Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA KEPALA

Oleh A11-A
Kelompok 10

A.A Istri Meidina Cindy (17.321.2657)

Kadek Aristiani Putri (17.321.2673)

Ni Luh Putu Kusuma Sari Dewi (17.321.2693)

Ni Made Anggi Febrianti (17.321.2694)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TRAUMA KEPALA

I. KONSEP DASAR TRAUMA KEPALA


A. DEFINISI / PENGERTIAN
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala (Suriadi & Yuliana, Rita. 2006)
Menurut Brain Injury Assosiation of America, trauma kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik.
Trauma kepala adalah kerusakan jaringan otak yang diakibatkan oleh adanya
trauma (benturan benda atau serpihan tulang) yang menembus atau merobek suatu
jaringan otak, oleh pengaruh suatu kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan
akhirnya oleh efek percepatan perlambatan pada otak yang terbatas pada
kompartemen yang kaku (Price, SA & Wilson, LM. 2012)
Jadi dapat disimpulkan bahwa trauma kepala adalah trauma/ cedera yang
terjadi pada bagian kepala (kulit kepala, tulang ataupun otak) yang disebabkan
karena benturan mekanik baik secara langsung ataupun tidak langsung, tidak
bersesifat degenerative ataupun congenital yang dapat menyebabkan gangguan
fungsi neurologis, fungsifisik, kognitif dan psikososial yang dapat bersifat
sementara ataupun permanen

B. EPIDEMIOLOGI/ INSIDEN KASUS


Trauma kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama dikalangan usia
produktif khususnya di negara berkembang. Hal ini diakibatkan karena mobilitas
yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga
keselamatan di jalan masih rendah disamping penanganan pertama yang belum
benar benar rujukan yang terlambat. Di Amerika Serikat, kejadian trauma kepala
setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10%
meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80%
dikelompokkan sebagai trauma kepala ringan (CKR), 10% termasuk trauma kepala
sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah trauma kepala berat (CKB). Insiden trauma
kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden trauma kepala,
20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan,
kegiatan olahraga dan rekreasi. Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi
data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk
penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar
10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-
10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal. Insiden trauma kepala
nyata yang memerlukan perawatan di RS dapat diperkirakan 480 ribu kasus
pertahun (200 kasus, 100 ribu orang) yang meliputi concussion, fraktur tengkorak,
peradarahan intracranial, laserasi otak, hematoma dan cedera serius lainnya. Dari
total ini, 75 – 85 % adalah concussion dan sekuele trauma kepala ringan. Trauma
kepala banyak terjadi pada laki – laki berumur antara 15 – 24 tahun, dan biasanya
karena kecelakaan bermotor. Dari 1200 pasien yang dirawat di RS dengan trauma
kepala tertutup, 55 % dengan trauma kepala ringan (minor) (Roslina, Jumiati. 2017)

C. ETIOLOGI/ PENYEBAB
1. Beberapa Faktor yang dapat menyebabkan trauma kepala adalah :
a) Cidera setempat (benda tajam)
Misalnya pisau, peluru atau berasal dari serpihan atau pecahan dari fraktur
tengkorak.Trauma benda tajam yang masuk kedalam tubuh merupakan
trauma yang dapat menyebabkan cidera setempat atau kerusakan terjadi
terbatas dimana benda tersebut merobek otak.
b) Cidera Difus (benda tumpul)
misalnya terkena pukulan atau benturan.Trauma oleh benda tumpul dapat
menyebabkan/menimbulkan kerusakan menyeluruh (difuse) karena kekuatan
benturan. Terjadipenyerapan kekuatan oleh lapisan pelindung seperti :
rambut, kulit, kepala, tengkorak. Pada trauma berat sisa energi diteruskan
keotak dan menyebabkan kerusakan dan gangguan sepanjang perjalanan
pada jaringan otak sehingga dipandang lebih berat.

2. Berat ringannya masalah yg timbul akibat trauma bergantung pada beberapa


faktor yaitu :
a) Lokasi benturan
b) Adanya penyerta seperti : fraktur, hemoragik
c) Kekuatan benturan
d) Efek dari akselerasi (benda bergerak membentur kepala diam) dan
deseleras (kepala bergerak membentur benda yang diam)
e) Ada tidaknya rotasi saat benturan

3. Dapat pula dibagi menjadi :


a) Trauma primer
Terjadi karena benturan langsung ataupun tak langsung
(akselerasi/deselerasi otak)
b) Trauma sekunder
Merupakan akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas,
hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.

