Anda di halaman 1dari 14

ASUHAN KEPERAWATAN DASAR PADA TN.

A DENGAN
HEAD INJURY DI RUANG BEDAH RSUD
dr. FAUZIAH BIREUN

O
L
E
H

FITRIANI, S.Kep
2207901038

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKes MUHAMMADIYAH LHOKSEUMAWE
TAHUN 2023
LEMBAR PERSETUJUAN

ASUHAN KEPERAWATAN DASAR PADA TN.A DENGAN


HEAD INJURY DI RUANG BEDAH RSUD dr. FAUZIAH
BIREUN

Bireun februari 2023


Telah disetujui oleh :

Clinical Instruktur Klinik

( )
LAPORAN
PENDAHULUAN

A. Pengertian
Menurut Price dan Wilson (2014), Cedera kepala adalah gangguan
traumatik pada daerah kepala yang mengganggu fungsi otak dan menyebabkan
terputusnya kontinuitas jaringan kepala yang biasanya disebabkan oleh trauma
keras. Sedangkan menurut Batticaca (2012), Trauma atau cedera kepala juga
dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma
baik trauma tumpul maupun tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya
substansia alba, iskemia dan pengaruh massa karena hemoragik serta edema
serebral disekitar jaringan otak. Berdasarkan kondisi cederanya trauma kepala
dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:

1. Cedera Kepala Ringan (GCS : 14-15)

Cedera kepala ringan didefinisikan sebagai trauma kepala dengan status


mental dan neurologi pada pemeriksaan awal normal, dan tidak adanya
fraktur tulang kepala pada pemeriksaan fisik. Hasil pemeriksaan, pada
keadaan ini dapat disertai kehilangan kesadaran <1 menit, kejang singkat
setelah trauma, muntah, sakit kepala dan lesu.

2. Cedera Kepala Sedang (GCS: 13-9)

Cedera kepala sedang didefinisikan sebagai kehilangan atau penurunan


kesadaran untuk beberapa waktu, disertai luka mengenai kejadian tersebut.
Keadaan seperti ini timbul karena adanya gangguan fungsi sel saraf otak.

