Disusun oleh:
Setyo Prabowo
G3A021229
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala adalah trauma yang diakibatkan oleh benturan fisik terhadap kepala
secara direct ataupun indirect dan tumpul ataupun tajam. Trauma kepala dapat
menyebabkan disfungsi neuorologis yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan fisik,
gangguan kognitif dan gangguan psikososial yang dapat bersifat temporer/sementara
maupun permanan/menetap (Chris dan Riwanti, 2014; Dawodo, 2015 dalam Dadang,
2016). Cedera kepala dapat menyebabkan terjadi cedera otak melalui dua acara, yaitu
akibat langsung dari trauma pada fungsi otak dan akibat lanjutan yang merupakan respon
sel-sel otak terhadap trauma.
Prevalensi angka kejadian cedera otak traumatika di Negara berkembang seperti
Amerika Serikat terjadi peningkatan sebesar 1,7 juta penduduk / tahun, dari peningkatan
jumlah tersebut sebanyak lebih kurang 50.000 penduduk / tahun mengalami kematian, dan
sebanyak 5 juta penduduk / tahun mengalami ketidakmampuan / disabilitas akibat cedera
kepala. Pada umumnya Cedera kepala lebih identik mengenai usia muda (15-19 tahun).
Angka kejadian cidera kepala pada laki-laki 2 kali lebih sering terjadi dibandingkan pada
anak perempuan.Prevalensi cedera kepala di Negara Amerika Serikat adalah akibat
terjatuh 35,2%, kecelakaan kendaraan bermotor 34,1%, perkelahian 10%, dan penyebab
lain yang tidak diketahui 21% (Iwan A et al, 2015).
Cedera kepala dapat mengakibatkan berkurangnya sirkulasi pada otak yang dapat
mengakibatkan terjadinya iskemia sel-sel otak. Saat terjadi iskemia pada sel-sel otak maka
akan mengakibatkan kerusakan pada neuron otak yang tidak dapat diperbaiki lagi (Price
dan Wilson, 2005). Tekanan intracranial akan mempengaruhu perfusi dari otak. Semakin
besar tekanan intracranial maka kemampuan perfusi oksigen dan nutrisi pada sel-sel otak
akan semankin mengecil. Hal ini dapat menyebabkan sel otak mengalami nekrosis
sehingga memperburuk prognosis dari pasien cedera kepala. (Giles Critchley and Anjum
Memon, 2009). Kondisi klinis yang harus dinilai pada peningkatan TIK diantaranya yakni
pantau tingkat kesadaran (GCS) dan vital sing saat itu. Pantau tekanan intrakranial
digunakan untuk mencegah terjadinya peningkatan Intracranial yang akan menekan
seluruh otak, batang otak, dan system pembuluh darah yang akan menyebabkan mati otak
setelah fungsi batang otak benar-benar tidak ada (fauzi, 2019)
Cedera kepala dapat menyebabkan perubahan kesadaran yang dapat dinilai dengan
GCS. Menurut asosiasi cedera otak di Amerika, cedera kepala berdasarkan GCS dibagi
menjadi ringan/mild (GCS = 13-15), sedang/moderate (GCS = 9-12), dan berat/severe
(GCS≤ 8). Pada Advanced Trauma Life Support, klasifikasi tersebut di modifikasi lagi
sehingga GCS 13 dikategorikan sebagai cedera kepala sedang. (Savitsky et al.,2016).
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
pengelolaan asuhan keperawatan dan aplikasi evidence based practice nursing pengaruh
posisi head-up 30° terhadap perubahan tekanan intracranial pada pasien cedera kepala di
ruang ICU non isolasi RSUP dr Kariadi Semarang.
.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan adalah diharapkan penulis mampu :
a. Mendeskripsikan konsep Cidera Kepala
b. Mendeskripsikan asuhan keperawatan pada pasien dengan Cidera Kepala
c. Melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan Cidera Kepala
d. Mahasiswa mampu menerapkan evidence based practice nursing tindakan posisi
head-up 30° terhadap perubahan tekanan intracranial pada pasien cedera kepala
C. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari enam bab yang disusun dengan sistematika penulisan
sebagai berikut :
BAB III: Resume asuhan keperawatan pada Tn. N dengan Cidera Kepala
BAB IV: Aplikasi jurnal evidence based practice nursing riset pada pasien.
