Anda di halaman 1dari 25

UNIVERSITAS JEMBER

APLIKASI EVIDENCE BASED NURSING (EBN)


EFEKTIFITAS PEMBERIAN STIMULASI SENSORIK TERHADAP
TINGKAT KESADARAN PADA PASIEN CIDERA KEPALA

Disusun oleh
Elya Triwiyan Sari, S.Kep NIM 182311101097
Ifa Mardiana, S.Kep NIM 182311101102
PungkiWahyuningtyas, S.Kep NIM 182311101115

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL........................................................................................
DAFTAR ISI........................................................................................................
BAB 1. PENDAHULUAN...................................................................................
1.1 Latar Belakang.........................................................................................
1.2 Tujuan.......................................................................................................
1.3 Manfaat.....................................................................................................
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................
2.1 Cidera Otak...............................................................................................
2.2 Penurunan Kesadaran..............................................................................
2.3 Stimulasi Sensorik....................................................................................
BAB 3. METODOLOGI PENCARIAN JURNAL...........................................
3.1 PICO..........................................................................................................
3.2 Pertanyaan Klinis.....................................................................................
3.3 Metode Penelusuran Jurnal.....................................................................
3.4 Jurnal Database yang digunakan............................................................
3.5 Temuan Artikel Pilihan............................................................................
3.6 Critical Apprasial......................................................................................
BAB 4. PROSEDUR APLIKASI EBN...............................................................
4.1 Responden Penelitian...............................................................................
4.2 Pelaksanaan...............................................................................................
BAB 1. PENDAHULUAN
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cidera otak


2.1.1 Definisi cidera otak
Cidera otak adalah proses patologis pada jaringan otak yang bukan
bersifat degeneratif ataupun kongenital, melainkan akibat kekuatan mekanis dari
luar yang menyebabkan gangguan fisik, fungsi kognitif dan psikososial yang
sifatnya menetap atau sementara dan disertai dengan hilangnya atau berubahnya
tingkat kesadaran. Cidera kepala dapat didefinisikan secara luas yang meliputi
setiap hal berikut ini:
1. Bukti riwayat pukulan terhadap kepala
2. Bukti trauma terhadap kulit kepala dalam bentuk bengkak, lecet ataupun
memar
3. Bukti patah pada tulang kepala dengan foto schedel atau CT Scan kepala atau
bukti cedera otak dengan CT Scan yang dibuat segera setelah trauma.
4. Bukti klinis patah tulang dasar tengkorak
5. Bukti klinis cedera otak (hilang atau terganggunya kesadaran, lupa ingatan,
defisit neurologis, kejang) (Selladurai et al, 2007).
2.1.2 Klasifikasi cidera otak
Berat tidaknya cedera otak paling umum digunakan modalitas dari GCS
(Glasgow Coma Scale) post resusitasi, yaitu ringan (GCS 13-15), Sedang (GCS 9-
12) dan Berat (GCS ≤8). Bila berdasarkan mekanismenya cedera otak dibagi atas
tumpul dan tembus/tajam ( penetrating head injury).
2.1.3 Patofisiologi cidera otak
Perubahan patofisiologi setelah cedera kepala adalah kompleks. Trauma
bisa disebabkan oleh mekanisme yang berbeda, dan sering berkombinasi.
Perubahanperubahan setelah trauma adalah terjadi pada tingkat molekuler,
biokimia, seluler, dan pada tingkat makroskopis. Menurut penyebabnya cidera
otak dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Cedera Otak Primer dan Kontusio Serebri
Cedera otak primer disebabkan oleh kerusakan mekanik pada jaringan otak
dan pembuluh darah pada saat terjadinya trauma. Pada tingkat makroskopis
bisa terlihat terputusnya jaringan otak; pada tingkat mikroskopik bisa terlihat
kerusakan parenkhim sel (sel neuron, axon, dan glia) dan mikrosirkulasi
(arteriol, capiler, dan venula) (Selladurai,et al,2007). Kontusio serebri adalah
tipe kerusakan otak fokal terutama disebabkan oleh kontak antara permukaan
otak dan tonjolan permukaan tulang dasar tengkorak, menuerut ICD-9
kontusio cerebri adalah luka memar pada otak akibat tubrukan / impact
terhadap kepala atau suatu trauma acceleration/deceleration (Narayan et
al,1996). Diantara banyak peristiwa molekouler paskacedera otak hal yang
paling penting adalah Sur-1 yang memberi kontribusi berkembangnya kontusio
serebri. Secara umum area kontusio serebri dibagi tiga yaitu; Epicenter,
Pericotusional penumbra, dan Parapenumbra area. Pada epicenter terputusnya
pembuluh darah terjadi segera. Pada penumbra dan parapenumbra area pukulan
energi tidak merobek jaringan, tetapi mengawali peristiwa molekuler sensitif-
mekanik yang mengiduksi overexpresi dari Sur1. Sur-1 adalah regulator
subunit dari non-selektif kation channel (NCCa-ATP) yang ditemukan oleh
Simard group dan berimplikasi pada patophisiologi edema serebri dan
bertransformasi dari kontusio menjadi hemoragic. Induksi overekspresi Sur-1
meningkatkan pembengkakan sel dan kematian onkotik sel astrocyte, neuron,
dan sel endothelial. Pecahnya endotelial sel mengakibatkan microhemoragic
yang berakibat terbentuknya perdarahan baru dan konsekuensi perdarahan
menjadi progresif pada traumatik kontusio serebri ( Kurland.D., 2012).
Gambaran CT scan pada kontusio serebri lokasi biasanya tanpak pada
permukaan korteks dan terlibat gray matter, pada sentral area terlihat
hiperdense dan bercampur dengan area hipodense yang merupakan bagian dari
hemoragic necrosis atau bagian jaringan otak yang rusak dan bagian otak yang
edema (pericontusional edema) ( Selladurai.B., 2007). Tidak ada aliran darah
pada area sentral kontusio serebri dan pengurangan aliran darah pada daerah
perikontusional edema, dimana autoregulasi terganggu (vasoparalysis). Oleh
karena itu pada daerah perilesional ada kerusakan parsial sel yang rentan
terhadap setiap pengurangan perfusi oleh pengurangan MAP (mean arterial
pressure), peningkatan tekanan intrakranial atau vasokonstriksi setelah
hipocapnia akibat dari hiperventilasi ( Selladurai.B., 2007). Perkembangan dari
lesi kontusio serebri adalah (1) Komponen perdarahan berkembang; penyatuan
fokus –fokus perdarahan kecil dapat terjadi; komponen perdarahan dari
kontusio serebri dapat mencapai maximal dalam waktu 12 jam pascatrauma
pada 84% pasien; koangolopati dan alkoholik dapat memperbesar risiko
bertambahnya komponen perdarahan pada kontusio serebri, (2) Meningkatnya
pembengkakan zona sentral kontusio dan zona perikontusional; kerusakan
parsial sel parenkim pada sentral kontusio juga pada zona perikontusional bisa
menyebabkan bengkak (cytotoxic edema). Pada area nekrotik dari kontusio
makromolekuler yang didegradasi menjadi molekul yang lebih kecil dapat
meningkatkan osmolaritas jaringan dan bisa menyebabkan perpindahan cairan
dari intravasculer ke area necrosis kontusio (osmolar edema). Pembengkakan
area sentral kontusio menyebabkan penekanan zona perikontusional dan
menyebabkan iskhemik lebih lanjut dan edema. Perikontusional edema dapat
mencapai maximal 48-72 jam setelah cedera ( Selladurai.B., 2007).
b. Cedera Otak Sekunder
Cedera otak sekunder merujuk kepada efek setelah peristiwa cedera primer,
secara klinis efek diaplikasikan setelah postraumatik hematom intrakranial,
edema otak dan peningkatan tekanan intrakranial dan pada fase lebih lambat
hidrocephalus dan infeki. Cedera otak sekunder adalah peristiwa sistemik yang
terjadi setelah trauma yang potensial cedera ini dapat menambah kerusakan
neuron, axon, dan pembuluh darah otak. Cedera otak sekunder yang terpenting
adalah hipoxia ,hipotensi, hipercarbia, hiperexia, dan gangguan elektrolit
(Selladurai et al, 2007).

