OLEH:
NI NYOMAN YUNIATI
NIM. P07120223149
2. Etiologi
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma
kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak
20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dankekerasan
sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakanpenyebab utama
trauma kepala (Langlois & Thomas, 2006). Sedangkan menurut Coronado &
Thomas (2007), kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat
inap pasien trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan29,8 per100.000 populasi.
Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat
sebanyak 7,1 per100.000 populasi di Amerika Serikat. Penyebab utama
terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut:
a) Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan
dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan
kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya.
b) Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur
ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan
turun maupun sesudah sampai ke tanah.
c) Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atauperbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang
lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara
paksaan).
3. Patofisiologi
Cedera kepala dapat terjadi karena cedera kulit kepala, tulang kepala,
jaringan otak, baik terpisah maupun seluruh. Faktor yang mempengaruhi cedera
kepala adalah lokasi dan arah dari penyebab benturan, kecepatan kekuatan yang
datang, permukaan dan kekuatan yang menimpa, kondisi kepala ketika mendapat
benturan. Tepat diatas tengkorak terletak galea aponeurika, suatu jaringn
fibrosa, padat dan dapat digerakan dengan bebas yang membantu menyerap
kekuatan eksternal. Diantara kulit dan galea terdapat lapisan lemak dan
membran dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh darah. Bila robek
pembuluh ini akan sukar vasokontriksi. Tengkorak otak merupakan ruangan
keras sebagai pelindung otak atau rangka otak. Pelindung lain adalah meningen
yang merupakan selaput menutupi otak (Price dan Wilson, 2006).
Cedera kepala dapat bersifat terbuka (menembus durameter) atau truma
tertutup (trauma tumpul tanpa penetrasi menembus durameter). Cedera kepala
terbuka memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses langsung ke otak.
Pada kedua jenis kepala akan terjadi kerusakan apabila pembuluh darah dan sel
glia dan neuron hancur. Kerusakan otak akan timbul apabila terjadi perdarahan
dan peradangan yang menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial (Corwin,
2001: 175).
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam
menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma
kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak
membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul,
5. Berdasarkan Patofisiologi
a) Cedera kepala primer
C. Pemeriksa Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain :
1. Foto polos kepala
Pemeriksaan ini untuk melihat pergeseran (displacement) fraktur tulang
tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya perdarahan
intracranial.
2. CT-Scan kepala
Melalui pemeriksaan ini dapat dilihat seluruh struktur anatomis kepala, dan
merupakan alat yang paling baik untuk mengetahui, menentukan lokasi dan
ukuran dari perdarahan intracranial.
3. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Kepala Pemeriksaan ini untuk menemukan perdarahan subdural kronik yang
tidak tampak pada CT-Scan kepala.
4. Angiografi
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada pasien yang mengalami hemiparesis
(kelumpuhan salah satu anggota tubuh) dengan kecurigaan adanya
hematoma. Bila ada kelainan di dalam otak akan terlihat adanya pergeseran
lokasi pembuluh darah. Pemeriksaan ini bermanfaat bila alat CT-Scan tidak
ada
5. Arteriografi
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya efek massa, letak, dan luas
hematoma tetapi tidak dapat menunjukkan penyebab hematoma dan
kelainan otak yang terjadi
6. Analisa gas darah
Pemeriksaan analisa gas darah penting untuk menilai keadaan fungsi paru-
paru. Pemeriksaan dapat dilakukan melalui pengambilan darah astrup dari
arteri radialis, brakhialis, atau femoralis.
7. Intra Cranial Pressure (ICP)
Sikap deserbrasi merupakan suatu keadaan yang terjadi saat suatu lesi otak
akibat peningkatan ICP menganggu sinyal dari struktur yang lebih tinggi
ke pons dan medulla oblongata dank e struktur di bawahnya.
Sikap dekortikasi merupakan bentuk lain dari respon motorik abnormal
dengan cedera otak yang menunjukkan adanya lesi pada korteks bagian
atas dengan cedera yang lebih ringan pada satu atau dua henister otak.
Skala koma Glsglow adalah skala yang paling banyak digunakan dalam
penilaian kesadaran penderita dan reaksinya terhadap rangsangan.
8. Penatalaksanaan
Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang) dilakukan
tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi
penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian
dapat mengalami pengapuran. Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila
diketemukan adanya gejala- gejala yang progresif, maka jelas diperlukan
tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum
diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita
perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs). Tindakan operatif
yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill craniotomy,
subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan sub dural
kronik adalah burr hole craniotomy.
Karena dengan tehnik ini menunjukan komplikasi yang minimal.
Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggapsebagai
komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia lanjut dan
sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadikembali, tidaklah
perlu untuk dilakukan operasi ulang kembali .Kraniotomidan membranektomi
merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif dengantingkat komplikasi yang
lebih tinggi. Penggunaan teknik ini sebagaipenatalaksanaan awal dari perdarahan
subdural kronik sudah mulai berkurang. Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu
tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan
pembedahan definitif. Pada pasientrauma, adanya trias klinis yaitu penurunan
kesadaran, pupil anisokor dengan
refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya
penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh
adanya massa extra aksial.
Indikasi Operasi
1. Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
2. Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
3. Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT
Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
Untuk pengobatan secara umum dari cedera kepala menurut Price & Wilson
(2016), disebutkan bahwa tindakan untuk mengurangi ICP adalah dengan
menginduksi drainase ICP melalui ventrikulostomi, analgesia (asam mefenamat,
pentalin), dan obat sedasi. Perlu juga diberikan obat diuretic manitol diberikan
secara bolus dosis 0,25-1 gram/kgBB. Dan juga pemberian obat kortikosteroid
seperti prednisone.
9. Komplikasi
1. Peningkatan TIK
Lebih dari separuh kematian karena trauma kepala disebabkan oleh
hipertensi intrakranial. Kenaikan tekanan intrakranial (TIK) dihubungkan
dengan penurunan tekanan perfusi dan aliran darah serebral (CBF) dibawah
tingkat kritis (60 mmHg) yang berakibat kerusakan otak iskemik.
Pengendalian TIK yang berhasil mampu meningkatkan outcome yang
signifikan. Telah dikembangkan pemantauan TIK tapi belum ditemukan
metode yang lebih akurat dan non invasive. Pemantauan TIK yang
berkesinambungan bisa menunjukkan indikasi yang tepat untuk mulai terapi
dan mengefektifkan terapi, serta menentukan prognosis.
2. Iskemia
Iskemia adalah simtoma berkurangnya aliran darah yang dapat
menyebabkan perubahan fungsional pada sel normal. Otak merupakan
jaringan yang paling peka terhadap iskemia hingga episode iskemik yang
sangat singkat pada neuron akan menginduksi serangkaian lintasan
metabolisme yang berakhir dengan apoptosis. Iskemia otak diklasifikasikan
menjadi dua subtipe yaitu iskemia global dan fokal. Pada iskemia global,
setidaknya dua, atau empat pembuluh cervical mengalami gangguan
sirkulasi darah yang segera pulih beberapa saat kemudian. Pada iskemia
fokal, sirkulasi darah pada pembuluh nadi otak tengah umumnya terhambat
oleh gumpalan trombus sehingga memungkinkan terjadi reperfusi. Simtoma
terhambatnya sirkulasi darah oleh gumpalan trombus disebut vascular
occlusion.
3. Perdarahan otak
a) Epidural hematom
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater
akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media
yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup
sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam
sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis
dan parietalis.
Tanda dan gejala: penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah,
hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat
kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.
b) Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi
akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan
vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan
sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan
kronik dapat terjadi dalam 2 minggu ataubeberapa bulan.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri,
berfikir lambat, kejang dan edema pupil.
c) Perdarahan intraserebral
Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri,
kapiler, vena.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi
pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-
tanda vital.
d) Perdarahan subarachnoid:
Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh
darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang
hebat.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese,
dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.
4. Kejang pasca trauma.
Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di awal
cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari
trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural,
epidural, parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10.
5. Hidrosefalus
Berdasarkan lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non
komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala
dengan obstruksi, Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat
penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan
muntah, nyeri kepala, papil udema, dimensia, ataksia, gangguan miksi.
6. Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam
bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga
sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi
sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan
antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron, stimulant,
benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan.
7. Sindroma post kontusio
Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80%
pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun
pertama.
D. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan
Gawat Darurat
a. Pengkajian menurut (Haryanto, 2015):
1) Pengkajian Primer (ABC)
a) Airway : Batuk dengan atau tanpa sputum, penggunaan
bantuan otot pernafasan, oksigen
b) Breathing : Dispnea saat aktifitas, RR lebih dari 24 kali/menit,
irama ireguler dangkal, pasien tampak menggunakan
otot bantu nafas, tampak ekspansi dada tidak penuh.
c) Circulation : Takikardi, TD meningkat / menurun, Edema pada
ekstremitas, Akral dingin, Kulit pasien tampak
pucat
2) Pengkajian Sekunder (AMPLE)
a) Alergi : Riwayat pasien tentang alergi yang dimungkinkan pemicu
terjadinya penyakitnya.
b) Medikasi : Berisi tentang pengobatan terakhir yang diminum sebelum
sakit terjadi (Pengobatan rutin maupun accidental).
c) Past Illness : Penyakit terakhir yang diderita klien, yang
dimungkinkan menjadi penyebab atau pemicu terjadinya sakit
sekarang.
d) Last Meal : Makanan terakhir yang dimakan klien.
e) Environment/ Event : Pengkajian environment digunakan jika pasien
dengan kasus Non Trauma dan Event untuk pasien Trauma.
b. Keluhan utama
Pasien Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi),
perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi
dengan bradikardia disritmia).t (Wantiyah,2010).
c. Riwayat kesehatan sekarang
Dalam mengkaji hal ini menggunakan analisa sistemPQRST.
Untuk membantu klien dalam mengutamakan masalah keluhannya
secara lengkap. Pada klien CKS umumnya mengalami mual muntah
(Wantiyah,2010).
d. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
Keadaan umum klien mulai pada saat pertama kali bertemu
dengan klien dilanjutkan mengukur tanda-tanda vital. Kesadaran
klien juga diamati apakah compos mentis, apatis, somnolen,
delirium, semi koma atau koma. Keadaan sakit juga diamati
apakah sedang, berat, ringan atau tampak tidak sakit.
b) Pemeriksaan fisik persistem
1) Sistem persyarafan, meliputi kesadaran, ukuran pupil,
pergerakan seluruh ekstermitas dan kemampuan
menanggapi respon verbal maupun non verbal (Aziza, 2010).
2) Sistem penglihatan, pada klien CKS biasanya mata
mengalami gangguan Gordon, 2015)
3) Sistem pendengaran, pada klien CKS pada sistem
pendengaran telinga, tidak mengalami gangguan (Gordon,
2015).
4) Sistem abdomen, pada klien CKS biasanya mengalami rasa
mual (Gordon, 2015).
5) Sistem respirasi, pada klien CKS biasanya mengalami sesak
nafas saat istirahat atau saat melakukan aktifitas ringan
(Aziza, 2010).
6) Sistem kardiovaskuler, pada klien CKS tidak di anjurkan
EKG
7) Sistem gastrointestinal, pengkajian pada gastrointestinal
meliputi auskultasi bising usus, palpasi abdomen (nyeri,
distensi) (Aziza, 2010).
8) Sistem muskuluskeletal biasanya terjadi kelemahan otot
9) Sistem endokrin, tidak tejadi gangguan (Aziza, 2010).
10) Sistem Integumen, Sistem perkemihan, kaji ada tidaknya
pembengkakan dan nyeri pada daerah pinggang, observasi
dan palpasi pada daerah abdomen bawah untuk mengetahui
adanya retensi urine dan kaji tentang jenis cairan yang keluar
(Aziza, 2010).
A. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot
sekunder
2. Resiko Ketidakseimbangan nutrisi berhubungan dengan asupan cairan
B. Rencana Perawatan
2. Terapeutik
3. Kolaborasi
2 Nyeri akut b.d agen pencedera fisik Setelah diberikan asuhan keperawatan Manajemen Nyeri (I.08238)
selama 2 x 24 jam, diharapkan tingkat Observasi:
nyeri menurun. Dengan kriteria hasil: - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
• Keluhan nyeri berkurang frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
• Skala nyeri 0-1 - Meringis menurun
Sikap protektif menurun
- Terapeutik:
- Edukasi
Lynda Juall Carpenito, 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC
Brunner & Suddarth. 1997. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Apley graham and Solomon Louis. 1995. Ortopedi Fraktur System Apley. Edisi 7.
Widya medika: Jakarta.
Marilynn E, Doengoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta :
EGC.
Price, Silvia A. Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses
Penyakit. Edisi 4 : EGC
Rasjad Chaeruddin. 2003. Ilmu Bedah Ortopedi. bintang Lamumpatue : Makassar.
Baticaca, Franssisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persyarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Doenges, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC,
Jakarta
Arif, Mansjoer, dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculpius, Jakarta
Brunner & Suddart, 2001. Buku Ajar Medikal Keperawatan vol 3. EGC, Jakarta
Arief Mansjoer (2014), Kapita Selekta Kedokteran, edisi 4, Jakarta : Media
Aesculapius.
Huda, A. (2015). NANDA NIC NOC jilid 1 2015. Yogyakarta : Mediaction Jogja
Judha M & Rahil H.N. (2014).Sistem Persarafan Dalam Asuhan Keperawatan.
Yogyakarta: Gosyen Publishing
Price & Wilson. (2016). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2. Jakarta : EGC
Rendy, M.C, and TH, Margareth. (2016). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah
Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika
Sidharta P, Mardjono M,. (2017). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat,
pp: 169-73.