Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ILMU BEDAH REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2022


UNIVERSITAS HALU OLEO

FOURNIER GANGRENE

Oleh:

Pembimbing
dr. Tomy Nurtamin, Sp.B.U

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO

RUMAH SAKIT UMUM BAHTERAMAS KOTA KENDARI

KENDARI

2022
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama :

NIM :

Judul Referat : Fournier Gangrene

Telah menyelesaikan referat dalam rangka tugas kepaniteraan klinik pada


Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Oktober 2022


Mengetahui,
Pembimbing

dr.Tomy Nurtamin, Sp.B.U


FOURNIER GANGRENE

, Tomy Nurtamin2

A. PENDAHULUAN
Fournier’s gangrene (selanjutnya disingkat FG) merupakan fasiitis
nekrotikans di daerah perianal, perineal, serta genital yang bersifat progresif
dan fatal. Penyakit ini sering disertai faktor predisposisi yang menyebabkan
perkembangan penyakit ini menjadi progresif, antara lain diabetes, gangguan
ginjal, keganasan. 1
Fournier's gangrene termasuk penyakit infeksi yang fatal namun jarang
terjadi. Fournier's gangrene pertama kali ditemukan pada tahun 1883 oleh
seorang venerologis Prancis Jean Alfred Fournier. Infeksi pada Fournier's
gangrene memiliki karakteristik khas, yaitu akan menyebabkan trombosis
pada pembuluh darah subkutis yang akan menyebabkan nekrosis kulit di
sekitarnya. Fournier's gangrene merupakan penyakit yang memiliki potensi
fatal dengan angka mortalitas tinggi dan termasuk dalam kasus
kegawatdaruratan bedah dan urologi.2
Meskipun awalnya digambarkan sebagai Gangren yang idiopatik pada
alat kelamin, namun penyebab Fournier gangren dapat diidentifikasikan
pada 75-95% dari jumlah kasusnya. Proses nekrosis biasanya berasal dari
infeksi di anorektal (13- 50%), saluran urogenital (17-87%), sedang yang lain
dari trauma lokal atau infeksi kulit di sekitar alat kelamin.3
Pada beberapa tahun terakhir kasus insiden Fournier’s Gangrene
cenderung meningkat. Hal ini disebabkan faktor predisposisi dari Fournier‘s
Gangrene seperti diabetes mellitus, imunosupresi, dan penyakit hati dan
ginjal kronik juga meningkat dalam beberapa tahun ini. Infeksi pada sebagian
besar kasus Fournier’s Gangrene merupakan gabungan sinergis antara
bakteri aerob dan anaerob. Mikroorganisme penyebab infeksi seringkali tidak
hanya satu macam, melainkan merupakan infeksi polimikroba dari enterik
gram negatif, gram positif Stafilokokus atau Streptokokus, dan bakteri
anerobik (Clostridium spp). E coli, Bakteroides, Klebsiella spp, Proteus spp,
Pseudomonas spp, dan Enterokoki disebut sebagai bakteri yang paling sering
menyebabkan infeksi ini. 2,3
Dasar penanganan Fournier's gangrene adalah dengan stabilisasi
hemodinamik, terapi antibiotik sistemik, dan surgical debridement. Prinsip
terapi pada gangrene Fournier adalah terapi suportif memperbaiki keadaan
umum pasien, pemberian antibiotika, dan debridement dengan membuang
jaringan nekrosis. Antibiotika yang dipilih adalah yang sesuai dengan hasil
sensitifitas kultur kuman atau jika belum ada hasil kultur, dipilih antibiotika
yang berspektrum luas, yaitu golongan penisilin, klindamisin, atau
aminoglikosida.2
B. DEFINISI
Gangren Fournier / Fournier Gangrene adalah terjadinya fascitis
necrotican yang diawali dengan infeksi jaringan lunak yang disebabkan
polimikroba yang agresif dan sering fatal pada daerah perineum, perianal, dan
genitalia eksterna. 4
Fournier’s gangrene merupakan polimikrobial fascitiis nekrotikan di
daerah perineum dan genitalia pria. Pada tahun 1764, Baurienne
mendeskripsikan gangrene yang fulminan pada perineum pria. Penyakit ini
dapat berkembang menjadi infeksi jaringan lunak yang fulminan yang
menyebar secara cepat sepanjang fascia, yang mengakibatkan nekrosis kulit,
jaringan lunak subkutan, dan fascia yang dihubungkan dengan sepsis
sistemik. Jika penyakit ini tidak didiagnosis dengan cepat dan diterapi yang
tepat, maka akan terjadi morbiditas dengan waktu perawatan yang lama dan
bahkan dapat terjadi kematian. 5
C. EPIDEMIOLOGI
Seperti diketahui, keadaan penyakit ini meningkat seiring waktu, dan
Fournier’s gangrene terjadi paling sering pada pria usia tua (dengan puncak
insiden pada dekade kelima dan keenam) dan sebagian besar kasus memiliki
sebab yang tidak teridentifikasi. Pada beberapa literatur lain disebutkan
puncak usia terbanyak ditemukan pada usia antara 30–60 tahun, dan 56 kasus
pediatrik dengan 60% terjadi pada bayi usia kurang dari 3 bulan. 5
Di USA penyakit ini relatif jarang dan insiden sebenarnya tidak
diketahui. Pada penelitian retrospektif ditemukan 1726 kasus yang
didokumentasikan pada literatur dari tahun 1950–1999, dengan rata-rata 97
kasus per tahun yang dilaporkan sepanjang tahun 1989–1998. Meskipun
demikian, insidennya meningkat, sebagian besar tampaknya akibat
meningkatnya usia harapan hidup rata-rata pada populasi penduduk, seperti
meningkatnya jumlah pasien dengan terapi immunosupresif atau menderita
infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), terutama di Afrika. 5
Angka kematian bervariasi sekitar 7,5%. Faktor yang berhubungan
dengan tingginya mortalitas adalah sumber infeksi anorektal, usia tua,
penyakit yang meluas, (menyebar ke dinding abdomen dan femoral), syok
sepsis, gagal ginjal, disfungsi, dan hepar. Kematian biasanya akibat penyakit
sistemik seperti sepsis, koagulopati, gagal ginjal akut, diabetik ketoasidosis,
atau kegagalan multi organ.5
Gangren Fournier adalah kondisi yang relatif jarang, mewakili hanya
0,02% dari pasien yang masuk di rumah sakit menurut studi epidemiologi
baru-baru ini, meskipun kejadiannya meningkat dengan populasi yang menua
dan prevalensi diabetes yang lebih tinggi. 6
D. ETIOLOGI
JA Fournier menggambarkan kondisi Fourniere gangrene tersebut
sebagai proses yang idiopatik, namun, gangren Fournier jarang benar-benar
idiopatik dan dengan pengamatan dan penelitian, penyebab yang mendasari
dapat diidentifikasi pada sebagian besar kasus. Fasciitis nekrotikans sering
kali berasal dari infeksi dari ano-rektum (30-50%), uro-genitalia (20-40%)
atau kulit genital (20%). Trauma pada daerah ini, baik disengaja atau tidak
disengaja telah dilaporkan dalam literatur sebagai kemungkinan sumber
infeksi. Gangren Fournier telah terbukti sangat terkait dengan diabetes,
alkoholisme kronis, human immunodeficiency virus (HIV), penyakit limfo-
proliferatif, penyalahgunaan steroid kronis dan obat-obatan sitotoksik. Prinsip
yang mendasari semua kondisi ini adalah terganggunya imunitas pejamu,
menciptakan lingkungan yang menguntungkan untuk terjadinya infeksi.
Malnutrisi dan status sosial ekonomi yang lebih rendah juga telah terbukti
berhubungan dengan perkembangan gangren Fournier. Kedua faktor ini
berpotensi terkait dengan kebersihan perineum yang buruk dan kekebalan
yang lebih rendah yang berhubungan dengan perkembangan gangren
Fournier. 6
Founier’s Gangrene disebabkan infeksi bakteri aerob dan anaerob
seperti E. coli, coliform Klebsiella spp., Bacteroides spp., Streptococcus spp.,
Enterococcus spp., Pseudomonas spp., Proteus spp. dan Clostridium spp.4
E. FAKTOR RISIKO
Faktor-faktor penyebab penyakit ini dapat diidentifikasi pada lebih dari
90% kasus dan harus dicari secara aktif, karena hal ini menentukan
penatalaksanaan dan prognosisnya. Pada kasus yang tampaknya idiopatik,
penyebabnya mungkin tertutupi oleh proses nekrosis penyakit ini.
Kemungkinan penyebab Fournier’s gangrene tertera di tabel di bawah ini.
Infeksi mungkin berasal dari area yang tertera berikut, dengan penyebaran ke
arah fascia yang menjadi fasciitis. 5
Meskipun Fournier’s gangrene terutama mengenai pria usia tua, tapi
dapat juga mengenai semua umur, dan hampir sekitar 10% kasus terjadi pada
wanita. Penyebab khusus pada wanita termasuk blok nervus pudendus atau
episiotomi pada persalinan pervaginam, aborsi septik, histerektomi, dan abses
vulva, serta Bartholin.5
Urogenital  Striktur uretra
 Indwelling kateter transuretra
 Penggunaan kondom kateter dalam jangka
waktu lama
 Batu Uretra
 Uretritis
 Pembedahan Transuretral
 Infeksi kelenjar periuretral dan abses parauretral
 TBC Urogenital
 Kanker Uretra
 Biopsi Prostat
 Massase Prostat
 Abses Prostat
 Insersi protese penis
 Constriction ring device untuk penatalaksanaan
ED
Trauma iatrogenik  Kauterisasi genital warts
 Sirkumsisi
 Manipulasi pada long standing paraphimosis
 Noniatrogenic trauma
 Gigitan hewan, serangga, atau manusia
 Abses scrotal
 Hidrocele yang terinfeksi
 Hydrocelectomy
 Vasectomy
 Balanitis
 Phimosis
Anorektal  Abses Ischiorectal atau perianal atau
intersphincter
 Biopsi mukosa rektum
 Banding pada hemorrhoid
 Dilatasi anal
 Kanker sigmoid atau kanker rektum
 Diverticulitis
 Perforasi rektal oleh benda asing
 Kolitis ischemik
 Stenosis anal
Kutaneous  Hidradenitis suppurativa
 Folliculitis
 Scrotal pressure
 Infeksi luka pasca pembedahan scrotal
 Selulitis scrotum
 Pyoderma gangrenosum
 Akses femoral untuk pemakaian obat intravena
Penyebab  Abses psoas
Retroperitoneal  Abses perinephric
 Appendisitis dan abses apendiks
 Pankreatitis dengan nekrosis lemak
retroperitoneal
Penyebab lain  Repair hernia inguinalis
 Filariasis di daerah endemik
 Hernia richter strangulata

Tabel 1. Penyebab Fournier’s gangrene5


Penyakit komorbid pada pasien dengan Fournier’s gangrene :5
1. Diabetes melitus
2. Alkoholisme kronis
3. Malnutrisi
4. Obesitas
5. Sirosis Hati
6. Hygiene personal yang buruk
7. Immunosuppresi
8. Penggunaan steroid yang kronis
9. Transplantasi organ
10. Kemoterapi pada terapi keganasan HIV/AIDS
11. Tuberkulosis
12. Sifilis
F. PATOFISIOLOGI
Faktor predisposisi dan etiologi dari Fournier gangrene menyediakan
lingkungan yang menguntungkan untuk infeksi dengan menurunkan imunitas
pejamu dan memungkinkan masuknya mikroorganisme ke dalam perineum.
Insiden yang menyebabkan inokulasi mungkin sangat sepele sehingga
pasien atau dokter mungkin tidak menyadarinya. Secara karakteristik,
Fournier gangrene ada karena sinergisme antara beberapa bakteri yang
secara teoritis tidak terlalu agresif jika disajikan sendiri. Sifat polimikrobial
Fournier gangrene dengan kontribusi oleh bakteri aerob dan anaerob
diperlukan untuk membuat produksi berbagai eksotoksin dan enzim seperti
kolagenase, heparinase, hyaluronidase, streptokinase dan streptodornase,
yang mendorong multiplikasi dan penyebaran infeksi yang cepat. Bakteri
aerob menyebabkan agregasi platelet dan menginduksi fiksasi komplemen,
sehingga menyebabkan percepatan koagulasi. Bakteri anaerob mendorong
pembentukan gumpalan dengan memproduksi kolagenase dan heparinase.
Organisme lain seperti Bacteroides menghambat fagositosis bakteri aerob,
membantu penyebaran infeksi lebih lanjut. 7
Infeksi pada Fournier gangrene cenderung menyebar di sepanjang
bidang fasia dengan keterlibatan awal dari permukaan (fasia Colles) dan
bidang fasia dalam genitalia. Selanjutnya, ada penyebaran ke kulit di atasnya
dengan otot. Infeksi fasia Colles kemudian dapat menyebar ke penis dan
skrotum melalui fasia Buck dan Dartos, atau ke dinding perut anterior
melalui fasia Scarpa, atau dan sebaliknya. Arteri epigastrika inferior dan
arteri iliaka sirkumfleksa dalam mensuplai aspek bawah dinding anterior
abdomen, sedangkan arteri pudenda eksterna dan interna mensuplai dinding
skrotum. Dengan pengecualian arteri pudenda interna, masing-masing
pembuluh ini berjalan di dalam fasia camper dan oleh karena itu dapat
menjadi trombosis dalam perkembangan Fournier gangrene. Fasia Colles
melekat secara lateral ke rami pubis dan fasia lata dan posterior ke diafragma
urogenital, sehingga membatasi perkembangan ke arah ini. Sebaliknya,
sumber infeksi anorektal biasanya dimulai di daerah perianal, variasi klinis
yang dapat berfungsi sebagai panduan untuk melokalisasi fokus infeksi.
Keterlibatan testis terbatas pada Fournier gangrene oleh fakta bahwa suplai
darah berasal dari aorta, independen dari daerah yang terkena. Namun,
keterlibatan testis menunjukkan asal retroperitoneal atau penyebaran infeksi.
Meskipun trombosis corpus spongiosum dan cavernosum telah dilaporkan,
keterlibatan corpora jarang terjadi sementara kulit penis mengelupas. 7
G. GEJALA
Presentasi klinis berupa bengkak dan krepitasi pada skrotum secara
cepat bertambah dan area ungu kehitaman terbentuk dan berlanjut menjadi
gangrene yang luas. Apabila dinding abdomen juga terlibat pada pasien
obesitas dengan diabetes, proses penyebaranya akan lebih cepat. Gejala
genitourinari yang khas yang berhubungan dengan kondisi ini termasuk
disuria, discharge uretheral, dan obstruksi berkemih. Perubahan status mental,
tachypnea, tachycardia, and temperatur lebih dari 38.3° C(101° F) atau
kurang dari 35.6° C (96° F) diperkirakan sebagai sepsis gram-negatif.4
Presentasi klinis Fournier gangrene sangat bervariasi tergantung pada
tingkat infeksi serta komorbiditas pasien. Biasanya, infeksi dimulai sebagai
selulitis lokal yang berdekatan dengan portal masuk, biasanya di daerah
perineum atau perianal, dengan presentasi yang berbahaya. Gambaran awal
seringkali tidak spesifik dan umum untuk etiologi infeksi lainnya. Dalam satu
penelitian, keluhan utama awal yang paling umum adalah pembengkakan
(80,8%), nyeri (79%), dan eritema (70,7%).(53). Bula (26%), nekrosis kulit di
atasnya (24%), dan krepitasi (20%) kurang umum pada pemeriksaan awal,
tetapi terkait dengan tahap selanjutnya dari fasciitis nekrotikans. Gas
subkutan dan krepitasi sangat spesifik untuk infeksi clostridial. Demam dan
takikardia hadir pada 40% dan 61% dari pasien ini. Daerah yang terkena
mungkin juga tampak bengkak, kehitaman, atau hadir dengan karakteristik
"air cucian" pembuangan purulen dengan bau feculent terkait, disebabkan
oleh adanya bakteri anaerob.8

Gambar 1. Fournier Gangrene4

Gambar 2. Nekrosis luas pada scrotum yang meluas hingga inguinal


yang merupakan ciri khas dari Fournier’s gangrene5
H. DIAGNOSIS
1. Anamnesis6
- Nyeri daerah genital
- Bengkak
- Gejala prodromal seperti demam dan letargi
- Gatal
- Terdapat riwayat diabetes mellitus, HIV, atau trauma
Dalam anamnesis pasien, tidak dapat ditentukan penyebab pasti dari
infeksi, namun dapat diperkirakan infeksi perianal dapat bersumber dari
luka bekas melahirkan dengan hygiene yang kurang pada daerah
perineum.3

2. Pemeriksaan Fisik
Fournier gangrene adalah diagnosis klinis berdasarkan adanya
fluktuasi, krepitasi, nyeri tekan yang luar biasa, dan luka pada alat
kelamin dan perineum. 8
a. Manifestasi pada kulit :
- Normal
- Eritema
- Krepitasi subkutaneus
- Gangrene
- Luka yang dicurigai sebagai portal masuknya bakteri
b. Bau busuk
c. Cairan purulent
d. Edema
e. Palpasi lunak 6
Gambar 3. Fournier gangrene pada skrotum 9
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium kasus Fournier gangrene tidak
spesifik, seperti anemia, leukositosis, trombositopenia, gangguan
elektrolit, hiperglikemia, peningkatan serum kreatinin, azotemia, dan
hipoalbuminemia.1
Penemuan abnormal, seperti anemia, trombositopenia,
koagulopati, hiponatremia, dan peningkatan ureum dan kreatinin.
Hipokalsemia mungkin terjadi pada beberapa kasus, sebagai akibat
chelasi dari kalsium yang terionisasi oleh trigliserida yang dibebaskan
oleh lipase bakterial. Leukositosis dengan hitung jenis lekosit di atas
15.000/mm3 dan pergeseran ke kiri (shift to the left), ditemukan pada
lebih dari 90% kasus. Neutrofilia menggambarkan infeksi bakteri
yang hebat. Perlu dicermati bahwa leukositosis mungkin tidak
ditemukan pada pasien dengan imunosupressi. Anemia mungkin
tampak sebagai gambaran sepsis. Koagulopati dapat diindikasikan
dengan peningkatan Prothrombin Time (PT) dan Partial
Thromboplastin Time (PTT), dan trombositopenia. Peningkatan nilai
fibrinogen dan D-dimer positif menggambarkan onset dari
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC).5
Kultur urin dan darah, bersamaan dengan apusan luka (wound
swabs) dan spesimen dari kultur bakteri amatlah penting. Status HIV
harus dipastikan pada semua pasien, sebab Fournier’s gangrene
mungkin merupakan presentasi pasien dengan HIV.5
b. Pemeriksaan radiologi
Imaging radiologis dapat bermanfaat jika diagnosis meragukan,
tetapi pemeriksaan ini jangan sampai menunda manajemen
pembedahan. X-ray abdomen dan pelvis mungkin akan memberikan
gambaran gas pada lapisan fascia subkutan di daerah perineum dan
dinding abdomen.5
Radiografi konvensional dapat mengungkapkan emfisema
subkutan memanjang dari perineum dan genitalia eksterna ke daerah
inguinal, paha dan dinding perut anterior. Kehadiran udara subkutan
tidak patognomik tetapi meningkatkan indeks kecurigaan infeksi
nekrotikans jaringan lunak dimana 90% pasien dengan gangren
Fournier telah dilaporkan mengalami emfisema subkutan. Radiografi
juga dapat mengungkapkan pembengkakan jaringan skrotum yang
signifikan.6

Gambar 4. Radiografi panggul pasien dengan gangren Fournier.


Tampak gas skrotum yang tampak hitam terlihat jelas (panah putih)
dan merupakan indikasi infeksi jaringan lunak nekrotikan dengan
kemungkinan organisme anaerobik pembentuk gas.9
Investigasi dengan USG dapat mengungkapkan emfisema
subkutan, terlihat sebagai daerah echogenic menunjukkan artefak
gema dengan bayangan 'kotor', di daerah skrotum atau perineum.
Temuan USG lain pada gangren Fournier mungkin berupa dinding
skrotum yang menebal dan edema. USG juga berguna untuk
membedakan infeksi nekrotikans pada jaringan lunak dari patologi
skrotum lainnya. Dalam konteks ini, USG lebih unggul dari radiografi
konvensional.6
Ultrasonografi memberikan gambaran yang lebih baik pada
daerah perineum dan skrotum. Gambaran bayangan hiperakustik
(hyperacoustic shadow) pada fascia merupakan diagnostik bagi
pembentukan gas dan lebih sensitif daripada evaluasi klinis untuk
krepitasi. Meskipun demikian, pada pasien dengan nyeri yang hebat
pada palpasi, pemeriksaan ultrasonografi akan dirasakan terlalu nyeri.5
Pemeriksaan ultrasonografi dapat dilakukan langsung dan dapat
melihat patologi skrotum, atau abses maupun cairan di jaringan lunak.
Ultrasonografi juga dapat melihat gambaran udara di lapisan
subkutan. Karakteristik gambaran infeksi dengan nekrosis pada
ultrasonografi adalah terdapat gas di jaringan dengan gambaran
hiperekoik disertai bayangan di daerah distal. Ultrasonografi mungkin
juga dapat menunjukkan penebalan kulit skrotum dan cairan
peritestikular.1
Gambar 5. Ultrasonografi skrotum pasien dengan gangren
Fournier.Kantong gas ekogenik terlihat jelas (panah putih) dan
merupakan indikasi infeksi jaringan lunak nekrotikans dengan
kemungkinan organisme anaerobik pembentuk gas.9

Gambar 6. Ultrasonografi skrotum gangren Fournier menunjukkan


puing-puing ekogenik dan bayangan (panah biru), indikasi udara dan
bahan infeksius. 8
Pemeriksaan CT scan dapat menunjukkan gambaran patologis
akibat inflamasi jaringan lunak atau nekrosis liquefaktif. Gambaran
khas pada CT berupa adanya udara di jaringan lunak; cairan di fasia
bagian dalam tidak selalu terlihat bisa karena gas di jaringan lunak
belum terdeteksi pada stadium awal. CT scan merupakan modalitas
yang paling sensitif untuk mendeteksi gas di jaringan lunak, dapat
dikatakan lebih superior dibanding pemeriksaan radiologis. CT scan
sangat baik untuk evaluasi luasnya jaringan yang terkena FG, dapat
melihat kemungkinan sumber infeksi, serta dapat melihat komplikasi
yang mungkin terjadi seperti ruptur vaskular akibat nekrosis jaringan.1
Computerized Tomography (CT) lebih sensitif dalam
menggambarkan gas subkutan dan retroperitoneal dan terkumpulnya
cairan, tetapi penggunaan zat kontras hendaknya dihindari pada pasien
dengan gagal ginjal. 5
Pencitraan CT memainkan peran penting dalam diagnosis
Fournier gangrene dan untuk mengevaluasi tingkat penyakit untuk
memandu perawatan bedah yang tepat lebih lanjut. Meskipun masih
ada kekurangan data mengenai manfaat kontras intravena, ini dapat
lebih mencirikan jaringan lunak dan harus digunakan jika
memungkinkan. Temuan termasuk penebalan fasia asimetris,
pengumpulan cairan, pembentukan abses, lemak terdampar di sekitar
struktur yang terlibat, dan bukti emfisema subkutan. CT dapat
mengungkap etiologi yang mendasari Fournier gangrene , seperti
abses perineum, pembentukan fistula, atau proses infeksi di ruang
intraabdominal atau retroperitoneal. Ini membantu dalam
membedakan Fournier gangrene dari infeksi yang kurang parah dan
memungkinkan evaluasi bidang fasia superfisial dan dalam. CT
memiliki sensitivitas mendekati 90% untuk diagnosis NSTI, selain
spesifisitas yang tinggi (93,3%).8
Gambar 7. Gambaran CT Scan yang menunjukkan pocket gas
di skrotum (tanda panah).5
Magnetic Resonance (MR) merupakan modalitas imaging yang
paling sensitif untuk. mengevaluasi patologi pada jaringan lunak,
tetapi pemeriksaan ini mahal dan tidak semua rumah sakit memiliki
modalitas ini.5
I. DIAGNOSIS BANDING5
Diagnosis banding untuk Fournier’s Gangrene antara lain:
1. Selulitis
2. Hernia strangulate
3. Abses skrotum
4. Streptococcal necrotizing fasciitis
5. Vascular occlusion syndrome
6. Herpes simplex
7. Gonococcal balanitis dan oedema
8. Pyoderma gangrenosum
9. Vasculitis allergy
10. Polyarteritis nodosa
11. Necrolytic migratory erythema (glucagonoma syndrome)
12. Warfarin necrosis
13. Ecthyma gangrenosum (akibat septikemia Pseudomonas)
J. TATALAKSANA
Tiga prinsip utama penanganan, yaitu tindakan debridement jaringan
nekrosis yang agresif dan segera, perbaikan hemodinamik dengan resusitasi
cairan segera, serta pemberian antibiotik spektrum luas parenteral. Prinsip
terapi pada gangrene Fournier adalah terapi suportif memperbaiki keadaan
umum pasien, pemberian antibiotika, dan debridement dengan membuang
jaringan nekrosis. 1,2
Tujuan utama penatalaksanaan Fournier’s gangrene adalah resusitasi
agresif bagi pasien, pemberian antibiotik berspektrum luas (Penicillin,
Metronidazole, dan Cephalosporin generasi ketiga), serta surgical
debridement jaringan yang terinfeksi dan nekrosis. Debridement merupakan
hal yang paling penting, dan tujuannya adalah membawa pasien ke dalam
ruang operasi sesegera mungkin. Diversi urin baik dengan pemasangan
kateter per uretra maupun dengan pemasangan kateter suprapubik (sistostomi)
juga diperlukan. Diversi fekal dengan colostomy diperlukan pada beberapa
kasus, dengan indikasi: 5
1. Bila luka meluas sampai sphincter ani
2. Perforasi colon atau rectum
3. Untuk menurunkan kontaminasi luka
a. Terapi Farmakologi
1) Antibiotik
Antibiotik spektrum luas diperlukan dalam pengelolaan gangren
Fournier. Hasil kultur dan sensitivitas dapat mengubah pilihan antibiotik.
Saat ini tidak ada rekomendasi untuk terapi antibiotik yang optimal pada
gangren Fournier dan manajemen pasien tergantung pada pedoman rumah
sakit setempat. Asosiasi ahli urologi di Eropa menyarankan golongan
fluoroquinolone untuk kuman gram positif ataupun gram negatif.
Sedangkan metronidazole disarankan untuk kuman anaerob. 1, 6
Antibiotik empiris harus mencakup resistensi methicillin
staphylococcus aureus, biasanya dengan linezolid atau vankomisin, yang
dikombinasikan dengan carbapenem atau inhibitor beta-laktam-beta-
laktamase. Klindamisin harus ditambahkan, karena dapat menekan
produksi toksin dan memodulasi produksi sitokin, serta menurunkan
mortalitas akibat NSTI. Pada pasien dengan hipersensitivitas penisilin
berat, klindamisin atau metronidazol dikombinasikan dengan
aminoglikosida atau fluorokuinolon harus diberikan. Selain itu, banyak
yang menyarankan menambahkan penisilin untuk pengobatan streptokokus
khususnya pada kasus yangdicurigai karena infeksi clostridium. 8
Vankomisin/ Linezolid MRSA positif
Klindomisin Streptococcal spp
Spektrum luas baik gram negatif
Fluorokuinolon
maupun gram positif
Sefalosporin Gram positif
Metronidazol Bakteri anaerob
Tabel 2. Pilihan antibiotic untuk pengobatan tahap awal rekomendasi
European Association of Urology (EAU)6
Meskipun imunoglobulin intravena dosis tinggi baru-baru ini
digambarkan sebagai pilihan potensial untuk menetralkan racun
streptokokus, namun belum ditunjukkan dalam penelitian secara acak, dan
harus dipertimbangkan berdasarkan konsultasi dengan tim bedah.8
2) Resusitasi
Pasien dengan founier gangrene dapat mengalami hipotensi atau
syok septik yang ditandai dengan hipoperfusi, yang dapat menyebabkan
disfungsi organ. Sehingga resusitasi cairan agresif dan dukungan
hemodinamik sering diperlukan, karena bukti disfungsi organ akhir
dikaitkan dengan peningkatan mortalitas. Pedoman merekomendasikan
resusitasi dengan cairan kristaloid intravena dalam 3 jam pertama untuk
pasien dengan sepsis atau syok septik dengan hipoperfusi. Cairan ini
sebaiknya berupa kristaloid seperti larutan Ringer laktat atau PLASMA-
LYTE A (Baxter Healthcare Corporation, Deerfield, IL). Resusitasi
cairan harus dipandu oleh parameter hemodinamik (denyut jantung,
tekanan darah, keluaran urin, dan pembersihan laktat), dan pasien harus
sering dipantau menggunakan indeks dinamis (pengangkatan kaki pasif)
untuk mengukur respons terhadap pengobatan cairan.8
Terapi antibiotic untuk Fournier angrene sebagai berikut :9
a) Piperacillin-tazobactam+vancomycin
 3,37g setiap 6-8 jam secara intravena (IV)
 30mg/kg/hari dalam dua dosis terbagi IV
b) Sefotaksim + metronidazol atau klindamisin
 2 g setiap 6 jam IV
 500mg setiap 6 jam IV
 600–900mg setiap 8 jam IV
c) Imipenem-cilastatin atau meropenem atau ertapenem
 1 g setiap 6–8 jam IV
 1g setiap 8 jam IV
 1g setiap hari IV
b. Terapi Non Farmakologi
1. Debridement
Debridement yang segera dan agresif amatlah penting, karena
secara signifikan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian.
Prosedur ini hendaknya dilakukan dalam anestesi umum, karena
penyebaran infeksi yang sesungguhnya biasanya tidak diketahui pada
preoperatif. Pasien hendaknya diletakkan pada posisi dorsal lithotomy.
Tujuan debridement adalah untuk membuang sumber infeksi dan
jaringan yang terinfeksi. Ahli bedah dan pasien hendaknya disiapkan
terhadap kemungkinan debridement radikal. 5
Penghilangan secara dini dan radikal dari jaringan nekrotik dan
devitalized adalah langkah penting dalam menghentikan
perkembangan infeksi. Perlunya debridement bedah cepat, bahkan
dengan penundaan beberapa jam meningkatkan risiko kematian. 6
Debridement meliputi pengangkatan semua jaringan mati dan
reseksi sampai ditemukan tepi kulit yang berdarah. Dalam praktiknya,
sayatan awal dibuat pada kulit yang nekrotik, atau ke area kulit yang
paling edematous dan/atau eritematosa jika tidak ada nekrosis. Diseksi
jari kemudian digunakan untuk mengikuti bidang fasia dan untuk
mengganggu kantong yang berisi sisa-sisa jaringan dan gas. Selama
proses debridement, jaringan mati dieksisi secara tajam. Jika kulit
penis terlibat, kulit batang penis harus diangkat sampai ke korona
tanpa meninggalkan kulit distal untuk mencegah limfedema. Setelah
debridement selesai, luka diirigasi dengan saline dan hemostasis
dicapai dengan menggunakan elektrokauter untuk pembuluh darah
kecil, atau ligasi atau kliping untuk pembuluh darah yang lebih besar.9
Untuk pasien wanita, debridement harus dilakukan sama seperti
pada pasien pria dengan eksisi bedah luas yang cepat pada jaringan
yang terkena.9

Gambar 8. Skrotum dan testis saat dilakukan debridement9


Gambar 9. Debridement ekstensif dari seluruh skrotum, batang penis,
hingga klavikula, karena perkembangan luas dari gangren Fournier.9
2. Rekonstruksi
Tindakan rekonstruksi direncanakan 1 bulan setelah tindakan
debridement. Rekonstruksi pada pasien menggunakan flap dari
skrotum. Tidak dilakukan skin graft karena flap skrotum sudah mampu
menutupi seluruh permukaan. Pada beberapa kasus, terutama pada FG
lebih dari setengah permukaan skrotum, perlu tindakan graft karena
penutupan defek tidak boleh menimbulkan tekanan. Beberapa
komplikasi dapat terjadi, seperti infeksi, jahitan flap terbuka lagi, dan
nekrosis. Teknik rekonstruksi dapat dilakukan secara primer atau
langsung setelah debridement ataupun tertunda, tidak dilakukan
bersamaan dengan tindakan debridement. Teknik flap skrotum paling
sering digunakan. Teknik flap muskulokutan dengan otot grasilis, satu–
satunya teknik rekonstruksi yang dapat dilakukan segera setelah
debridement, dilakukan pada 24,2 % dari 95 pasien. Teknik graft kulit
dan teknik flap fasiokutan dari paha menempati posisi ketiga dengan
16,85%. Pada pasien yang memiliki defek yang kecil serta memiliki
risiko tinggi dilakukan anestesi, penyembuhan luka secara sekunder
menjadi pilihan. 1
Gambar 10. Rekonstruksi setelah debridement gangren Fournier9

Pada pria dengan komorbid striktur uretra, urethroplasty mungkin


akan sangat sulit atau bahkan tidak mungkin dilakukan akibat
kehilangan kulit penoscrotal yang luas dan bahkan uretra itu sendiri.
Mukosa bukal dapat digunakan untuk merekonstruksi uretra, namun
pada beberapa kasus dengan kehilangan jaringan yang luas,
urethrostomy perineal permanen dapat menjadi pilihan terbaik.5

c. Oksigen hiperbarik
Hyperbaric Oxygen (HBO) telah digunakan sebagai terapi dalam
penatalaksanaan Fournier’s gangrene. Protokol yang biasa digunakan
berupa sesi multipel pada 2,5 atm selama 90 menit dengan inhalasi
oksigen 100% tiap 20 menit. 5
HBO meningkatkan level tekanan oksigen di jaringan dan memiliki
efek yang menguntungkan pada proses penyembuhan luka. Oxygen
Free Radical dibebaskan dari jaringan yang hipoksia, yang bersifat
toksik terhadap bakteri anaerobik. Aktivitas fibroblast meningkat
dengan diikuti angiogenesis yang akan mempercepat penyembuhan
luka.5
Namun HBO ini mahal dan tidak nyaman. Kontraindikasi metode
ini adalah di mana ruang udara tertutup pada tubuh dapat mengalami
kerusakan akibat ekspansi pada saat pengembalian ke tekanan atmosfer
yang normal, seperti sinusitis, otitis media, asma, dan penyakit
pulmonal bulosa (bullous pulmonary disease). Perhatian khusus harus
diberikan pada penderita diabetes, di mana hipoglikemia dapat
dieksaserbasi oleh HBO.5

