Oleh :
DINDA NOOR FAIZZAH
NIM : 23101032
Nama Mahasiswa :
Ruang Praktik :
Lahan Praktik :
Lumajang, 2023
(............................................................) (.............................................)
NIP/NIK. NIP/NIK.
LAPORAN PENDAHULUAN
1.1 Pengertian
Cedera kepala merupakan bentuk trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen
(Riskesdas, 2013).
Brain Injury Assosiation of America menyebutkan bahwa cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan
oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Snell,
2010).
Menurut Hudak dan Gallo (2010) cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari
fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak dan dapat menyebabkan adanya deformitas berupa
penyimpangan bentuk atau garis pada tulang tengkorak.
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi
normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis
terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa karena hemoragik,
serta edema serebral di sekitar jaringan otak. (Batticaca Fransisca, 2017).
Beberapa pengertian diatas diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala adalah
trauma pada kulit kepala, temgkorak dan otak yang terjadi baik secara langsung ataupun
tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran
bahkan dapat menyebabkan kematian.
1.2 Etiologi
a) Trauma tajam adalah trauma yang disebabkan oleh benda tajam yang dapat
mengakibatkan cedera setempat dan menimbulkan cedera local. Kerusakan local
meliputi Contosio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang
disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b) Trauma tumpul merupakan jenis trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera
menyeluruh menyebabkan kerusakan secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk yaitu
cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, multiple pada
otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer, cerebral, batang otak atau
keduanya (Wijaya, 2013).
1.3 Klasifikasi
Menurut dewantoro, dkk (2007) cedera kepala diklasifikasikan menjadi tiga kelompok
berdasarkan nilai GCS (Glasglow Coma Scale) yang dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Cedera kepala minor/ringan
Dengan nilai GCS 13-15. Keadaan pasien sadar penuh, membuka mata bila
dipanggil. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit dan disorientasi. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusia, cerebral dan
hematoma.
b) Cedera kepala sedang
Dengan nilai GCS 9-12. Pasien kehilangan kesadaran, namun masih menuruti
perintah yang sederhana atau amnesia lebih dari 30 mneit tetapi kurang dari 24 jam.
Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c) Cedera kepala berat
Dengan nilai GCS 3-8 dimana pasien kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia
lebih dari 24 jam. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intracranial. Dengan perhitungan GCS sebagai berikut:
Eye: nilai 1 atau 2
Motorik: nilai 5 taau <5
Verbal: nilai 2 atau 1
Dengan penjabaran kategori nilai Glasgow Coma Scale (GCS) sebagai berikut:
a) Membuka mata
Spontan :4
Terhadap rangsang suara : 3
Terhadap nyeri :2
Tidak ada :1
b) Respon Verbal
Orientasi baik :5
Orientasi terganggu :4
Kata-kata tidak jelas :3
Suara tidak jelas :2
Tidak ada respon :1
c) Respon Motorik
Mampu bergerak :6
Melokalisasi nyeri :5
Menghindari nyeri :4
Fleksi abnormal :3
Ekstensi :2
Tidak ada respon :1
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang
muncul setelah cedera kepala. Ada berbagai klasifikasi yang dipakai dalam penentuan
derajat kepala.
Sedangkan menurut Menurut Wijaya dan Putri (2013) jenis cedera kepala dapat
dibedakan menjadi :
a) Cedera kepala terbuka
Mampu menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan jaringan otak. Luka
kepala terbuka akibat cedera kepala pecahnya tengkorak atau luka penetrasi,
besarnya cedera pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan bentuk dari
benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan
masuk kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak
akibat benda tajam/tembakan. Cedera kepala terbuka memungkinkan
kuman/pathogen memiliki akses masuk langsung ke otak.
b) Cedera kepala tertutup
Disamakan dengan keluhan gagar otak ringan dan oedem serebral yang luas.
1.4 Patofisiologi
1.5 Pathway
1.6 Manifestasi Klinis
Menurut Judha (2011), tanda dan gejala dari cedera kepala antara lain :
a) Skull fracture
Gejala yang didapatkan CSF atau cairan lain keluar dari telinga dan hidung
(othorrea, rinhorhea), darah dibelakang membran timphani perobital ecimos (brill
haematoma), memar di daerah mastoid (battle sign), perubahan penglihatan, hilang
pendengaran, hilang indra penciuman, pupil dilatasi, berkurangnya gerakan mata dan
vertigo.
b) Concussion
Tanda yang didapat adalah menurunnya tingkat kesadaran kurang dari 5 menit,
amnesia retrogade, pusing, nyeri kepala, mual dan muntah. Contusion dibagi menjadi 2
yaitu cerebral contusion, brainsteam contusion. Tanda yang terdapat adalah sebagai
berikut :
1) Pernafasan mungkin normal, hilang keseimbangan secraa perlahan atau cepat.
2) Pupil biasanya mengecil, equl, dan reaktif jika kerusakan sampai batang otak bagian
atas (saraf kranial ke III) dapat menyebabkan keabnormalam pupil.
1.10 Komplikasi
a) Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala adalah edema paru.
Ini mungkin terutama berasal dari gangguan neurologis atau akibat dari sindrom
distress pernapasan dewasa edema paru dapat terjadi akibat dari cedera pada otak yang
menyebabkan adanya refleks cushing.
b) Kebocoran Cairan Serebral
Hal yang umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan fraktur tengkorak untuk
mengalami kebocoran CSS dari telinga atau hidung. Ini dapat akibat dari fraktur pada
fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak basiliar bagian petrous dari
tulang temporal.
c) Kerusakan saraf cranial
1) Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi pembauan yang
jika total disebut dengan anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Tidak ada
pengobatan khusus bagi penderita anosmia.
2) Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami cedera
(trauma). Biasanya disertaihematoma di sekitar mata, proptosis akibat adanya
perdarahan, dan edema di dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan visus,
skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative, atau hemianopia
bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera yang mengakibatkan
kebutaan, tarjadi atrofi papil yang difus, menunjukkan bahwa kebutaan pada
mata tersebut bersifat irreversible.
3) Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, umumnya
disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada pengobatan khusus untuk
oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan latihan ortoptik dini.
4) Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan pengecapan pada
lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup mata, mulut moncong,
semuanya pada sisi yang mengalami kerusakan.
5) Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya
disertai vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat antara koklea,
vestibula dansaraf. Dengan demikian adanya cedera yang berat pada salah satu
organtersebut umumnya juga menimbulkan kerusakan pada organ lain.
d) Disfasia
Secara ringkas, disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau
memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita disfasia
membutuhkan perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena
masalah komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia kecuali speech
therapy.
e) Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan) merupakan
manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang
otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan otak, empiema
subdural, dan herniasi transtentorial.
f) Sindrom pasca trauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan kumpulan
gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera kepala. Gejala
klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan
konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan fungsi
seksual.
g) Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteri karotis
interna dengan sinuskavernosus, umumnya disebabkan oleh cedera pada dasar
tengkorak. Gejala klinik berupa bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar
pemeriksa dengan menggunakan stetoskop, disertai hyperemia dan pembengkakan
konjungtiva diplopia dan penurunanvisus, nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan
kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata.
h) Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam minggu pertama
pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan epilepsy yang muncul lebih dari satu
minggu pascatrauma (late posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam
tahun pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi setelah 4 tahun
kemudian.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
a) A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
b) M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
c) P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit
yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-
obatan herbal)
d) L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,
dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi
termasuk dalam komponen ini)
e) E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian
yang menyebabkan adanya keluhan utama)
b. Pemeriksaan Fisik
1) Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa.Sering terjadi pada penderita yang datang
dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian
belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan
wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal,
ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Arif Muttaqin, 2008).
2) Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel.Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri.
Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena
pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya
menjadi sulit. Reevaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
a) Mata: periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakahisokor
atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami
miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies visus dan
acies campus), apakah konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan,
rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan,
serta diplopia.
b) Hidung: periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi akan
kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
c) Telinga: periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, perdarahan,
penurunan atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai
keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum.
d) Rahang atas: periksa stabilitas rahang atas
e) Rahang bawah: periksa akan adanya fraktur
f) Mulut dan faring: inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,
kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi,
apakah tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan
apa ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya
tonsil meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon
nyeri.
3) Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi,
edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan)
dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan
pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan,
emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi.
Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal.Jaga airway, pernafasan, dan
oksigenasi.Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.
4) Toraks
a) Inspeksi: Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk
adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosis, bekas luka,
frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada,
penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah
terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (Musliha, 2010)
b) Palpasi: seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul, emfisema
subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
c) Perkusi: untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan.
d) Auskultasi: suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan
bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub).
5) Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sendorik.Perubahan dalam
status neurologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Pada pemeriksaan
neurologis inspeksi adanya kejang, atau twitching, dan parese, bahkan hemiplegi
atau hemiparese (gangguan pergeraka), distaksia (kesuakan dalam
mengkoordinaskan otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan
respon sensori. Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna
vertebralis atau saraf perifer.Imobilisasi penderita dengan short atau long spine
board, kolar servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada
fraktur servikal.
Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas
kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak dengan
leher sebagai sumbu. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis.
Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran
perlukaan intra cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan
neurologis, harus diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC).Perlu
adanya tindakan bila ada perdarahan epidural subdural atau fraktur kompresi
ditentukan ahli bedah syaraf (Satyanegara, 2010).
c. Diagnosa Keperawatan
a) Risiko perfusi serebral tidak efektif b/d penurunan suplai darah dan oksigen ke
jaringan oksigen.
b) Nyeri akut b/d agen cidera biologis.
c) Defisit nutrisi b/d ketidakmampuan menelan makanan.
d) Pola nafas tidak efektif b/d hiperventilasi dan nyeri
e) Defisit perawatan diri b/d gangguan muskuluskeletal
d. Intervensi Keperawatan
a) Risiko perfusi serebral tidak efektif b/d penurunan suplai darah dan oksigen ke
jaringan oksigen.
Tujuan dan Kriteria hasil (SLKI):
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1x24 jam maka resiko perfusi
jaringan serebral membaik dengan kriteria hasil:
Tingkat kesadaran meningkat
Sakit kepala menurun
Gelisah menurun
Intervensi (SIKI):
Observasi:
1) Identifikasi penyebab peningkatan TIK
2) Monitor tanda/gejala peningkatan TIK
3) Monitor status pernapasan
4) Monitor intake dan output cairan
Teraupetik:
5) Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang tenang
6) Berikan posisi semi fowler
7) Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi:
8) Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan jika perlu
9) Kolaborasi pemberian diuretic osmosis jika perlu
f. Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan
pasien dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan (Rohmah
& Walid, 2012).
Menurut teori evaluasi adalah tujuan asuhan keperawatan yang menentukan
apakah tujuan ini telah terlaksana, setelah menerapkan suatu rencana tindakan untuk
meningkatkan kualitas keperawatan, perawat harus mengevaluasi keberhasilan
rencana penilaian atau evaluasi diperoleh dari ungkapan secara subjektif oleh klien
dan objektif didapatkan langsung dari hasil pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA
Dewantaro, Rudy.,& Nurhidayat, S. (2014). Peningkatan Tekanan intrakranial & gangguan
peredaran darah otak. Yogyakarta: ANDI.
Ganong, 2002. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan Dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. (Alih Bahasa Oleh: 1 Made Kariasa,
Dkk). Jakarta: EGC.
Hudak dan Gallo. (2010). Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume II. Edisi 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafa. Jakarta: Salemba Medika.
RISKESDAS, (2013). Profil Kesehatan, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Smeltrzer, Suzanna C & Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Dan
Suddart. (Alih Bahasa Agung Waluyo). Edisi 8. Jakarta: EGC.
Tanto, Judha M.S. (2011). KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN. Edisi 4. Jakarta: Media
Aescupius.
Wijaya, S.A & Putri, M.Y. (2013). Keperawatan Medikal bedah 2. Yogyakarta: Salemba
Medika