2.2 Penurunan kesadaran


2.2.1 Definisi
Penurunan kesadaran mempunyai berbagai derajat. Menurut Plum,
gangguan kesadaran yang maksimal (koma) didefinisikan sebagai “unarousable
unresponsiveness” yang berarti “the absence of any psychologically
understandable response to external stimulus or inner need”, tiadanya respons
fisiologis terhadap stimulus eksternal atau kebutuhan dalam diri sendiri.
2.2.2 Fisiologi kesadaran
Secara fisiologik, kesadaran memerlukan interaksi yang terus-menerus dan
efektif antara hemisfer otak dan formasio retikularis di batang otak. Kesadaran
dapat digambarkan sebagai kondisi awas-waspada dalam kesiagaan yang terus
menerus terhadap keadaan lingkungan atau rentetan pikiran kita. Hal ini berarti
bahwa seseorang menyadari seluruh asupan dari panca indera dan mampu
bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar maupun dari
dalam tubuh. Orang normal dengan tingkat kesadaran yang normal mempunyai
respon penuh terhadap pikiran atau persepsi yang tercermin pada perilaku dan
bicaranya serta sadar akan diri dan lingkungannya. Dalam keseharian, status
kesadaran normal bisa mengalami fluktuasi dari kesadaran penuh (tajam) atau
konsentrasi penuh yang ditandai dengan pembatasan area atensi sehingga
berkurangnya konsentrasi dan perhatian, tetapi pada individu normal dapat segera
mengantisipasi untuk kemudian bisa kembali pada kondisi kesadaran penuh lagi.
Mekanisme ini hasil dari interaksi yang sangat kompleks antara bagian formasio
retikularis dengan korteks serebri dan batang otak serta semua rangsang sensorik.
Pada saat manusia tidur, sebenarnya terjadi sinkronisasi bagian-bagian otak.
Bagian rostral substansia retikularis disebut sebagai pusat penggugah atau arousal
centre, merupakan pusat aktivitas yang menghilangkan sinkronisasi (melakukan
desinkronisasi), di mana keadaan tidur diubah menjadi keadaan awas waspada.
Bila pusat tidur tidak diaktifkan maka pembebasan dari inhibisi mesensefalik dan
nuklei retikularis pons bagian atas membuat area ini menjadi aktif secara spontan.
Keadaan ini sebaliknya akan merangsang korteks serebri dan sistem saraf tepi,
yang keduanya kemudian mengirimkan banyak sinyal umpan balik positif
kembali ke nuklei retikularis yang sama agar sistem ini tetap aktif. Begitu timbul
keadaan siaga, maka ada kecenderungan secara alami untuk mempertahankan
kondisi ini, sebagai akibat dari seluruh ativitas umpan balik positif tersebut.
Masukan impuls yang menuju SSP yang berperan pada mekanisme kesadaran
pada prinsipnya ada dua macam, yaitu input yang spesifik dan non-spesifik. Input
spesifik merupakan impuls aferen khas yang meliputi impuls protopatik,
propioseptif dan panca-indera. Penghantaran impuls ini dari titik reseptor pada
tubuh melalui jaras spinotalamik, lemniskus medialis, jaras genikulo-kalkarina
dan sebagainya menuju ke suatu titik di korteks perseptif primer. Impuls aferen
spesifik ini yang sampai di korteks akan menghasilkan kesadaran yang sifatnya
spesifik yaitu perasaan nyeri di kaki atau tempat lainnya, penglihatan, penghiduan
atau juga pendengaran tertentu. Sebagian impuls aferen spesifik ini melalui
cabang kolateralnya akan menjadi impuls non-spesifik karena penyalurannya
melalui lintasan aferen non-spesifik yang terdiri dari neuronneuron di substansia
retikularis medulla spinalis dan batang otak menuju ke inti intralaminaris
thalamus (dan disebut neuron penggalak kewaspadaan) berlangsung secara
multisinaptik, unilateral dan lateral, serta menggalakkan inti tersebut untuk
memancarkan impuls yang menggiatkan seluruh korteks secara difus dan bilateral
yang dikenal sebagai diffuse ascending reticular system. Neuron di seluruh
korteks serebri yang digalakkan oleh impuls aferen non-spesifik tersebut
dinamakan neuron pengemban kewaspadaan. Lintasan aferen non-spesifik ini
menghantarkan setiap impuls dari titik manapun pada tubuh ke titik-titik pada
seluruh sisi korteks serebri. Jadi pada kenyataannya, pusat-pusat bagian bawah
otaklah yaitu substansia retikularis yang mengandung lintasan non-spesifik difus,
yang menimbulkan “kesadaran” dalam korteks serebri. Derajat kesadaran itu
sendiri ditentukan oleh banyak neuron penggerak atau neuron pengemban
kewaspadaan yang aktif. Unsur fungsional utama neuron-neuron ialah
kemampuan untuk dapat digalakkan sehingga menimbulkan potensial aksi. Selain
itu juga didukung oleh proses-proses yang memelihara kehidupan neuron-neuron
serta unsur-unsur selular otak melalui proses biokimiawi, karena derajat kesadaran
bergantung pada jumlah neuron-neuron tersebut yang aktif. Adanya gangguan
