Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

ASKEP CIDERA KEPALA BERAT

DISUSUN OLEH :

1. Nkita Nia Kania (20192000


2. Safirti Yanti (2019200068)
3. Tia Nilal Izzah (2019200066)
4. Ugik Prasetiyo (2012900089)
5. Witantri Diah Pramesti (2019200079)

PROGRAM DIII KEERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SAIS AL QUR’AN JAWA TENGAH DI
WONOSOBO
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT. Karena atas berkat
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Tak lupa
pula kami mengucapkan terima kasih kepada dosen Mata Kuliah Keperawatan
Gawat Darurat yang telah memberikan tugas ini kepada kami sebagai upaya untuk
menjadikan kami manusia yang berilmu dan berpengetahuan.

Keberhasilan kami dalam menyelesaikan makalah ini tentunya tidak lepas


dari bantuan berbagai pihak dan sumber referensi. Untuk itu, kami menyampaikan
terima kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah
ini.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Sehingga
kami mengharapkan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Wonosobo, 25 Oktober 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, 2007). Diperkirakan 100.000 orang
meninggal setiap tahunnya dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup
berat yang memerlukan perawatan dirumah sakit, dua pertiga berusia dibawah
30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah wanita,
lebih dari setengah semua pasien cedera kepala mempunyai signifikasi
terhadap cedera bagian tubuh lainya (Smeltzer and Bare, 2002 ).
Ada beberapa jenis cedera kepala antara lain adalah cedera kepala
ringan, cedera kepala sedang dan cedera kepala berat. Asuhan keperawatan
cedera kepala atau askep cidera kepala baik cedera kepala ringan, cedera
kepala sedang dan cedera kepala berat harus ditangani secara serius. Cedera
pada otak dapat mengakibatkan gangguan pada sistem syaraf pusat sehingga
dapat terjadi penurunan kesadaran. Berbagai pemeriksaan perlu dilakukan
untuk mendeteksi adanya trauma dari fungsi otak yang diakibatkan dari
cedera kepala.
Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi
korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat
sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan
resusitasi, anamnesis dan pemeriksaan fisik umum serta neurologis harus
dilakukan secara serentak. Pendekatan yang sistematis dapat mengurangi
kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital. Tingkat keparahan cedera
kepala, menjadi ringan segera ditentukan saat pasien tiba di rumah sakit
(Sjahrir, 2004).
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
a. Memahami dan menjelaskan Konsep Penyakit Cedera Kepala.
b. Memahami dan menjelaskan Asuhan Keperawatan Cedera Kepala.
c. Memahami dan menjelaskan Asuhan Keperawatan Sesuai Kasus.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Cedera kepala adalah suatu gangguan trauma dari otak disertai/tanpa
perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas dari otak (Nugroho, 2011).
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit
kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi dan Yuliani, 2001).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2001), cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Cedera kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma
baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Deficit neorologis terjadi karena
robekannya subtansia alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemorogik,
serta edema serebral disekitar jaringan otak (Batticaca, 2008).
Berdasarkan defenisi cedera kepala diatas maka penulis dapat menarik
suatu kesimpulan bahwa cedera kepala adalah suatu cedera yang disebabkan
oleh trauma benda tajam maupun benda tumpul yang menimbulkan perlukaan
pada kulit, tengkorak, dan jaringan otak yang disertai atau tanpa pendarahan.

