Anda di halaman 1dari 41

APLIKASI EVIDENCE BASED PRACTICE NURSING

PENGARUH POSISI HEAD-UP 30° TERHADAP PERUBAHAN


TEKANAN INTRACRANIAL PADA PASIEN CEDERA KEPALA DI
RUANG ICU RSUP DR KARIADI SEMARANG

Disusun oleh:

Setyo Prabowo

G3A021229

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera kepala adalah trauma yang diakibatkan oleh benturan fisik terhadap kepala
secara direct ataupun indirect dan tumpul ataupun tajam. Trauma kepala dapat
menyebabkan disfungsi neuorologis yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan fisik,
gangguan kognitif dan gangguan psikososial yang dapat bersifat temporer/sementara
maupun permanan/menetap (Chris dan Riwanti, 2014; Dawodo, 2015 dalam Dadang,
2016). Cedera kepala dapat menyebabkan terjadi cedera otak melalui dua acara, yaitu
akibat langsung dari trauma pada fungsi otak dan akibat lanjutan yang merupakan respon
sel-sel otak terhadap trauma.
Prevalensi angka kejadian cedera otak traumatika di Negara berkembang seperti
Amerika Serikat terjadi peningkatan sebesar 1,7 juta penduduk / tahun, dari peningkatan
jumlah tersebut sebanyak lebih kurang 50.000 penduduk / tahun mengalami kematian, dan
sebanyak 5 juta penduduk / tahun mengalami ketidakmampuan / disabilitas akibat cedera
kepala. Pada umumnya Cedera kepala lebih identik mengenai usia muda (15-19 tahun).
Angka kejadian cidera kepala pada laki-laki 2 kali lebih sering terjadi dibandingkan pada
anak perempuan.Prevalensi cedera kepala di Negara Amerika Serikat adalah akibat
terjatuh 35,2%, kecelakaan kendaraan bermotor 34,1%, perkelahian 10%, dan penyebab
lain yang tidak diketahui 21% (Iwan A et al, 2015).
Cedera kepala dapat mengakibatkan berkurangnya sirkulasi pada otak yang dapat
mengakibatkan terjadinya iskemia sel-sel otak. Saat terjadi iskemia pada sel-sel otak maka
akan mengakibatkan kerusakan pada neuron otak yang tidak dapat diperbaiki lagi (Price
dan Wilson, 2005). Tekanan intracranial akan mempengaruhu perfusi dari otak. Semakin
besar tekanan intracranial maka kemampuan perfusi oksigen dan nutrisi pada sel-sel otak
akan semankin mengecil. Hal ini dapat menyebabkan sel otak mengalami nekrosis
sehingga memperburuk prognosis dari pasien cedera kepala. (Giles Critchley and Anjum
Memon, 2009). Kondisi klinis yang harus dinilai pada peningkatan TIK diantaranya yakni
pantau tingkat kesadaran (GCS) dan vital sing saat itu. Pantau tekanan intrakranial
digunakan untuk mencegah terjadinya peningkatan Intracranial yang akan menekan
seluruh otak, batang otak, dan system pembuluh darah yang akan menyebabkan mati otak
setelah fungsi batang otak benar-benar tidak ada (fauzi, 2019)
Cedera kepala dapat menyebabkan perubahan kesadaran yang dapat dinilai dengan
GCS. Menurut asosiasi cedera otak di Amerika, cedera kepala berdasarkan GCS dibagi
menjadi ringan/mild (GCS = 13-15), sedang/moderate (GCS = 9-12), dan berat/severe
(GCS≤ 8). Pada Advanced Trauma Life Support, klasifikasi tersebut di modifikasi lagi
sehingga GCS 13 dikategorikan sebagai cedera kepala sedang. (Savitsky et al.,2016).

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
pengelolaan asuhan keperawatan dan aplikasi evidence based practice nursing pengaruh
posisi head-up 30° terhadap perubahan tekanan intracranial pada pasien cedera kepala di
ruang ICU non isolasi RSUP dr Kariadi Semarang.
.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum

Melaporkan pengelolaan kasus dan aplikasi evidence based practice nursing


pengaruh posisi head-up 30° terhadap perubahan tekanan intracranial pada pasien cedera
kepala di ruang ICU non isolasi RSUP dr Kariadi Semarang.

2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan adalah diharapkan penulis mampu :
a. Mendeskripsikan konsep Cidera Kepala
b. Mendeskripsikan asuhan keperawatan pada pasien dengan Cidera Kepala
c. Melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan Cidera Kepala
d. Mahasiswa mampu menerapkan evidence based practice nursing tindakan posisi
head-up 30° terhadap perubahan tekanan intracranial pada pasien cedera kepala

C. Sistematika Penulisan

Makalah ini terdiri dari enam bab yang disusun dengan sistematika penulisan
sebagai berikut :

BAB I: Pendahuluan (latar belakang, tujuan  penulisan, dan sistematika penulisan).

BAB II: Membahas konsep dasar cidera kepala

BAB III: Resume asuhan keperawatan pada Tn. N dengan Cidera Kepala

BAB IV: Aplikasi jurnal evidence based practice nursing riset pada pasien.

BAB V: Pembahasan terkait hasil pengelolaan kasus dan aplikasi evidence based practice
nursing terhadap konsep teori.

BAB VI: Penutup (kesimpulan dan saran).


BAB II

KONSEP DASAR

A. KONSEP PENYAKIT
1. Pengertian
Cedera kepala adalah terjadinya gangguan pada bagian otak diakibatkan oleh
kekuatan atau benturan dari luar tubuh yang sifatnya lebih keras. Cedera kepala
dapat disebut juga dengan head injury ataupun traumatic brain injury (Dawodu,
2016; Manley et al, 2016).
Cidera kepala (terbuka dan tertutup) terdiri dari fraktur tengkorak cranial
serebri, contusio (memar) dan perdarahan serebral (subarakhanial), subdural, epidural,
intraserebral (batang otak). Trauma primer terjadi karena benturan langsung atau tidak
langsung (akselerasi atau deselarasi otak). (Hudak,dkk. 2013). Cedera kepala dapat
menyebabkan luka dibagian kepala, luka pada kulit di bagian kepala, ruptur meninges
pada otak, serta kerusakan jaringan otak dan dapat mengakibatkan gangguan fungsi
neurologis (Taufiq et al., 2019).
2. Etiologi
Penyebab cedera kepala antara lain :
1) Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2) Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3) Cedera akibat kekerasan.
4) Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi). Kerusakannya
menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk : cidera akson, kerusakan
otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil yang multiple
pada otak koma karena terjadi cedera menyebar pada hemisfer cerebral,
batang otak atau keduannya. Akibat trauma tergantung pada
 Kekuatan benturan : parahnya kerusakan
 Akselerasi dan dekelerasi
 Cup dan kontra cup:
Cup: kerusakan pada daerah dekat yang terbentur
Kontra cup: kerusakan cedera berlawanan pada sisi desakan benturan.
5) Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat
sifatnya.
6) Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam. Sehingga
menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan
lokal meliputi constusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak
sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
3. Klasifikasi cidera kepala
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang
muncul setelah cedera kepala. Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek,
secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan:
1) Mekanisme cedera kepala: Cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan
cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan mobil/motor, jatuh atau pukulan benda tumpul.Cedera kepala
tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan.Adanya penetrasi selaput
durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau
cedera tumpul.
2) Beratnya cedera : Glascow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara
kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera kepala.
a. Cedera kepala ringan (CKR): GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan
kesadaran (pingsan) kurang dari 30 menit atau mengalami amnesia retrograde.
b. Cedera kepala sedang (CKS): GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau
amnesia retrograde lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
c. Cedera kepala berat (CKB): GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan
kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
3) Morfologi cedera
Secara morfologi, kejadian cedera kepala dibagi menjadi:
1. Fraktur cranium: Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar
tengkorak, dan dapat terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka
atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya merupakan pemeriksaan
CT-Scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis
fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain : ekimosis
periorbital (Raccoon eye sign), ekimosis retro aurikuler (Battle`sign),
kebocoran cairan serebrosspinal (CSS) (rhonorrea, ottorhea) dan Parese
nervus facialis ( N VII )
2. Lesi intracranial: Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus,
walaupun kedua jenis lesi sering terjadi bersamaan. Cedera otak difus
umumnya menunjukkan gambaran CT-Scan yang normal, namun keadaan
klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan
koma. Berdasarkan pada dalamnya koma dan lamanya koma, maka cedera
otak difus dikelompokkan menurut kontusio ringan, kontusio klasik, dan
Cedera Aksonal Difus (CAD).
a. Perdarahan epidural : Hematoma epidural terletak diantara dura dan
calvaria. Umumnya terjadi pada regon temporal atau temporopariental
akibat pecahnya arteri meningea media (Sudiharto, 1998). Manifestasi
klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala
(interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan
kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral yang diikuti
oleh timbulnya gejala neurologi yang secara progresif berupa pupil
anisokor, hemiparese, papil edema dan gejala herniasi transcentorial.
Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal dari
sinus lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan
kesadaran, nyeri kepala, muntah ataksia serebral dan paresis nervus
kranialis. Ciri perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai
lensa cembung
b. Perdarahan subdural: Perdarahan subdural lebih sering terjadi dari pada
perdarahan epidural (kira-kira 30% dari cedera kepala berat). Perdarahan
ini sering terjadi akibat robeknya vena- vena jembatan yang terletak
antara kortek cerebri dan sinusvenous tempat vena tadi bermuara, namun
dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer
otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh
lebih buruk dari pada perdarahan epidural.
c. Kontusio dan perdarahan intraserebral: Kontusio cerebral sangat sering
terjadi di frontal dan lobus temporal, walau terjadi juga pada setiap
bagian otak, termasuk batang otak dan cerebellum. Kontusio cerebri
dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari atau jam mengalami evolusi
membentuk perdarahan intracerebral.
d. Cedera difus: Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak
akibat akselerasi dan deselerasi. Cedera ini merupakan bentuk yang lebih
sering terjadi pada cedera kepala
4. Manifestasi klinis
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.
1) Cedera kepala ringan
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah
cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau
lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2) Cedera kepala sedang

