Anda di halaman 1dari 15

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA TN.

S
DENGAN FURNIER GANGREN DI RUANG RAUDHAH 5
RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

KHAIRUL AZMI, S.Kep

2207901052

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKes MUHAMMADIYAH LHOKSEUMAWE
TAHUN 2023
LEMBAR PERSETUJUAN

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADA TN. S


DENGAN FURNIER GANGREN DI RUANG RAUDHAH 5
RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

Banda Aceh, Maret 2023

Telah disetujui oleh :

Clinical Instruktur Klinik

( )
LAPORAN

PENDAHULUAN

A. DEFINISI

Fournier gangren pertama kali ditemukan pada tahun 1883, ketika ahli

penyakit kelamin asal Perancis Jean Alfred Fournier mendapatkan dimana 5 laki-

laki muda yang sebelumnya sehat menderita gangren dengan cepat progresif pada

penis dan skrotum tanpa sebab yang jelas. Penyakit ini yang kemudian dikenal

sebagai Fournier gangren, didefinisikan sebagai fasciitis nekrotikans pada daerah

perineum perianal atau genital.

Fournier Gangren adalah kegawatdaruratan bedah, dan karena perbedaan

dalam presentasi klinis, pasien mungkin awalnya ditemui dalam berbagai keadaan

klinis. Karena keterlambatan dalam diagnosis dan pengobatan dari kondisi ini bisa

berakibat fatal, sangat penting untuk tidak mengabaikan gejala, bahkan jika gejala

tidak spesifik. Setelah Fournier gangrene didiagnosis, pengobatan yang tepat

sangat penting. Penyakit ini merupakan kedaruratan di bidang urologi karena

mula penyakitnya (onset) berlangsung sangat mendadak, cepat berkembang, bisa

menjadi ganggren yang luas dan menyebabkan septisemia.

B. ETIOLOGI

Meskipun awalnya digambarkan sebagai gangren idiopatik alat kelamin,

tetapi penyebab Fournier ganggren dapat diidentifikasikan pada 75-95% dari

jumlah kasusnya. Proses nekrosis biasanya berasal dari infeksi di anorektal,

saluran urogenital, atau kulit di sekitar alat kelamin. Penyebab ganggren Fournier
pada anorektal termasuk perianal, abses perirektal, dan iskiorektalis, fisura anal,

dan perforasi usus yang terjadi karena cedera kolorektal atau komplikasi

keganasan kolorektal, penyakit radang usus, divertikulitis kolon, atau usus buntu.

Pada saluran urogenital, penyebab ganggren Fournier mencakup infeksi di

kelenjar bulbourethral, cedera uretra, cedera iatrogenik sekunder untuk manipulasi

striktur uretra, epididimitis, orkitis, atau infeksi saluran kemih bawah (misalnya,

pada pasien dengan penggunaan jangka panjang kateter uretra). Sedangkan pada

dermatologi, penyebabnya termasuk supuratif hidradenitis, ulserasi karena

tekanan skrotum, dan trauma. Ketidakmampuan untuk menjaga kebersihan

perineum seperti pada pasien lumpuh menyebabkan peningkatan risiko.

Terkadang akibat trauma, post operasi dan adanya benda asing juga dapat

menyebabkan penyakit. Pada wanita seperti sepsis aborsi, vulva atau abses pada

kelenjar Bartholini, histerektomi, dan episiotomi dapat dicurigai sebagai penyebab

Fournier ganggren. Pada pria, seks pada daerah anal dapat meningkatkan risiko

infeksi perineum, baik dari trauma tumpul langsung atau dengan penyebaran

mikroba dari rektal. Sedangkan pada anak-anak yang bisa menyebabkan Fournier

ganggren seperti sirkumsisi, strangulasi hernia inguinalis, omphalitis, gigitan

serangga, trauma, perirektal abses dan infeksi sistemik.