baik pada neuron-neuron pengemban kewaspadaan ataupun penggerak
kewaspadaan akan menimbulkan gangguan kesadaran.
2.2.3 Patofisiologi penurunan kesadaran
Patofisiologi menerangkan terjadinya kesadaran menurun sebagai akibat
dari berbagai macam gangguan atau penyakit yang masing-masing pada akhirnya
mengacaukan fungsi reticular activating system secara langsung maupun tidak
langsung. Dari studi kasus-kasus koma yang kemudian meninggal dapat dibuat
kesimpulan, bahwa ada tiga tipe lesi /mekanisme yang masing-masing merusak
fungsi reticular activating system, baik secara langsung maupun tidak langsung.
a. Disfungsi otak difus
1) Proses metabolik atau submikroskopik yang menekan aktivitas neuronal.
2) Lesi yang disebabkan oleh abnormalitas metabolik atau toksik atau oleh
pelepasan general electric (kejang) diduga bersifat subseluler atau
molekuler, atau lesi-lesi mikroskopik yang tersebar.
3) Cedera korteks dan subkorteks bilateral yang luas atau ada kerusakan
thalamus yang berat yang mengakibatkan terputusnya impuls talamokortikal
atau destruksi neuron-neuron korteks bisa karena trauma (kontusio, cedera
aksonal difus), stroke (infark atau perdarahan otak bilateral).
4) Sejumlah penyakit mempunyai pengaruh langsung pada aktivitas metabolik
selsel neuron korteks serebri dan nuclei sentral otak seperti meningitis, viral
ensefalitis, hipoksia atau iskemia yang bisa terjadi pada kasus henti jantung.
5) Pada umumnya, kehilangan kesadaran pada kondisi ini setara dengan
penurunan aliran darah otak atau metabolisme otak.
b. Efek langsung pada batang otak
1) Lesi di batang otak dan diensefalon bagian bawah yang
merusak/menghambat reticular activating system.
2) Lesi anatomik atau lesi destruktif terletak di talamus atau midbrain di mana
neuron-neuron ARAS terlibat langsung.
3) Lebih jarang terjadi.
4) Pola patoanatomik ini merupakan tanda khas stroke batang otak akibat
oklusi arteri basilaris, perdarahan talamus dan batang otak atas, dan
traumatic injury.
c. Efek kompresi pada batang otak
1) Kausa kompresi primer atau sekunder
2) Lesi masa yang bisa dilihat dengan mudah.
3) Massa tumor, abses, infark dengan edema yang masif atau perdarahan
intraserebral, subdural maupun epidural. Biasanya lesi ini hanya mengenai
sebagian dari korteks serebri dan substansia alba dan sebagian besar serebrum
tetap utuh. Tetapi lesi ini mendistorsi struktur yang lebih dalam dan
menyebabkan koma karena efek pendesakan (kompresi) ke lateral dari
struktur tengah bagian dalam dan terjadi herniasi tentorial lobus temporal
yang berakibat kompresi mesensefalon dan area subthalamik reticular
activating system, atau adanya perubahan-perubahan yang lebih meluas di
seluruh hemisfer.
4) Lesi serebelar sebagai penyebab sekunder juga dapat menekan area retikular
batang otak atas dan menggesernya maju ke depan dan ke atas.
5) Pada kasus prolonged coma, dijumpai perubahan patologik yang terkait lesi
seluruh bagian sistim saraf korteks dan diensefalon.
Berdasar anatomi-patofisiologi, koma dibagi dalam:
1) Koma kortikal-bihemisferik, yaitu koma yang terjadi karena neuron
pengemban kewaspadaan terganggu fungsinya.
2) Koma diensefalik, terbagi atas koma supratentorial, infratentorial, kombinasi
supratentorial dan infratentorial; dalam hal ini neuron penggalak
kewaspadaan tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron pengemban
kewaspadaan. Sampai saat ini mekanisme neuronal pada koma belum
diketahui secara pasti.
Dalam eksperimen, jika dilakukan dekortikasi atau perusakan inti
intralaminar talamik atau jika substansia grisea di sekitar akuaduktus sylvii
dirusak akan terjadi penyaluran impuls asenden nonspesifik yang terhambat
sehingga terjadi koma. Studi terkini yang dilakukan oleh Parvizi dan Damasio
melaporkan bahwa lesi pada pons juga bisa menyebabkan koma. Koma juga bisa
terjadi apabila terjadi gangguan baik pada neuron penggalak kewaspadaan
maupun neuron pengemban kewaspadaan yang menyebabkan neuron-neuron
tersebut tidak bisa berfungsi dengan baik dan tidak mampu bereaksi terhadap
pacuan dari luar maupun dari dalam tubuh sendiri. Adanya gangguan fungsi pada
neuron pengemban kewaspadaan, menyebabkan koma kortikal bihemisferik,
sedangkan apabila terjadi gangguan pada neuron penggalak kewaspadaan,
menyebabkan koma diensefalik, supratentorial atau infratentorial. Penurunan
fungsi fisiologik dengan adanya perubahan-perubahan patologik yang terjadi pada
koma yang berkepanjangan berhubungan erat dengan lesi-lesi sistem neuron
kortikal diensefalik. Jadi prinsipnya semua proses yang menyebabkan destruksi
baik morfologis (perdarahan, metastasis, infiltrasi), biokimia (metabolisme,
infeksi) dan kompresi pada substansia retikularis batang otak paling rostral (nuklei
intralaminaris) dan gangguan difus pada kedua hemisfer serebri menyebabkan
gangguan kesadaran hingga koma. Derajat kesadaran yang menurun secara
patologik bisa merupakan keadaan tidur secara berlebihan (hipersomnia) dan
berbagai macam keadaan yang menunjukkan daya bereaksi di bawah derajat
awas-waspada. Keadaan-keadaan tersebut dinamakan letargia, mutismus akinetik,
stupor dan koma. Bila tidak terdapat penjalaran impuls saraf yang kontinyu dari
batang otak ke serebrum maka kerja otak menjadi sangat terhambat. Hal ini bisa
dilihat jika batang otak mengalami kompresi berat pada sambungan antara
mesensefalon dan serebrum akibat tumor hipofisis biasanya menyebabkan koma
yang ireversibel. Saraf kelima adalah nervus tertinggi yang menjalarkan sejumlah
besar sinyal somatosensoris ke otak. Bila seluruh sinyal ini hilang, maka tingkat
aktivitas pada area eksitatorik akan menurun mendadak dan aktivitas otakpun
dengan segera akan sangat menurun, sampai hampir mendekati keadaan koma
yang permanen.
2.2.4 Etiologi
Gangguan kesadaran disebabkan oleh berbagai faktor etiologi, baik yang
bersifat intrakranial maupun ekstrakranial / sistemik. Penjelasan singkat tentang
faktor etiologi gangguan kesadaran adalah sebagai berikut:
a. Gangguan sirkulasi darah di otak (serebrum, serebellum, atau batang otak) -
Perdarahan, trombosis maupun emboli - Mengingat insidensi stroke cukup
tinggi maka kecurigaan terhadap stroke pada setiap kejadian gangguan
kesadaran perlu digarisbawahi.
b. Infeksi: ensefalomeningitis (meningitis, ensefalitis, serebritis/abses otak) -
Mengingat infeksi (bakteri, virus, jamur) merupakan penyakit yang sering
dijumpai di Indonesia maka pada setiap gangguan kesadaran yang disertai suhu
tubuh meninggi perlu dicurigai adanya ensefalomeningitis.
c. Gangguan metabolisme - Di Indonesia, penyakit hepar, gagal ginjal, dan
diabetes melitus sering dijumpai.
d. Neoplasma - Neoplasma otak, baik primer maupun metastatik, sering di jumpai
di Indonesia. - Neoplasma lebih sering dijumpai pada golongan usia dewasa
dan lanjut. - Kesadaran menurun umumnya timbul berangsur-angsur namun
progresif/ tidak akut.
e. Trauma kepala - Trauma kepala paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu-
lintas.
f. Epilepsi - Gangguan kesadaran terjadi pada kasus epilepsi umum dan status
epileptikus
g. Intoksikasi - Intoksikasi dapat disebabkan oleh obat, racun (percobaan bunuh
diri), makanan tertentu dan bahan kimia lainnya.
h. Gangguan elektrolit dan endokrin - Gangguan ini sering kali tidak
menunjukkan “identitas”nya secara jelas; dengan demikian memerlukan
perhatian yang khusus agar tidak terlupakan dalam setiap pencarian penyebab
gangguan kesadaran.
2.2.5 Pemeriksaan Pasien dengan Gangguan Kesadaran
a. Anamnesis
Dalam kasus gangguan kesadaran, auto-anamnesis masih dapat dilakukan
bila gangguan kesadaran masih bersifat ”ringan”, pasien masih dapat menjawab
pertanyaan (lihat pemeriksaan Glasgow Coma Scale/ GCS). Hasil auto-anamnesis
ini dapat dimanfaatkan untuk menetapkan adanya gangguan kesadaran yang
bersifat psikiatrik – termasuk sindrom otak organik atau gangguan kesadaran yang
bersifat neurologik (dinyatakan secara kualitatif maupun kuantitatif ke dalam
GCS). Namun demikian arti klinis dari anamnesis perlu dicari dari dengan hetero-
anamnesis, yaitu anamnesis terhadap pengantar dan atau keluarganya. Berbagai
hal yang perlu ditanyakan pada saat anamnesis adalah sebaai berikut:
1. Penyakit yang pernah diderita sebelum terjadinya gangguan kesadaran,
misalnya diabetes melitus, hipertensi, penyakit ginjal, penyakit hati, epilepsi,
adiksi obat tertentu
2. Keluhan pasien sebelum terjadinya gangguan kesadaran, antara lain nyeri
kepala yang mendadak atau sudah lama, perasaan pusing berputar, mual dan
muntah, penglihatan ganda, kejang, kelumpuhan anggota gerak.
3. Obat-obat yang diminum secara rutin oleh pasien, misalnya obat penenang,
obat tidur, antikoagulansia, obat antidiabetes (dapat dalam bentuk injeksi),
antihipertensi.
4. Apakah gangguan kesadaran terjadi secara bertahap atau mendadak, apakah
disertai gejala lain / ikutan?
5. Apakah ada inkontinensi urin dan / atau alvi?
6. Apakah dijumpai surat tertentu (misalnya ”perpisahan”)?
b. Pemeriksaan fisik (status internus)
Pada pemeriksaan ini hendaknya diperhatikan hal-hal yang biasanya dilakukan
