuse
-tidak ada tanda dehidrasi, elastisitas
turgor kulot baik, membrane mukosa Hypovelimia management :
lembap, tiak ada rasa haus yang 1. Monitor status cairan intake dan output
berlebihan 2. Pelihara iv lin
3. Monitor penambahan cairan iv atau gejala
kelebihan volume cairan

4 Ketidakefektifan Pola napas dapat kembali NOC: NIC:


pola napas efektif setelah dilakukan
berhubungan tindakan keperawatan Respiratory status : ventilation Airyway management :
dengan
hiperventilasi Respiratory status : airway 1. Buka jalan apas (chinlift, jaw thrust)
patency 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
ventilasi
Indicator : 3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan
alat jalan napas buatan
a. Menunjukkan suara napas
4. Pasang mayo bila perlu
bersih, tidak sianosis, tidak
5. Auskultasi suara napas tambahan
dypneu
6. Lakukan suction pada mayo
b. Menujukkan jalan napas
7. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
paten (tidak merasa terekik,
keseimbangan
tidak ada suarat napas
8. Monitor respiratory dan status 02
tambahan, irama dan
frekuensi napas dalam
Oxygen terapi :
rentang normal)
1. Bersihkan mulut, hidung, dan trachea
c. Tanda-tanda vital dalam
2. Pertahankan jalan napas yang paten
rentang normal (tekanan
3. Atur peralatan oksisgenasi
darah, nadi, pernapasan)
4. Monitor aliran oksigenasi
5. Pertahankan posisi pasien
6. Monitor adanya kecemasan terhapda
oksigenasi

Vital sign monitoring :


1. Monitor TD, nadi, suhu, RR
2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
3. Monitor vs saat pasien berbaring, duduk,
berdiri
4. Monitor frekuensi, irama dan pernapsan
5. Monitor suhu, warna, dan kelembapan
kulit
6. Monitor sianosis perifer
7. Monitor adanya cushing triad (tekanan
nadi yang melebar, brakikardi,
peningkatan sistolik)
8. Identifikasi penyebab dari perubahan vital
sign
5 Defisit perawatan Dapat melakukan ADL NOC: NIC:
secara mandiri
diri berhubungan
Melakukan ADL mandiri : mandi, Bantuan Perawatan Diri: Mandi, higiene
dengan gangguan hygiene mulut ,kuku, penis/vulva, mulut, penil/vulva, rambut, kulit
rambut, berpakaian, toileting,
muskuluskeletal.
makan-minum, ambulasi 1. Kaji kebersihan kulit, kuku, rambut, gigi,
mulut, perineal, anus
a. Mandi sendiri atau dengan 2. Bantu klien untuk mandi, tawarkan
bantuan tanpa kecemasan pemakaian lotion, perawatan kuku, rambut,
b. Terbebas dari bau badan dan gigi dan mulut, perineal dan anus, sesuai
mempertahankan kulit utuh kondisi
c. Mempertahankan kebersihan 3. Anjurkan klien dan keluarga untuk melakukan
area perineal dan anus oral hygiene sesudah makan dan bila perlu
d. Berpakaian dan melepaskan 4. Kolaborasi dgn Tim Medis / dokter gigi bila
pakaian sendiri ada lesi, iritasi, kekeringan mukosa mulut,
dan gangguan integritas kulit
DAFTAR PUSTAKA

Adams, et al., (2007). American of Academy of Neurology affirms the value of this guidelineasan
Quality of Care Outcames in Research Interdiciplinary Working. Groups. Stroke,;38:16655-
1771. Journal Of Nursing 1(1).
Batticaca Fransisca, C. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta : Salemba Medika

Dewanto, George., Suwono, Wita. J., Riyanto, Budi., Turana, Yuda. (2009). Panduan Praktis
Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: ECG.
Dewantaro, Rudy.,& Nurhidayat, S. (2014). Peningkatan Tekanan intrakranial & gangguan peredaran
darah otak. Yogyakarta: ANDI.
Emergency Nurses Association. (2007). Sheehy`s manual of emergency care 6th edition. St. Louis
Missouri : Elsevier Mosby.
Hudak dan Gallo. (2010). Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume II. Edisi 6. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Judha, M.,& Rahil, H. N. 2011. Sistem Asuhan Keperawatan Dalam Asuhan Keperawatan.
Yogyakarta : Gosyeng Publishing.

Kementerian Kesehatan RI, (2013), Pusat Data dan Informasi Kesehatan, Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafa. Jakarta : Salemba Medika.
Musliha.(2010). Keperawatan Gawat Darurat.Yogyakarta:Nuha Medika. Moore K.R., Argur K.M.
R. 2012. Anatomi klinis dasar. Jakarta: Hipocrates.h.114-116

RISKESDAS, (2013). Profil Kesehatan, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Satyanegara.2010. Ilmu Bedah Syaraf Edisi IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tanto, Judha M.S. (2011). KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN. Edisi 4. Jakarta :Media
Aescupius.

Wijaya, S.A & Putri, M.Y. (2013). Keperawatan Medikal bedah 2.Yogyakarta : Salemba
Medika.
PATHWAY

Trauma Kepala

Ekstra kranial Tulang kranial


Cedera primer (langsung) Intra
Cedera sekunder (tak kranial
langsung)

Terputusnya kontinuitus
jaringan kulit, otot dan Terputusnya kontinuitus Kerusakan saraf otak
vaskuler jaringan (contusio, laserasi)

Perdarahan
Gangguan hematoma Perubahan sirkulasi Produl ATP
autoregulasi CSS menurun

Edema Kekurangan energi


Nyeri akut
cerebral
Proses dalam
fatig
metabolisme otak
Resiko ketidakefektifan
terganggu perfusi jaringan serebral Peningkatan TIK Defisit perawatan
diri
Penurunan suplai Mual dan muntah
darah dan oksigen

Anoreksia
Perubahan pola
nafas Sesak
Resiko kekurangan
Ketidakefektifan Volume cairan
pola nafas

Anda mungkin juga menyukai