a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan


atau hahkan koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit
neurologik, perubahan tanda-tanda vital (TTV), gangguanpenglihatan
dan pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo
dan gangguan pergerakan

3) Cedera kepala berat

a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah


terjadinya penurunan kesadaran
b. Pupil tidak actual, pemeriksaan motorik tidak actual, adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologic
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukkan fraktur
d. Fraktur pada kubah cranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut.
5. Patofisiologi
Proses patofisiologi cedera otak dibagi menjadi dua yang didasarkan pada asumsi
bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan fisik yang lalu
diikuti proses patologis yang terjadi segera dan sebagian besar bersifat permanen.
Dari tahapan itu, cedera kepala dibagi menjadi dua :
1. Cedera otak primer: Cedera otak primer (COP) adalah cedera yang terjadi
sebagai akibat langsung dari efek mekanik dari luar pada otak yang
menimbulkan kontusio dan laserasi parenkim otak dan kerusakan akson pada
substantia alba hemisper otak hingga batang otak.
2. Cedera otak sekunder: Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang
terjadi akibat proses metabolisme dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika
intrakranial dan kompartement cairan serebrosspinal (CSS) yang dimulai segera
setelah trauma tetapi tidak tampak secara klinis segera setelah trauma. Cedera
otak sekunder ini disebabkan oleh banyak faktor antara lain kerusakan sawar
darah otak, gangguan aliran darah otak, gangguan metabolisme dan homeostatis
ion sel otak, gangguan hormonal, pengeluaran neurotransmitter dan reactive
oxygen species, infeksi dan asidosis. Kelainan utama ini meliputi perdarahan
intrakranial, edema otak, peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan otak.
Cedera kepala menyebabkan sebagian sel yang terkena benturan mati
atau rusak irreversible, proses ini disebut proses primer dan sel otak
disekelilingnya akan mengalami gangguan fungsional tetapi belum mati dan bila
keadaan menguntungkan sel akan sembuh dalam beberapa menit, jam atau hari.
Proses selanjutnya disebut proses patologi sekunder. Proses biokimiawi dan
struktur massa yang rusak akan menyebabkan kerusakan seluler yang luas pada
sel yang cedera maupun sel yang tidak cedera. Secara garis besar cedera kepala
sekunder pasca trauma diakibatkan oleh beberapa proses dan faktor dibawah ini:
a. Lesi massa, pergeseran garis tengah dan herniasi yang terdiri dari : perdarahan
intracranial dan edema serebral
b. Iskemik cerebri yang diakibatkan oleh : penurunan tekanan perfusi serebral,
hipotensi arterial, hipertensi intracranial, hiperpireksia dan infeksi,
hipokalsemia/anemia dan hipotensi, vasospasme serebri dan kejang Proses
inflamasi terjadi segera setelah trauma yang ditandai dengan aktifasi substansi
mediator yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah, penurunan aliran darah,
dan permeabilitas kapiler yang meningkat. Hal ini menyebabkan akumulasi
cairan (edema) dan leukosit pada daerah trauma. Sel terbanyak yang berperan
dalam respon inflamasi adalah sel fagosit, terutama sel leukosit
Polymorphonuclear (PMN), yang terakumulasi dalam 30 - 60 menit yang
memfagosit jaringan mati. Bila penyebab respon inflamasi berlangsung
melebihi waktu ini, antara waktu 5-6 jam akan terjadi infiltrasi sel leukosit
mononuklear, makrofag, dan limfosit. Makrofag ini membantu aktivitas sel
polymorphonuclear (PMN) dalam proses fagositosis Inflamasi, yang
merupakan respon dasar terhadap trauma sangat berperan dalam terjadinya
cedera sekunder. Pada tahap awal proses inflamasi, akan terjadi perlekatan
netrofil pada endotelium dengan beberapa molekul perekat Intra Cellular
Adhesion Molecules-1 (ICAM-1). Proses perlekatan ini mempunyai
kecenderungan merusak/merugikan karena mengurangi aliran dalam
mikrosirkulasi. Selain itu, netrofil juga melepaskan senyawa toksik (radikal
bebas), atau mediator lainnya (prostaglandin, leukotrin) di mana senyawa-
senyawa ini akan memacu terjadinya cedera lebih lanjut. Makrofag juga
mempunyai peranan penting sebagai sel radang predominan pada cedera otak
(Hergenroeder, 2008).
6. Pemeriksaan penunjang dan hasilnya
Pemeriksaan penujang yang dapat dilakukan pada pasien dengan cedera kepala
adalah:
a. Pemeriksaan neurologis
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap.
Pada pasien yang berada dalam keadaan koma hanya dapat dilakukan
pemeriksaan objektif. Bentuk pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda
perangsangan meningen, yang berupa tes kaku kuduk yang hanya boleh
dilakukan bila kolumna vertebralis servikalis (ruas tulang leher) normal. Tes
ini tidak boleh dilakukan bila ada fraktur atau dislokasi servikalis. Selain itu
dilakukan perangsangan terhadap sel saraf motorik dan sensorik (nervus
kranialis). Saraf yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai saraf 12 yaitu: nervus I
(olfaktoris), nervus II (optikus), nervus III (okulomotoris), nervus IV
(troklealis), nervus V (trigeminus), nervus VI (abdusens), nervus VII
(fasialis), nervus VIII (oktavus), nervus IX (glosofaringeus), nervus X
(vagus), nervus XI (spinalis), nervus XII (hipoglous), nervus spinalis (pada
otot lidah), dan nervus hipoglosus (pada otot belikat) berfungsi sebagai saraf
sensorik dan motorik.