oleh setiap dokter, dengan memerhatikan sistematika dan ketelitian, sebagai
berikut:
1. Nadi, meliputi frekuensi, isi dan irama denyut
2. Tekanan darah, diukur pada lengan kanan dan lengan kiri; perhatikanlah
apakah tensimeter masih berfungsi dengan baik
3. Suhu tubuh, pada umumnya termometer dipasang di ketiak; bila perlu
diperiksa secara rektal
4. Respirasi, meliputi frekuensi, keteraturan, kedalaman, dan bau pernapasan
(aseton, amonia, alkohol, bahan kimia tertentu dll)
5. Kulit, meliputi turgor, warna dan permukaan kulit ( dehidrasi, ikterus,
sianosis, bekas suntikan, luka karena trauma, dll)
6. Kepala, apakah ada luka dan fraktur
7. Konjungtiva, apakah normal, pucat, atau ada perdarahan
8. Mukosa mulut dan bibir, apakah ada perdarahan, perubahan warna
9. Telinga, apakah keluar cairan bening, keruh, darah, termasuk bau cairan
perlu diperhatikan
10. Hidung, apakah ada darah dan atau cairan yang keluar dari hidung
11. Orbita, apakah ada brill hematoma, trauma pada bulbus okuli, kelainan
pasangan bola mata (paresis N.III, IV, VI), pupil, celah palpebra, ptosis
12. Leher, apakah ada fraktur vertebra; bila yakin tidak ada fraktur maka
diperiksa apakah ada kaku kuduk
13. Dada, pemeriksaan fungsi jantung dan paru secara sistematik dan teliti
14. Perut, meliputi pemeriksaan hati, limpa, ada distensi atau tidak, suara
peristaltik usus, nyeri tekan di daerah tertentu
c. Pemeriksaan neurologik
Di samping pemeriksaan neurologik yang rutin maka terdapat beberapa
pemeriksaan neurologik khusus yang harus dilakukan oleh setiap pemeriksa.
Pemeriksaan khusus tadi meliputi pemeriksaan kesadaran dengan menggunakan
GCS dan pemeriksaan untuk menetapkan letak proses patologik di batang otak
1) Pemeriksaan dengan menggunakan GCS
a. Instrumen ini dapat diandalkan
b. Mudah untuk diaplikasikan dan mudah untuk dinilai sehingga tidak terdapat
perbedaan antarpenilai
c. Dengan sedikit latihan maka perawat juga dapat mengaplikasikan instrumen
GCS ini dengan mudah. d. Yang diperiksa dan dicatat adalah nilai (prestasi)
pasien yang terbaik e. Bila seseorang sadar maka ia mendapat nilai 15. Nilai
terendah adalah 3
Gambar 2.1 Penilaian GCS
2.3 Stimulasi Sensori
Salah satu terapi yang diberikan pada pasien dengan cedera kepala adalah
dengan memberikan stimulasi sensori. Stimulasi sensori dapat menghambat
terjadinya hiperemia dan pengeluaran glutamat, sehingga dapat mencegah
kerusakan sel-sel saraf akibat iskemi. Dengan demikian, kontribusi stimulasi
sensori dalam meningkatkan nilai GCS pasien cedera kepala, selain dengan
membantu mengoptimalkan efek terapeutik dari terapi standar dengan mengatasi
efek samping yang ditimbulkannya, juga melalui beberapa mekanisme
neuroprotektif dari stimulasi sensori. Stimulasi sensori merupakan bagian dari
terapi komplementer yang terbukti memberikan keuntungan dalam proses
pemulihan pasien cedera kepala. Selain memberikan rangsangan pada sistem RAS
dan area kortek otak, ia juga memiliki berbagai mekanisme neuroprotektif yang
mencegah kerusakan sel otak akibat iskemi. Oleh karena itu stimulasi sensori
dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif intervensi keperawatan dalam upaya
meningkatkan proses pemulihan pasien cedera kepala yang ditandai dengan
kenaikan nilai GCS (Lumbantobing, 2015)
Stimulasi yang diberikan pada pasien berupa stiulasi pada pendengaran,
sensasi pada kulit, penciuman dan pengecapan yang diberikan secara simultan
selama hitungan hari menjadi faktor yang dapat meningkatkan nilai GCS pada
pasien. Pengeluaran hormon kortisol pada cedera kepala yang memicu
vasospasme kapiler serebral merupakan petunjuk adanya kerusakan pada sel-sel
otak. Selain kortisol, rangsangan terhadap sistem saraf simpatis juga memicu
kelenjar adrenal mengeluarkan epinefrin dan produksi glukagon oleh pankreas.
Pengeluaran kedua hormon ini memicu peningkatan katabolisme otak yang pada
akhirnya diikuti dengan peningkatan kebutuhan oksigen. Pemenuhan oksigen
yang tidak adekuat, dapat menimbulkan iskemi hingga kematian jaringan otak.
Stimulasi sensori segera setelah gejala stroke terdeteksi diduga dapat mencegah
meluasnya kerusakan area otak. Selain itu, stimulasi sensori olfaktori melalui
aroma terapi dapat menstimulasi pengeluaran G-Protein sehingga dapat
meningkatkan antibodi. Penelitian lain yang menemukan bahwa stimulasi pada
organ pendengaran terbukti dapat merangsang sel-sel saraf di otak dimana dengan
perangsangan melalui terapi musik yang diberikan pada pasien trauma kepala
berat dapat meningkatkan status kesadaran pasien (Asrin, 2007).
BAB 3. METODOLOGI PENCARIAN JURNAL

