Anda di halaman 1dari 7

Jurnal 1

Judul : Gambaran Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kecemasan Pasien Kanker


Payudara dalam Menjalani Kemoterapi
Kanker adalah segolongan penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak
terkendali dan kemampuan sel-sel untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan
pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan atau dengan migrasi sel ke tempat yang
jauh (Amalia, 2009). Kanker payudara adalah keganasan yang berasal dari sel kelenjar,
saluran kelenjar dan jaringan penunjang payudara, tetapi tidak temasuk kulit payudara.
Kanker payudara umumnya menyerang wanita yang telah berumur lebih dari 40 tahun,
namun wanita muda pun bisa terserang kanker payudara. Kanker payudara merupakan
penyakit yang paling ditakuti oleh wanita meskipun kaum pria pun dapat terkena
(Purwoastuti, 2008). Kejadian kanker payudara menempati urutan pertama dan merupakan
penyebab kematian wanita terbanyak nomor satu di Indonesia. Berdasarkan estimasi
Globocan International Agency Research on Cancer (IARC) tahun 2012, insiden kanker
payudara yaitu 40 per 100.000 perempuan. Pasien yang menderita kanker payudara perlu
melakukan terapi pengobatan dalam upaya penyembuhannya. Salah satu pengobatan yang
dianjurkan yaitu kemoterapi. Kemoterapi adalah terapi anti kanker untuk membunuh sel-sel
tumor dengan menganggu fungsi dan reproduksi sel yang bertujuan untuk penyembuhan,
pengontrolan, dan paliatif (Neal, 2006).
Salah satu pertimbangan keperawatan yang harus diperhatikan pada pasien yang
menjalani kemoterapi adalah kecemasan (Smeltzer, S. C., et.al, 2008). Berdasarkan hasil
penelitian Bintang (2012) menunjukkan bahwa lebih dari 30% pasien kanker yang menjalani
kemoterapi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung mengalami cemas sedang dan sisanya
mengalami cemas berat hingga depresi. Kecemasan adalah reaksi emosional yang tidak
menyenangkan terhadap bahaya nyata atau imaginer yang disertai dengan perubahan pada
sistem saraf otonom dan pengalaman subjektif sebagai “tekanan”, “ketakutan”, dan
“kegelisahan” (Spielberger, C. D, 2010). Kecemasan dibedakan menjadi dua yaitu state
anxiety dan trait anxiety. State anxiety adalah gejala kecemasan yang timbul apabila
seseorang dihadapkan pada sesuatu yang dianggap mengancam dan bersifat sementara. Trait
anxiety adalah kecemasan yang menetap pada diri seseorang yang merupakan pembeda
antara satu individu dengan individu lainnya (Spielberger, C. D, 2010). Menurut Stuart dan
Laraia (2009) faktorfaktor yang mempengaruhi kecemasan dibagi menjadi dua yaitu faktor
predisposisi dan faktor presipitasi. Faktor predisposisi terdiri dari pandangan psikoanalitik,
pandangan interpersonal, pandangan perilaku, kajian keluarga, dan kajian biologis. Faktor
presipitasi berasal dari sumber internal dan eksternal yang dapat dikelompokkan menjadi dua
kategori yaitu ancaman terhadap integritas fisik dan ancaman terhadap sistem diri. Dampak
negatif dari kecemasan bisa terjadi pada pasien kanker payudara. Mohammed S, dkk (2012)
menyebutkan bahwa efek kecemasan pada pasien kanker payudara bisa meningkatkan rasa
nyeri, mengganggu kemampuan tidur, meningkatkan mual dan muntah setelah kemoterapi,
juga terganggunya kualitas hidup diri sendiri.
Perasaan cemas yang dirasakan oleh pasien kanker ketika menjalani kemoterapi dapat
berdampak buruk pada proses pengobatan serta rehabilitasi secara medis maupun psikologis,
seperti yang dikemukakan Bintang (2012) dalam penelitiannya bahwa kecemasan yang
terjadi pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi bisa mengakibatkan pasien
menghentikan kemoterapinya. Reaksi kecemasan pada seorang pasien kanker sering muncul
tidak hanya saat pasien didiagnosa terkena kanker, tetapi juga saat pasien menjalani
kemoterapi. Kecemasan ini lazim terjadi karena mengenai masalah finansial, kecemasan saat
timbul gejala-gejala yang dirasakan, kekhawatiran mengenai kesembuhan, dan kekhawatiran
tidak dapat menjalankan fungsi sebagai perempuan secara maksimal (Tarwoto & Wartonah,
2004).