b. Pemeriksaan radiologis
1) Foto Rontgen Polos: Pada cedera kepala perlu dibuat foto rontgen
kepala dan kolumna vertebralis servikalis. Film diletakkan pada sisi
lesi akibat benturan. Bila lesi terdapat di daerah oksipital, buatkan foto
anterior- posterior. Bila lesi terdapat di daerah frontal buatkan foto
posterior- anterior. Bila lesi terdapat di daerah temporal, pariental atau
frontal lateral kiri, film diletakkan pada sisi kiri dan dibuat foto dari
kanan ke kiri. Kalau diduga ada fraktur basis kranii, maka dibuatkan
foto basis kranii dengan kepala menggantung dan sinar rontgen terarah
tegak lurus pada garis antar angulus mandibularis (tulang rahang
bawah).
Foto kolumna vertebralis servikalis dibuat anterior-posterior
dan lateral untuk melihat adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto polos
tengkorak mungkin dapat ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi.
Tekanan intrakranial yang tinggi mungkin menimbulkan impressions
digitae.
2) Computed Temografik Scan (CT-scan): Computed Temografik Scan
(CT-Scan) diciptakan oleh Hounsfield dan Ambrose pada tahun 1972.
Dengan pemeriksaan ini kita dapat melihat ke dalam rongga tengkorak.
Potongan-potongan melintang tengkorak bersama isinya tergambar
dalam foto dengan jelas. Computed Temografik Scan (CT-Scan)
kepala merupakan standard baku untuk mendeteksi perdarahan
intrakranial. Semua pasien dengan glasglow coma scale (GCS) <12
sebaiknya menjalankan pemeriksaan Computed Temografik Scan (CT-
Scan), sedangkan pada pasien dengan glasglow coma scale (GCS) >12
Computed Temografik Scan (CT-Scan) dilakukan hanya dengan
indikasi tertentu seperti: nyeri kepala hebat, adanya tanda-tanda fraktur
basis kranii, adanya riwayat cedera yang berat, muntah lebih dari satu
kali, penderita lansia (> 65 tahun) dengan penurunan kesadaran atau
anamnesia, kejang, riwayat gangguan vaskuler atau menggunakan
obat-obat anti koagulen, rasa baal pada tubuh, gangguan keseimbangan
atau berjalan, gangguan orientasi, berbicara, membaca, dan menulis.
Computed Temografik Scan (CT-Scan) adalah suatu alat foto yang
membuat foto suatu objek dalam sudut 360 derajat melalui bidang
datar dalam jumlah yang tidak terbatas. Bayangan foto akan
direkonstruksi oleh komputer sehingga objek foto akan tampak secara
menyeluruh (luar dan dalam). Foto Computed Temografik Scan (CT-
Scan) akan tampak sebagai penampang-penampang melintang dari
objeknya. Dengan Computed Temografik Scan (CT- Scan) isi kepala
secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada trauma kapitis,
fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk
maupun ukurannya. Indikasi pemeriksaan Computed Temografik Scan
(CT-scan) pada kasus trauma kepala adalah seperti berikut :
o Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan
berat
o Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak
o Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
o Adanya deficit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran
o Sakit kepala yang berat
o Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial atau herniasi
jaringan otak
o Mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral
Pemeriksaan Computed Temografik Scan (CT-scan) kepala masih
merupakan gold standard bagi setiap pasien dengan cedera kepala.
Berdasarkan gambaran Computed Temografik Scan (CT- scan) kepala
dapat diketahui adanya gambaran abnormal yang sering menyertai
pasien cedera kepala (French, 1987). Jika tidak ada Computed
Temografik Scan (CT-scan) kepala pemeriksaan penunjang lainnya
adalah X-ray foto kepala untuk melihat adanya patah tulang tengkorak
atau wajah (Willmore, 2002).
3) Magnetic Resonance Imaging (MRI): MRI adalah teknik pencitraan
yang lebih sensitif dibandingkan dengan Computed Temografik Scan
(CT-Scan). Kelainan yang tidak tampak pada Computed Temografik
Scan (CT-Scan) dapat dilihat dengan Magnetic Resonance Imaging
(MRI). Namun, dibutuhkan waktu pemeriksaan lebih lama
dibandingkan dengan Computed Temografik Scan (CT-Scan) sehingga
tidak sesuai dengan situasi gawat darurat.
4) Electroencephalogram (EEG): Peran yang paling berguna dari
Electroencephalogram (EEG) pada cedera kepala mungkin untu
membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat
melihat perkembangan gelombang yang patologis. Dalam sebuah studi
landmark pemantauan Electroencephalogram (EEG) terus menerus
pada pasien rawat inap dengan cedera otak traumatik. Kejang konfulsif
dan non konfulsif tetap terlihat dalam 22%. Pada tahun 2012 sebuah
studi melaporkan bahwa perlambatan yang parah pada pemantauan
Electroencephalogram (EEG) terus menerus berhubungan dengan
gelombang delta atau pola penekanan melonjak dikaitkan dengan hasil
yang buruk pada bulan ketiga dan keenam pada pasien dengan cedera
otak traumatik.
7. Komplikasi
1) Edema Pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin
berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan
dewasa. Edema paru terjadi akibat reflex cushing/perlindungan yang berusaha
mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan
intrakranial meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk memcoba
mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi
menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah
semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus dipertahankan
tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol
100-110 mmHg, pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh
secara umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan
permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan
ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan
menimbulkan peningkatan tekanan intracranial (TIK) lebih lanjut.
2) Peningkatan tekanan intracranial (TIK)
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg, dan
herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang
mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi serebral. Yang merupakan
komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal
jantung serta kematian.
3) Kebocoran cairan serebrospinal
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek
meninges, sehingga cairan serebrosspinal (CSS) akan keluar. Area drainase
tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di
bawah hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi
hidung atau telinga.
4) Kejang pasca trauma
Kejang yang terjadi setelah masa trauma yang dialami pasien merupakan salah
satu komplikasi serius. Insidensinya sebanyak 10%, terjadi di awal cedera 4-
25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9- 42% (setelah 7 hari trauma).
Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural,
parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, glasglow coma scale
(GCS) <10.
5) Demam dan menggigil
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolisme dan
memperburuk outcome. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek
sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuromuskular paralisis.
Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.
6) Hidrosefalus
Berdasarkan lokasinya, penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan
non komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera
kepala dengan obstruksi, kondisi ini terjadi akibat penyumbatan di sistem
ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala,
pupil odema, demensia, ataksia dan gangguan miksi.
7) Spastisitas
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan
gerakan. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa penanganan
ditujukan pada : pembatasan fungsi gerak, nyeri, pencegahan kontraktur, dan
bantuan dalam memposisikan diri. Terapi primer dengan koreksi posisi dan
latihan range of motion (ROM), terapi sekunder dengan splinting, casting, dan
terapi farmakologi dengan dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum dan
benzodiazepin.
8) Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam
bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga
sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi
sentral.Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan
antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron, stimulant,
benzodiazepine dan terapi modifikasi lingkungan.
9) Sindrom post kontusio
Sindroma Post Kontusio merupakan komplek gejala yang berhubungan
dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama
dan 15% pada tahun pertama: Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur,
vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya.
Kognitif: perhatian, konsentrasi, memori dan Afektif: iritabel, cemas, depresi,
emosi labil.
8. Pathways’s
B. KONSEP ASUHAN KEGAWATDARURATAN
1. Pengkajian Primer ( Primery Survey A, B, C, D, E)
a. Airway: kepatenan jalan napas
b. Breathing: pola napas
c. Circulation: data pertukaran, status cairan, fungsi jantung
d. Disability: fungsi neurology, fungsi sensory motorik
2. Pengkajian sekunder (pemeriksaan fisik, laboraturium dan penunjang lain
Pemeriksaan Fisik:
a. Sistem respirasi: Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif
(kemungkinan karena aspirasi).
b. Kardiovaskuler: Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh peningkatan
tekanan intracranial (TIK).
c. Kemampuan komunikasi: Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau
afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
d. Psikososial: Data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien
dari keluarga.
e. Aktivitas/istirahat: Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan, perubahan
kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese, goyah dalam berjalan (ataksia),
cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot.
f. Sirkulasi: Tekanan darah normal atau berubah (hiper/normotensi), perubahan
frekuensi jantung nadi bradikardi, takhikardi dan aritmia.
g. Integritas Ego: Perubahan tingkah laku/kepribadian, mudah tersinggung,
delirium, agitasi, cemas, bingung, impulsive dan depresi.
h. Eliminasi: buang air besar (BAB) atau buang air kecil (BAK) mengalami
inkontinensia/disfungsi.
i. Makanan/cairan: Mual, muntah, perubahan selera makan, muntah (mungkin
proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).
j. Neurosensori: kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan
pendengaran, perubahan penglihatan, diplopia, gangguan
pengecapan/pembauan, perubahan kesadaran, koma. Perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil (respon
terhadap cahaya), kehilangan penginderaan, pengecapan dan pembauan serta
pendengaran. Postur (dekortisasi, desebrasi), kejang. Sensitive terhadap
sentuhan / gerakan.
k. Nyeri/Keyamanan: sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda,
wajah menyeringa, merintih, respon menarik pada rangsangnyeri yang hebat,
gelisah
l. Keamanan: Trauma/injuri kecelakaan, fraktur dislokasi, gangguan
penglihatan, gangguan range of motion (ROM), tonus otot hilang kekuatan
paralysis, demam, perubahan regulasi temperatur tubuh.
m. Penyuluhan/Pembelajaran: Riwayat penggunaan alcohol/obat-obatan terlarang
3. Diagnose keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernapasan,
gangguan neurologis
2. perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan cidera kepala
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan sensori persepsi
4. Intervensi