3.1 PICO (Problem, Intervention, Comparative, Outcome)


3.1.1 Problem (Masalah yang ditemukan di tempat praktik)
Hasil pengamatan yang dilakukan oleh mahasiswa Program Pendidikan
Profesi Ners Stase Bedah di ruang Gardena RSD dr. Soebandi Jember, adapun
diagnosa medis yang dialami diantaranya yaitu cidera otak (ringan, sedang, dan
berat), SDH, EDH, dan ICH rata-rata pasiennya mengalami penurunan kesadaran
mulai dari apatis sampai ada yang koma. Penatalaksanaan pada pasien yang
mengalami penurunan kesadaran lebih fokus pada tindakan medis yaitu terkait
pemberian obat untuk meningkatkan tinngkat kesadaran, sehingga kurang
menunjukkan peranan asuhan keperawatan untuk meningkatkan tingkat
kesadaran. Selain itu, tindakan yang diberikan kepada pasien yang mengalami
penurunan kesadaran sebatas pemeriksaan GCS dengan merangsang untuk
membuka mata, respon motorik dan verbal baik dengan rangsangan suara ataupun
nyeri. Adapun intervensi yang diberikan kepada klien yaitu sebatas edukasi terkait
keadaan klien serta memotivasi klien untuk mengajak bicara pasien. Tindakan
keperawatan yang berkaitan dengan stimulasi sensorik hanya sedikit yang
dilakukan yaitu dengan auditori dari keluarga serta sentuhan dari perawat waktu
melakukan pemeriksaan GCS.

3.1.2 Intervention
Tugas utama perawat adalah memberikan asuhan keperawatan pada pasien
secara holistik baik secara mandiri maupun berkolaborasi. Adapun kolabroasi
yang sering dilakukan perawat yaitu terkait dengan pemberian obat untuk
mengurangi gejala. Mayoritas pasien yang terdiagnosa medis cidera otak
mayoritas mengalami penurunan keasadaran mulai dari apatis sampai koma.
Intervensi keperawatan mandiri yang sering dilakukan yaitu monitor TTV dan
kesadaran dengan pemeriksaan GCS, serta edukasi kepada keluarga untuk selalu
mengajak bicara pasien. Adapun intervensi keperawatan mandiri yang bisa
dilakukan pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran yaitu pemberian
stimulasi sensorik yaitu mulai dari kebangkitan pasien, auditori, visual, taktil, dan
penciuman.

3.1.3 Comparative Intervention


Tindakan yang dilakukan yaitu memberikan stimulasi sensorik kepada
pasien yang mengalami penurunan kesadaran dua kali sehari setiap pagi dan sore
kurang lebih selama enam hari.

3.1.4 Outcome
Penerapan intervensi mandiri keperawatan dengan pemberian srimulasi
sensorik dua kali sehari selama enam hari diharapkan dapat meningkatkan tingkat
kesadaran pasien.

3.2 Pertanyaan Klinis


Apakah pemberian stimulasi sensorik dapat meningkatkan tingkat kesadaran
pada pasien dengan cidera otak di ruang perawatan?

3.3 Metode Penelusuran Jurnal


Unsur PICO Analisis Kata Kunci
(Terapi)
P Pasien cidera otak yang mengalami Injury
penurunan kesadaran brain/consciousness
I Stimulasi sensorik Sensory Stimulation
C Tindakan yang dilakukan diruangan
O Meningkatkan tingkat kesadaran Level consciousness

3.4 Jurnal Database yang digunakan


Menggunakan kata kunci dan beberapa sinonimnya dari analisis PICO,
peneliti memasukkannya ke dalam search engine jurnal senagai berikut:
a. http://search.ebsccohost.com/
b. http://www.scopus.com/
c. http://www.sciencedirect.com/
d. http://search.proquest.com
e. http://scholsr.google.co.id/
Berdasarkan hasil pencarian menggunakan kata kunci tersebut, kami
memilih empat artikel yang sesuai dengan topik yang akan dibahas, satu artikel
sebagai jurnal utama, dan tiga artikel sebagai jurnal pendukung.