Kultur dari pasien dengan Fournier gangren adalah infeksi polimikroba

dengan rata-rata 4 isolat per kasus. Escherichia coli adalah aerob dominan, dan

Bacteroides adalah anaerob dominan.


C. PATOFISIOLOGI

Infeksi lokal berdekatan dengan portal masuk adalah dasar terjadinya

Fournier gangren. Pada akhirnya, suatu endarteritis obliterative berkembang

menyebabkan kulit, subkutan dan pembuluh darah menjadi nekrosis kemudian

berlanjut iskemia lokal dan proliferasi bakteri. Tingkat kerusakan fasia setinggi 2-

3 cm. Infeksi fasia perineum (fasia colles) dapat menyebar ke penis dan skrotum

melalui fasia buck dan dartos, atau ke dinding perut anterior melalui fasia scarpa,

atau sebaliknya. Fasia colles melekat pada perineum dan posterior diafragma

urogenitalia dan lateral dari ramus pubis, sehingga membatasi perkembangan ke

arah ini. Keterlibatan testis jarang, karena arteri testis berasal langsung dari aorta

dan dengan demikian memiliki suplai darah terpisah dari infeksi lokal.

Infeksi merupakan ketidakseimbangan antara (1) imunitas host, yang sering

terganggu oleh satu atau lebih proses sistemik penyerta, dan (2) virulensi dari

mikroorganisme penyebab. Faktor etiologi memungkinkan untuk masuknya

mikroorganisme ke dalam perineum, sistem imun yang turun memberikan

lingkungan yang baik untuk memulai infeksi, dan virulensi mikroorganisme

mempromosikan penyebaran cepat penyakit ini.

Virulensi mikroorganisme hasil dari produksi toksin atau enzim yang

menciptakan lingkungan yang kondusif untuk multiplikasi mikroba yang cepat,

Meskipun Meleney pada tahun 1924 menjelaskan penyebab infeksi nekrotikans

hanya dari spesies Streptococcus saja, tapi klinis selanjutnya telah menekankan

sifat multiorganism dari kebanyakan kasus dari infeksi nekrotiknas, termasuk

Fournier gangren. Keterlibatan polimikroba diperlukan untuk menciptakan sinergi


produksi enzim yang mempromosikan penyebaran Fournier gangren. Sebagai

contoh, salah satu mikroorganisme dapat menghasilkan enzim yang diperlukan

untuk menyebabkan koagulasi dari pembuluh darah. Trombosis pembuluh darah

ini dapat mengurangi suplai darah lokal dengan demikian suplai oksigen ke

jaringan menjadi berkurang. Hipoksia jaringan yang dihasilkan memungkinkan

pertumbuhan fakultatif anaerob dan organisme mikroaerofilik. Mikroorganisme

kemudian pada gilirannya dapat menghasilkan enzim (misalnya, lesithinase,

kolagenase) yang menyebabkan kerusakan dari fasia, sehingga memicu perluasan

cepat infeksi. Nekrosis fasia adalah awal dasar dari proses penyakit, hal ini

penting untuk sebagai penanda klinis dalam keterlibatan jaringan. Secara khusus,

jika potongan fasia dapat dipisahkan dengan mudah dari jaringan sekitarnya

dengan diseksi tumpul sangat mungkin terlibat dengan proses iskemik-infkesi

oleh karena itu setiap jaringan harus dieksisi.

D. FAKTOR RESIKO

Setiap kondisi yang menekan imunitas seluler dapat mempengaruhi pasien

untuk terjadinya Fournier gangren, seperti :

1. Diabetes mellitus (sebanyak 60% dari kasus)

2. Malnutrisi

3. Alkoholisme

4. Usia lanjut

5. Vascular penyakit panggul

6. Keganasan

7. Lupus eritematosus sistemik


8. Penyakit crohn

9. Infeksi HIV

10. Iatrogenik kekebalan (misalnya terapi jangka panjang kortikosteroid)

E. DIAGNOSIS

1. Anamnesis dan Pemerksaan Fisis

Ciri Fournier gangren adalah rasa sakit dan nyeri tekan di alat kelamin.

Perjalanan klinis biasanya berlangsung melalui tahap-tahap berikut:

 Gejala prodromal demam dan letargi, yang muncul dalam 2-7 hari

 Rasa sakit dan nyeri tekan yang berhubungan dengan edema pada

kulit di atasnya yang disertai pruritus

 Meningkatkan nyeri genital dengan eritema dikulit atasnya

 Gambaran duski di kulit atasnya (subkutan krepitasi)

 Gangren jelas dari bagian alat kelamin disertai drainase purulen dari

luka

Pada awal perjalanan penyakit, rasa sakit tidak sesuai dengan temuan fisik.

Gangren dapat berkembang, tetapi nyeri dapat hilang akibat jaringan saraf

menjadi nekrotik. Efek sistemik dari proses ini bervariasi dari nyeri lokal tanpa

disertai syok septik dan kemerahan. Secara umum, semakin besar derajat nekrosis,

yang lebih mendalam efek sistemik. Pada Pemeriksaan fisis yang dapat dilakukan

adalah palpasi dari alat kelamin, perineum dan pemeriksaan colok dubur, untuk

menilai tanda-tanda penyakit dan untuk mencari potensi masuknya portal infeksi.

Dapat juga ditemukan krepitasi jaringan lunak, nyeri lokal, ulkus yang disertai

eritem, edema, sianosis, indurasi, blister, maupun gangren. Dari inspeksi kulit
tersebut dapat menentukan derajat dari bau amis ditimbulkan akibat infeksi dari

bakteri anaerob dan krepitasi yang disebabkan mikroorganisme Clostridium yang

dapat memproduksi gas. Gejala sistemik dapat terjadi seperti demam, takikardia

dan hipotensi.

F. Pemeriksaan penunjang

1. Tes Darah Lengkap

Untuk menilai respon kekebalan yang ditimbulkan oleh proses infeksi dan

untuk memeriksa jumlah dari sel darah merah, dan mengevaluasi potensi sepsis-

yang menyebabkan trombositopenia. Profil koagulasi seperti, prothrombin time

(PT), Activated Partial Thromboplastin Time (APTT), jumlah trombosit, kadar

fibrinogen sangat membantu untuk mencari sepsis-induced koagulopati seperti

pada ITP. Kultur darah juga diperlukan untuk menetahui jenis mikroba yang

terlibat serta menilai keadaan septisemia. Kimia darah untuk mengevaluasi

gangguan elektrolit, untuk mencari bukti dehidrasi dapat diperiksa blood urea

nitrogen [BUN] / kreatinin rasio, yang cenderung terjadi sebagai akibat

perlangsungan penyakit, juga kadar gula dalam darah mengevaluasi intoleransi

glukosa, yang mungkin disebabkan untuk DM atau sepsis yang disebabkan

gangguan metabolisme. Arterial blodd gas (ABG) untuk memberikan penilaian

yang lebih akurat gangguan asam dan basa. Asidosis dengan yang dapat terjadi

dengan hiperglikemia atau hipoglikemia.

2. Foto Polos Radiologi

Foto polos radiologi harus dipertimbangkan untuk mengevaluasi keberadaan

dan luasnya penyakit fournier, terutama jika dari pemeriksaan klinis tidak dapat
disimpulkan. Gas dalam jaringan lunak dapat lebih mudah terdeteksi modalitas

pencitraan dibandingkan dengan pemeriksaan fisik. Radiografi polos harus

menjadi pemeriksaan pencitraan awal. Untuk mengetahui seberapa besar jumlah

gas jaringan lunak, benda asing, atau edema pada jaringan skrotum. Gas dalam

jaringan lunak bermanifestasi sebagai daerah hiperlusen. Namun, tidak adanya gas

(hiperlusen) pada foto polos tidak dapat menyingkirkan diagnosis.

3. CT-Scan (Computed Tomography)

Meskipun diagnosis Fournier gangren adalah paling sering dibuat secara

klinis, CT-scan dapat membantu pada pasien yang diagnosis tidak jelas atau sulit

untuk menetukan luasnya penyakit. CT-scan memiliki kekhususan yang lebih

besar untuk mengevaluasi penyakit dibandinkan foto polos radiografi, USG, atau

pemeriksaan fisik. Dengan meluasnya penggunaan CT-scan dalam kondisi

darurat, Fournier gangren semakin banyak dipelajari dengan teknik pencitraan.

CT-scan memainkan peran penting dalam diagnosis serta evaluasi penyakit, jalur

anatomi penyebaran gangren, akumulasi cairan,abses, emfisema subkutan dan

perluasannya yang paling baik dinilai dengan CT-scan. CT-scan juga tidak hanya

membantu mengevaluasi struktur perineum yang dapat terlibat oleh Fournier

gangren, tetapi membantu menilai retroperitoneum yang dapat menyebar pada

penyakit ini. CT-scan dapat mengidentifikasi udara dalam jaringan lunak sebelum

krepitasi terdeteksi. Hingga 90% dari pasien dengan Fournier gangren telah

dilaporkan memiliki emfisema subkutan, sehingga setidaknya 10% tidak

menunjukkan pada temuan ini.


CT-scan dapat membantu mengevaluasi baik bagian superfisial dan

profunda dari fasia. Dalam banyak kasus, pemeriksaan fisik tidak akurat

membantu memprediksi tingkat nekrosis ditemukan di operas. CT-scan juga

penting dalam membedakan Fournier gangren dari yang lain kurang agresif

seperti jaringan lunak edema atau selulitis, yang mungkin tampak mirip dengan

Fournier gangren pada pemeriksaan fisik. Selain itu, CT-scan sangat bermanfaat

dalam post treatment yang merupakan tindak lanjut dari terapi respon seperti pada

pemberian antibiotik spektrum luas dan debridemen yang penting untuk

keberhasilan.

4. USG (Ultrasonografi)

Gambaran USG pada Fournier gangren dinding skrotum menebal

mengandung fokus hiperekoik yang menunjukkan mewakili gas dalam dinding

skrotum. Bukti gas dalam skrotum dinding dapat dilihat sebelum pemeriksaan

fisik yang ditemukan adanya krepitasi. Biasanya juga terdapat hidrokel unilateral

atau bilateral. Testis dan epididimis sering normal dalam ukuran dan ekotekstur

karena vaskularisasi yang berbeda. Vaskularisasi testis adalah paling sering

bertahan karena suplai darah ke skrotum berbeda dengan yang ke testis. Pasokan

darah skrotum adalah dari arteri pudenda cabang dari arteri femoralis sedangkan

pasokan darah testis adalah dari cabang dari aorta. Jika terdapat keterlibatan testis,

ada kemungkinan sumber infeksi berasal dari intra abdominal atau retroperitoneal.

USG juga berguna dalam membedakan Fournier gangren dari hernia inguinal

skrotalis. Dalam fase lanjut, gas dapat diamati dalam lumen usus, jauh dari

dinding skrotum. USG lebih unggul dalam foto polos radiografi, karena isi
skrotum dapat diperiksa bersama dengan aliran darah Doppler. Jaringan lunak

udara juga lebih jelas di USG daripada di radiografi, tetapi CT lebih unggul baik

di USG dan radiografi menunjukkan Fournier gangren baik melaui perluasannya

dan penyakit yang mendasarinya.