4. Secara umum, penyebab trauma kepala diantaranya :


 Kecelakaan lalu lintas
 Perkelahian
 Jatuh
 Cedera olahraga
 Trauma tertembak (peluru) dan pecahan bom
 Trauma bendatumpul
 Kecelakaan kerja
 Kecelakaan rumah tangga (Netiari. 2015)
D. PATOFISIOLOGI
Pada trauma kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi
gerakan kepala. Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa
perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa
kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Akselerasi-deselerasi
terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi
trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak
(substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(countrecoup). Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi.
Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi
(peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya
peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan
dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya
merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam
setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini
berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya
kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya
glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan
pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan
tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel fungsional dalam
otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk
glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai
terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk
mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada
beberapa daerah tertentu dalam otak.
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan
(aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam,
seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda
tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang
secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini
mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan
cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala,
yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang
otak (Price, SA & Wilson, LM. 2012)
E. KLASIFIKASI
a. Berdasarkan Mekanisme
 Trauma Tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil), kecepatan rendah
(terjatuh, terpukul)
 Trauma Tembus : luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya.
b. Berdasarkan Tingkat Keparahan
Biasanya Trauma kepala berdasarkan tingkat keparahannya didasari atas
GCS. Dimana GCS ini terdiri dari tiga komponen yaitu :

 Reaksi membuka mata (E)


Reaksi membuka mata Nilai

Membuka mata spontan 4

Buka mata dengan rangsangan suara 3

Buka mata dengan rangsangan nyeri 2

Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri 1

 Reaksi berbicara
Reaksi Verbal Nilai

Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5

Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang 4

Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata 3

Keluar suara tetapi tak berbentuk kata-kata 2

Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun 1

 Reaksi Gerakan lengan / tungkai


Reaksi Motorik Nilai

Mengikuti perintah 6

Melokalisir rangsangan nyeri 5


Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri 4

Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri 3

Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri 2

Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri 1

Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), trauma kepala dapat diklasifikasikan


menjadi:

a. Cedera kepala Ringan (CKR) : bila GCS 14-15 (kelompok resiko rendah).
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma
b. Cedera kepala Sedang (CKS) : bila GCS 9-13 (kelompok resiko sedang).
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang
dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Cedera kepala Berat (CKB) : bila GCS 3-8 (kelompok resiko berat)
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga
meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

c. Trauma kepala bisa dikelompokkan sebagai trauma kepala tertutup atau


terbuka (penetrasi, luka tembus), antara lain :
1. Trauma kepala terbuka , kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak
masuk ke dalam jaringan otak dan melukai :
a) Merobek durameter
b) Saraf otak
c) Jaringan otak
d) Battle sign
e) Rhinorrhoe
f) Orthorrhoe
g) Gejala fraktur basis
h) Brill hematom
2. Trauma kepala tertutup
a. Komosio
1) Trauma kepala ringan
2) Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali.
3) Hilang kesadaran sementara, kurang dari 10 – 20 menit.
4) Tanpa kerusakan otak permanen.
5) Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah.
6) Disorientasi sementara.
7) Tidak ada gejala sisa.
8) MRS kurang 48 jam ® kontrol 24 jam pertama, observasi tanda-
tanda vital.
9) Tidak ada terapi khusus.
10) Istirahat mutlak setelah keluhan hilang coba mobiliasi brtahap,
duduk berdiri pulang.
11) Setelah pulang kontrol, aktivitas sesuai, istirahat cukup, diet
cukup.
b. Kontusio
1) Ada memar otak.
2) Perdarahan kecil lokal/difusi gangguan lokal perdarahan.
Gejala :
1) Gangguan kesadaran lebih lama
2) Kelainan neurologik positif, reflek patologik positif, lumpuh,
konvulsi.
3) Gejala TIK meningkat.
c. Hematom epidural
1) Perdarahan antara tulang tengkorak dan durameter.
2) Lokasi terering temporal dan frontal.
3) Sumber : pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus
4) Gejala : manifestasinya adanya desak ruang
5) Penurunan kesadaran ringan saat kejadian periode Lucid (beberapa
menit – beberapa jam ) penurunan kesadaran hebat koma, serebrasi,
dekortisasi, pupil dan isokor, nyeri kepala hebat, reflek patologik
positif.
d. Hematom subdural
1) Perdarahan antara durameter dan archnoid.
2) Biasanya pecah vena akut, subakut, kronis.
Akut :
 Gejala 24 – 48 jam
 Sering brhubungan dengan cidera otak dan medulla oblongata.
 TIK meningkat
 Sakit kepala, kantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil
lambat.
Sub akut
 Berkembang 7 – 10 hari, kontosio agak berat, adanya gejala TIK
meningkat ® kesadaran menurun.
Kronis :
 Ringan, 2 minggu 3-4 bulan
 Perdarahan kecil-kecil terkumpul pelan dan meluas
 Gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, disfgia.