Ada beberapa faktor presipitasi yang mempengaruhi timbulnya kecemasan yaitu
ancaman integritas fisik dan ancaman sistem diri (Stuart & Laraia, 2009). Pada penelitian ini
didapatkan hasil bahwa ancaman sistem diri merupakan faktor yang lebih dominan dalam
mempengaruhi terjadinya kecemasan pada pasien kanker payudara yang menjalani
kemoterapi. Pada penelitian ini sebagian besar responden mengalami perubahan peran dalam
keluarganya dan merasa tidak mampu melayani suami dengan maksimal hal ini didapat dari
banyaknya responden yang menjawab “sering” pada pernyataan tersebut. Sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hartati (2008) bahwa sebagian besar pasien kanker payudara
mengalami perubahan peran yang ditandai dengan tidak memiliki kepuasan dalam peran yang
dijalankannya yakni pasien merasa tidak mampu melakukan pekerjaan dengan baik sehingga
harus dibantu oleh orang lain dan merasa tidak mampu melayani suaminya. Penelitian yang
dilakukan oleh Saraswati (2008) juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara kecemasan pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi dengan konsep dirinya.
Menurut Stuart dan Laraia (2009) ancaman sistem diri meliputi ancaman terhadap
identitas diri, harga diri, hubungan interpersonal, kehilangan serta perubahan status/peran.
Ancaman sistem diri yang bisa menimbulkan kecemasan pada pasien kanker payudara yang
menjalani kemoterapi yaitu salah satunya harga diri yang rendah yang dirasakan oleh pasien
dikarenakan efek samping kemoterapi yang muncul. Selain itu hal yang dirasakan mungkin
adanya perubahan status/peran dalam keluarga, misalnya jika pasien seorang istri dan ibu
Pratiwi, S.R., Widianti, E., Solehati, T. 171 Jurnal Pendidikan Keperawatan Indonesia.
2017;3(2):167–174 rumah tangga, maka peran sebagai istri dan ibu yang seharusnya
mengurus suami dan anak akan terganggu dan tidak akan berfungsi dengan baik. Faktor lain
yang mempengaruhi kecemasan pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi yaitu
ancaman integritas fisik. Ancaman integritas fisik menurut Stuart dan Laraia (2009) meliputi
ketidakmampuan fisiologis atau penurunan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar
(penyakit, trauma fisik, pengobatan, atau jenis pembedahan yang akan dilakukan). Pada
pasien kaker payudara yang menjalani kemoterapi kecemasan timbul akibat ketidakmampuan
atau keterbatasan fisik yang terjadi pada dirinya dikarenakan efek samping yang ditimbulkan
kemoterapi. Akibat dari efek samping yang ditimbulkan ini menyebabkan pasien kesulitan
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga bisa menimbulkan kecemasan pada pasien.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Oetami, dkk (2014) bahwa pasien
kanker payudara yang menjalani pengobatan mengemukakan kecemasan yang dirasakan
yaitu khawatir akan dampak dari pengobatan yang dijalani sehingga tidak dapat melakukan
kegiatan sehari-hari seperti sebelumnya. Pada penelitian ini hampir sebagian besar responden
merasa khawatir akan efek samping yang timbul dari kemoterapi yang dapat mengganggu
aktifitas sehari-hari mereka. Sejalan dengan penelitian Nurpeni (2013) bahwa perasaan cemas
yang dirasakan oleh pasien yang menjalani pengobatan diakibatkan oleh penurunan fungsi
fisik yang berpengaruh pada aktifitas sehari-harinya.
Berdasarkan penelitian dan pengolahan data yang telah dilakukan mengenai gambaran
faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan pasien kanker payudara yang menjalani
kemoterapi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung yang berjumlah 97 orang responden,
disimpulkan bahwa pada tingkat kecemasan State hampir sebagian besar responden
mengalami kecemasan sedang, begitu pula pada tingkat kecemasan Trait hampir sebagian
dari responden mengalami kecemasan sedang. Kemudian untuk faktor yang mempengaruhi
kecemasan pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi hampir sebagian dari
responden yang mengalami kecemasan dipengaruhi oleh faktor ancaman sistem diri dan
sebagian dipengaruhi oleh faktor ancaman integritas fisik.