Gambar 1. Gambaran Umum Cedera Kepala


B. Klasifikasi
Cedera kepala dapat dilasifikasikan sebagai berikut :
1. Berdasarkan Mekanisme
a. Trauma Tumpul : adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan
kendaraan bermotor, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat
bekerja, jatuh, maupun cedera akibat kekerasaan (pukulan).
b. Trauma Tembus : adalah trauma yang terjadi karena tembakan
maupun tusukan benda-benda tajam/runcing.
2. Berdasarkan Beratnya Cidera
The Traumatic Coma Data Bank mengklasifisikan berdasarkan
Glasgow Coma Scale ( Mansjoer, dkk, 2000) :
a. Cedera Kepala Ringan/Minor (Kelompok Risiko Rendah) yaitu,
GCS 14-15, pasien sadar dan berorientasi, kehilangan kesadaran atau
amnesia < dari 30 menit, tidak ada intoksikasi alkohol atau obat
terlarang, klien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing, tidak
terdapat fraktur tengkorak, kontusio, hematom , tidak ada kriteria
cedera sedang sampai berat.
b. Cedera Kepala Sedang (Kelompok Risiko Sedang) yaitu GCS 9-13
(konfusi, letargi dan stupor), pasien tampak kebingungan,
mengantuk, namun masih bisa mengikuti perintah sederhana, hilang
kesadaran atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam, konkusi,
amnesia paska trauma, muntah, tanda kemungkinan fraktur kranium
(tanda battle, mata rabun, hemotimpanum, otorhea atau rinorhea
cairan serebrospinal).
c. Cedera Kepala Berat (Kelompok Risiko Berat) yaitu GCS 3-8
(koma), penurunan derajat kesadaran secara progresif, kehilangan
kesadaran atau amnesia > 24 jam, tanda neurologis fokal, cedera
kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium.
C. Etiologi
Penyebab cedera kepala adalah kecelakaan lalu lintas, perkelahian,
jatuh, cedera olah raga, kecelakaan kerja, cedera kepala terbuka sering
disebabkan oleh pisau atau peluru (Corwin, 2000).

D. Patofisiologi dan Pathway


Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur,
misalnya kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah,
perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis
tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler.
Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera
kepala primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan
suatu proses biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala terbentur
dan dapat memberi dampak kerusakan jaringan otat. Pada cedera kepala
sekunder terjadi akibat dari cedera kepala primer, misalnya akibat dari
hipoksemia, iskemia dan perdarahan.
Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada epidural
hematoma, berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan durameter,
subdura hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter
dengan subaraknoid dan intra cerebral, hematoma adalah berkumpulnya darah
didalam jaringan cerebral. Kematian pada penderita cedera kepala terjadi
karena hipotensi karena gangguan autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi
menimbulkan perfusi jaringan cerebral dan berakhir pada iskemia jaringan
otak (Tarwoto, 2007).
Gambar 2. Pathway Cedera Kepala Berat
E. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya
cedera kepala, yaitu:
1. Perubahan kesadaran adalah merupakan indikator yang paling sensitive
yang dapat dilihat dengan penggunaan GCS ( Glascow Coma Scale).
2. Peningkatan TIK yang mempunyai trias Klasik seperti: nyeri kepala
karena regangan dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan
oleh tekanan dan pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali
proyektil.

F. Komplikasi
1. Perdarahan intra cranial
2. Kejang
3. Parese saraf cranial
4. Meningitis atau abses otak
5. Infeksi
6. Edema cerebri
7. Kebocoran cairan serobospinal

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah, analisa
gas darah.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
3. MRI : digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
4. Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan
trauma.
5. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent Tengkorak
maupun thorak.
6. CSF, Lumbal Punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
7. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
8. Kadar Elektrolit:Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrakranial (Musliha, 2010).

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah
terjadinya cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor
sistemik seperti hipotensi atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan
otak (Tunner, 2000). Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan
pada pendertia cedera kepala (Turner, 2000).
Penatalaksanaan umum adalah:
1. Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi
2. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma
3. Berikan oksigenasi
4. Awasi tekanan darah
5. Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neurogenik
6. Atasi shock
7. Awasi kemungkinan munculnya kejang.

Penatalaksanaan lainnya:
1. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral,
dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi
vasodilatasi.
3. Pemberian analgetika
4. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20%
atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
5. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).
6. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah
tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5% ,
aminofusin, aminofel (18 jam pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3
hari kemudian diberikana makanan lunak.

Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak
cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua
dan dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran
rendah, makanan diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp). Pemberian protein
tergantung nilai urea.

Tindakan terhadap peningktatan TIK yaitu:


1. Pemantauan TIK dengan ketat
2. Oksigenisasi adekuat
3. Pemberian manitol
4. Penggunaan steroid
5. Peningkatan kepala tempat tidur
6. Bedah neuro.