Gambar 2: Hematoma Subdural


e. Hematom intrakranial
1) Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih
2) Selalu diikuti oleh kontosio
3) Penyebab: Fraktur depresi, penetrasi peluru, gerakan akselerasi –
deselerasi mendadak (Herdman, T. Heather. 2012)
Gambar 3: CederaKepalaTertutup

F. MANIFESTASI KLINIS
1. Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan tidak tegap,
kehilangan tonus otot.
2. Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung
(bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
3. Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
4. Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami ganggua fungsi.
5. Muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur, disfagia)
6. Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental (orientasi,
kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau
tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris)
deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan
seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, refleks
tendon tidak ada atau lemah, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan
gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi
tubuh.
7. Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak
bisa beristirahat, merintih.
8. Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi,
stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
9. Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi, perubahan
warna, adanya aliran cairan (drainase) dari telinga atau hidung (CSS), gangguan
kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum
mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi tubuh.
10. Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang – ulang.
11. Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
12. Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif.
13. Mual, muntah, mengalami perubahan selera.
14. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope,
tinitus,kehilangan pendengaran. Perubahan dalam penglihatan,seperti
ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia,
gangguan pengecapan dan penciuman.
15. Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
16. Trauma baru atau trauma karena kecelakaan
17. Pada kontusio, segera terjadi kehilangan kesadaran, pada hematoma, kesadaran
mungkin hilang, atau bertahap sering dengan membesarnya hematoma atau
edema intestisium.
18. Respon pupil mungkin lenyap atau segera progresif memburuk.
19. Perubahan prilaku, kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan
motorik timbul dengan segera atau secara lambat.
20. Hematoma epidural dimanifestasikan dengan awitan yang cepat. Hematoma ini
mengancam hidup dan dikarakteristikkan dengan detoriorasi yang cepat, sakit
kepala, kejang, koma dan hernia otak dengan kompresi pada batang otak.
21. Hematoma subdural terjadi dalam 48 jam cedera dan dikarakteristikkan dengan
sakit kepala, agitasi, konfusi, mengantuk berat, penurunan tingkat kesadaran,
dan peningkatan TIK. Hematoma subdural kronis juga dapat terjadi. (Brunner &
Suddarth. 2014)

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG
1) Pemeriksaan laboratorium
a. AGD : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
perdarahan sub arakhnoid.
b. Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan
dalam peningkatan TIK atau perubahan mental.
2) Radiology
a. CT Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b. MRI : sama dengan CT Scan
c. Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma
d. EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis
e. Sinar X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang ( fraktur ),
pergeseran struktur dari garis tengah ( karena perdarahan ) adanya fragmen
tulang
f. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
g. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
h. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani obat
sehingga menyebabkan penurunan kesadan.
i. Myelogram :Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan
dari spinal aracknoid jika dicurigai.
j. Thorax X ray :Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
3) Fungsi lumbal : CSS, dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan sub
arakhnoid.
4) ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
5) Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadan.
6) Pemeriksaan fungsi pernafasan: Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan
ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita dengan trauma kepala dan pusat
pernafasan (medulla oblongata) (Netiari. 2015)
H. PEMERIKSAAN FISIK
Observasi dan pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum : Lemah, gelisah, cenderung untuk tidur

2. TTV : Suhu, nadi, tensi, RR, GCS

3. Body of system

a. Pernafasan ( B1 : Breathing )
- Hidung : Kebersihan
- Dada : Bentuk simetris kanan kiri, retraksi otot bantu pernafasan, ronchi
- Di seluruh lapangan paru, batuk produktif, irama pernafasan, nafas dangkal.
 Inspeksi : Inspirasi dan ekspirasi pernafasan, frekuensi, irama, gerakan
cuping hidung, terdengar suara nafas tambahan bentuk dada, batuk
 Palpasi : Pergerakan asimetris kanan dan kiri, taktil fremitus raba sama
antara kanan dan kiri dinding dada
 Perkusi : Adanya suara-suara sonor pada kedua paru, suara redup pada
batas paru dan hepar.
 Auskultasi : Terdengar adanya suara vesikuler di kedua lapisan paru,
suara ronchi dan weezing
b. Kardiovaskuler ( B2 : Bleeding )
 Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan kiri, denyut jantung pada ictus
cordis 1 cm lateral medial ( 5 ) Pulsasi jantung tampak..

 Palpasi : Frekuensi nadi/HR, tekanan darah, suhu, perfusi dingin,


berkeringat

 Perkusi : Suara pekak

 Auskultasi : Irama reguler, sistole/murmur, bendungan vena jugularis,


oedema

c. Persyarafan ( B3 : Brain ) Kesadaran, GCS


 Kepala : Bentuk ovale, wajah tampak mioring ke sisi kanan
 Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak icteric, pupil isokor,
gerakan bola mata mampu mengikuti perintah.

 Mulut : Kesulitan menelan, kebersihan penumpukan ludah dan lendir,


bibir tampak kering, terdapat afasia.

 Leher : Tampak pada daerah leher tidak terdapat pembesaran pada leher,
tidak tampak perbesaran vena jugularis, tidak terdapat kaku kuduk.

d. Perkemihan-eliminasi urine ( B4 : Bledder )


 Inspeksi : Jumlah urine, warna urine, gangguan perkemihan tidak ada,
pemeriksaan genitalia eksternal, jamur, ulkus, lesi dan keganasan.

 Palpasi : Pembesaran kelenjar inguinalis, nyeri tekan.

 Perkusi : Nyeri pada perkusi pada daerah ginjal.

e. Pencernaan-eliminasi alvi ( B5 : Bowel )


 Inspeksi : Mulut dan tenggorokan tampak kering, abdomen normal tidak
ada kelainan, keluhan nyeri, gangguan pencernaan ada, kembung
kadang-kadang, terdapat diare, buang air besar perhari.

 Palpasi : Hepar tidak teraba, ginjal tidak teraba, anoreksia, tidak ada
nyeri tekan.

 Perkusi : Suara timpani pada abdomen, kembung ada suara pekak pada
daerah hepar.

 Auskultasi : Peristaltik lebih cepat.

 Abdomen : Tidak terdapat asites, turgor menurun, peristaltik ususnormal.

 Rektum : Rectal to see

f. Tulang-otot-integumen ( B6 : Bone )
 Kemapuan pergerakan sendi : Kesakitan pada kaki saat gerak pasif,
droop foot, kelemahan otot pada ekstrimitas atas dan bawah.

 Kulit : Warna kulit, tidak terdapat luka dekubitus, turgor baik, akral kulit
(Bickley, Lynn S. 2008)

I. PROGNOSIS
Pemulihan fungsi otak tergantung kepada beratnya cedera yang terjadi, umur
anak, lamanya penurunan kesadaran dan bagian otak yang terkena. 50% dari anak
yang mengalami penurunan kesadaran selama lebih dari 24 jam, akan mengalami
komplikasi jangka panjang berupa kelainan fisik, kecerdasan dan emosi. Kematian
akibat trauma kepala berat lebih sering ditemukan pada bayi. Anak-anak yang
bertahan hidup seringkali harus menjalani rehabilitasi kecerdasan dan emosi.
Masalah yang biasa timbul selama masa pemulihan adalah hilangnya ingatan akan
peristiwa yang terjadi sesaat sebelum terjadinya cedera (amnesia retrograd),
perubahan perilaku, ketidakstabilan emosi, gangguan tidur dan penurunan tingkat
kecerdasan (Netiari. 2015)

J. PENATALAKSANAAN MEDIK
a. Observasi 24 jam
b. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
c. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
d. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
e. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
f. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
g. Pemberian obat-obat analgetik.
h. Pembedahan bila ada indikasi.

Pembedahan yang dilakukan untuk pasien trauma kepala adalah pelaksanaan


operasi trepanasi. Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang
kepala yang bertujuan untuk mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitive
(seperti adanya SDH (subdural hematoma) atau EDH (epidural hematoma) dan
kondisi lain pada kepala yang memerlukan tindakan kraniotomi). Epidural Hematoa
(EDH) adalah suatu pendarahan yang terjadi diantara tulang dang dan lapisan
duramater; Subdural Hematoa (SDH) atau pendarahan yang terjadi pada rongga
diantara lapisan duramater dan dengan araknoidea. Pelaksanaan operasi trepanasi
ini diindikasikan pada pasien :

1. Penurunan kesadaran tiba-tiba terutama riwayat trauma kepala


akibat berbagai faktor
2. Adanya tanda herniasi/lateralisasi
3. Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi,
dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan. Perawatan pasca
bedah yang penting pada pasien post trepanasi adalah memonitor
kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya.
Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen
tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu
kemudian.
Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma,
kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko
terjadinya infeksi nosokomial. Terapi konservatif meliputi bedrest total,
pemberian obat-obatan, observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat
kesadaran).
Prioritas perawatan adalah maksimalkan perfusi / fungsi otak, mencegah
komplikasi, pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi
normal, mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga, pemberian
informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan
rehabilitasi (Roslina, Jumiati. 2017)

K. KOMPLIKASI
a. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada situasi
ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini
penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki
vegetative state atau mati penderita pada masa vegetative statesering membuka
matanya dan mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon reflek. Walaupun
demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan
sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang
sembuh

b. Seizure.
Pederita yang mengalami trauma kepala akan mengalami sekurang-kurangnya
sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian,
keadaan ini berkembang menjadi epilepsy
c. Infeksi
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen)
sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena
keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang lain
d. Kerusakan saraf.
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus facialis.
Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf untuk
pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda
e. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan trauma kepala berat
mengalami masalah kesadaran (Netiari. 2015)

II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TRAUMA


KEPALA
A. PENGKAJIAN
a. Data subjektif :
1) Identitas (pasien dan keluarga/penanggung jawab) meliputi: Nama,
umur,jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, status
perkawinan, alamat, dan hubungan pasien dengan keluarga/pengirim).
2) Keluhan utama: Bagaimana pasien bisa datang ke ruang gawat darurat,
apakah pasien sadar atau tidak, datang sendiri atau dikirim oleh orang lain?
3) Riwayat cedera, meliputi waktu mengalami cedera (hari, tanggal, jam),
lokasi/tempat mengalami cedera.
4) Mekanisme cedera: Bagaimana proses terjadinya sampai pasien menjadi
cedera.
5) Allergi (alergi): Apakah pasien mempunyai riwayat alergi terhadap makanan
(jenisnya), obat, dan lainnya.
6) Medication (pengobatan): Apakah pasien sudah mendapatkan pengobatan
pertama setelah cedera, apakah pasien sedang menjalani proses pengobatan
terhadap penyakit tertentu?
7) Past Medical History (riwayat penyakit sebelumnya): Apakah pasien
menderita penyakit tertentu sebelum menngalami cedera, apakah penyakit
tersebut menjadi penyebab terjadinya cedera?
8) Last Oral Intake (makan terakhir): Kapan waktu makan terakhir sebelum
cedera? Hal ini untuk memonitor muntahan dan untuk mempermudah
mempersiapkan bila harus dilakukan tindakan lebih lanjut/operasi.
9) Event Leading Injury (peristiwa sebelum/awal cedera): Apakah pasien
mengalami sesuatu hal sebelum cedera, bagaimana hal itu bisa terjadi?
b. Pengkajian ABCD FGH
1) AIRWAY
- Cek jalan napas paten atau tidak
- Ada atau tidaknya obstruksi misalnya karena lidah jatuh kebelakang,
terdapat cairan, darah, benda asing, dan lain-lain.
- Dengarkan suara napas, apakah terdapat suara napas tambahan seperti
snoring, gurgling, crowing.
2) BREATHING
- Kaji pernapasan, napas spontan atau tidak
- Gerakan dinding dada simetris atau tidak
- Irama napas cepat, dangkal atau normal
- Pola napas teratur atau tidak
- Suara napas vesikuler, wheezing, ronchi
- Ada sesak napas atau tidak (RR)
- Adanya pernapasan cuping hidung, penggunaan otot bantu pernapasan
3) CIRCULATION
- Nadi teraba atau tidak (frekuensi nadi)
- Tekanan darah
- Sianosis, CRT
- Akral hangat atau dingin, Suhu
- Terdapa perdarahan, lokasi, jumlah (cc)
- Turgor kulit
- Diaphoresis
- Riwayat kehilangan cairan berlebihan
4) DISABILITY
- Kesadaran : composmentis, delirium, somnolen, koma
- GCS : EVM
- Pupil : isokor, unisokor, pinpoint, medriasis
- Ada tidaknya refleks cahaya
- Refleks fisiologis dan patologis
- Kekuatan otot
5) EXPOSURE
- Ada tidaknya deformitas, contusio, abrasi, penetrasi, laserasi, edema
- Jika terdapat luka, kaji luas luka, warna dasar luka, kedalaman
6) FIVE INTERVENTION
- Monitoring jantung (sinus bradikardi, sinus takikardi)
- Saturasi oksigen
- Ada tidaknya indikasi pemasangan kateter urine, NGT
- Pemeriksaan laboratorium
7) GIVE COMFORT
- Ada tidaknya nyeri
- Kaji nyeri dengan
P : Problem
Q : Qualitas/Quantitas
R : Regio
S : Skala
T : Time
8) H 1 SAMPLE
- Keluhan utama
- Mekanisme cedera/trauma
- Tanda gejala

c. Head to Toe (pemeriksaan fisik), hal-hal yang mungkin ditemukan,


meliputi:

1) Kulit, Rambut dan Kuku


 Distribusi rambut pasien.
 Warna kulit.
 Akral dingin bila perfusi perifer buruk.
 Terdapat oedema.
 Terdapat lesi
 Eritema (+)
 Terdapat sianosis pada kuku pasien.
2) Kepala dan Leher
 Kepala pasien simetris
 Terjadi edema laring.
 Deformitas di kepala dan leher akibat luka bakar (+)
 Nyeri tekan pada bagian yang mengalami luka di kepala dan leher
3) Mata dan Telinga
 Pupil : Isokor, ukuran: 3mm
 Sklera/ konjungtiva anemis
 Refleks pupil terhadap cahaya +/+
 Lapang pandang dan gerakan bola mata pasien normal.
4) Sistem Pernafasan
 Menihat adanya obstruksi
 Pergerakan dada pasien tidak simetris.
 Terdapat edema laring atau tidak.
 Terdapat edema paru atau tidak.
 RR: > 20 x/menit
 Terdapat sianosis atau tidak.
 Taktil premitus teraba atau tidak teraba
 Terdapat nyeri tekan di area dada pasien yang mengalami luka.
 Suara napas ronchi, stridor atau tidak.

5) Sistem Kardiovaskular
 Adanya palpitasi dan kelemahan
 Nilai CRT (normal <3 dtk)
 Inspeksi : terjadi sianosis.
 Palpasi : kulit teraba dingin, nadi meningkat (>100x/mnt).
 Perkusi : jantung tidak mengalami pembesaran.
 Auskultasi : S1S2 tunggal reguler.
6) Payudara Wanita dan Pria
Letak payudara simetris, mengkaji adanya nyeri tekan pada area yang
mengalami luka .

7) Sistem Gastrointestinal
 Ada tidaknya kerusakan pada mukosa mulut.
 Perkusi abdomen timpani.
 Perkusi hati pekak.
 Mengkaji adanya Ddiatensi abdomen dan keluhan mual.
 Mengkaji BU (< 5-12 x/mnt).
8) Sistem Urinarius
 Kaji adanya Oliguria
 Mengkaji Konsistensi urin : kuning bening, bau khas.
 Mengkaji Nyeri saat BAK
9) Sistem Reproduksi Wanita/Pria
 Mengkaji adanya lesi atau kelainan lainnya seperti nyeri
10) Sistem Saraf
 GCS: mengkaji adanya penurunan kesadaran (< 15)
 Refleks patologis mungkin muncul apabila terjadi cedera pada saraf dan
tulang belakang.
11) Sistem Muskuloskeletal
 Mengkaji kemampuan pergerakan sendi
 Mengkaji deformitas dan edema.
 Mengkaji Kekuatan otot .
 Mengkaji Akral .
12) Sistem Imun
 Mengkaji adanya penurunan pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri
pada luka akibat rusaknya kulit sebagai barier pertahanan tubuh dari
infeksi.
 Terjadi kelemahan.
 Sistem Endokrin: mengkaji adanya hiperglikemia

d. Pola-pola fungsi kesehatan


Ditanyakan keadaan sebelum dan selama sakit bagaimana ? Pola kebiasaan
dan fungsi ini meliputi :
a. Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat
Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan tentang
kesehatan, pencegahan dan kepatuhan pada setiap perawatan dan
tindakan medis ?Bagaimana pandangan terhadap penyakit yang diderita,
pelayanan kesehatan yang diberikan, tindakan apabila ada anggota
keluarga yang sakit, penggunaan obat-obatan pertolongan pertama.
b. Pola nutrisi
Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi anak. Ditanyakan bagaimana
kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi oleh anak ?
Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak ? Bagaimana selera
makan anak ? Berapa kali minum, jenis dan jumlahnya per hari ?
c. Pola Eliminasi
BAK: ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara makroskopis
ditanyakan bagaimana warna, bau, dan apakah terdapat darah ? Serta
ditanyakan apakah disertai nyeri saat anak kencing.
BAB: ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau tidak ? Bagaimana
konsistensinya lunak,keras,cair atau berlendir ?
d. Pola aktivitas dan latihan
Apakah anak senang bermain sendiri atau dengan teman sebayanya ?
Berkumpul dengan keluarga sehari berapa jam ? Aktivitas apa yang
disukai ?

e. Pola tidur/istirahat
Berapa jam sehari tidur ? Berangkat tidur jam berapa ? Bangun tidur jam
berapa ? Kebiasaan sebelum tidur, bagaimana dengan tidur siang ?
f. Kognitf/persepsi
Menggambarkan pola pendengaran, penglihatan, pengecap, taktil,
penciuman, persepsi nyeri, bahasa, memori dan pengambilan keputusan
g. Persepsi diri/konsep diri
Menggambarkan sikap terhadap diri dan persepsi terhadap kemampuan,
harga diri, gambaran diri dan perasaan terhadap diri sendiri
h. Peran/hubungan
Menggambarkan keefektifan hubungan dan peran dengan keluarga-
lainnya.
i. Seksualitas/reproduksi
Menggambarkan kepuasan/masalah dalam seksualitas-reproduksi
j. Koping/toleransi stress
Menggambarkan kemampuan untuk menangani stres dan menggunakan
sistem pendukung.
k. Nilai/kepercayaan
Menggambarkan spiritualitas, nilai, sistem kepercayaan dan tujuan dalam
hidup.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d sekresi yang tertahan d.d batuk tidak
efektif, gangguan menelan, air liur yang tertahan, dispnea
2. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi d.d PCO2
meningkat, PH arteri menurun, bunyi nafas tambahan, dispnea
3. Resiko perfusi serebral tidak efektif d.d trauma kepala
4. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (trauma) d.d nyeri kepala, tampak
meringis, gelisah, frekuensi nadi meningkat
5. Resiko syok d.d hipoksia
6. Resiko infeksi d.d peningkatan paparan organisme patogen lingkungan
(Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016)
C. RENCANA TINDAKAN
No Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi Rasional
.
Dx
1. Setelah dilakukan asuhan Latihan batuk efektif - bersihan jalan nafas
keperawatan selama .....x24 jam, Observasi: tidak efektif karena
diharapkan bersihan jalan nafas - Identifikasi ketidakmampuan
pasien dapat teratasi dengan kemampuan batuk batuk efektif sehingga
kriteria hasil : perlu pemantauan
- Batuk efektif cukup Nursing treatment: kemampuan batuk
meningkat - Atur posisi semi pasien
- dispnea menurun fowler atau fowler - posisi fowler/ semi
- wheezing menurun fowler meringankan
Edukasi: sesak nafas sehingga
- Jelaskan tujuan dan mempermudah batuk
prosedur batuk efektif
efektif - Edukasi sangat
- anjurkan tarik nafas penting untuk
dalam melalui mengetahui
hidung selama 4 cara/prosedur dari
detik, ditahan selama batuk efektif
2 detik, kemudian - ketidakefektifan batuk
keluarkan dari mulut dapat menyebabkan
dengan bibir sesak nafas sehingga
mencucu perlu edukasi cara
(dibulatkan) selama merangsang batuk
8 detik efektif yang baik
- mukolitik/ekspektoran
Kolaborasi: membantu untuk
- kolaborasi mengencerkan mucus
pemberian mukolitik (dahak) yang kental
atau ekspektoran, sehingga mudah
jika perlu dikeluarkan
2. Setelah dilakukan asuhan Pemantauan respirasi - Dengan mengkaji
keperawatan selama .....x24 jam, Observasi: kualitas frekuensi dan
diharapkan gangguan pertukaran - Monitor frekuensi, kedalaman pernafasan,
gas pasien dapat teratasi dengan irama, kedalaman, kita dapat mengetahui
kriteria hasil : dan upaya napas sejauh mana perubahan
- Dispnea menurun - Monitor pola napas kondisi pasien
- Bunyi napas tambahan (seperti bradipnea, - bradipnea, takipnea,
menurun takipnea, hiperventilasi, ataksik
- PCO2 membaik hiperventilasi, suatu kondisi yang
- PH arteri normal (ph 7) ataksik) dapat memperburuk
- Auskultasi bunyi gangguang pertukaran
napas gas maka dari itu
perlunya di pantau
Nursing Treatment: - gangguan pertukaran
- Atur interval gas membuat pola
pemantauan respirasi nafas tidak stabil
sesuai kondisi pasien sehingga perlu
pengaturan interval
Edukasi: respirasi sesuai kondisi
- Jelaskan tujuan dan pasien
prosedur pemantauan - menjelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
Kolaborasi: sehingga pihak pasien,
- Kolaborasi keluarga lebih
pemberian obat memahami
dengan dokter - Pemberian pengobatan
dapat menurunkan
beban pernafasan dan
mencegah terjadinya
gangguan pertukaran
gas
3. Setelah dilakukan asuhan Manajemen Peningkatan  TIK merupakan nilai
keperawatan selama .....x24 jam, Tekanan Intrakranial tekanan dalam rongga
diharapkan resiko perfusi Observasi: kepala
serebral pasien dapat teratasi - Monitor CPP  Kejang adalah salah
dengan kriteria hasil : (Cerebral Perfusion satu tanda adanya
- Tingkat kesadaran Pressure) ketidakefektifan perfusi
meningkat cerebral
- TIK menurun Nursing treatment:
- Sakit kepala menurun - Cegah terjadinya  Cairan IV Hipotonik
- Gelisah menurun kejang dapat meningkatkan
- Hindari pemberian risiko ketidakefektifan
cairan IV hipotonik perfusi cerebral
- Minimalkan stimulus  Memfasilitasi tubuh
dengan menyediakan pasien sehingga pasien
lingkungan yang merasa nyaman dan
tenang tenang
 Antikonvulsan berguna
Kolaborasi:
untuk mengatasi
- Kolaborasi pemberian masalah saraf
sedasi dan anti
konvulsan, jika perlu

4. Setelah dilakukan asuhan Menejemen Nyeri - nyeri akut


keperawatan selama .....x24 jam, Observasi: menyebabkan gelisah
diharapkan nyeri akut pasien - Identifikasi lokasi, sehingga perlu
dapat teratasi dengan kriteria karakteristik, durasi, dilakukan identiikasi
hasil : frekuensi, kualitas, lokasi, karakteristik,
- Keluhan nyeri menjadi intensitas nyeri intensits nyeri
menurun - Identifikasi respons - Pasien dengan
- Meringis dan kegelisahan nyeri non verbal. masalah nyeri akut
pasien menjadi menurun perlu dilakukannya
- Frekuensi nadi membaik Nursing Treatment: observasi adnya
(100-160x/menit). - Berikan teknik petunjuk nonverbal
nonfarmakologis bagi pasien yang tidak
untuk mengurangi dapat berkomuniaksi
rasa nyeri (mis. dengan efektif
TENS, hipnosis, - nyeri sangat
akupresur, terapi mengganggu dan
musik, biofeedback, menghambat aktivitas
terapi pijat, sehingga perlu
aromaterapi, teknik diimbangi dengan
imajinasi terbimbing, teknik
kompres nonfarmakologis
hangat/dingin, terapi - Dengan
bermain) mengidentifikasi dan
- Fasilitasi istirahat dan menghindari pemicu
tidur. dapat meminimalisir
terjadinya nyeri
Edukasi: berlebih
- Jelaskan penyebab, - dengan teknik
periode, dan pemicu nonfarmakologis bisa
nyeri sedikit lebih
- Ajarkan teknik membantu
nonfarmakologis mengimbangi terapi
untuk mengurangi dari farmakologis
rasa nyeri. - Pasien dengan
masalah nyeri akut
Kolaborasi: perlu adanya
- Kolaborasi kolaborasi dengan
pemberian analgetik, dokter
jika perlu.
5 Setelah dilakukan asuhan Pencegahan syok - syok akan
keperawatan selama .....x24 jam, Observasi: menyebabkan pasen
diharapkan resiko syok pasien - monitor status mengalami penurunan
dapat teratasi dengan kriteria kardiopulmonal nadi dan tingkat
hasil : (frekuensi dan kesadaran maka dari
- kekuatan nadi meningkat kekuatan nadi, itu dilakukan
- tingkat kesadaran meningkat frekuensi nafas, TD, memonitor
- akral dingin menurun MAP) kardiopulmonal
- pucat menurun - penurunan tingkat
Nursing treatment: kesadaran pada syok
- berikan oksigen menyebabkan
untuk hipoksemia sehingga
mempertahankan perlu diberikan
saturasi >94 oksigen untuk
mempertahankan
Edukasi: saturasi normal
- jelaskan - Menjelasakan
penyebab/faktor penyebab terjadinya
resiko syok resiko syok
Kolaborasi: - membantu pasien
- Kolaborasi mencegah terjadinya
pemberian IV, jika resiko syok
perlu - Berkolaborasi dengan
tenaga medis lainnya
dapat mencegah
terjadinya syok
6. Setelah dilakukan asuhan Pencegahan Infeksi - Dengan monitor tanda
keperawatan selama .....x24 jam, Observasi: dan gejala infeksi
diharapkan resiko infeksi pasien - Monitor tanda dan dapat mencegah
dapat teratasi dengan kriteria gejala infeksi terjadinya infeksi
hasil : - Mencuci tangan
- kemerahan cukup menurun Nursing treatment: dengan tepat
- nyeri cukup menurun (skala - Cuci tangan sebelum merupakan hal yang
0-3 ) dan sesudah kontak sangat penting
- bengkak cukup menurun dengan likungan dilakukan
pasien - Teknik aseptic
- Pertahankan teknik merupakan teknik
aseptic pada pasien yang dianjurkan
dalam mecegah
Edukasi: terjadinya infeksi
- Jelaskan tanda dan - Dengan menjelaskan
gejala infeksi tanda dan gejala
- Ajarkan cara infeksi mampu
memeriksa kondisi membantu pasien
luka dalam mencegah
terjadinya infeksi
Kolaborasi: - Dengan mengajarkan
- Kolaborasi cara memeriksa
pemberian imunisasi, kondisi luka atau luka
jika perlu oprasi mampu
mencegah terjadinya
infeksi
- Berkolaborasi dengan
tenaga medis lainnya
dapat mencegah
terjadinya infeksi
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018, Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019)

D. IMPLEMENTASI
Implementasi keperawatan disesuaikan dengan intervensi yang direncanakan.

E. EVALUASI
Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai tindakan
keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan
klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan yang
dilakukan dengan format SOAP.
DAFTAR PUSTAKA

Potter & Perry. 2010. Fundamental Keperawatan Buku 3 Edisi 7. Jakarta : Salemba
Medika

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (Definisi
dan Indikator Diagnostik). Jakarta Selatan: DPP PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (Definisi
dan Tindakan Keperawatan). Jakarta Selatan: DPP PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia (Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan). Jakarta Selatan: DPP PPNI

Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012


2014. Jakarta: EGC

Netiari. 2015. LP Trauma Kepala Dengan Trepanasi. Tersedia pada


https://www.academia.edu/10612648/LPcedera_kepala_dengan_trepanas
i. Diakses pada tanggal 11 Maret 2020 pukul 20.00 wita

Bickley, Lynn S. 2008. Buku Saku Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan Bates.
Edisi 5. Jakarta: EGC

Brunner & Suddarth. 2014. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi8. volume 2,
Jakarta:EGC

Suriadi & Yuliana, Rita. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta : Sagung seto

Price, SA & Wilson, LM. 2012. Patofisiologis: Konsep klinis proses-proses penyakit.
Edisi ke 6. Jakarta: EGC

Roslina, Jumiati. 2017. Trauma Kepala. Tersedia pada


https://www.academia.edu/16726400/BAB_1_TRAUM_KEPALA.
Diakses pada tanggal 11 Maret 2020 pukul 21.00 wita

Anda mungkin juga menyukai