5. Histopatologis

Biopsi insisional pada saat debridemen memungkinkan jenis patologis

Fournier gangren yaitu nekrosisi infeksi dari selulitis. Yang pertama akan

mendapat manfaat dari debridement eksisional, sedangkan yang kedua jarang

membutuhkan bedah eksisi. Sampel biopsi harus diambil mencakup kulit dan

fasia superfisialis dan profunda. Sampel ini dapat dikirim untuk frozen section

untuk menilai nekrosis fasia. Keterlibatan fasia muncul sebagai pembengkakan

juga akibat nekrosis pada analisis mikroskopis.

F. PENATALAKSAAN

Prinsip terapi pada gangren Fournier ada terapi suportif memperbaiki

keadaan umum pasien, pemberian antibiotik, dan debridemen. Pengobatan

Fournier gangren melibatkan beberapa modalitas. Pembedahan diperlukan untuk

diagnosis definitif dan eksisi jaringan nekrotik. Pada pasien dengan gejala

sistemik terjadi hipoperfusi atau kegagalan organ, resusitasi agresif untuk

memulihkan perfusi organ normal harus lebih diutamakan daripada prosedur

diagnostik. Dengan demikian, pengobatan pasien dengan gangren Fournier

meliputi resusitasi agresif dalam mengantisipasi operasi. Menyediakan

manajemen jalan nafas jika ada indikasi, berikan oksigen tambahan, dan
membangun intravena (IV) akses dan pemantauan jantung terus menerus.

Pengganti kristaloid diindikasikan untuk pasien yang mengalami dehidrasi atau

menampilkan tanda-tanda syok. Awal, antibiotik spektrum luas yang ditunjukkan.

Tetanus profilaksis diindikasikan jika terjadi ulkus pada jaringan lunak.Selain itu,

kondisi komorbiditas yang mendasari (misalnya, diabetes, alkoholisme) harus

diatasi. Kondisi seperti itu sering terjadi pada pasien-pasien dan berpotensi

sebagai faktor predisposisi Fournier ganggren. Kegagalan untuk memadai

mengelola kondisi komorbiditas dapat mengancam keberhasilan bahkan intervensi

yang paling tepat untuk menyelesaikan Penyakit menular.

1. Antibiotik

Pengobatan Fournier gangren melibatkan antibiotik spektrum luas terapi

antibiotik. Spektrum harus mencakup staphylococci, streptokokus,

Enterobacteriaceae organisme, dan anaerob. Dimana secara empiris

ciprofloksasin dan klindamisin dapat digunakan. Klindamisin sangat berguna

dalam pengobatan nekrosis jaringan lunak infeksi karena spektrum gram positif

dan anaerob. Klindamisin telah terbukti untuk menghasilkan tingkat respons

unggul daripada penisilin atau eritromisin. Pilihan lain yang mungkin termasuk

ampisilin / sulbaktam, tikarsilin / klavulanat, atau piperasilin / Tazobactam dalam

bentuk kombinasi dengan aminoglikosida dan metronidazole atau Klindamisin.

Vankomisin dapat digunakan untuk menyediakan cakupan untuk methicillin-

resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Dalam kasus yang berhubungan

dengan sindrom sepsis, terapi dengan imunoglobulin intravena (IVIG), yang

diduga untuk menetralisir superantigens (misalnya, streptotoxins A dan B)


diyakini mengurangi respon sitokin berlebihan, telah terbukti menjadi pembantu

yang baik untuk antibiotik dan bedah debridemen. Jika pada tes kalium

hidroksida [KOH] menunjukkan adanya jamur, tambahkan agen empirik anti

jamur seperti amfoterisin B atau caspofungin.

2. Debridemen

Tujuan debridemen adalah mengangkat seluruh jaringan nekrosis

(devitalized tissue) sebelum dilakukan debridement sebaiknya dicari sumber

infeksi dari uretra atau dari kolorektal dengan melakukan uretroskoi atau

proktoskopi. Kadang-kadang perlu dilakukan diversi urine melalui sistotomi atau

diversi feces dengan melakukan kolostomi. Setelah nektrotomi, dilakukan

perwatan terbuka dan kalau perlu pemasangan pipa drainase. Setelah 12 dan 24

jam lagi dilakukan evaluasi untuk menilai demarkasi jaringan nekrosis dan kalau

perlu dilakukan operasi ulang. Debridement yang kurang sempurna seringkali

membutuhkan operasi ulang bahkan dilaporkan dapat terjadi dua atau empat kali

harus masuk kamar operasi. Pemberian oksigen hiperbarik masih kontroversi.

Terapi ini bermanfaat pada infeksi kuman anrobik. Perawatan luka pasca operasi

dengan hidroterapi dengan kombinasi rendam duduk hangat, dan pemberian

hydrogen peroksida. Pemberian madu yang belum diproses bergun dalam

membersihkan jaringan nekrosis secara enzimatik mneguangi bau, mampu

menstrilkan luka, menyerap air dari luk dan memperbaiki oksigenasi jaringan dan

meningkatkan epiteliisasi. Angka mortalis gangren Founier berkisar ari 7-75%

dengan rerata 20. Berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya mortalitas


adalah usia lanjut , penyakit yang sudah menjalar uar, syok atau sepsis, kultur

darah menunjukan bakteriemia, dan uremia.

3. Rekonstruksi Bedah

Tergantung pada tingkat cacat kulit, pilihan dalam rekonstruksi menjahit,

ketebalan kulit perpecahan pencangkokan, atau vaskularisasi miomukotaneus

pedikel. Cacat kecil dapat ditutup oleh penjahitan primer, terutama dikulit yang

lentur seperti pada skrotum. Kecacatan besar biasa paling sering timbul saat

pencangkokan kulit. Kulit kaki yang sehat, pantat, dan lengan dapat digunakan

untuk pencangkokan. Cacat pada kulit batang penis harus terhindar dari

pencangkokkan untuk mencegah pembentukan bekas luka fibrosis karena

berhubungan dengan masalah ereksi. Pada cacat yang luas, terutama di mana

tendon yang terkena vaskularisasi miokutaneus harus digunakan. Pada daerah

medial paha misalnya myocutaneous gracilis flap pedikel dapat memberikan hasil

terbaik karena dapat menutup kedekatan dengan mobilitas dan perineum yang

baik. Flaps lain yang menggunakan arteri epigastrika inferior juga dapat

dipertimbangkan. Pada pria dengan penyakit striktur uretra yang mendasarinya,

uretroplasti mungkin sangat sulit atau tidak mungkin karena kehilangan kulit

penoskrotal yang cukup luas dan bahkan dari uretra sendiri. Mukosa bukal dapat

digunakan untuk merekonstruksi uretra, tetapi dalam beberapa kasus dengan

jaringan yang luas tidaklah mendapatkan hasil memuaskan, uretrostomi perineum

permanen mungkin solusi terbaik.

J. KOMPLIKASI
Sepsis mungkin karena debridemen yang tidak lengkap, infeksi sistemik,

atau respon yang kurang baik. Banyak pasien yang gagal karea kekebalan organ

yang merupakan konsekuensi paling ditakuti sepsis yang belum terselesaikan dan

biasanya melibatkan paru, kardiovaskular, sistem ginjal, koagulopati, kolesistitis

acalculous, dan cedera serebrovaskular juga telah. Miositis dan mionekrosis dari

paha atas dapat terjadi sebagai akibat sepsis yang berasal dari kantong testis

subkutan saat dilakukan debridemen. Komplikasi akhir meliputi:

 Chordee, ereksi yang menyakitkan, dan disfungsi ereksi

 Infertilitas akibat memindahkan testis di paha kantong (suhu tinggi)

 Karsinoma sel skuamosa pada jaringan parut

 Imobilisasi dengan kontraktur yang lama

Anda mungkin juga menyukai