BAB V: Pembahasan terkait hasil pengelolaan kasus dan aplikasi evidence based practice
nursing terhadap konsep teori.
KONSEP DASAR
A. KONSEP PENYAKIT
1. Pengertian
Cedera kepala adalah terjadinya gangguan pada bagian otak diakibatkan oleh
kekuatan atau benturan dari luar tubuh yang sifatnya lebih keras. Cedera kepala
dapat disebut juga dengan head injury ataupun traumatic brain injury (Dawodu,
2016; Manley et al, 2016).
Cidera kepala (terbuka dan tertutup) terdiri dari fraktur tengkorak cranial
serebri, contusio (memar) dan perdarahan serebral (subarakhanial), subdural, epidural,
intraserebral (batang otak). Trauma primer terjadi karena benturan langsung atau tidak
langsung (akselerasi atau deselarasi otak). (Hudak,dkk. 2013). Cedera kepala dapat
menyebabkan luka dibagian kepala, luka pada kulit di bagian kepala, ruptur meninges
pada otak, serta kerusakan jaringan otak dan dapat mengakibatkan gangguan fungsi
neurologis (Taufiq et al., 2019).
2. Etiologi
Penyebab cedera kepala antara lain :
1) Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2) Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3) Cedera akibat kekerasan.
4) Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi). Kerusakannya
menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk : cidera akson, kerusakan
otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil yang multiple
pada otak koma karena terjadi cedera menyebar pada hemisfer cerebral,
batang otak atau keduannya. Akibat trauma tergantung pada
Kekuatan benturan : parahnya kerusakan
Akselerasi dan dekelerasi
Cup dan kontra cup:
Cup: kerusakan pada daerah dekat yang terbentur
Kontra cup: kerusakan cedera berlawanan pada sisi desakan benturan.
5) Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat
sifatnya.
6) Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam. Sehingga
menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan
lokal meliputi constusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak
sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
3. Klasifikasi cidera kepala
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang
muncul setelah cedera kepala. Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek,
secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan:
1) Mekanisme cedera kepala: Cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan
cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan mobil/motor, jatuh atau pukulan benda tumpul.Cedera kepala
tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan.Adanya penetrasi selaput
durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau
cedera tumpul.
2) Beratnya cedera : Glascow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara
kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera kepala.
a. Cedera kepala ringan (CKR): GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan
kesadaran (pingsan) kurang dari 30 menit atau mengalami amnesia retrograde.
b. Cedera kepala sedang (CKS): GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau
amnesia retrograde lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
c. Cedera kepala berat (CKB): GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan
kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
3) Morfologi cedera
Secara morfologi, kejadian cedera kepala dibagi menjadi:
1. Fraktur cranium: Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar
tengkorak, dan dapat terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka
atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya merupakan pemeriksaan
CT-Scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis
fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain : ekimosis
periorbital (Raccoon eye sign), ekimosis retro aurikuler (Battle`sign),
kebocoran cairan serebrosspinal (CSS) (rhonorrea, ottorhea) dan Parese
nervus facialis ( N VII )
2. Lesi intracranial: Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus,
walaupun kedua jenis lesi sering terjadi bersamaan. Cedera otak difus
umumnya menunjukkan gambaran CT-Scan yang normal, namun keadaan
klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan
koma. Berdasarkan pada dalamnya koma dan lamanya koma, maka cedera
otak difus dikelompokkan menurut kontusio ringan, kontusio klasik, dan
Cedera Aksonal Difus (CAD).
a. Perdarahan epidural : Hematoma epidural terletak diantara dura dan
calvaria. Umumnya terjadi pada regon temporal atau temporopariental
akibat pecahnya arteri meningea media (Sudiharto, 1998). Manifestasi
klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala
(interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan
kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral yang diikuti
oleh timbulnya gejala neurologi yang secara progresif berupa pupil
anisokor, hemiparese, papil edema dan gejala herniasi transcentorial.
Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal dari
sinus lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan
kesadaran, nyeri kepala, muntah ataksia serebral dan paresis nervus
kranialis. Ciri perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai
lensa cembung
b. Perdarahan subdural: Perdarahan subdural lebih sering terjadi dari pada
perdarahan epidural (kira-kira 30% dari cedera kepala berat). Perdarahan
ini sering terjadi akibat robeknya vena- vena jembatan yang terletak
antara kortek cerebri dan sinusvenous tempat vena tadi bermuara, namun
dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer
otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh
lebih buruk dari pada perdarahan epidural.
c. Kontusio dan perdarahan intraserebral: Kontusio cerebral sangat sering
terjadi di frontal dan lobus temporal, walau terjadi juga pada setiap
bagian otak, termasuk batang otak dan cerebellum. Kontusio cerebri
dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari atau jam mengalami evolusi
membentuk perdarahan intracerebral.
d. Cedera difus: Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak
akibat akselerasi dan deselerasi. Cedera ini merupakan bentuk yang lebih
sering terjadi pada cedera kepala
4. Manifestasi klinis
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.
1) Cedera kepala ringan
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah
cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau
lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2) Cedera kepala sedang
b. Pemeriksaan radiologis
1) Foto Rontgen Polos: Pada cedera kepala perlu dibuat foto rontgen
kepala dan kolumna vertebralis servikalis. Film diletakkan pada sisi
lesi akibat benturan. Bila lesi terdapat di daerah oksipital, buatkan foto
anterior- posterior. Bila lesi terdapat di daerah frontal buatkan foto
posterior- anterior. Bila lesi terdapat di daerah temporal, pariental atau
frontal lateral kiri, film diletakkan pada sisi kiri dan dibuat foto dari
kanan ke kiri. Kalau diduga ada fraktur basis kranii, maka dibuatkan
foto basis kranii dengan kepala menggantung dan sinar rontgen terarah
tegak lurus pada garis antar angulus mandibularis (tulang rahang
bawah).
Foto kolumna vertebralis servikalis dibuat anterior-posterior
dan lateral untuk melihat adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto polos
tengkorak mungkin dapat ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi.
Tekanan intrakranial yang tinggi mungkin menimbulkan impressions
digitae.
2) Computed Temografik Scan (CT-scan): Computed Temografik Scan
(CT-Scan) diciptakan oleh Hounsfield dan Ambrose pada tahun 1972.
Dengan pemeriksaan ini kita dapat melihat ke dalam rongga tengkorak.
Potongan-potongan melintang tengkorak bersama isinya tergambar
dalam foto dengan jelas. Computed Temografik Scan (CT-Scan)
kepala merupakan standard baku untuk mendeteksi perdarahan
intrakranial. Semua pasien dengan glasglow coma scale (GCS) <12
sebaiknya menjalankan pemeriksaan Computed Temografik Scan (CT-
Scan), sedangkan pada pasien dengan glasglow coma scale (GCS) >12
Computed Temografik Scan (CT-Scan) dilakukan hanya dengan
indikasi tertentu seperti: nyeri kepala hebat, adanya tanda-tanda fraktur
basis kranii, adanya riwayat cedera yang berat, muntah lebih dari satu
kali, penderita lansia (> 65 tahun) dengan penurunan kesadaran atau
anamnesia, kejang, riwayat gangguan vaskuler atau menggunakan
obat-obat anti koagulen, rasa baal pada tubuh, gangguan keseimbangan
atau berjalan, gangguan orientasi, berbicara, membaca, dan menulis.
Computed Temografik Scan (CT-Scan) adalah suatu alat foto yang
membuat foto suatu objek dalam sudut 360 derajat melalui bidang
datar dalam jumlah yang tidak terbatas. Bayangan foto akan
direkonstruksi oleh komputer sehingga objek foto akan tampak secara
menyeluruh (luar dan dalam). Foto Computed Temografik Scan (CT-
Scan) akan tampak sebagai penampang-penampang melintang dari
objeknya. Dengan Computed Temografik Scan (CT- Scan) isi kepala
secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada trauma kapitis,
fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk
maupun ukurannya. Indikasi pemeriksaan Computed Temografik Scan
(CT-scan) pada kasus trauma kepala adalah seperti berikut :
o Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan
berat
o Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak
o Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
o Adanya deficit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran
o Sakit kepala yang berat
o Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial atau herniasi
jaringan otak
o Mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral
Pemeriksaan Computed Temografik Scan (CT-scan) kepala masih
merupakan gold standard bagi setiap pasien dengan cedera kepala.