No. Dx Keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi

1. Pola napas tidak Setelah diberikan asuhan Observasi


efektif keperawatan 3X24 jam  Monitor pola napas
diharapkan pola napas (frekuensi,
membaik dengan kriteria kedalaman, usaha
hasil: napas)
 Monitor bunyi napas
1. Dyspnea menurun
tambahan
2. Penggunaan otot bantu
napas menurun  Monitor sputum
3. Frekuensi napas Terapeutik
membaik  Pertahankan
4. Kedalaman napas kepatenan jalan
membaik napas dengan head
5. Ekskursi dada tilt dan chin lift
membaik  Posisikan
semofowler atau
fowler
 Berikan minum air
hangat
 Lakukan
penghisapan lender
kurang dari 15 detik
 Berikan oksigenasi
Edukasi
 Anjurkan asupan
cairan 2000 ml/hari
 Ajarkan teknik batuk
efektif
Kolaborasi
 Kolaborasi
pemberian
bronkodilator
2. Perfusi Serebral Setelah diberikan asuhan Observasi:
tidak efektif keperawatan 3X24 jam  Identifikasi penyebab
diharapkan perfusi serebral peningkatan TIK (edema
meningkat dengan kriteria serebral)
hasil:  Monitor tanda/ gejala
peningkatan TIK (TD
1. Tekanan intracranial
meningkat, bradikardi,
menurun
kesadaran menurun pola
2. Sakit kepala menurun
napas ireguler)
3. Gelisah menurun
4. Kecemasan menurun  Monitor MAP
5. TD sistolik dan  monitor status
diastolic membaik pernapasan
terapeutik:

 minimalkan stimulus
dengan menyediakan
lingkungan yang tenang
 berikan posisi semi
fowler
 hindari maneuver
valsava
 cegah terjadinya kejang
kolaborasi

kolaborasi pemberian sedasi


dan anti konvulsan

3. Gangguan Setelah diberikan asuhan Observasi


mobilitas fisik keperawatan 3X24 jam - Identifikasi adanya
diharapkan mobilitas fisik nyeri atau keluhan
meningkat dengan kriteria fisik lainnya
- Identifikasi toleransi
hasil:
fisik melakukan
pergerakan
1. Pergerakan ekstremitas - Monitor frekuensi
meningkat jantung dan tekanan
2. Kekuatan otot meningkat darah sebelum
3. Rentang gerak (ROM) memulai mobilisasi
Meningkat - Monitor kondisi umum
4. Nyeri menurun selama melakukan
5. Kaku sendi menurun mobilisasi
6. Gerakan tidak Terapeutik
terkoordinasi menurun - Fasilitasi melakukan
7. Gerakan terbatas menurun pergerakan
- Libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
pergerakan
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
- Anjurkan melakukan
mobilisasi dini
- Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan
BAB III

RESUME ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN FOKUS
B. Identitas Pasien
Nama Klien : Tn. S
No. RM : C516971
Umur : 58 tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 27 Agustus 2022
Tanggal Pengkajian : 30 Agustus 2022
Diagnosa medis : CKB. Post Laminektomi

Identitas Penanggung Jawab


Nama : Ny. N
Umur : 42 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Hubungan dengan Klien : istri

1. Keluhan Utama
pasien tampak mengalami penurunan kesadaran
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien terjatuh saat mengendarai motor dan menabrak dinding tepi jalan di dekat
rumah. kepala membentur tembok. Saat ditemukan pasien tidak sadar (+),Pasien
dibawa ke IGD
30/8/2022
 Pasien dengan CKB, tetraplegi spastik -ec fraktur cervical C4 - Spondilolisthesis C3-
4. Post operasi laminectomy + fusi posterior. ku lemah, kesadaran soporcoma,
respirasi terpasang . Terpasang infus cvc RL 83 ml/jam. Terpasang DC (25/8/22).
tunda miring kanan dan kiri. posisi baring lurus. TD: 182/66 mmHg, N: 152 x/menit
Spo2: 93%, S: 38,4 c, MAP: 104 mmHg, GCS: 6, E:1, M:4 V:ETT

3. Inisial assessment
a. Airways (Jalan Napas) : paten dan terpasang OPA, terpasang ETT
b. Breathing (Pernapasan): pasien tampak sesak tanpa aktivitas, menggunakan otot
bantu napas spo2: 93%, irama tidak teratur dengan inspirasi lebih lama, ronchi
(+), bunyi napas snoring, terpasang ETT support VM mode PSIMV , PEEP 5,
PIP 14, PS 16, Triger 1 FiO2 40%, sensitivity 3, RR setting 12, trigger 3. Respon
RR 16 x/menit,
c. Curculation (Sirkulasi): irama nadi tidak teratur, denyut nadi kuat:152, TD:
182/63, ektremitas: hangat, warna kulit: kemerahan, CRT<2 detik, tidak ada
edema, eliminasi dan cairan BAK: sedikit 100 cc dengan warna kuning jernih.
Tidak BAB, abdomen: datar, turgor: baik, mukosa: lembab, kulit: terdapat
luka/jejas dibagian lutut kaki dan bahu, suhu: 38,4, lidah tidak kotor. Nyeri tidak
terkaji
d. Dissability: sopor GCS: 6, E:1, M:4 V:ETT, pupil: unisokor, tidak ada reaksi
terhadap cahaya, tidak ada lateralisasi motorik
4. Data Penunjang
a. Laboratorium: 27 Agustus 2022

Nama Test Hasil Satuan Nilai Normal


Hematologi
Hemoglobin 9.7 g/dl 13,2 – 17,3
Lekosit 3.6 /uL 3,8-10,6
Hematokrit 31.7 % 40-52
Eritrosit 3.57 /uL 4,7 - 6,1
Hitung jenis
Netrofil H 84,0 % 50,0-70,0
Limfosit L 8,6 % 25,0-40,0
Monosit 6,7 % 2,0-8,0
Eosinofil L 0,2 % 2-4
Basofil 0,5 % 0-1
Trombosit 274 /uL 150-400
Kimia klinik
GDS 147 mg/dL 70-110
Natrium 140,0 Mmol/L 135,0-147,0
Calium 3,90 Mmol/L 3,50-5,0
Calcium H 1,26 Mmol/L 1,00-1,15
Imunologi
HBsAg kualitatif Negative Negative
Hematologi
PT pasien 11,6 Detik 11,0-15,0
PT kontrol 12,4 Detik
APTT pasien L 21,9 Detik 26,0-34,0
APTT kontrol 12,4 Detik
BGA KIMIA
Measured 37 C
pH 7.32 L
PCO2 44.5 mmhg
pO2 161.2 mmhg 83-108
Calculated Temp 36.5 C