Jurnal 2
Judul : Depresi pada Gagal Jantung: Pendekatan Psikosomatik Depression in Heart Failure:
Psychosomatic Approach
Gagal jantung merupakan masalah kesehatan progresif dengan angka mortalitas dan
morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang, termasuk Indonesia.1-4
Gagal jantung (GJ) didefinisikan sebagai ketidakmampuan jantung memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan tubuh. Penyakit jantung yang dapat
mendasari keadaan gagal jantung yaitu penyakit jantung koroner (PJK), infark miokard akut
(IMA), hipertensi, kelainan katup jantung, kardiomiopati, dan defek jantung kongenital.
Depresi pada pasien dengan penyakit jantung sering dihubungkan dengan pendekatan
psikosomatiksomatopsikis. Hal tersebut didukung oleh kajian Suciu, dkk. tentang adanya
hubungan psikosomatik dengan penyakit kardiovaskular serta dampaknya terhadap kualitas
hidup. Pendekatan psikosomatik pada pasien dengan gangguan jantung dapat dipraktikkan
dengan bekerja sama secara terus-menerus dan erat dengan para ahli yang berkecimpung di
bidang kardiologi.
Depresi adalah kondisi umum yang sering terjadi pada pasien dengan GJ. Komorbiditas
depresi pada pasien dengan gagal jantung akan meningkatkan risiko luaran dan status
kesehatan yang buruk, serta merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. Depresi
klinis diperkirakan terjadi pada 21,5% pasien GJ dan meningkat tajam sesuai dengan
peningkatan tingkat keparahan GJ. Pasien GJ yang mengalami depresi mengalami penurunan
fungsi fisik yang lebih cepat, kualitas hidup yang yang buruk, rawat inap yang lebih sering,
dan tingkat kematian yang lebih tinggi daripada pasien GJ yang tidak mengalami depresi,
terlepas dari tingkat keparahan penyakit GJ.
A. Patofisiologi Depresi Pada Penyakit Kardiovaskular
Sudah lama diterima bahwa depresi menjadi faktor risiko terjadinya atau memberatnya
gangguan kardiovaskular. Kondisi yang mendasari seperti faktor perilaku dan gaya hidup
juga berperan meningkatkan risiko penyakit jantung koroner pada mereka yang menderita
depresi. Tekanan psikologis yang dialami oleh orang-orang yang menderita depresi juga
dapat menyebabkan deregulasi pada sistem saraf simpatik dan sumbu HPA. Hal ini pada
gilirannya memiliki sejumlah efek hilir yang mengganggu, termasuk risiko terjadinya
hipertrofi ventrikel kiri, hipertensi, vasokonstriksi koroner, disfungsi endotel aktivasi platelet,
dan produksi sitokin proinflamasi. Konsekuensi dari hal tersebut adalah terjadinya
peningkatan risiko aritmia ventrikel dan infark miokard. Penninx, dkk. mengajukan
hipotesisnya bahwa depresi dapat meningkatkan kejadian kardiovaskular. Prevalensi depresi
pada pasien gagal jantung berdasarkan fungsional melalui beberapa jalur. Jalur yang
dimaksud yaitu kebiasaan merokok, penggunaan alkohol berlebihan, tidak aktif secara fisik,
diet tidak sehat, kepatuhan perawatan yang lebih rendah dan perawatan medis yang lebih
buruk, disregulasi metabolik, disregulasi imunoglobinal, disregulasi otonom, disregulasi
sumbu HPA, iatrogenik (obat-obatan), stressor masa kecil, kepribadian, dan genetik.
B. Faktor Yang Memengaruhi Perjalanan Penyakit Kardiovaskular Dan Depresi.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan depresi dan penyakit kardiovaskular terdiri
dari faktor demografi dan psikososial. Faktor demografi terdiri dari umur (muda>tua), jenis
kelamin (wanita>pria), status sosio-ekonomi rendah, dan tidak bekerja. Sementara faktor
psikososial meliputi riwayat depresi, ansietas, kepribadian, isolasi sosial, masa duka dan stres
lain.
C. Manajemen Depresi Pada Gagal Jantung
Manajemen yang optimal memerlukan pendekatan interdisipliner terkoordinasi
menggunakan model biopsikososial-spiritual untuk memaksimalkan kepatuhan terhadap
terapi. Saat ini, data empiris yang berkaitan dengan pengobatan depresi pada populasi pasien
dengan GJ masih terbatas. Penelitian sebelumnya baik di luar negeri maupun di Indonesia
menunjukkan bahwa psikoterapi kognitif-perilaku bermanfaat dalam memperbaiki gangguan
depresi dan meningkatkan kualitas hidup pasien GJ. Terapi farmakologis (misalnya
penggunaan sertralin, penghambat ambilan serotonin selektif) cukup aman dan efektif dalam
mengurangi tingkat keparahan depresi pada pasien dengan penyakit kardiovaskular. Selain
itu, program perawatan kolaboratif dan multidisiplin dalam intervensi pasien gagal jantung
dengan depresi akan meningkatkan kepatuhan terhadap perawatan medis dan memperbaiki
penyakit kardiovaskular serta depresinya. Perawatan kolaboratif dan model perawatannya
yaitu dengan mengintegrasikan sistem kordinasi antartenaga kesehatan.