Bagan 1. Alur penanganan Fournier Gangren4


K. PROGNOSIS
Rata rata angka mortalitas dari penyakit ini adalah 20% dengan
rentang antara 7% hingga 75%. Mortalitas yang lebih tinggi didapatkan pada
pasien dengan diabetes, alkoholik dan pasien dengan sumber infeksi
kolorektal yang seringkali memiliki gambaran klinis yang tidak terlalu jelas,
keterlambatan diagnosis dan penjalarannya lebih luas. Fournier gangrene
merupakan kegawat daruratan dalam bidang urologi yang memerlukan
perhatian lebih. Penanganan pembedahan dini serta manajemen medis yang
agresif, tingkat survival > 70%, tergantung dari kondisi pasien dan
ketersediaan unit perawatan kritis.5
Penilaian keparahan dan mortalitas pasien FG menggunakan
Laboratory Risk Indicator for Necrotizing Fasciitis Score (LRINEC). Jika
skor dibawah 5 maka probabilitas fasiitis nekrotikans adalah 7 probabilitas
>75%.18 Terjadinya komplikasi syok sepsis dapat diprediksi jika skor lebih
dari 5 poin dengan sensitivitas 82% dan spesifisitas 38%. Sedangkan batas
skor prediksi mortalitas adalah 8, dengan sensitivitas 81% spesifisitas 36%.1
Tabel 3. Sistem skor Laboratory
Risk Indicator for Necrotizing
Fasciitis (LRINEC)1

Cara lain adalah menggunakan Fournier’s gangrene severity index


(FGSI). FGSI memiliki 9 parameter yang dapat menentukan prognosis
pasien. Setiap parameter memiliki skor 0 sampai 4. Total skor di atas 9
menunjukkan prognosis lebih buruk. 1
Tabel 4. Sistem skor Fournier Gangrene Severity Index (FGSI)1
L. KOMPLIKASI
Komplikasi dari Fournier Gangren termasuk gagal organ tunggal atau
multipel, juga defek yang besar pada scrotum, perianal, penis dan pada
dinding abdomen. Apabila Fournier Gangren mengenai testis tunggal atau
keduanya, orkidektomi dapat dilakukan. Pada penis dapat dilakukan amputasi
parsial atau total pada kasus gangrene berat. Fournier Gangren merupakan
salah satu komplikasi dari diabetes mellitus dan mungkin berhubungan
dengan keto-asidosis. Nyeri jangka panjang tidak umum pada Fournier
Gangren dan 50% dari pasien dapat dikatakan tanpa nyeri. Fungsi seksual
mungkin terganggu oleh deviasi penis atau torsio penis juga hilangnya
sensitifitas dari kulit penis atau nyeri pada saat ereksi. Infertilitas sangat
jarang setelah Fournier Gangren, tetapi beberapa kasus telah dilaporkan.4
Komplikasi lanjut dapat berupa: 5
1. Chordee, ereksi yang nyeri, dan disfungsi ereksi
2. Infertilitas sebagai akibat dibenamkannya testis di kantung femoral
(temperatur tinggi)
3. Squamous cell carcinoma pada jaringan parut
4. Kontraktur akibat immobilisasi yang lama
5. Depresi akibat perubahan tubuh dismorfik
6. Kehilangan income/pemasukan dan permasalahan dalam kehidupan
keluarga akibat masa perawatan yang lama.
7. Lymphedema pada tungkai akibat debridement pelvis dan dapat diikuti
dengan terjadinya thrombophlebitis
DAFTAR PUSTAKA

1. Djaya A.M.E.S. 2018. Laporan kasus : Fournier’s Gangrene. CDK-266 Vol.


45, Nomor. 7, hlm : 528-532
2. Orizani C.M. 2015. Pengembangan Intervensi Perawatan Luka Pada Fournier
Gangrene Dengan Menggunakan Negative Pressure Wound Care Berdasarkan
Comfort Theory. Adi Husada Nursing Journal Voume. 1, Nomor 2, hlm :11
3. Patodo R.A., dkk. 2020. Fournier’s Gangrene : Case Report. Jurnal Medical
Profession (MedPro)Volume 2, Nomor 2, hlm: 88-89
4. Seputra K.P. 2020. Panduan Tata Laksana Infeksi Saluran Kemih dan
Genitalia Pria 2020 : Fournier Gangren. Surabaya. Ikatan Ahli Urologi
Indonesia, hlm : 98-104
5. Hidayati A.N., dkk. 2018. Gawat Darurat Medis dan Bedah. Surabaya.
Airlangga University Press, hlm : 84-102
6. Singh A., dkk. 2016. Fournier’s gangrene. A clinical review. Archivio
Italiano di Urologia e Andrologi Volume 88, Nomor 3, hlm : 157-161
7. Chennamsetty A., dkk. 2015. Contemporary diagnosis and management of
Fournier’s gangrene. Therapeutic Advances in Urology, hlm :2-3
8. Montrief, dkk. 2019. Fournier Gangrene: A Review For Emergency
Clinicians. The Journal of Emergency Medicine, hlm : 4-8
9. Hagedorn J.C. dan Wessels H. 2016. A contemporary update on Fournier’s
gangrene. Nature Reviews Urology , hlm : 5-8

Anda mungkin juga menyukai