Berdasarkan gambaran Computed Temografik Scan (CT- scan) kepala
dapat diketahui adanya gambaran abnormal yang sering menyertai
pasien cedera kepala (French, 1987). Jika tidak ada Computed
Temografik Scan (CT-scan) kepala pemeriksaan penunjang lainnya
adalah X-ray foto kepala untuk melihat adanya patah tulang tengkorak
atau wajah (Willmore, 2002).
3) Magnetic Resonance Imaging (MRI): MRI adalah teknik pencitraan
yang lebih sensitif dibandingkan dengan Computed Temografik Scan
(CT-Scan). Kelainan yang tidak tampak pada Computed Temografik
Scan (CT-Scan) dapat dilihat dengan Magnetic Resonance Imaging
(MRI). Namun, dibutuhkan waktu pemeriksaan lebih lama
dibandingkan dengan Computed Temografik Scan (CT-Scan) sehingga
tidak sesuai dengan situasi gawat darurat.
4) Electroencephalogram (EEG): Peran yang paling berguna dari
Electroencephalogram (EEG) pada cedera kepala mungkin untu
membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat
melihat perkembangan gelombang yang patologis. Dalam sebuah studi
landmark pemantauan Electroencephalogram (EEG) terus menerus
pada pasien rawat inap dengan cedera otak traumatik. Kejang konfulsif
dan non konfulsif tetap terlihat dalam 22%. Pada tahun 2012 sebuah
studi melaporkan bahwa perlambatan yang parah pada pemantauan
Electroencephalogram (EEG) terus menerus berhubungan dengan
gelombang delta atau pola penekanan melonjak dikaitkan dengan hasil
yang buruk pada bulan ketiga dan keenam pada pasien dengan cedera
otak traumatik.
7. Komplikasi
1) Edema Pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin
berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan
dewasa. Edema paru terjadi akibat reflex cushing/perlindungan yang berusaha
mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan
intrakranial meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk memcoba
mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi
menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah
semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus dipertahankan
tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol
100-110 mmHg, pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh
secara umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan
permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan
ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan
menimbulkan peningkatan tekanan intracranial (TIK) lebih lanjut.
2) Peningkatan tekanan intracranial (TIK)
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg, dan
herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang
mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi serebral. Yang merupakan
komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal
jantung serta kematian.
3) Kebocoran cairan serebrospinal
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek
meninges, sehingga cairan serebrosspinal (CSS) akan keluar. Area drainase
tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di
bawah hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi
hidung atau telinga.
4) Kejang pasca trauma
Kejang yang terjadi setelah masa trauma yang dialami pasien merupakan salah
satu komplikasi serius. Insidensinya sebanyak 10%, terjadi di awal cedera 4-
25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9- 42% (setelah 7 hari trauma).
Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural,
parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, glasglow coma scale
(GCS) <10.
5) Demam dan menggigil
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolisme dan
memperburuk outcome. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek
sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuromuskular paralisis.
Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.
6) Hidrosefalus
Berdasarkan lokasinya, penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan
non komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera
kepala dengan obstruksi, kondisi ini terjadi akibat penyumbatan di sistem
ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala,
pupil odema, demensia, ataksia dan gangguan miksi.
7) Spastisitas
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan
gerakan. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa penanganan
ditujukan pada : pembatasan fungsi gerak, nyeri, pencegahan kontraktur, dan
bantuan dalam memposisikan diri. Terapi primer dengan koreksi posisi dan
latihan range of motion (ROM), terapi sekunder dengan splinting, casting, dan
terapi farmakologi dengan dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum dan
benzodiazepin.
8) Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam
bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga
sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi
sentral.Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan
antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron, stimulant,
benzodiazepine dan terapi modifikasi lingkungan.
9) Sindrom post kontusio
Sindroma Post Kontusio merupakan komplek gejala yang berhubungan
dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama
dan 15% pada tahun pertama: Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur,
vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya.
Kognitif: perhatian, konsentrasi, memori dan Afektif: iritabel, cemas, depresi,
emosi labil.