3. Cedera Kepala Berat (GCS: ≤ 8)

Cedera kepala berat didefinisikan sebagai kehilangan kesadaran dalam


waktu lama kira-kira 5-10 menit. Kemudian ditemui ada luka atau memar,
perdarahan dari hidung atau keluarnya cairan dari telinga, kejang dan
bengkak. Pada cedera kepala berat, perdarahan yang terjadi bukan hanya
dikulit saja, tapi sudah kedalam otak atau tenggorokan.
Dianggap berat bila kemudian kejang atau bahkan kelumpuhan (accelerasi-
decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan
peningkatan pada percepatan pada faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi
yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran
pada tindakan pencegahan (Rendi & Margaret, 2012).
B. Etiologi
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang
terjadi akibat benturan langsung maupun tidak langsung dan cedera sekunder
yaitu cedera yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi,
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea/hipotensi sistemik. Cedera sekunder
merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan,
edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan
intrakranial dan perubahan neurokimiawi (Hickey, 2015).
Menurut Ginsberg (2013), cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas, jatuh, trauma benda tumpul, kecelakaan kerja, kecelakaan rumah tangga,
kecelakaan olahraga, trauma tembak dan pecahan bom.
Sedangkan menurut Barre (2010), penyebab dari cedera kepala yaitu :
1. Pukulan langsung
Menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan atau pada sisi yang
berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam tengkorak dan
mengenai dinding yang berlawanan.
2. Rotasi/deselerasi
Fleksi, ekstensi atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak yang
menyerang titik-titik tulang dalam tengkorak. Rotasi yang hebat juga
menyebabkan trauma robekan di dalam substansi putih otak dan batang
otak menyebabkan cedera aksonal dan bintik-bintik perdarahan
intraserebral.
3. Tabrakan/kecelakaan lalu lintas
Otak seringkali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat (terutama
pada anak-anak dengan tengkorak yang elastis).
4. Peluru
Cenderung menyebabkan hilangnya jaringan seiring dengan trauma.
Pembengkakan otak merupakan masalah akibat disrupsi tengkorak yang
secara otomatis menekan otak.
C. Patofisiologi
Cedera kepala atau trauma kapitis lebih sering terjadi daripada trauma
tulang belakang. Trauma dapat timbul akibat gaya mekanik maupun non
mekanik. Kepala dapat dipukul, ditampar, atau bahkan terkena sesuatu yang
keras. Tempat yang langsung terkena pukulan atau penyebab tersebut dinamakan
dampak atau impact. Dampak yang dapat terjadi, yaitu: indentasi, fraktur linear,
fraktur stelatum, fraktur impresi, atau bahkan hanya edema atau perdarahan
subkutan saja. Fraktur yang paling ringan ialah fraktur linear, jika gaya
destruktifnya lebih kuat, dapat timbul fraktur stelatum atau fraktur impresi
(Mardjono & Sidharta, 2010).
Selain hal-hal tersebut, saraf-saraf otak dapat terkena oleh trauma kapitis
karena trauma langsung, hematom yang menekan pada saraf otak, traksi terhadap
saraf otak ketika otak tergeser karena akselerasi, atau kompresi serebral traumatik
akut yang secara sekunder menekan pada batang otak, pada trauma kapitis dapat
terjadi komosio, yaitu pingsan sejenak dengan atau tanpa amnesia retrograd.
Tanda-tanda kelainan neurologik apapun tidak terdapat pada penderita tersebut,
sedangkan kemungkinan lain yang terjadi adalah penurunan kesadaran untuk
waktu yang lama. Derajat kesadaran tersebut ditentukan oleh integirtas diffuse
ascending reticular system. Lintasan tersebut bisa tidak berfungsi sementara
tanpa mengalami kerusakan yang irreversibel. Batang otak yang pada ujung
rostral bersambung dengan medula spinalis mudah terbentang dan teregang
waktu kepala bergerak secara cepat dan mendadak. Gerakan cepat dan mendadak
itu disebut akselerasi. Peregangan menurut poros batak otak ini dapat
menimbulkan blokade reversibel pada lintasan retikularis asendens difus,
sehingga selama itu otak tidak mendapat input aferen, yang berarti bahwa
kesadaran menurun sampai derajat yang terendah (Mardjono & Sidharta, 2010).
Trauma kapitis yang menimbulkan kelainan neurologik disebabkan oleh
kontusio serebri, laserasio serebri, perdarahan subdural, perdarahan epidural, atau
perdarahan intraserebral. Lesi-lesi tersebut terjadi karena berbagai gaya destruktif
trauma. Mekanisme terjadinya trauma kapitis, seperti telah disebutkan
sebelumnya, terjadi gerakan cepat yang mendadak (akselerasi). Selain itu,
terdapat penghentian akselerasi secara mendadak (deakselerasi), pada waktu
akselerasi berlangsung, terjadi akselerasi tengkorang ke arah impact dan
penggeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah impact. Adanya
akselerasi tersebut menimbulkan penggeseran otak serta pengembangan gaya
kompresi yang destruktif, yang akhirnya akan menimbulkan terjadinya lesi
kontusio. Lesi kontusio dapat berupa perdarahan pada permukaan otak yang
berbentuk titik-tik besar dan kecil tanpa kerusakan duramater. Lesi kontusio
dibawah impact disebut lesi kontusio coup sedangkan lesi di seberang impact
disebut lesi kontusio countrecoup. Ada pula lesi intermediate, yaitu lesi yang
berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono & Sidharta,
2010).
D. Manifestasi Klinik
Menurut Reisner (2016), gejala klinis cedera kepala yang dapat membantu
mendiagnosis adalah battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di
atas os mastoid), hemotipanum (perdarahan di daerah membran timpani telinga),
periorbital ekhimosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung), rhinorrhoe
(cairan serebrospinal keluar dari hidung), otorrhoe (cairan serebrospinal keluar
dari telinga).
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala ringan adalah
pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh, sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan, mual dan atau muntah,
gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun, perubahan kepribadian diri,
letargik. Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala berat adalah
perubahan ukuran pupil (anisocoria), trias Cushing (denyut jantung menurun,
hipertensi, depresi pernafasan) apabila meningkatnya tekanan intrakranial,
terdapat pergerakan atau posisi abnormal ekstremitas (Reisner, 2016).
Menurut Batticaca (2018), manifestasi klinis dari cedera kepala meliputi
gangguan kesadaran, perubahan tanda-tanda vital, abnormalias pupil, gangguan
penglihatan dan pendengaran,disfungsi sensori, sakit kepala, vertigo,gangguan
pergerakan, kejang dan syok akibat multisystem, pada cedera kepala kerusakan
terbesar terjadi di otak bagian lobus frontal dan temporalis. Keduanya adalah
pusat emosi, memori, mental, kepribadian, kemampuan merespon. Bila
terganggu, maka penderita mudah lupa, bingung, dan emosi labil. Menurut
Anurogo dan Usman (2014), pada kejadian cedera kepala ringan, penderita
mengalami hilang kesadaran, hilang ingatan setelah kejadian traumatis, gangguan
kesadaran. Tanda gejala lainnya seperti vertigo, mual, muntah, sakit kepala,
bingung penderita dapat juga merasakan nyeri kepala, mudah lupa, mudah
lelah,lamban,gangguankeseimbangaan amat peka terhadap rangsangan sinar dan
suara, pada cedera sedang, tanda gejalanya tidak selalu bisa dikenali misalnya
misalnya gangguan konsentrasi, nyeri kepala, pening, mudah lupa, mengantuk,
dan pada cedera kepala berat, terjadi kontisio otak (sel- sel otak mati, lalu terjadi
pendarahan) dan peningkatan tekanan intrakranial, yang mengakibatkan
terganggunya pusat-pusat pengaturan organ-organ vital, gangguan pernafasan,
hemodinamik, kardiovaskuler, dan kesadaran, pada cedera kepala berat
jugaterjadi DAI (diffuse axonal injury) adalah penyebab utama penurunan
kesadaran. Iskemia terjadi akibat menurunnya pengiriman oksigen ke jaringan
otak. Pendarahan menekan jaringan otak dan mengakibatkan suplai oksigen
menurun.

E. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Anurogo dan Usman (2014) serta Rendi dan Margaret (2012),
pemeriksaan penunjang pada cedera kepala memiliki beberapa pemeriksaan dan
juga proses pembedahan Craniatomy, itu semua meliputi beberapa pemeriksaan
yaitu :
1. CT scan kepala adalah standar baku dalam penatalaksanaan cedera
kepala. Pemeriksaan tersebut untuk memastikan adanya patah tulang,
pendarahan, pembengkakan jaringan otak, dan kelainan lain di otak.
2. Pemeriksaan darah lengkap, gula darah sewaktu, ureum kreatinin,
analisis gas darah dan elektrolit.

3. Pemeriksaan neuropsikologis (sistem saraf kejiwaan) adalah komponen


penting pada penilaian dan penatalaksanan cedera (Anurogo & Usman,
2014).

4. MRI (Magnetic resonance imaging): digunakan sama seperti CT-Scan


dengan atau tanpa kontras radioaktif. Serebral angiography: menunjukan
anomalia sirkulasi serebral, seperti perubahan jaringan otak sekunder
menjadi udema, perubahan dan trauma.

5. Serial EEG (Elektroensefalograf): dapat melihat perkembangan


gelombang yang patologis.

6. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan


strukturgaris (perdarahan/edema), fragmen tulang.

7. BAER (Brainsteam Auditory Evoked Response): mengoreksi batas fungsi


corteks dan otak kecil.

