A DENGAN
HEAD INJURY DI RUANG BEDAH RSUD
dr. FAUZIAH BIREUN
O
L
E
H
FITRIANI, S.Kep
2207901038
( )
LAPORAN
PENDAHULUAN
A. Pengertian
Menurut Price dan Wilson (2014), Cedera kepala adalah gangguan
traumatik pada daerah kepala yang mengganggu fungsi otak dan menyebabkan
terputusnya kontinuitas jaringan kepala yang biasanya disebabkan oleh trauma
keras. Sedangkan menurut Batticaca (2012), Trauma atau cedera kepala juga
dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma
baik trauma tumpul maupun tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya
substansia alba, iskemia dan pengaruh massa karena hemoragik serta edema
serebral disekitar jaringan otak. Berdasarkan kondisi cederanya trauma kepala
dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
E. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Anurogo dan Usman (2014) serta Rendi dan Margaret (2012),
pemeriksaan penunjang pada cedera kepala memiliki beberapa pemeriksaan dan
juga proses pembedahan Craniatomy, itu semua meliputi beberapa pemeriksaan
yaitu :
1. CT scan kepala adalah standar baku dalam penatalaksanaan cedera
kepala. Pemeriksaan tersebut untuk memastikan adanya patah tulang,
pendarahan, pembengkakan jaringan otak, dan kelainan lain di otak.
2. Pemeriksaan darah lengkap, gula darah sewaktu, ureum kreatinin,
analisis gas darah dan elektrolit.
CT-Scan atau MRI dilakukan sebelum pembedaan dan kulit kepala diberi
tanda (standar perbandingan). Diperkirakan bahwa prosedur ini meningkatkan
keamanan dan keefektifan bedah dengan mengurangi ukuran Craniatomy,
meminimalkan manipulasi otak, dan memaksimalkan reseksi tumor. Pemetaan
kortikal digunakan untuk masa di area elokuen otak. Somatosensory evoked
potensial (SSEP) direkam selama pembedahan di bawah pengaruh anastesi untuk
mengkaji hubungan antara stip motorik dan lesi yang akan direseksi. Rangsangan
kortikal langsung memberi tahu letak korteks sensori motorik dan juga
digunakan untuk meminimalkan defisit neurologis dan memaksimalkan
pengangkatan tumor. Beberapa kasus, kendali kejang yang lebih baik juga
dicapai dengan prosedur ini. Rangsang kortikal langsung membutuhkan anastesi
lokal dan pasien akan sadar selama sebagian besar prosedur. Craniatomy telah
dilengkapi dengan pemakian mikroskop, kaca pembesar operasi, retraktor
otomatis, bor kecepatan tinggi. Struktur intrakranial dapat menjadi pendekatan
melalui lubang bor, yang adalah lubang sirkular yang dibuat ditengkorak baik
melalui drill tangan atau kraniatom automatik (yang mempunyai sistem kendali
sendiri untuk menghentikan drill ketika tulang ditembus). Lubang bor dibuat
untuk eksplorasi atau diagnosis. Lubang ini juga suatu cara evakuasi hematoma
intrakranial atau abses dan untuk membuat flap tulang di dalam tengkorak dan
memungkinkan akses pada vetrikel untuk tujuan dekompresi, ventrikulografi atau
prosedur pirau (shunting).
G. Komplikasi
Komplikasi akibat cedera kepala menurut Adams (2010), meliputi:
1. Gejala sisa cedera kepala berat: beberapa pasien dengan cedera kepala
berat dapat mengalami ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia,
hemiparesis 1) (Saraf cranial) maupun mental (gangguan kognitif,
perubahan kepribadian). Sejumlah kecil pasien akan tetap dalam status
vegetatif.
.
H. Penatalaksanaan
Menurut Barre (2002), jalur arteri dan jalur tekanan vena sentral (CVP)
dapat dipasang untuk memantau tekanan darah dan mengukur CVP. Pasien
mungkin atau tidak diintubasi dan mendapat terapi oksigen tambahan.
Asetaminofen biasanya diberikan selama suhu di atas 37,5°C dan untuk nyeri
sering kali pasien akan mengalami sakit kepala setelah kraniatomy, biasanya
sebagai akibat saraf kulit kepala diregangkan dan diiritasi selama pembedahan.
Kodein, diberikan melalui parenteral, biasanya cukup untuk menghilangkan sakit
kepala. Medikasi antikonvulsan (fenitoin, diazepam) diresepkan untuk pasien
yang telah menjalani kraniatomy supratentorial, karena risiko tinggi epilepsi
setelah prosedur bedah neuro supratentorial. Kadar serum dipantau untuk
mempertahankan medikasi dalam rentang terapeutik.
Kateter ventrikel, atau beberapa tipe drainase, sering dipasang pada pasien yang
menjalani pembedahan untuk tumor fossa posterior. Kateter disambungkan ke
sistem drainase eksternal. Kepatenan kateter diperhatikan melalui pulsasi cairan
dalam selang. TIK dapat dikaji dengan menyusun sistem dengan sambungan
stopkok. Perawatan diperlukan untuk menjamin bahwa sistem tersebut kencang
pada semua sambungan dan bahwa stopkok ada pada posisi yang tepat untuk
menghindari drainase cairan serebrospinal, yang dapat mengakibatkan kolaps
ventrikel bila cairan terlalu banyak dikeluarkan. Kateter diangkat ketika tekanan
ventrikel normal dan stabil. Ahli bedah neuro diberitahu bila kapan pun kateter
tampak tersumbat.
DAFTAR PUSTAKA
Gibson, J. (2015). Fisiologi & Anatomi Modern untuk Perawat. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Rendi, C. &. (2012). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit Dalam.
Yogyakarta: Nuha Medik
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI). Edisi 1 Cetakan III . Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SIKI). Edisi 1 cetakan II. Persatuan Perawatan Indonesia
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia