Disusun Oleh :
Feby Alicia Futri (020319693)
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT dan junjungan kita Nabi Muhammad
SAW karena atas karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Cedera Kepala Berat” sebagai salah satu pemenuhan tugas
Keperawatan Kritis dalam Prodi Sarjana Keperawatan.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada bapak dosen pembimbing makalah atas kesediaan
beliau meluangkan waktu dan pikiran untuk mendukung, dan memberikan
masukan kepada penulis sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan
sebaik-baiknya.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna,
baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini di
kemudian hari. Semoga makalah ini dapat memberikan sumbangsih bagi
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kesehatan. Atas bantuan
dan segala dukungan dari berbagai pihak baik secara moral maupun spiritual,
penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak. (Muttaqin, 2008), cedera kepala biasanya
diakibatkan salah satunya benturan atau kecelakaan. Sedangkan akibat dari
terjadinya cedera kepala yang paling fatal adalah kematian. Akibat trauma kepala
pasien dan keluarga mengalami perubahan fisik maupun psikologis, asuhan
keperawatan pada penderita cedera kepal memegang peranan penting terutama
dalam pencegahan komplikasi.
Komplikasi dari cedera kepala adalah infeksi, perdarahan. Cedera kepala
berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma-trauma.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, diharapkan
dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan
mortilitas penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat
menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan berkurangnya pemilihan
fungsi (Tarwoto, 2007).
Sedangkan berdasarkan Mansjoer (2002), kualifikasi cedera kepala
berdasarkan berat ringannya, dibagi menjadi 3 yakni cedera kepala ringan, cedera
kepala sedang dan cedera kepala berat. Adapun penilaian klinis untuk
menentukkan klasifikasi klinis dan tingkat kesadaran pada pasien cedera kepala
menggunakan metode skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale)
(Wahjoepramono, 2005).
Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di dunia
kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus dari
jumlah di atas 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih
dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala
tersebut (Depkes, 2012). Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya
akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang
memerlukan perawatan di rumah sakit. Dua per tiga dari kasus ini berusia di
3
bawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari
setengah dari semua pasien cedera kepala berat mempunyai signifikasi terhadap
cedera bagian tubuh lainnya (Smeltzer, 2002).
Berdasarkan data tersebut, maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih
jauh tentang Makalah Cedera Kepala Berat.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah “Bagaimana Isi Makalah
Cedera Kepala Berat ?”
C. Tujuan
Berikut beberapa tujuan yang ditarik dari latar belakang tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Tujuan umum
Tujuan umum penulisan makalah ini adalah penulis mengetahui
bagaimana isi makalah dari Cedera Kepala Berat.
2. Tujuan Khusus
Mahasiswa mengetahui dan mampu:
a. Melakukan pengkajian gawat darurat Cedera Kepala Berat.
D. Manfaat Penulisan
Memberikan pengetahuan dan wawasan yang nyata tentang makalah
Cedera Kepala Berat.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
fungsi fisik, fungsi tingkah laku dan emosional (Widagdo, Suharyanto and
Aryani, 2008).
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan
lalu lintas. Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
Cedera otak primer merupakan kerusakan yang terjadi pada otak segera setelah
penurunan kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8, mengalami amnesia > 24 jam
(Advanced Trauma Life Support, 2008). Dari semua pengertian di atas dapat
5
disimpulkan cedera kepala berat adalah proses terjadi trauma langsung atau
fungsi otak yang disertai atau tanpa perdarahan interstitial dimana mengalami
penurunan kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8 dan mengalami amnesia > 24
jam.
Menurut Manurung (2018), tanda dan gejala dari cedera kepala antara lain:
a. Commotio Cerebri
b. Contosio cerebri
2) Amnesia anterograde
6) Perdarahan
c. Laserasio Serebri
6
d. Manifestasi klinis spesifik
Gejala klinis dari trauma kapitis ditentukan oleh derajat cedera dan
lokasinya. Derajat cedera otak kurang lebih sesuai dengan tingkat gangguan
kesadaran penderita. Tingkat yang paling ringan ialah pada penderita gegar otak,
dengan gangguan kesadaran yang berlangsung hanya beberapa menit saja, atas
dasar ini trauma kepala dapat digolongkan menjadi: 1) Cedera kepala ringan
b) Konfusi
d) Muntah
f) Kejang
7
3) Cedera kepala berat (kelompok risiko berat)
3. Pemeriksaan penunjang
a. Foto Polos
b. CT – Scan
2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat pada lesi
8
3) Penurunan GCS lebih dari 1 dimana faktor – faktor ekstrakranial telah
febris, dll).
4) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.
6) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS
2014)
e. MRI
f. EEG
Peran yang paling berguna EEG pada cedera kepala mungkin untuk
pemantauan EEG terus menerus pada pasien rawat inap dengan cedera otak
traumatik. Kejang konfulsif dan non konfulsif tetap terlihat dalam 22%. Pada
tahun 2012 sebuah studi melaporkan bahwa perlambatan yang parah pada
9
pemantauan EEG terus menerus berhubungan dengan gelombang delta atau
pola penekanan melonjak dikaitkan dengan hasil yang buruk pada bulan
subarachnoid.
10
q. Toraksentesis menyatakan darah/cairan
Analisa gas darah adalah salah satu tes diagnostic untuk menentukan status
4. Penatalaksanaan
(Manurung, 2018):
a. Keperawatan
1) Observasi 24 jam
atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya cairan infus
b. Medis
1) Terapi obat-obatan
11
c) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk
(Satyanegara, 2010).
a. Bedrest Total
b. Pemberian Obat-Obatan
7 hari pasca trauma karena tidak menurunkan risiko kejang fase lanjut
12
3) Antibiotika Profilaksispada Pemasangan Kateter Ventrikel Pemberian
ventrikel.
obatan NSAID lainnya seperti ibuprofen dan naproxen bisa diberikan per-
oral.
COR.
5) Kortikosteroid Terapi dengan dan tanpa kortikosteroid pada pasien memar
6) Sedatif/Tranquilizer
hasil yang baik dalam fungsi sedasi serta memudahkan dalam evaluasi
efek neurologis dan memberikan efek proteksi pada otak (Wahyuhadi et al.,
2014).
1. Pengertian
13
Berdasarkan PPNI (2016) Risiko perfusi serebral tidak efektif adalah
2. Faktor risiko
c. Aterosklerosis aorta
d. Diseksi arteri
e. Fibrilasi atrium
f. Tumor otak
g. Stenosis karotis
h. Miksoma atrium
i. Aneurisma serebri
k. Dilatasi kardiomiopati
m. Embolisme
n. Cedera kepala
o. Hiperkolesteronemia
p. Hipertensi
q. Endocarditis infektif
s. Stenosis mitral
14
t. Neoplasma otak
w. Penyalahgunaan zat
x. Terapi tombolitik
a. Stroke
b. Cedera kepala
c. Aterosklerotik aortic
d. Infark miokard akut
e. Diseksi arteri
f. Embolisme
g. Endocarditis infektif
h. Fibrilasi atrium
i. Hiperkolesterolemia
j. Hipertensi
k. Dilatasi kardiomiopati
m. Miksoma atrium
n. Neoplasma otak
15
p. Sindrom sick sinus
q. Stenosis karotid
r. Stenosis mitral
s. Hidrosefalus
dengan cedera kepala salah satunya adalah pemberian posisi. Pemberian posisi
yang dapat diberikan pada pasien cedera kepala adalah pemberian posisi head
up 300.
a. Pengertian
tinggi sekitar 300 dari tempat tidur dengan posisi tubuh sejajar dan kaki lurus
b. Tujuan
pada pasien cedera kepala, selain itu posisi tersebut juga dapat meningkatkan
oksigen ke otak.
16
2) Mengatur posisi kepala lebih tinggi dan tubuh dalam keadaan datar.
4) Mengatur ketinggian tempat tidur bagian atas setinggi 300 (Dian Widhi
Hal yang perlu diperhatikan dalam pengaturan posisi head up 300 adalah
fleksi, ekstensi dan rotasi kepala akan meningkat tekanan perfusi selebral yang
Menurut penelitian Wahidin and Supraptini (2020) posisi head up 300 ini
merupakan cara meposisikan kepala seseorang lebih tinggi sekitar 300 dari
tempat tidur dengan posisi tubuh sejajar dan kaki lurus atau tidak menekuk.