8. PET (Positron Emission Tomography): mendeteksi perubahan aktivitas


metabolisme otak.

9. CSF (Cerebrospinal fluid), lumbalis pungsi: dapat dilakukan jika diduga


terjadi perdarahan subarachnoid.

10. ABGs (Artery Blood Gases Analysis): mendeteksi keberadaan ventilasi


atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial.

11. Kadar elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai


akibat peningkatan tekanan intrakranial.

12. Screen toxicologi: untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga


menyebabkan penurunan kesadaran.
F. Pendekatan Bedah
Ultrasonografi telah menjadi standar pemantauan bedah saraf selama beberapa
tahun, karena dapat membedakan lesi abnormal dari jaringan otak normal dan
edema, jaringan abnormal yang tersisia juga dapat diidentifikasi sebelum
penutupan, frameless stereotaxy adalah sebuah sistem navigasi intraoperatif yang
digunakan untuk menghasilkan gambaran tumor tiga dimensi.

CT-Scan atau MRI dilakukan sebelum pembedaan dan kulit kepala diberi
tanda (standar perbandingan). Diperkirakan bahwa prosedur ini meningkatkan
keamanan dan keefektifan bedah dengan mengurangi ukuran Craniatomy,
meminimalkan manipulasi otak, dan memaksimalkan reseksi tumor. Pemetaan
kortikal digunakan untuk masa di area elokuen otak. Somatosensory evoked
potensial (SSEP) direkam selama pembedahan di bawah pengaruh anastesi untuk
mengkaji hubungan antara stip motorik dan lesi yang akan direseksi. Rangsangan
kortikal langsung memberi tahu letak korteks sensori motorik dan juga
digunakan untuk meminimalkan defisit neurologis dan memaksimalkan
pengangkatan tumor. Beberapa kasus, kendali kejang yang lebih baik juga
dicapai dengan prosedur ini. Rangsang kortikal langsung membutuhkan anastesi
lokal dan pasien akan sadar selama sebagian besar prosedur. Craniatomy telah
dilengkapi dengan pemakian mikroskop, kaca pembesar operasi, retraktor
otomatis, bor kecepatan tinggi. Struktur intrakranial dapat menjadi pendekatan
melalui lubang bor, yang adalah lubang sirkular yang dibuat ditengkorak baik
melalui drill tangan atau kraniatom automatik (yang mempunyai sistem kendali
sendiri untuk menghentikan drill ketika tulang ditembus). Lubang bor dibuat
untuk eksplorasi atau diagnosis. Lubang ini juga suatu cara evakuasi hematoma
intrakranial atau abses dan untuk membuat flap tulang di dalam tengkorak dan
memungkinkan akses pada vetrikel untuk tujuan dekompresi, ventrikulografi atau
prosedur pirau (shunting).
G. Komplikasi
Komplikasi akibat cedera kepala menurut Adams (2010), meliputi:

1. Gejala sisa cedera kepala berat: beberapa pasien dengan cedera kepala
berat dapat mengalami ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia,
hemiparesis 1) (Saraf cranial) maupun mental (gangguan kognitif,
perubahan kepribadian). Sejumlah kecil pasien akan tetap dalam status
vegetatif.

2. Kebocoran cairan serebrospinal: bila hubungan antara rongga


subarachnoid dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis
cranii hanya kecil dan tertutup jaringan otak maka hal ini tidak akan
terjadi. Eksplorasi bedah diperlukan bila terjadi kebocoran cairan
serebrospinal persisten.