b. Terapi Obat tanggal 30 Agustus 2022

ketorolak inj 30 mg/mL


ranitidin inj 50 mg/2 mL
metilprednisolon inj 125 mg/8jam
sianokobalamin (vitamin B12) inj 500 mcg/1 /8 jam
nikardipin inj 10 mg/10 mL (2 Mikrogram Tiap 1 Jam - dosis titrasi)

parasetamol inf 10 mg/ mL 1 Gram Tiap 8 Jam


ampisilin 1.000 mg + sulbaktam 500 mg serb inj 1500 mg - Qty 31 Ampul
Tiap 8 Jam - I.V)
asam traneksamat inj 500 mg/ 5 ml Tiap 8 Jam - I.V)

fitomenadion (vitamin K 1) inj 10 mg/ mL (i.v.) Tiap 8 Jam

omeprazol serb inj 40 mg - Tiap 12 Jam - I.V)

metoklopramid inj 10 mg/2 mL Ampul Tiap 8 Jam - I.V)

kalsium glukonat inj 10% (1000 mg/10 mL) Ampul Tiap 12 Jam - I.V)

morfin inj 10 mg/mL (2 Ampul Tiap 8 Jam - I.V)

parasetamol inf 10 mg/ mL 1 Ampul Tiap 8 Jam - I.V)


midazolam Inj 5 mg/ (2 Ampul Tiap 8 Jam - I.V)

5. Hasil Radiologi
X FOTO CERVICAL AP/LAT 26/8/22
KESAN :
Spondylolisthesis posterior corpus vertebra C.4 (Grade 1)
Fraktur komplit pada corpus vertebra C.4 dan prosesus spinosus C.4,C.5
Osifikasi pada ligament longitudinal anterior vertebra C.2-6 -lebih dari dari masih
mungkin gambaran ankylosing spondylitis
Straight vertebra cervicalis

X FOTO PELVIS 26/8/22


KESAN :
Tak tampak fraktur maupun dislokasi pada X-Foto Pelvis
Sacroiliac joint kanan kiri tampak kabur, curiga sacroilitis
Spur pada crista illiaca kanan kiri dan aspek superior acetabulum kanan kiri

MSCT KEPALA KONTRA 26/8/22


Kesan:
Tampak tanda peningkatan tekanan intracranial , Kesuraman pada cavum timpani dan
mastoid air cell kanan -lebih dari dari curiga perdarahan, Fraktur komplit sebagian
bentuk kominutif pada prosesus transversus kanan vertebra
MRI SERVIKAL 26/8/22
KESAN :
Fraktur komplit kominutif dan kompresi pada corpus vertebra C.4 (grade 2) disertai
displacement segmen proksimal fraktur ke lateral kiri dan retropulsi yang mendesak
thecal sac dan medulla spinalis setinggi level C.4-5, menyebabkan edema medulla
spinalis setinggi corpus vertebra C.3-C.6 dan hematoma medulla spinalis setinggi
corpus vertebra C.7
Spondilolisthesis posterior corpus vertebra C.4 (grade 1)
Edema pada corpus-processus spinosus vertebra C.4 dan corpus vertebra C.5
Penyempitan diskus intervertebralis C.4-5
Spondilosis cervicalis
Degeneratif diskus intervertebralis C.2-3, C.3-4, C.4-5, C.5-6, C.6-7, C.4-Th.1,Th.1-2
Bulging posterocentral pada diskus intervertebralis C.2-3, C.3-4, C.5-6 disertai
pendesakan thecal sac, tak tampak penyempitan foramen neuralis kanan kiri
Bulging posterocentral dan posterolateral kanan kiri pada diskus intervertebralis C.6-7
disertai pendesakan thecal sac dan penyempitan foramen neuralis kanan kiri

C. Analisa Data

Data Fokus Masalah Penyebab


Keperawatan
Ds : Perfusi Serebral tidak Cedera kepala
Verbal tidak terkaji (pasien dengan efektif
penurunan kesadaran)
Do:
 Pasien tampak mengalami
penurunan kesadaran post
kecelakaan
 TD: 182/66 mmHg
 N: 152 x/menit
 Spo2: 93%
 S: 38,4 c
 MAP: 104 mmHg
 GCS: (5),
E:1,V:ETT, M:2
 Kesadaran: sopor
 MSCT kepala: Tampak tanda
peningkatan tekanan intracranial ,
Kesuraman pada cavum timpani
dan mastoid air cell kanan -lebih
dari dari curiga perdarahan,
Fraktur komplit sebagian bentuk
kominutif pada prosesus
transversus kanan vertebra
D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan cedera kepala
E. INTERVENSI

No. Dx Keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


1. Perfusi Serebral tidak Setelah diberikan Manajemen Peningkatan
efektif berhubungan asuhan keperawatan Tekanan intrakranial
dengan cidera kepala 3X24 jam diharapkan Observasi:
perfusi serebral  Identifikasi penyebab
meningkat dengan peningkatan TIK
kriteria hasil:  Monitor tanda/ gejala
1) Tingkat kesadaran peningkatan TIK (TD
meningkat meningkat, bradikardi, pola
2) Tekanan napas ireguler, kesdaran
intracranial menurun)
menurun  Monitor MAP
3) Demam menurun  monitor status pernapasan
4) Kesadaran  monitor cairan drain
membaik terapeutik:
5) Nilai rata-rata TD
 minimalkan stimulus dengan
membaik
menyediakan lingkungan yang
6) TD sistolik dan
tenang
diastolic membaik
 berikan posisi semi fowler
7) Reflex saraf
 posisikan head-up 30°
membaik
 cegah terjadinya kejang
 pertahankan suhu tubuh normal
kolaborasi
 kolaborasi pemberian sedasi
dan anti konvulsan
 kolaborasi pemberian diuretic
osmosis
F. IMPLEMENTASI

No.dx Waktu Implementasi Respon Ttd


1. Kamis , 31 Mengidentifikasi penyebab DS: prabowo
Agustus 2022 peningkatan TIK Verbal tidak terkaji (pasien
12.30 dengan penurunan kesadaran)
DO:
 Pasien tampak
mengalami penurunan
kesadaran post
kecelakaan
 GCS:(6), E:1,V:ETT,
M:2
 Kesadaran: sopor
 MSCT kepala: Tampak
tanda peningkatan
tekanan intracranial ,
Kesuraman pada cavum
timpani dan mastoid air
cell kanan -lebih dari dari
curiga perdarahan,
Fraktur komplit sebagian
bentuk kominutif pada
prosesus transversus
kanan vertebra
12.40 1. Monitor tanda/ gejala DS: prabowo
peningkatan TIK (TD Verbal tidak terkaji (pasien
meningkat, bradikardi, pola dengan penurunan kesadaran)
napas ireguler) DO:
2. Monitor MAP  RR: 10x/menit
 Spo2:93%
 TD: 182/90 mmHg
 N: 152 x/menit
 S: 38,4 c
 MAP: 121mmHg
12.50 monitor status pernapasan DS: prabowo
Verbal tidak terkaji (pasien
dengan penurunan kesadaran)
DO:
 abnormal bradipnea
 Pasien tampak terpasang
ETT dengan ventilator
fiO2 100% , Pinspirasi
12, Fio2 100%, PEEP 7,
sensitivity 3, RR setting
12, trigger 3. Respon RR
10-12 x/menit,
12. 30 1. Meminimalkan stimulus DS: prabowo
dengan menyediakan Verbal tidak terkaji (pasien
lingkungan yang tenang dengan penurunan kesadaran)
2. Mencegah terjadinya DO:
kejang  Pasien tampak demam
3. Mempertahankan suhu S:38,4 C
tubuh normal

12.35 Memposisikan head up 30° DS: prabowo


Verbal tidak terkaji (pasien
dengan penurunan kesadaran)
DO:
Pasien tampak belum ada respon
13.40 Memberikan kompres air DS: prabowo
hangat dan paracetamol 100 ml Verbal tidak terkaji (pasien
melalui infus pam dengan penurunan kesadaran)
DO:
 Setelah dilakukan
kompres dan pemberian
paracetamol S: 37,8 C
 Pasien op. kraniotomi
jam 14.00
 TD: 184/116 mmHg
 N: 150 x/menit
 RR: 10 x/menit
 Spo2: 96%

14.30 Memberikan obat injeksi DS: prabowo


mecobalamin Verbal tidak terkaji (pasien
dengan penurunan kesadaran)
DO:
Obat tampak masuk melalui IV,
pasien tampak tidak ada alergi
14.00 Memberikan obat Nicardipine DS: prabowo
HCL melalui syringpump Verbal tidak terkaji (pasien
dengan penurunan kesadaran)
DO:
Obat tampak masuk melalui
syringpump, pasien tampak tidak
ada alergi
14.40 Memberikan obat injeksi DS: prabowo
fenitoin Verbal tidak terkaji (pasien
dengan penurunan kesadaran)
DO:
Obat tampak masuk melalui IV,
pasien tampak tidak ada alergi
14.50 Memberikan obat injeksi DS: prabowo
citikolin Verbal tidak terkaji (pasien
dengan penurunan kesadaran)
DO:
Obat tampak masuk melalui IV,
pasien tampak tidak ada alergi
15.00 Memberikan obat injeksi asam DS: prabowo
traneksamat Verbal tidak terkaji (pasien
dengan penurunan kesadaran)
DO:
Obat tampak masuk melalui IV,
pasien tampak tidak ada alergi
Jumat , 1 1. Memonitor tanda/ gejala DS: prabowo
September peningkatan TIK (TD Verbal tidak terkaji (pasien
2022 meningkat, bradikardi, pola dengan penurunan kesadaran)
12.30 napas ireguler) DO:
2. Memonitor MAP  TD: 172/70 mmHg
12.10  N: 115 x/menit
 S: 37.7,4 c
 MAP: 104 mmHg
 GCS:(4),E:1,V:ETT, M:2
 Kesadaran: semicoma
 Pasien post op kraniotomi
 Pasien tampak tekanan
darah normal

13.30 Memonitor status pernapasan DS: prabowo


Verbal tidak terkaji (pasien
dengan penurunan kesadaran)
DO:
 RR: 12 x/menit
 Spo2:100%
 Pasien tampak terpasang
ETT dengan ventilator
fiO2 60% , Pinspirasi 12,
Fio2 100%, PEEP 7,
sensitivity 3, RR setting
12, trigger 3. Respon RR
10-12 x/menit,
12.35 Memposisikan head up 30° DS: prabowo
Verbal tidak terkaji (pasien
dengan penurunan kesadaran)
DO:
Pasien tampak belum ada respon
13.40 Memonitor cairan drain DS: prabowo
subgagel Verbal tidak terkaji (pasien
dengan penurunan kesadaran)
DO:
 Post Op. kraniotomi
terpasang drain
 Drain: 300 cc

14.00 1. Meminimalkan stimulus DS: prabowo


dengan menyediakan Verbal tidak terkaji (pasien
lingkungan yang tenang dengan penurunan kesadaran)
2. Mencegah terjadinya
kejang DO:
3. Mempertahankan suhu  TD: 174/85 mmHg
tubuh normal  N: 119 x/menit
 S: 37,2 C
 RR: 12 x/menit
 Spo2: 100%
14.30 Memberikan obat injeksi DS: prabowo
fenitoin Verbal tidak terkaji (pasien
dengan penurunan kesadaran)
DO:
Obat tampak masuk melalui IV,
pasien tampak tidak ada alergi
14.40 Memberikan obat injeksi DS: prabowo
citikolin Verbal tidak terkaji (pasien
dengan penurunan kesadaran)
DO:
Obat tampak masuk melalui IV,
pasien tampak tidak ada alergi
14.50 Memberikan obat injeksi asam DS: prabowo
traneksamat Verbal tidak terkaji (pasien
dengan penurunan kesadaran)
DO:
Obat tampak masuk melalui IV,
pasien tampak tidak ada alergi
15.00 Memberikan perdipin obat DS: prabowo
melalui syringpump Verbal tidak terkaji (pasien
dengan penurunan kesadaran)
DO:
 obat tampak masuk dan
tidak boleh telat karena
mempengaruhi TD
 TD: 168/85 mmHg
 N: 120 x/menit
 RR: 12 x/menit
 S: 36,0 C
 Spo2: 100%
Sabtu , 2 1. Memonitor tanda/ DS: prabowo
September gejala peningkatan TIK Verbal tidak terkaji (pasien
2022 (TD meningkat, dengan penurunan kesadaran)
bradikardi, pola napas DO:
ireguler)  Keadaan umum: lemah
2. Memonitor MAP  TD: 167/66 mmHg
 N: 110 x/menit
 S: 37 c
 MAP: 97 mmHg
 GCS:(3),E:1,V:ETT, M:1
 Kesadaran: coma
13.30 Memonitor status pernapasan DS: prabowo
Verbal tidak terkaji (pasien
dengan penurunan kesadaran)
DO:
 RR: 14 x/menit
 Spo2:92%
 Pasien tampak tepasang
ETT dengan ventilator
13.45 Memposisikan head up 30° DS: prabowo
Verbal tidak terkaji (pasien
dengan penurunan kesadaran)
DO:
Pasien tampak belum ada respon
14.00 Memonitor cairan drain DS: prabowo
subgagel Verbal tidak terkaji (pasien
dengan penurunan kesadaran)
DO:
 Post Op. kraniotomi
pasien tampak terpasang
drain
 Drain: 150 cc
14.30 1. Meminimalkan stimulus DS: prabowo
dengan menyediakan Verbal tidak terkaji (pasien
lingkungan yang tenang dengan penurunan kesadaran)
2. Mencegah terjadinya DO:
kejang  TD:160/57 mmHg
3. Mempertahankan suhu  N: 106 x/menit
tubuh normal  S: 36,7 C
 RR: 18 x/menit
 Spo2: 93%
14.40 Memberikan obat injeksi DS: prabowo
fenitoin Verbal tidak terkaji (pasien
dengan penurunan kesadaran)
DO:
Obat tampak masuk melalui IV,
pasien tampak tidak ada alergi
14.50 Memberikan obat injeksi DS: prabowo
citikolin Verbal tidak terkaji (pasien
dengan penurunan kesadaran)
DO:
Obat tampak masuk melalui IV,
pasien tampak tidak ada alergi
14.55 Memberikan obat injeksi asam DS: prabowo
traneksamat Verbal tidak terkaji (pasien
dengan penurunan kesadaran)
DO:
Obat tampak masuk melalui IV,
pasien tampak tidak ada alergi
15.00 Memberikan obat perdipin DS: prabowo
melalui syringpump Verbal tidak terkaji (pasien
dengan penurunan kesadaran)
DO:
 obat tampak masuk, juka
tela akan mempengaruhi
tensinya rendah
 TD: 168/70 mmHg
 N: 100 x/menit
 RR: 14 x/menit
 S: 36,0 C
 Spo2: 93%