Tinjauan artikel dalam makalah ini menunjukkan bahwa prevalensi depresi pada gagal
jantung cukup tinggi namun sering kurang dikenali oleh dokter. Pendekatan psikosomatik
menggunakan model biopsikososial-spiritual, intervensi non-farmakologi seperti psikoterapi
dan terapi farmakologi memiliki manfaat dalam manajemen depresi pada gagal jantung.
Penelitian di masa depan diperlukan untuk membuat evaluasi berbasis bukti dan algoritma
pengobatan yang disesuaikan dengan kebutuhan spesifik dari populasi target.
Jurnal 3
Judul : Kecemasan dan Depresi pada Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Terapi
Hemodialisis
Gagal ginjal merupakan keadaan berkurangnya fungsi ginjal ke suatu kondisi yang
apabila fungsi ginjal tidak kembali, akan mengakibatkan kerusakan total dari fungsi eksresi
dan juga ancaman kematian. Gagal ginjal terjadi jika kedua ginjal milik seseorang mengalami
kerusakan. Pada kondisi tersebut, ginjal tidak dapat menjalankan fungsinya mengeluarkan
sisa metabolisme dan mempertahankan keseimbangan cairan dan garam dalam tubuh. Selain
itu, ginjal yang rusak tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai pembuat hormon yang
bertugas ikut memelihara darah merah dan kesehatan tulang. Bila fungsi ginjal sudah sangat
rendah, maka sisa metabolisme menumpuk, cairan menumpuk, mineral-mineral menumpuk,
dan kondisi darah menjadi asam (asidosis). Kondisi ini mengakibatkan pasien mengeluh
sesak napas, lemas, mual, dan kurang darah (anemia). Jika penumpukan sisa metabolisme ini
tidak segera ditangani, maka hal ini akan sangat membahayakan pasien (Lumenta, 2003).
Peterson (1995) mengatakan bahwa terdapat dua jenis gagal ginjal, yaitu gagal ginjal akut
dan gagal ginjal kronis. Dikatakan gagal ginjal akut bila penurunan fungsi ginjal berlangsung
secara tiba-tiba, namun dapat kembali normal apabila penyebabnya ditanggulangi. Penyebab
gagal ginjal akut diantaranya muntaber, pendarahan, keracunan obat dan sumbatan pada
saluran kemih. Penderita gagal ginjal akut tidak diharuskan menjalani cuci darah seumur
hidupnya, hanya seperlunya saja sekitar 1-2 kali.
Soehardjono (2006) berpendapat bahwa penyakit gagal ginjal kronis dapat digolongkan
sebagai stressor, yaitu peristiwa yang menimbulkan stres pada seseorang. Pasien yang
menjalani terapi hemodialisis pada umumnya mengalami stres. Berkaitan dengan deinisi
stres, Baum (dalam Taylor, 1999) mengatakan bahwa stres merupakan pengalaman emosi
negatif yang diiringi oleh perubahan biokimia, isik, kognitif dan perilaku yang mengarahkan
individu untuk mengubah kondisi yang menimbulkan stres (stressful event) atau
menyesuaikan diri dengan akibat yang ditimbulkan oleh stressfull event tersebut.

Pada penelitian ini terlihat tingkat kecemasan dan depresi pada pasien gagal ginjal
kronis yang menjalani terapi hemodialisis, yaitu 73.33 % subjek memiliki tingkat kecemasan
yang tergolong normal, 23.33 % subjek memiliki kecemasan dalam kategori borderline
abnormal, dan 3.33 % tergolong normal. Sementara itu pasien yang mengalami depresi dalam
tingkat normal sebanyak 76.67 %, borderline abnormal 23.33 % dan tidak ada yang
mengalami depresi dalam kategori abnormal. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa alat
ukur Hospital Anxiety and Depression Scale yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
indonesia tergolong valid dan reliabel, serta mampu mengukur tingkat kecemasan dan depresi
pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisis.

Anda mungkin juga menyukai