8. Pathways’s
B. KONSEP ASUHAN KEGAWATDARURATAN
1. Pengkajian Primer ( Primery Survey A, B, C, D, E)
a. Airway: kepatenan jalan napas
b. Breathing: pola napas
c. Circulation: data pertukaran, status cairan, fungsi jantung
d. Disability: fungsi neurology, fungsi sensory motorik
2. Pengkajian sekunder (pemeriksaan fisik, laboraturium dan penunjang lain
Pemeriksaan Fisik:
a. Sistem respirasi: Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif
(kemungkinan karena aspirasi).
b. Kardiovaskuler: Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh peningkatan
tekanan intracranial (TIK).
c. Kemampuan komunikasi: Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau
afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
d. Psikososial: Data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien
dari keluarga.
e. Aktivitas/istirahat: Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan, perubahan
kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese, goyah dalam berjalan (ataksia),
cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot.
f. Sirkulasi: Tekanan darah normal atau berubah (hiper/normotensi), perubahan
frekuensi jantung nadi bradikardi, takhikardi dan aritmia.
g. Integritas Ego: Perubahan tingkah laku/kepribadian, mudah tersinggung,
delirium, agitasi, cemas, bingung, impulsive dan depresi.
h. Eliminasi: buang air besar (BAB) atau buang air kecil (BAK) mengalami
inkontinensia/disfungsi.
i. Makanan/cairan: Mual, muntah, perubahan selera makan, muntah (mungkin
proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).
j. Neurosensori: kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan
pendengaran, perubahan penglihatan, diplopia, gangguan
pengecapan/pembauan, perubahan kesadaran, koma. Perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil (respon
terhadap cahaya), kehilangan penginderaan, pengecapan dan pembauan serta
pendengaran. Postur (dekortisasi, desebrasi), kejang. Sensitive terhadap
sentuhan / gerakan.
k. Nyeri/Keyamanan: sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda,
wajah menyeringa, merintih, respon menarik pada rangsangnyeri yang hebat,
gelisah
l. Keamanan: Trauma/injuri kecelakaan, fraktur dislokasi, gangguan
penglihatan, gangguan range of motion (ROM), tonus otot hilang kekuatan
paralysis, demam, perubahan regulasi temperatur tubuh.
m. Penyuluhan/Pembelajaran: Riwayat penggunaan alcohol/obat-obatan terlarang
3. Diagnose keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernapasan,
gangguan neurologis
2. perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan cidera kepala
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan sensori persepsi
4. Intervensi
minimalkan stimulus
dengan menyediakan
lingkungan yang tenang
berikan posisi semi
fowler
hindari maneuver
valsava
cegah terjadinya kejang
kolaborasi
A. PENGKAJIAN FOKUS
B. Identitas Pasien
Nama Klien : Tn. S
No. RM : C516971
Umur : 58 tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 27 Agustus 2022
Tanggal Pengkajian : 30 Agustus 2022
Diagnosa medis : CKB. Post Laminektomi
1. Keluhan Utama
pasien tampak mengalami penurunan kesadaran
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien terjatuh saat mengendarai motor dan menabrak dinding tepi jalan di dekat
rumah. kepala membentur tembok. Saat ditemukan pasien tidak sadar (+),Pasien
dibawa ke IGD
30/8/2022
Pasien dengan CKB, tetraplegi spastik -ec fraktur cervical C4 - Spondilolisthesis C3-
4. Post operasi laminectomy + fusi posterior. ku lemah, kesadaran soporcoma,
respirasi terpasang . Terpasang infus cvc RL 83 ml/jam. Terpasang DC (25/8/22).
tunda miring kanan dan kiri. posisi baring lurus. TD: 182/66 mmHg, N: 152 x/menit
Spo2: 93%, S: 38,4 c, MAP: 104 mmHg, GCS: 6, E:1, M:4 V:ETT
3. Inisial assessment
a. Airways (Jalan Napas) : paten dan terpasang OPA, terpasang ETT
b. Breathing (Pernapasan): pasien tampak sesak tanpa aktivitas, menggunakan otot
bantu napas spo2: 93%, irama tidak teratur dengan inspirasi lebih lama, ronchi
(+), bunyi napas snoring, terpasang ETT support VM mode PSIMV , PEEP 5,
PIP 14, PS 16, Triger 1 FiO2 40%, sensitivity 3, RR setting 12, trigger 3. Respon
RR 16 x/menit,
c. Curculation (Sirkulasi): irama nadi tidak teratur, denyut nadi kuat:152, TD:
182/63, ektremitas: hangat, warna kulit: kemerahan, CRT<2 detik, tidak ada
edema, eliminasi dan cairan BAK: sedikit 100 cc dengan warna kuning jernih.