G. EVALUASI

No. Hari dan Diagnosa keperawatan Evaluasi TTD


dx tanggal
1. Rabu , 31 Perfusi Serebral tidak S: prabowo
Agustus 2022 efektif berhubungan Verbal tidak terkaji (pasien dengan
dengan cidera kepala penurunan kesadaran)
O:
Jam 13.30
 Pasien tampak mengalami penurunan
kesadaran post kecelakaan
 Keadaan umum: lemah
 Pasien tampak sesak napas
 Pola napas tampak abnormal
bradipnea
 RR: 10x/menit
 Spo2:93%
 TD: 182/90mmHg
 N: 152 x/menit
 S: 38,4 c
 MAP: 121 mmHg
 GCS: (6), E:1,V:2, M:3
 Kesadaran: soporocoma
 Pasien tampak tepasang ETT
 MSCT kepala: akut pada perdarahan
subdural kronis pada region
frontoparietal, tampak tanda
peningkatan tekanan intracranial
Jam 14.00
 Pasien tampak demam S:38,4 C
Jam 15.00
 Setelah dilakukan kompres dan
pemberian paracetamol S: 37,8 C
 Pasien op. kraniotomi jam 14.00
 TD: 184/116 mmHg
 N: 150 x/menit
 RR: 10 x/menit
 Spo2: 96%
A:masalah belum teratasi
P: lanjutkan intervensi
1. Identifikasi penyebab peningkatan
TIK
2. Monitor tanda/ gejala peningkatan
TIK (TD meningkat, bradikardi,
pola napas ireguler)
3. Monitor MAP
4. monitor status pernapasan
5. minimalkan stimulus dengan
menyediakan lingkungan yang
tenang
6. berikan posisi head up 30°
7. cegah terjadinya kejang
8. pertahankan suhu tubuh normal
9. berikan injeksi obat
Kamis , 1 S: prabowo
September Verbal tidak terkaji (pasien dengan
2022 penurunan kesadaran)
O:
Jam 13.30
 Keadaan umum: lemah
 RR: 12 x/menit
 Spo2:100%
 TD: 172/70 mmHg
 N: 115 x/menit
 S: 38,4 c
 MAP: 121 mmHg
 GCS: (4), E:1,V:1, M:2
 Kesadaran: SOPOR
 Pasien tampak tepasang ETT
 MSCT kepala: Tampak tanda
peningkatan tekanan intracranial ,
Kesuraman pada cavum timpani dan
mastoid air cell kanan -lebih dari dari
curiga perdarahan, Fraktur komplit
sebagian bentuk kominutif pada
prosesus transversus kanan vertebra
Jam 14.30
 TD: 172/70 mmHg
 N: 119 x/menit
 S: 36,0 C
 RR: 12 x/menit
 Spo2: 100%
Jam 15.30
 obat tampak masuk dan tidak boleh
telat karena mempengaruhi TD
 residu masih banyak 700 cc
 TD: 170/85 mmHg
 N: 120 x/menit
 RR: 12 x/menit
 S: 36,0 C
 Spo2: 100%
A: masalah belum teratasi
P: lanjutkan intervensi
1. Monitor tanda/ gejala peningkatan
TIK (TD meningkat, bradikardi,
pola napas ireguler)
2. Monitor MAP
3. monitor status pernapasan
4. monitor cairan drain subgagel
5. minimalkan stimulus dengan
menyediakan lingkungan yang
tenang
6. berikan posisi head up 30°
7. cegah terjadinya kejang
8. berikan obat injeksi
9. pertahankan suhu tubuh normal

Jumat , 2 S: prabowo
September Verbal tidak terkaji (pasien dengan
2022 penurunan kesadaran)
O:
Jam 14.00
 Keadaan umum: lemah
 RR: 14 x/menit
 Spo2:92%
 TD: 167/66 mmHg
 N: 110 x/menit
 S: 36,0 c
 MAP: 97 mmHg
 GCS: (4), E:1,V:1, M:2
 Kesadaran: semi-coma
 Pasien tampak tepasang ETT
 Post Op. kraniotomi terpasang drain
 Drain: 150 cc
 Tampak sudah tida ada tanda-tanda
peningkatan intrakranial
Jam 15.00
 TD: 167/67 mmHg
 N: 106 x/menit
 S: 36,0 C
 RR: 18 x/menit
 Spo2: 93%
Jam 15.30
 obat tampak masuk dan tidak boleh
telat karena mempengaruhi TD
 TD: 160/65 mmHg
 N: 100 x/menit
 RR: 14 x/menit
 S: 36,0 C
 Spo2: 93%
A: masalah teratasi
P: lanjutkan intervensi
1. Monitor tanda/ gejala peningkatan
TIK (TD meningkat, bradikardi,
pola napas ireguler)
2. Monitor MAP
3. monitor status pernapasan
4. minimalkan stimulus dengan
menyediakan lingkungan yang
tenang
5. berikan posisi berikan posisi head up
30°
6. cegah terjadinya kejang
7. pertahankan suhu tubuh normal
8. berikan terapi obat
BAB IV

APLIKASI JURNAL EVIDENCE BASED NURSING RISET

A. INDENTITAS KLIEN
1. Nama Klien : Tn. S
2. No. RM : C516971
3. Umur : 58 tahun
4. Jenis kelamin : Laki - laki
5. Agama : Islam
6. Tanggal Masuk : 27 Agustus 2022
7. Tanggal Pengkajian : 30 Agustus 2022
8. Diagnosa medis : CKB. Post Laminektomi (h 2)

B. DATA FOKUS
1. Data subjektif
Verbal tidak terkaji (pasien dengan penurunan kesadaran)
2. Data objektif
 Pasien tampak mengalami penurunan kesadaran post kecelakaan
 TD: 182/90 mmHg
 N: 152 x/menit
 Spo2: 93%
 S: 38,4 c
 MAP: 121 mmHg
 GCS: (5), E:1,V:ETT, M:2
 Kesadaran: sopor
 MSCT kepala:
Tampak tanda peningkatan tekanan intracranial , Kesuraman pada cavum
timpani dan mastoid air cell kanan -lebih dari dari curiga perdarahan, Fraktur
komplit sebagian bentuk kominutif pada prosesus transversus kanan vertebra
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN JURNAL
EVIDENCE BASED NURSING RISET YANG DIPUBLIKASIKAN
Perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan cedera kepala
D. EVIDENCE BASED NURSING PRACTICE YANG DITERAPKAN PADA
KLIEN
Pengaruh Posisi Head-up 30° terhadap Perubahan Tekanan Intracranial pada Pasien
Cedera Kepala.

E. ANALISA SINTESA JUSTRIFIKASI

Cidera Kepala

Kecelakaan/ trauma tumpul

Trauma pada jaringan lunak otak

Robekan vena-vena jembatan yang terletak antara


kortek cerebri dan sinusvenous

Rusaknya jaringan atau pembuluh darah

Subdural haemoregik

Menekan jaringan
sekitar

Peningkatan tekanan Manajemen peningkatan TIK: posisi


intrakranial head up 30°

Perfusi serebral tidak menurunkan tekanan darah, perubahan


efektif komplians dada, perubahan ventilasi,
meningkatkan aliran vena jugularis yang
tak berkatup sehingga mampu
menurunkan volume darah vena sentral
yang menurunkan tekanan intrakraninal
sehingga nyeri kepala, peningkatan
tekanan darah, mual muntah dan
perubahan perilaku pada pasien cedera
kepala dapat diatasi.
F. LANDASAN TEORI TERKAIT PENERAPAN EVIDENCE BASED NURSING
PRACTICE
Cedera kepala termasuk gangguan pada otak yang bukan diakibatkan oleh
suatu proses degeneratif ataupun kongenital, melainkan suatu kekuatan mekanis dari
luar tubuh yang bisa saja menyebabkan kelainan pada aspek kognitif, fisik, dan fungsi
psikososial seseorang secara sementara ataupun permanen dan berasosiasi dengan
hilangnya ataupun terganggunya status kesadaran seseorang. Cedera kepala dapat
disebut juga dengan head injury ataupun traumatic brain injury (Dawodu, 2016;
Manley dkk , 2016). Penilaian awal keparahan cedera biasanya dilakukan melalui
penggunaan Glasgow Coma Scale (GCS), yang merupakan skala lima belas poin
berdasarkan pada tiga ukuran bruto fungsi sistem saraf untuk memberikan tingkat
koma yang cepat dan umum.
Salah satu tanda gejala cidera kepala yang muncul adalah pada awal tekanan
darah dan denyut nadi relative stabil, ada tahap selanjutnya karena penekanan ke
batang otak terjadi perubahan tekanan darah. Penekanan ke batang otak menjadi
siskemik di pusat vasomotorik di batang otak, dengan meningginya tekanan darah,
curah jantung pun bertambah dengan meningkatnya kegiatan pompa jantung.
penurunan kesadaran dan terjadi perubahan TTV. penurunan kesadaran akibat
perdarahan pada kepala disertai dengan kekurangan suplai oksigen, peningkatan
tekanan intrakranial ditandai dengan nyeri kepala, tekanan darah meningkat ,mual
muntah dan perubahan perilaku.
Peningkatan tekanan intra kranial juga mengakibatkan penurunan kesadaran
maka dari itu memberikan elevasi kepala 30º dapat menurunkan tekanan intra kranial.
Penatalaksanaan pemberian elevasi kepala 30º pada pasien cedera kepala sedang
dengan mengatur bed pasien pada bagian kepala menjadi elevasi kepala 30º. Indikasi
pemberian elevasi kepala 30º disebabkan oleh terjadinya peningkatan tekanan intra
kranial ditandai dengan nyeri kepala akibat trauma pada bagian otak, tekanan darah
yang meningkat, mual muntah, perubahan perilaku. Elevasi kepala 30º akan
meningkatkan aliran vena jugularis yang tak berkatup sehingga mampu menurunkan
volume darah vena sentral yang menurunkan tekanan intrakraninal sehingga nyeri
kepala, peningkatan tekanan darah, mual muntah dan perubahan perilaku pada pasien
cedera kepala sedang dapat teratasi.