Posisi head up 300 bertujuan untuk menurunkan tekanan intrakranial pada pasien
cedera kepala. Selain itu posisi tersebut juga dapat meningkatkan oksigen ke
otak. Hasil penelitian tersebut didukung dengan teori yang menyatakan bahwa
pada pasien cedera kepala posisi elevasi kepala 300 dapat meningkatkan aliran
elevasi kepala 30º pada pasien cedera kepala dengan mengatur bed pasien pada
bagian kepala menjadi elevasi kepala 30º. Indikasi pemberian elevasi kepala 30º
nyeri kepala akibat trauma pada bagian otak, tekanan darah yang meningkat,
mual muntah, perubahan perilaku. Elevasi kepala 30º akan meningkatkan aliran
vena jugularis yang tak berkatup sehingga mampu menurunkan volume darah
17
peningkatan tekanan darah, mual muntah dan perubahan perilaku pada pasien
Elevasi kepala 30º pada pasien cedera kepala ringan, sedang dan berat
mampu meningkatkan aliran vena melalui vena jugular yang tak berkatup
peningkatan kesadaran pada pasien cedera kepala. Pemberian elevasi kepala 30º
darah vena di otak sehingga oksigen dapat adekuat, nyeri kepala teratasi, mual
Kepala Berat
1. Pengkajian keperawatan
yang akurat dari klien sehingga akan diketahui berbagai permasalahan yang ada
a. Keluhan Utama
berat mempunyai keluhan atau gejala utama yang berbeda-beda tergantung letak
lesi dan luas lesi, otak mengalami memar dengan memungkinkan adanya daerah
18
yang mengalami perdarahan (hemoragik-hemmorage). Keluhan utama yang
timbul pada cedera kepala berat seperti nyeri kepala yang hebat, mual-muntah,
sampai kejang, denyut nadi lemah, pernapasan dangkal, akral dingin, pucat,
karena adanya benturan serta perdarahan pada bagian kepala klien yang
Sering terjadi defekasi dan berkemih tanpa disadari. Tekanan darah dan suhu
cedera luas mengalami fungsi motoric abnormal, gerakan mata abnormal, dan
(Batticaca, 2008).
b. Pengkajian Primer
1) Airway
kepala miring, buka mulut, bersihkan muntahan darah, adanya benda asing.
19
Perhatikan tulang leher, immobilisasi, cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi
ataupun rotasi. Semua penderita cedera kepala yang tidak sadar harus dianggap
disertai cidera vertebrae cervical sampai terbukti tidak disertai cedera cervica,
maka perlu dipasang collar barce. Jika sudah stabil tentukan saturasi oksigen,
minimal saturasinya 90%, jika tidak, usahakan untuk dilakukan intubasi dan
tulang servikal. Pada kasus non trauma dan pasien tidak sadar posisi kepala
headtilt dan chin lift (hiperekstensi) sedangkan pada kasus trauma kepala sampai
jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
mandibula atau maksila, fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat
dilakukan “chin lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki
jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau
2) Breathing
bersih, jika tidak ada nafas lakukan nafas buatan, kalau bisa dilakukan monitor
terhadap gas darah dan pertahankan PCO2 antara 28-35 mmHG karena jika lebih
dari 35 mmHg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat terjadinya edema serebri.
20
berakibat terjadinya iskemia. Periksa tekanan O2 100mmHg, jika kurang berikan
oksigenasi adekuat. Jika pasien merasa sesak segera berikan terapi oksigen
Bila diperlukan auskultasi dan perkusi. Pada cedera kepala inspeksi di dapatkan
pasien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu
paru tidak simetris. Ekspansi dada menunjukkan adanya etelektasis, lesi pada
observasi ekspansi dada juga perlu di nilai reaksi dari otot interkostae,
Pola nafas ini dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu
dengan sisi yang lain akan didapatkan bila melibatkan trauma di rongga thoraks.
Pada perkusi, adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan
berbunyi, stridor, ronchi, pada pasien dengan peningkatan produksi skret dan
kemampuan batuk yang menurun sering di dapatkan pada pasien cedera kepala
dengan penurunan tingkat kesadaran atau koma. pada pasien cedera kepala berat
dan sudah terjadi disfungsi pusat pernapasan, pasien biasanya terpasang ETT
21
dengan ventilator dan biasanya pasien di rawat di ruang perawatan intensif
3) Circulation
(tidak ada) lakukan resusitasi jantung, bila shock (tensi <90 mmHg nadi >100x
per menit dengan infus cairan RL, cari sumber perdarahan di tempat lain, karena
cedera kepala single pada orang dewasa hamper tidak pernah menimbulkan
tubuh. Pengkajian sirkulasi meliputi: tekanan darah; jumlah nadi; keadaan akral:
yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi. Pada pasien cedera kepala berat dapat
gambaran
4) Disability
kesadaran memakai glasgow coma scale, periksa kedua pupil bentuk dan
22
besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya langsung maupun tidak langsung,
periksa adanya hemiparase/plegi, periksa adanya reflek patologis kanan kiri, jika
penderita sadar baik, tentukan adanya gangguan sensoris maupun fungsi misal
adanya aphasia
(Manurung, 2018). Kaji status umum dan neurologi dengan memeriksa atau cek
GCS dan cek reflek pupil. Pasien cedera kepala berat biasanya mengalami
5) Exposure
apakah ada jejas atau lebam pada tubuh akibat benturan (Manurung, 2018).
cedera tertentu.
Kaji adanya trauma pada seluruh tubuh pasien. Kaji tanda vital pasien
(Hamarno,
2016).
23