Tindakan pendukung lain yaitu:


1. Dukungan ventilasi
2. Pencegahan kejang
3. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi
4. Terapi anti konvulsan
5. Klorpromazin untuk menenangkan klien
6. Pemasangan selang nasogastrik (Mansjoer, dkk, 2000).
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian Kegawatdaruratan :

A. Primary Survey
a. Airway dan cervical control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda
asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur
larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan “chin lift” atau “jaw
thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus
diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari
leher.
b. Breathing dan ventilation
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran
oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang
baik meliputi:fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma.
c. Circulation dan hemorrhage control
1) Volume darah dan Curah jantung
Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus
dianggap disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang dalam
hitungan detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan
hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.
2) Kontrol Perdarahan
d. Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil.
e. Exposure dan Environment control
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.

B. Secondary Survey
a. Fokus assessment
b. Head to toe assessment
1. Pengkajian
Data Dasar Pengkajian Klien (Doenges, 2000). Data tergantung
pada tipe, lokasi dan keperahan, cedera dan mungkin dipersulit oleh
cedera tambahan pada organ-organ vital.
 Aktivitas/istirahat
Gejala : Merasa lelah, lemah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, puandreplegia,
ataksia, cara berjalan tidak tegang.
 Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah (hipertensi) bradikardi,
takikardi.
 Integritas Ego
Gejal : Perubahan tingkah laku dan kepribadian.
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, angitasi, bingung, depresi
dan impulsif.
 Makanan/cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : Muntah, gangguan menelan.
 Eliminasi
Gejala : Inkontinensia, kandung kemih atau usus atau mengalami
gangguan fungsi.
 Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo,
sinkope, kehilangan pendengaran, gangguan pengecapan
dan penciuman, perubahan penglihatan seperti
ketajaman.
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan
status mental, konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah
laku dan memoris.
 Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan
nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat, merintih.
 Pernafasan
Tanda : Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi oleh
hiperventilasi nafas berbunyi)
 Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan
rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum
mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi
suhu tubuh.
 Interaksi sosial
Tanda : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara
berulang-ulang, disartria.
2. Diagnosa dan Intervensi
a. Gangguan perfusi jaringan cerebral b.d peningkatan intracranial
ditandai dengan
DS :
 Mengatakan kejang
DO :
 Perubahan tingkat kesadaran
 Gangguan atau kehilangan memori
 Defisit sensori
 Perubahan tanda vital
 Perubahan pola istirahat
 Retensi urine
 Gangguan berkemih
 Nyeri akut atau kronis
 Demam
 Mual , muntah
Intervensi
1) Ubah posisi klien secara bertahap
Rasional : Klien dengan paraplegia beresiko menglami
luka tekan (dekubitus). Perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai
respons klien mencegah terjadinya luka tekan akibat tekanan yang
lama karena jaringan tersebut akan kekurangan nutrisi dan oksigen
dibawa oleh darah.
2) Jaga suasana tenang
Rasional : Suasana tenang akan memberikan rasa nyama
pda klien dan mencegah ketegangan
3) Kurangi cahaya ruangan
Rasional : Cahaya merupakan salah satu rangsangan yang
beresiko terhadap peningkatan TIK
b. Gangguan ferfusi jaringan serebral b.d desak ruang sekunder dari
kompresi korteks cerebri
DS :
DO :
- GCS 12 (blackout, post trepanasi)
- TD : 67/42 mmHg
- N : 76x / menit
- Pupil anisocor
Intervensi
1) Kaji faktor penyebab dari situasi kemungkinan penyebab
peningkatan TIK
Rasional : deteksi dini untuk memprioritaskan
intervensi, mengkaji status neurologis untuk menentukan
perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan.
2) Memonitor TTV tiap 4 jam
Rasional : suatu keadaan normal bila sirkulasi cerebral
terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai dengan tekanan
darah sistemik, penurunan dari autoregulator kebanyakan
merupakan tanda penurunan difusi local vaskularisasi darah
cerebral.
3) Pertahankan kepala atau leher pada posisi yang netral, usahakan
dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal yang tinggi
pada kepala.
Rasional : perubahan kepala pada satu sisi dapat
menimbulkan penekanan pada vena jigularis dan menghambat
aliran darah otak (menghambat drainase pada vena cerebral)
untuk itu dapat meningkatkan tekanan intracranial.
c. pola nafas tidak efektif b.d depresi pusat pernapasan ditandai dengan
sulit bernafas dan sesak nafas
DS:
- Kien mengatakan sulit bernapas dan sesak napas
DO :
- Gangguan visual
- Penurunan karbondioksida
- Takikardia
- Tidak dapat istirhat
- Somnolen
- Irritabilitas
- Hipoksia
- Bingung
- Dispnea
- Perubahan warna kulit (pucat , sianosis)
- Hipoksemia
Intervensi :
1) berikan posisi nyaman, biasanya dengan peninggian kepala
tempat tidur. Balik ke posisi yang sakit. Dorong klien untuk
duduk sebanyak mungkin.
Rasional : Meningkatkan inspirasi maksimal,
meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak
sakit
2) Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea,
atau perubahan tanda-tanda vital.
Rasional : Distress pernapasan dan perubahan pada
tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri
atau dapat menunjukkan terjadinya syok sehubungan dengan
hipoksia.
3) Jelaskan pada klien tentang etiologi/ faktor pencetus adanya sesak
atau kolaps paru
Rasional : Pengetahuan apa yang diharapkan dapat
mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien
terhadap rencana terapeutik
d. Kekurangan volume cairan yang b.d penurunan kesadaran dan
disfungsi hormonal ditandai dengan
DS :
DO:
- Perubahan turgor kulit
- Perubahan tanda vital
- Akral dingin
- Penurunan BB mendadak
- Perubahan nilai metabolism
Intervensi
1) Pantau keseimbangan cairan
Rasioanal : Kerusakan otak dapat menghasilkan
disfungsi hormonal dan metabolic
2) Pemeriksaan serial elektrolit darah atau urine dan osmolaritas
Rasional : Hal ini dapat dihubungkan dengan gangguan
regulasi natrium. Retensi natrium dapat terjadi beberapa hari,
diikuti dengan dieresis natrium. Peningkatan letargi, konfusi, dan
kejang akibat ketidakseimbangan elektrolit.
3) Evaluasi elektrolit
Rasional : Fungsi elektrolit dievaluasi dengan memantau
elektrolit, glukosa serum, serta intake dan output.
e. imobilitas fisik b.d gangguan neurovascular
DS :
DO :
- Kelemahan
- Parestesia
- Paralisis
- Ketidakmampuan
- Kerusakan koordinasi
- Keterbatasan rentang gerak
- Penurunan kekuatan otot
Intervensi
1) Kaji fungsi motorik dan sensorik dengan mengobservasi setiap
ekstermitas
Rasional : Lobus frontal dan oxipital berisi saraf-saraf
yang mengatur fungsi motorik dan sensorik dan dapat dipengaruhi
oleh iskemia atau peningkatan tekanan.
2) Ubah posisi klien tiap 2 jam
Rasional : Mencegah terjadinya luka tekan akibat tidur
terlalu lama pada satu posisi sehingga jaringan yang tertekan akan
kehilangan nutrisi yang dibawa darah melalui oksigen.
3) Lakukan latihan secara teratur dan letakan telapak kaki klien
dilantai saat duduk dikursi atau papan penyangga saat di tempat
tidur.
Rasional : Mencegah deformitas dan komplikasi seperti
footdrop
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik
dari fungsi otak yang di sertai atau tanpa di sertai perdarahan innterstiil dalm
substansi otak tanpa di ikuti terputusnya kontinuitas otak. (Arif Muttaqin,
2008, hal 270-271)
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala
meliputi trauma oleh benda/serpihan tulang yang menembus jaringan otak,
efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan efek percepatan
dan perlambatan (ekselerasi-deselarasi) pada otak.
DAFTAR PUSTAKA

Arif Muttaqin, 2008, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan, Jakarta : Salema Medika

Batticaca Fransisca B, 2008, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan


Sistem Persarafan, Jakarta : Salemba Medika

Pierce A. Grace & Neil R. Borley, 2006, Ilmu Bedah, Jakarta : Erlangga

Lecture Notes, 2005, Neurologi, Lionel Ginsberg : Erlangga

http://id.scribd.com/doc/85827418/Laporan-Kasus-Cedera-Kepala (di unduh pada


tanggal 21 November 2012)

http://asuhan-keperawatan-yuli.blogspot.com/2009/11/laporan-pendahuluan-
cedera-kepala.html (di unduh pada tanggal 26 November 2012)

http://semaraputraadjoezt.wordpress.com/2012/09/12/asuhan-keperawatan-pada-
klien-dengan-cedera-kepala-ringan/ (di unduh pada tanggal 26 November
2012)

Anda mungkin juga menyukai