BAB V
PEMBAHASAN

A. JUSTIFIKASI PEMILIHAN TINDAKAN BERDASARKAN EVIDENCE BASED


NURSING PRACTICE
Ada pengaruh yang signifikan dari posisi head up 30° terhadap perubahan tekanan
intrakranial, Penanganan cedera kepala dengan pengaturan posisi head-up 30° dilakukan
untuk meningkatkan aliran balik vena dan menurunkan tekanan intracranial,
memudahkan drainase aliran darah balik dari intrakranial sehingga dapat menurunkan
tekanan intracranial ditandai dengan TD turun, pola napas regular, MAP normal (70-
100), nadi normal (60-100). Elevasi head up 30° kepala dapat menurunkan tekanan intra
kranial melalui beberapa cara, yaitu menurunkan tekanan darah, perubahan komplians
dada, perubahan ventilasi, meningkatkan aliran vena melalui vena jugularis yang tak
berkatup, sehingga menurunkan volume darah vena sentral yang menurunkan tekanan
intra kranial. Perpindahan CCS dari kompartemen intra kranial ke rongga sub araknoid
spinal 1 dapat menurunkan tekanan intra kranial.
Tn. S dengan penurunan kesadaran, hasil MSCT menunjukan bahwa pasien ada tanda
peningkatan tekanan intracranial yang ditandai dengan adanya tensi yang tinggi, pola
napas abnormal, MAP tidak normal. Pemilihan tindakan terapi yaitu posisi head up 30°
pada Tn. S. Memberikan posisi head up 30° merupakan salah satu tindakan mandiri bagi
perawat serta tidak memiliki efek samping yang merugikan. Disamping itu, tindakan ini
merupakan tindakan yang efektif, manfaat melakukan posisi head up 30° tersebut untuk
mengamankan pasien dalam pemenuhan oksigenasi, untuk menghindari hipoksia pada
pasien, dan tekanan intrakranial dapat stabil dalam kisaran normal.
B. MEKANISME PENERAPAN EVIDENCE BASED NURSING PRACTICE PADA
KASUS
Sebelum pemberian tindakan posisi head up 30°, pada tanggal 31 Agustus 2022 jam
12.00, dilakukan pengkajian pada klien Tn. S dimana klien mengalami penurunan
kesadaran . Pemberian tindakan posisi head up 30° dilakukan dengan cara dengan
mengatur bed pasien pada bagian kepala menjadi elevasi kepala 30º. Pemberian posisi
head up 30° berpengaruh terhadap perubahan tekanan intracranial. Masalah keperawatan
yang muncul dengan cedera kepala adalah ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
apabila tidak di tangani dengan segera akan meningkatkan tekanan intrakranial.
Penanganan utama pada pasien cidera kepala dengan memposisikan pasien head up 30°
C.HASIL YANG DICAPAI
Pemberian tindakan posisi head up 30° pada pasien selama 3 hari berturut-turut
didapatkan hasil bahwa posisi head up 30° dapat mempengaruhi perubahan intracranial.
pasien tampak ada perubahan TTV dan penurunan muntah, hal ini menunjukan bahwa
responden yang dilakukan posisi head up 30° secara berturut-turut dapat merubah
tekanan intracranial
Hari Tekanan darah Nadi RR MAP
Kamis, 31 agustus 182/90 mmHg 152 x/menit 10 x/menit 121 mmHg
2022
Jumat, 1 172/70 mmHg 115 x/menit 12 x/menit 104 mmHg
September 2022
Sabtu, 2 september 167/66 mmHg 110 x/menit 14 x/menit 97 mmHg
2022

D.KELEBIHAN DAN KEKURANGAN YANG DI TEMUKAN


Kelebihan dari pemberian head up 30° dapat menurunkan tekanan intra kranial
pada pasien cidera kepala. Posisi ini dapat diterapkan dengan mudah oleh pasien
dirumah, caranya sangat mudah dan dapat dilakukan secara mandiri oleh pasien, serta
dapat mengurangi efek samping obat yang berbahaya dan kecanduan obat. Sedangkan
kekurangannya adalah pemberian hanya harus lebih rutin dan fokus agar hati menjadi
tenang, tentram dan nyaman.
BAB VI
PENUTUP

Berdasarkan hasil penulisan diperoleh kesimpulan sebagai berikut :


1. Penurunan kesadaran akibat perdarahan pada kepala disertai dengan kekurangan suplai
oksigen, peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan nyeri kepala, tekanan darah
meningkat ,mual muntah dan perubahan perilaku. Peningkatan tekanan intra kranial juga
mengakibatkan penurunan kesadaran maka dari itu memberikan elevasi kepala 30º dapat
menurunkan tekanan intra kranial.
2. Berdasarkan hasil pengkajian pada Tn. S, diagnosa utama keperawatan yang muncul
adalah Perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan cedera kepala, Intervensi yang
dilakukan berdasarkan evidence based practice nursing adalah posisi head up 30°.
3. Evaluasi hasil aplikasi evidence based practice nursing adalah terdapat pengaruh posisi
head up 30° pada Tn. S dengan kriteria hasil perubahan TTV dan muntah berkurang Hasil
tersebut menunjukkan bahwa tindakan posisi head up 30° memiliki pengaruh yang
signifikan untuk perubahan tekanan intracranial pada pasien cidera kepala sesuai dengan
jurnal evidence based practice nursing.
DAFTAR PUSTAKA

Dawodu ST. (2016). Traumatic brain injury-definition and pathophysiology.


www.emedicine.medscape.com.Desember 2021
Fauzi, A. Al. (2019). Mati Otak Diagnosi dan Aplikasi Klinis. indeks.
Gabriella,Gabby. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Ny. A dengan Cidera Kepala Ringan di
ruang Ambun Suri RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukit Tinggi. Diakses diakses pada
tanggal 17 Maret 2022. http://repo.stikesperintis.ac.id/831/1/10%20GEBI
%20GABRIELA.pdf.
Ginting, L. R. B., Sitepu, K., & Ginting, R. A. (2020). Pengaruh Pemberian Oksigen Dan
Elevasi Kepalan 30o Terhadap Tingkat Kesadaran Pada Pasien Cedera Kepala.
Jurnal Keperawatan Dan Fisioterapi (JKF), 2(2).
https://doi.org/https://doi.org/10.35451/jkf.v2i2.319
Joaquim, DM. (2019) Asuhan Keperawatan pada Tn. P dengan Cidera Kepala Sedang di
ruang IGD RS Dr. W.Z. Johannes Kupang diakses pada tanggal 17 Maret 2022.
http://repository.poltekeskupang.ac.id/1919/1/KARYA%20TULIS%20ILMIAH.pdf
SDKI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
SIKI, DPP & PPNI.(2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: definisi dan indikator
Smeltzer & Bare, (2013). Buku Ajaran Medikal Bedah Bruner &Sudart Folt, 2. Jakarta: EGC.
Suriya, M., & Zuriati. (2019). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Pada Sistem
Muskuloskeletal Aplikasi NANDA NIC & NOC. Pustaka Galeri Mandiri.
Taufiq, S. M. ., Saragih, S. G. ., & Natalia, D. (2019). Hubungan antara Pediatric Trauma
Score dan Mortalitas pada Pasien Cedera Kepala. 5, 882–891.

Anda mungkin juga menyukai