3.5 Temuan Artikel Pilihan dari Kata Kunci PICO yang digunakan sebagai
rujukan
3.5.1 Penjelasan Jurnal Utama
Effects of a Sensory Stimulation by Nurses and Families on level of Cognitive
Function, and Basic Cognitive Sensory Recovery of Comatose Patients With
Severe Traumatic Brain Injury: A Randomized Control Trial
Abstrak
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek dari program pemberian
stimulasi sensori yang dilakukan oleh perawat dan keluarga pada pasien cidera
otak yang mengalami penurunan kesadaran terhadap terhadap tingkat kesadaran
dan fungsi kognitifnya.
Metode: Uji klinis secara acak dilakukan di Pusat Trauma Shiraz I, sebanyak 60
pasien koma karena cidera kepala dengan GCS kurang dari 8. 20 pasien
mendapatkan stimulasi sensori langsung dari perawat, 20 pasien dari keluarga,
dan 20 pasien mendapatkan perawatan biasa (kelompk kontrol). Program
pemberian stimulasi sensori pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran
dilakukan dua kali sehari selama tujuh hari. Dimonitor dan dievaluasi terkait
dengan tingkat kesadaran, tingkat kognitif, serta pemulihan sensori dengan
menggunakan pemeriksaan GCS (Glasgow coma score), RLA (Rancho Los
Amigos), dan WNSSP (Western Neuro-Sensory Stimulation Profile). Data
dianalisis dengan chi-square, Kruskal-Willis, dan tes berulang menggunakan
SPSS.
Hasil: Semua pasien keadaannya sebanding dengan karakteristik awal terkait
dengan tingkat kesadaran, fungsi kognitif, serta pemulihan sensori yang
ditentukan dengan pemeriksaan GCS, RLA, dan WNSSP. Meskipun dua
kelompok yang dilakukan intervensi keadaannya membaik, tetapi kelompok yang
menerima pemberian stimulasi sensori dari keluarga memiliki tingkat kesadaran
yang lebih tinggi secara signifikan bila dibandingkan dengan dua kelompok
lainnya (GCS-P=0,001; RLA-P=0,001; WNSSP-P=0,001).
Kesimpulan: Program pemberian stimulasi sensori yang dilakukan oleh keluarga
menunjukkan hasil yang lebih signifikan pada tingkat kesadaran, fungsi kognitif,
serta pemulihan sensori kognitif pada pasien yang mengalama koma karena cidera
otak berat.

3.5.2 Penjelasan Jurnal Pendukung


Feedback Interventions for Improving Self-Awareness after Brain Injury: A
Protocol for a Pragmatic Randomized Controlled Trial
Abstrak
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas intervensi
dengan video dan umpan balik verbal dengan pengalaman untuk meningkatkan
kesadaran pada pasien yang mengalami cidera otak traumatis.
Metode: Uji coba terkontrol secara acak dilakukan pada 54 pasien dengan cidera
otak yang mengalami penurunan kesadaran dan dibagi menjadi tiga kelompok
yaitu kelompok video dan umpan balik verbal, kelompok umpan balik verbal, dan
kelompok umpan balik pengalaman (kelompok kontrol). Intervensi ini dilakukan
empat kali dalam dua minggu. Sedangkan untuk evaluasi dilakukan pra, pasca
intervensi, serta dua bulan setelah dilakukan tindak lanjut. Hasil utama akan
menjadi ukuran tingkat kesadaran sedangkan penilaian kedua sebagai ukuran
tingkat intelektual, tekanan emosional, dan penerimaan kecacatan.
Hasil: Hasil dari penelitian ini yaitu terdapat bukti yang berkualitas tinggi terkait
dengan penggunaan umpan balik sebagai intervensi untuk meningkatkan tingkat
kesadaran pada pasien koma. Tetapi tingkat kesadaran pasien lebih baik pada
kelompok yang mendapatkan intervensi umpan balik dengan video.
Kesimpulan: Intervensi yang lebih efektiv dilakukan yaitu pemberian umpan
balik dengan video dari pada intervensi kedua lainnya.

Effect of Auditory Stimulation on the Level of Vonsciousness in Comatose


Patients Admitted to the Intensive Care Unit: A randomized Controlled Trial
Abstrak
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek dari stimulasi auditori
pada pendengaran pasien yang mengalami koma.
Metode: Uji coba terkntrol secara acak ini dilakukan pada 60 pasien antara bulan
Agustus 2017 sampai dengan Februari 2018. Selama 10 hari pasien menerima
suara perawat laki-laki dalam rekaman sehari dua kali yaitu pagi dan sore,
setidaknya rekaman tersebut diulang 3-4 kali. Evaluasi dan monitori nilai GCS
dilakukan sebelum dan sesudaj intervensi dilakukan.
Hasil: Usia pasien rata-rata 69,2 tahun, 56,7% dari kelompok eksperimen dan
53,3% dari kelompok kontrol berjenis kelamin laki-laki. Pada hari pertama pagi
dan sore setelah intervensi pemberian stimulasi pendengaran rata-rata GCS pada
kelompok eksperimen adalah 4,8 sedangkan pada kelompok kontrol adalah 4,7.
Pada hari ke sepuluh sebelum dan sesudah intervensi dilakukan tGCS pasien pada
kelompok eksperimen rata-rata adalah 9,5 sedangkan pada kelompok kontrol
adalah 7,1. Tidak ada perbedaan yang signifikan GCS pasien pada kelompok
eksperimen dan kontrol pada pengamatan tiga hari pertama, tetapi ada perbedaan
rata-rata nilai GCS secara signifikan setelah hari ketiga.
Kesimpulan: Pemberian stimulasi auditori sensori pada pasien koma dapat
meningkatkan tingkat kesadaran pada hasil GCsnya.

A Randomized Controlled Trial to Assess the Efficacy of Auditory Stimulation on


Selected Parameters of Comatose Patients with Traumatic Barin Injury
Abstrak
Tujuan: Menilai kemanjuran stimulasi pendengaran pada berbagai parameter
fisiologis dan tingkat kesadaran pada pasien yang mengalami penurunan
kesadaran.
Metode: Penelitian ini dengan 80 pasien yang mengalami penurunan kesadaran,
dibagi secara acak menjadi dua kelompok yaitu kelompok intervensi dan
kelompok kontrol. Kelompok intervensi mendapatkan stimulasi pendengaran
langsung dari keluarga yang berbicara dengan pasien kurang lebih selama 10
menit, dua kali sehari selama tujuh hari. Parameter fisiologis seperti denyut
jantung, laju pernafasan, tekanan darah, SPO2, dan tingkat kesadaran dievaluasi
sebelum, selama, dan setelah intervensi dilakukan. sedangkan untuk kelompok
kntrol parameter fisiologis dievaluasi pada hari 1, 7, 14.
Hasil: Hasil intervensi yang dilakukan pada kelompok kontrol dan intervensi
keduanya sebanding. Baik pada hari ke 7 maupun 14 nilai GCS pasien lebih tinggi
pada kelompok intervensi. Ada peningkatan pada parameter fisiologis secara
signifikan selama dan setelah dilakukan intervensi.
Kesimpulan: Stimulasi pendengaran yang dilakukan oleh keluarga pada pasien
yang mengalami penurunan kesadaran dapat meningkatkan tingkat kesadaran
pasien.

3.6 Critical Appraisal


Citation: Effects of a Sensory Stimulation by Nurses and Families on level of
Cognitive Function, and Basic Cognitive Sensory Recovery of
Comatose Patients With Severe Traumatic Brain Injury: A
Randomized Control Trial
Was the assignment of patients to Data sebanyak 60 pasien dengan
treatments randomized? And was menggunakan pemeriksaan GCS,
the randomization list concealed? RLA, dan WNSSP, dianalisis dengan
chi-square, Kruskal-Willis, dan tes
berulang menggunakan SPSS. Hasil
signifikannya yiatu GCS-P=0,001;
RLA-P=0,001; WNSSP-P=0,001.
Was follow-up of patients Tindak lanjut intervensi
sufficiently long and complete? nonfarmakologi pemberian stimulasi
sensorik dapat dilakukan secara
berkelanjutan sehingga dapat
meningkatkan tingkat kesadaran
pasien yang mengalami penurunan
kesadaran.
And were they analyzed in the Penelitian ini mengkelompokkan
groups to which they were menjadi 2 kelompok yaitu kelompok
randomized?? eksperimen dan komtrol. Sedangkan
kelompok eksperimen juga dibagi
menjadi 2 kelompok yaitu satu
kelompok mendapatkan intervensi dari
perawat dan satu kelompok
mendapatkan intervensi dari keluarga.
Were patients and clinicians kept Keluarga pasien sebelumnya diberikan
“blind” to treatment received? informed consent tertulis yang
diperoleh setelah dijelaskan isinya
untuk berpartisipasi dalam penelitian
dan mereka yang tidak ingin
berpartisipasi, mereka menarik diri
dari penelitian kapan saja tanpa
menyatakan alasan.
Were the groups treated equally, Semua sesi yang akan dilakukan ke
apart to treatment received? pasien dipersiapkan sama, sesuai
dengan desain penelitian.
Were the groups similiar at the Semua pasien yang ada di ICU RS
start of the trial? Shahid Rajaei, pusat trauma tingkat I
diambil secara acak untuk terlibat
dalam penelitian yaitu sebanya 60
pasien. Penentuan pembagian
kelompok dilakukan secara acak.
BAB 4. PROSEDUR APLIKASI EVIDANCE BASED NURSING (EBN)

Pada penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas pemberian


stimulasi sensorik pada pasien cidera otak yang mengalami penurunan kesadaran
terhadap peningkatan tingkat kesadaran. Pemberiaan stimulasi sensorik dilakukan
dua kali sehari selama enam hari untuk setiap pasien. Keluarga responden dalam
penelitian ini sebelumnya mendapatkan inform consent tertulis untuk mengikuti
ataupun menolak berpartisipasi dalam penerapan EBN.

4.1 Responden Penelitian


Sampel dalam penelitian yaitu 60 pasien yang mengalami penurunan
kesadaran di ICU RS Shahid Rajaei, pusat trauma tingkat I. Penelitian ini
mengkelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kontrol.
Sedangkan kelompok eksperimen juga dibagi menjadi 2 kelompok yaitu satu
kelompok mendapatkan intervensi dari perawat dan satu kelompok mendapatkan
intervensi dari keluarga. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Usia lebih dari 17 tahun
b. Pasien yang mengalami penurunan kesadaran dengan skor GCS 3-8
c. Pasien dengan penurunan kesadaran setelah tiga hri mendapatkan perawatan
Adapun kriteria eksklusi dalam peneltian ini adalah sebagai berikut:
a. Usia lebih dari 65 tahun
b. Pecandu narkoba
c. Pasien yang menerima obat penenang
d. Pasien mengalami kebutaan atau tuli atau gangguan delusi
e. Pasien yang mengalami kejang

4.2 Pelaksanaan
DAFTAR PUSTAKA

Asrin., Mardiyono., Saryono. 2007. Pemanfaatan terapi musik untuk


meningkatkan status kesadaran pasien trauma kepala berat. Jurnal
keperawatan Soedirman, vol 2. No 2.

Brust, J.C.M., 2007, Current Diagnosis & Treatment NEUROLOGY, International


ed, Mc GrawHill, New York

DeMyer, W.E., 2004, Technique of the Neurologic Examination, 5th


ed.McGrawHill, New York.

Ganong W.F., 2005. Review of Medical Physiology, 22nd ed. Mc Graw-Hill,


Boston.

Harsono 2007 Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua Cet.ke-6; Gadjah Mada
University Press Yogyakarta

Kumar,P. & Clark,M. 2006 Clinical Medicine, 6th ed. Elsevier Saunders,
Edinburgh London

Lumbantobing, V.B.M., Anna, A. 2015. Pengaruh stimulasi sensori terhadap nilai


glaslow coma scale pada pasien cidera kepala di ruang neurosurgical
critical care unit RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung. Vol. III No. 2. Jurnal
Ilmu Keperawatan

Ropper, A.H. & Brown, R.H., 2005, Adams &Victor’s Principle of Neurology, 8th
ed. Mc Graw-Hill, New York.

Anda mungkin juga menyukai