Tidak BAB, abdomen: datar, turgor: baik, mukosa: lembab, kulit: terdapat
luka/jejas dibagian lutut kaki dan bahu, suhu: 38,4, lidah tidak kotor. Nyeri tidak
terkaji
d. Dissability: sopor GCS: 6, E:1, M:4 V:ETT, pupil: unisokor, tidak ada reaksi
terhadap cahaya, tidak ada lateralisasi motorik
4. Data Penunjang
a. Laboratorium: 27 Agustus 2022
kalsium glukonat inj 10% (1000 mg/10 mL) Ampul Tiap 12 Jam - I.V)
5. Hasil Radiologi
X FOTO CERVICAL AP/LAT 26/8/22
KESAN :
Spondylolisthesis posterior corpus vertebra C.4 (Grade 1)
Fraktur komplit pada corpus vertebra C.4 dan prosesus spinosus C.4,C.5
Osifikasi pada ligament longitudinal anterior vertebra C.2-6 -lebih dari dari masih
mungkin gambaran ankylosing spondylitis
Straight vertebra cervicalis
C. Analisa Data
G. EVALUASI
Jumat , 2 S: prabowo
September Verbal tidak terkaji (pasien dengan
2022 penurunan kesadaran)
O:
Jam 14.00
Keadaan umum: lemah
RR: 14 x/menit
Spo2:92%
TD: 167/66 mmHg
N: 110 x/menit
S: 36,0 c
MAP: 97 mmHg
GCS: (4), E:1,V:1, M:2
Kesadaran: semi-coma
Pasien tampak tepasang ETT
Post Op. kraniotomi terpasang drain
Drain: 150 cc
Tampak sudah tida ada tanda-tanda
peningkatan intrakranial
Jam 15.00
TD: 167/67 mmHg
N: 106 x/menit
S: 36,0 C
RR: 18 x/menit
Spo2: 93%
Jam 15.30
obat tampak masuk dan tidak boleh
telat karena mempengaruhi TD
TD: 160/65 mmHg
N: 100 x/menit
RR: 14 x/menit
S: 36,0 C
Spo2: 93%
A: masalah teratasi
P: lanjutkan intervensi
1. Monitor tanda/ gejala peningkatan
TIK (TD meningkat, bradikardi,
pola napas ireguler)
2. Monitor MAP
3. monitor status pernapasan
4. minimalkan stimulus dengan
menyediakan lingkungan yang
tenang
5. berikan posisi berikan posisi head up
30°
6. cegah terjadinya kejang
7. pertahankan suhu tubuh normal
8. berikan terapi obat
BAB IV
A. INDENTITAS KLIEN
1. Nama Klien : Tn. S
2. No. RM : C516971
3. Umur : 58 tahun
4. Jenis kelamin : Laki - laki
5. Agama : Islam
6. Tanggal Masuk : 27 Agustus 2022
7. Tanggal Pengkajian : 30 Agustus 2022
8. Diagnosa medis : CKB. Post Laminektomi (h 2)
B. DATA FOKUS
1. Data subjektif
Verbal tidak terkaji (pasien dengan penurunan kesadaran)
2. Data objektif
Pasien tampak mengalami penurunan kesadaran post kecelakaan
TD: 182/90 mmHg
N: 152 x/menit
Spo2: 93%
S: 38,4 c
MAP: 121 mmHg
GCS: (5), E:1,V:ETT, M:2
Kesadaran: sopor
MSCT kepala:
Tampak tanda peningkatan tekanan intracranial , Kesuraman pada cavum
timpani dan mastoid air cell kanan -lebih dari dari curiga perdarahan, Fraktur
komplit sebagian bentuk kominutif pada prosesus transversus kanan vertebra
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN JURNAL
EVIDENCE BASED NURSING RISET YANG DIPUBLIKASIKAN
Perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan cedera kepala
D. EVIDENCE BASED NURSING PRACTICE YANG DITERAPKAN PADA
KLIEN
Pengaruh Posisi Head-up 30° terhadap Perubahan Tekanan Intracranial pada Pasien
Cedera Kepala.
Cidera Kepala
Subdural haemoregik
Menekan jaringan
sekitar
BAB V
PEMBAHASAN