3. Kebocoran cairan serebrospinal: bila hubungan antara rongga


subarachnoid dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur
basis cranii hanya kecil dan tertutup jaringan otak maka hal ini tidak
akan terjadi. Eksplorasi bedah diperlukan bila terjadi kebocoran cairan
serebrospinal persisten.
4. Epilepsi pascatrauma: terutama terjadi pada pasien yang mengalami
kejang awal (pada minggu pertama setelah cedera), amnesia pascatrauma
yang lama, fraktur depresi kranium dan hematom intrakranial.
5. Hematom subdural kronik.
6. Sindrom pasca concusio: nyeri kepala, vertigo dan gangguan konsentrasi
dapat menetap bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi
akibat cederavestibular (konkusi labirintin)

.
H. Penatalaksanaan
Menurut Barre (2002), jalur arteri dan jalur tekanan vena sentral (CVP)
dapat dipasang untuk memantau tekanan darah dan mengukur CVP. Pasien
mungkin atau tidak diintubasi dan mendapat terapi oksigen tambahan.

1. Mengurangi edema serebral

Terapi medikasi untuk mengurangi edema serebral meliputi pemberian manitol,


yang meningkatkan osmolalitas serum dan menarik air bebas dari area otak
(dengan sawar darah-otak utuh). Cairan ini kemudian diekskresikan melalui
diuresis osmoltik. Deksametason dapat diberikan melalui intravena setiap 6 jam
selama 24 jam sampai 72 jam, selanjutnya dosisya dikurangi secara bertahap.

2. Meredakan nyeri dan mencegah kejang

Asetaminofen biasanya diberikan selama suhu di atas 37,5°C dan untuk nyeri
sering kali pasien akan mengalami sakit kepala setelah kraniatomy, biasanya
sebagai akibat saraf kulit kepala diregangkan dan diiritasi selama pembedahan.
Kodein, diberikan melalui parenteral, biasanya cukup untuk menghilangkan sakit
kepala. Medikasi antikonvulsan (fenitoin, diazepam) diresepkan untuk pasien
yang telah menjalani kraniatomy supratentorial, karena risiko tinggi epilepsi
setelah prosedur bedah neuro supratentorial. Kadar serum dipantau untuk
mempertahankan medikasi dalam rentang terapeutik.

3. Memantau TIK (Tekanan Intra Kranial)

Kateter ventrikel, atau beberapa tipe drainase, sering dipasang pada pasien yang
menjalani pembedahan untuk tumor fossa posterior. Kateter disambungkan ke
sistem drainase eksternal. Kepatenan kateter diperhatikan melalui pulsasi cairan
dalam selang. TIK dapat dikaji dengan menyusun sistem dengan sambungan
stopkok. Perawatan diperlukan untuk menjamin bahwa sistem tersebut kencang
pada semua sambungan dan bahwa stopkok ada pada posisi yang tepat untuk
menghindari drainase cairan serebrospinal, yang dapat mengakibatkan kolaps
ventrikel bila cairan terlalu banyak dikeluarkan. Kateter diangkat ketika tekanan
ventrikel normal dan stabil. Ahli bedah neuro diberitahu bila kapan pun kateter
tampak tersumbat.
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, E. M. (2014). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC. Doenges,


M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (2014). Rencana Asuhan
Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.

Gibson, J. (2015). Fisiologi & Anatomi Modern untuk Perawat. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.

Mansjoer A, T. K. (2010). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 1. Jakarta: Media


Aesculapius.

Mardjono, &. S. (2010). Neurologi Klinik Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.

Morton, P. G. (2014). Keperawatan Kritis : Pendekatan Asuhan Holistik. Jakarta:


EGC.

Muttaqin, A. (2010.). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Nurarif, A. H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction.

Patricia Gonce, M. D. (2014). Keperawatan Kritis volume 2. Jakarta:

EGC. Penelitian, B. &. (2018). Hasil utama riskesdas 2018. Jakarta:

Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.

Rendi, C. &. (2012). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit Dalam.
Yogyakarta: Nuha Medik

Sastrodiningrat, A. (2010). Pemahaman Indikator-Indikator Dini Diam


Menentukan Prognosa Cedera Kepala Berat. Retrieved July 04, 2019,
from http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/753

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI). Edisi 1 Cetakan III . Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SIKI). Edisi 1 cetakan II. Persatuan Perawatan Indonesia

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai