OLEH
NI KADEK WAHYUDI
213221262
2. Epidemiologi
Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan
gangguan fisik dan mental yang kompleks. Cedera kepala adalah salah satu penyebab
kematian utama dikalangan usia produktif antara 15-44 tahun. Secara global insiden
cedera kepala meningkat dengan tajam terutama karena peningkatan penggunaan
kendaraan bermotor. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu
lintas akan menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga terbanyak di dunia.
Di Amerika Serikat kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus dari jumlah di atas 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah
sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat
cedera kepala tersebut (Fauzi, 2002). Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap
tahunnya akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat
yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Dua per tiga dari kasus ini berusia
dibawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari
setengah dari semua pasien cedera kepala berat mempunyai signifikasi terhadap
cedera bagian tubuh lainnya (Smeltzer and Bare, 2002).
3. Etiologi
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah
karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena
disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan
akibat ledakan di medan perang (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma
kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per 100.000 populasi. Kekerasan adalah
penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000
populasi di Amerika Serikat (Coronado, Thomas, 2007).
Smeltzer (2001) mengemukakan penyebab lain terjadinya trauma kepala antara lain :
a. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana merobek otak, misalnya
tertembak peluru atau benda tajam
b. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya
c. Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan maupun
bukan dari pukulan
d. Kontak benturan (Gonjatan langsung)
Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu objek
e. Kecelakaan lalu lintas
f. Jatuh
g. Kecelakaan industri
h. Serangan yang disebabkan karena olah raga
i. Perkelahian
5. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala
dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala
(Gennarelli, 1996 ; Israr dkk, 2009). Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang
bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan
kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di
bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak
terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi
tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”.
Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering
dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana
caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara
terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat
lesi
kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate
adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono dan
Sidharta, 2008).
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak
dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi
solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat
dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia
otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera
sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap
kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang
dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.
Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan
aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang
berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada
suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan
terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya
kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia,
menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak (Lombardo, 2003).
6. Klasifikasi
Cedera kepala berdasarkan klasifikasinya dapat dibagi menjadi :
a. Cedera Kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pencahnya tengkorak atau luka
penetrasi. Besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan
bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak
menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak,
jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan. Cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogen memiliki akses langsung ke otak.
b. Cedera Kepala Tertutup
Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang
mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian
serentak berhenti dan bila ada cairan dalam otak cairan akan tumpah. Cedera
kepala tertutup meliputi: komusio (gagar otak), kontusio (memar), dan laserasi
(Brunner & Suddarth, 2001)
Jumlah sekor :
15 = Compos mentis (CM)
14 – 11 = Somnolen
11 – 8 = Apatis
8 – 7 = Soporus
misalkan : E3 M5 V4 = 12 ( kesadaran somnolen)
Klasifikasi kraniotomi/trepanasi
Secara umum ada dua pendekatan melalui tengkorak yang digunakan:
a. Di atas tentorium (kraniotomi supratentorial) ke dalam kompartemen
supratentorial.
b. Di bawah tentorium ke dalam kompartemen infratentorial (fossa posterior).
c. Pendekatan transfenodial melalui sinus mulut dan hidug digunakan untuk membuat
akses ke kelenjar hipofisis.
7. Manifestasi Klinis
Gejala klinis trauma kepala sebagai berikut:
a. Battle sign : warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga diatas os mastoid
b. Hemotipanum : perdarahan di daerah membrane timpani telinga
c. Periorbital ecchymosis : mata warna hitam tanpa trauma langsung
d. Rhinorrhe : cairan serebrospinal keluar dari hidung
e. Otorrhe : cairan serebrospinal keluar dari telinga
7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi
a. CT scan ( dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak
b. MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radio aktif
c. Cerebral angiografi
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak skundre
menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
d. Serial EEG (Electroencephalography)
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
e. Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema) fragmen tulang
f. BAER (Brainstem Auditory Evoked Response)
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
g. PET (Positron Emission Tomography)
Mendeteksi perubahan aktifititas metabolism otak
h. CSS
Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
i. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan intracranial
j. Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran
k. Rontgen thorahk 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.
l. Toraksentesis menyatakan darah/cairan
m. SPECT (Single Photon Emission Computed
Tomography) Untuk mendeteksi luas dan daerah
abnormal dari otak.
n. Mielografi
Untuk mengganbarkan ruang sub arachnoid sepinal dan menunjukkan adanya
penyimpangan medulla spinalis.
8. Diagnosis
Prosedur diagnostik praoperasi dapat meliputi tomografi computer (pemindaian CT)
untuk menunjukkan lesi dan memperlihatkan derajat edema otak sekitarnya, ukuran
ventrikel, dan perubahan posisinya. Pencitraan resonans magnetik (MRI) memberikan
informasi serupa dengan pemindaian CT, dengan tambahan keutungan pemeriksaan
lesi di potongan lain. Angiografi serebral dapat digunakan untuk meneliti suplai darah
tumor atau memberi informasi mengenai lesi vascular. Pemeriksaan Doppler
transkranial mengevaluasi aliran darah pembuluh darah intrakranial.
9. Terapi
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari faktor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status
neurologis (disability, exposure), maka faktor yang harus diperhitungkan pula adalah
mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan
pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relatif
memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intrakranial yang meninggi
disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi,
tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intrakranial ini dapat dilakukan dengan cara
menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan
menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini
yakin dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Intubasi dilakukan sedini mungkin
kepala klien-lkien yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO 2 yang meninggi.
Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan
intrakranial.
Penangan khususnya pada klien dengan CKB yang mengalami perdarahan atau
hematoma di kepala baik pada bagian EDH maupun SDH dilakukan tindakan
trepanasi. Indikasi dilakukanya trepanasi yaitu penurunan kesadaran tiba-tiba di depan
mata, adanya tanda herniasi/lateralisasi, adanya cedera sistemik yang memerlukan
operasi emergensi dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
Teknik Operasi Trepanasi Kepala :
a. Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Head-up kurang
lebih 15o (pasang donat kecil dibawah kepala). Letakkan kepala miring
kontralateral lokasi lesi/ hematoma. Ganjal bahu satu sisi saja (pada sisi lesi)
misalnya kepala miring ke kanan maka ganjal bantal di bahu kiri dan sebaliknya.
b. Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan, menghilangkan
lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka, penetrasi betadine lebih
baik. Keringkan dengan duk steril. Pasang duk steril di bawah kepala untuk
membatasi kontak dengan meja operasi
c. Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah benar dengan
melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis rambut untuk kosmetik, sinus
untuk menghindari perdarahan, sutura untuk mengetahui lokasi, zygoma sebagai
batas basis cranii, jalannya N ke-VII (kurang lebih 1/3 depan antara tragus sampai
dengan canthus lateralis orbita)
d. Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin 1:200.000
yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi dengan doek steril.
e. Operasi
1) Insisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung.
2) Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60 derajat.
3) Buka flap secara tajam pada loose connective tissue. Kompres dengan kasa
basah. Di bawahnya diganjal dengan kasa steril supaya pembuluh darah tidak
tertekuk (bahaya nekrosis pada kulit kepala). Klem pada pangkal flap dan
fiksasi pada doek.
4) Buka pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan
rasparatorium pada daerah yang akan di burrhole dan gergaji kemudian dan
rawat perdarahan.
5) Penentuan lokasi burrhole idealnya pada setiap tepi hematom sesuai gambar
CT scan.
6) Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudson’s Brace) kemudian
dengan mata bor yang melingkar (Conical boor) bila sudah menembus tabula
interna.
7) Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering.
8) Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup lubang
boorhole dengan kapas basah/ wetjes.
9) Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan menggunakan
sonde. Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole. Pasang gigli kemudian
masukkan penuntun gigli sampai menembus lubang boorhole di sebelahnya.
Lakukan pemotongan dengan gergaji dan asisten memfixir kepala penderita.
10) Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara tulang
dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah dilindungi dengan elevator
kemudian miringkan posisi elevator pada saat mematahkan tulang.
11) Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang dengan spoeling
dan suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari tulang dapat dihentikan
dengan bone wax.
12) Gantung dura (hitch stitch) dengan benang silk 3.0 sedikitnya 4 buah.
13) Evakuasi hematoma dengan spoeling dan suctioning secara gentle. Evaluasi
dura, perdarahan dari dura dihentikan dengan diatermi. Bila ada perdarahan
dari tepi bawah tulang yang merembes tambahkan hitch stitch pada daerah
tersebut kalau perlu tambahkan spongostan di bawah tulang. Bila perdarahan
profus dari bawah tulang (berasal dari arteri) tulang boleh di-knabel untuk
mencari sumber perdarahan kecuali dicurigai berasal dari sinus.
14) Bila ada dura yang robek jahit dura dengan silk 3.0 atau vicryl 3.0 secara
simpul dengan jarak kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak ada lagi
perdarahan dengan spoeling berulang-ulang.
15) Pada subdural hematoma setelah dilakukan kraniektomi langkah salanjutnya
adalah membuka duramater.
16) Sayatan pembukaan dura seyogianya berbentuk tapal kuda (bentuk U) berla-
wanan dengan sayatan kulit. Duramater dikait dengan pengait dura, kemudian
bagian yang terangkat disayat dengan pisau sampai terlihat lapisan mengkilat
dari arakhnoid. (Bila sampai keluar cairan otak, berarti arachnoid sudah turut
tersayat). Masukkan kapas berbuntut melalui lubang sayatan ke bawah
duramater di dalam ruang subdural, dan sefanjutnya dengan kapas ini sebagai
pelindung terhadap kemungkinan trauma pada lapisan tersebut.
17) Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip khusus.
Koagulasi yang dipakai dengan kekuatan lebih rendah dibandingkan untuk
pembuluh darah kulit atau subkutan.
18) Reseksi jaringan otak didahului dengan koagulasi permukaan otak dengan
pembuluh-pembuluh darahnya baik arteri maupun vena.
19) Semua pembuluh darah baik arteri maupun vena berada di permukaan di ruang
subarahnoidal, sehingga bila ditutup maka pada jaringan otak dibawahnya tak
ada darah lagi.
20) Perlengketan jaringan otak dilepaskan dengan koagulasi. Tepi bagian otak
yang direseksi harus dikoagulasi untuk menjamin jaringan otak bebas dari
perlengketan. Untuk membakar permukaan otak, idealnya dipergunakan kauter
bipolar. Bila dipergunakan kauter monopolar, untuk memegang jaringan otak
gunakan pinset anatomis halus sebagai alat bantu kauterisasi.
21) Pengembalian tulang. Perlu dipertimbangkan dikembalikan/tidaknya tulang
dengan evaluasi klinis pre operasi dan ketegangan dura. Bila tidak
dikembalikan lapangan operasi dapat ditutup lapis demi lapis dengan cara
sebagai berikut:
- Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0 menembus keluar
kulit.
- Periost dan fascia otot dijahit dengan vicryl 2.0.
- Pasang drain subgaleal.
- Jahit galea dengan vicryl 2.0.
- Jahit kulit dengan silk 3.0.
- Hubungkan drain dengan vaum drain (Redon drain).
- Operasi selesai.
Bila tulang dikembalikan, buat lubang untuk fiksasi tulang, pertama pada
tulang yang tidak diangkat (3-4 buah). Tegel dura ditengah tulang yang
akan dikembalikan untuk menghindari dead space. Buat lubang pada tulang
yang akan dikembalikan sesuai dengan lokasi yang akan di fiksasi (3-4
buah ditepi dan 2 lubang ditengah berdekatan untuk teugel dura). Lakukan
fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0, selanjutnya tutup lapis demi lapis
seperti diatas.
Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan
dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti
dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
Follow-up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk
menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
Intervensi Keperawatan
a. Kraniotomi supratentorial
Pertahankan kepala tempat tidur 30-45 derajat dengan leher pada kesejajaran
netral.
Posisikan pasien miring atau terlentang. (Hindari memposisikan pasien pada
sisi operasi bila tumor besar telah diangkat)
b. Kraniotomi Intratentorial
Pertahankan leher dalam kesejajaran lurus.
Hindari fleksi leher untuk mencegah kemungkinan robekan garis jahitan.
Posisikan pasien miring. (Periksa protokol untuk peddoman posisi pasien)
c. Transfenoidal
Pertahankan tampon nasal di tempatnya dan kuatkan sesuai kebutuhan.
Instruksikan pasien untuk menghindari meniup hidup.
Berikan perawatan oral sering.
Pertahankan kepala tempat tidur tinggi utuk meningkatkan drainase vena dan
drainase dari sisi pembedahan.
10. Komplikasi
Komplikasi bedah intrakranial meliputi peningkatan TIK, infeksi, dan defisit
neurologik.
a. Peningkatan TIK dapat terjadi sebagai akibat edema serebral atau pembengkakan
dan diatasi dengan manitol, diuretik osmotik. Pasien juga memerlukan intubasi
dan penggunaan agens paralisis.
b. Infeksi mungkin karena insisi terbuka. Pasien harus mendapat terapi antibiotik,
dan balutan serta sisi luka harus dipantau untuk tanda infeksi, peningkatan
drainase, bau menyengat, drainase purulen, dan kemerahan serta bengkak
sepanjang garis insisi.
c. Defisit neurologik dapat diakibatkan oleh pembedahan. Pada pascaperasi status
neurologik pasien dipantau dengan ketat untuk adanya perubahan.
B. ASUHAN
KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1) Breathing
Pada saat pengkajian fisik lakukan mulai dari kepala ke bawah dan lakukan secara
cepat pengkajian ABC (airway, breathing, sirculation).
A : Airway
Apakah pernafasan pasien adekuat?
Pola nafas?
Apakah pergerakan kedua dinding dada sama?
B : Breathing
Bagaimana saturasi oksigen pasien?
Bagaimana cara pemberian terapi oksigen?
Apakah adekuat?
C : Circulation
Bagaimana heart rate pasien ? irama?
Bagaimana tekanan darahnya?
Bagaimana warna tangan dan kaki?
2) Blood
Denyut nadi perifer melemah, tekanan darah biasanya normal, batas jantung tidak
mengalami pergeseran, akral dingin, sianosis, kulit pucat, icterus, CRT memanjang
(>3 det). Terjadi subdural hemtoma (SDH).
3) Brain
Klien biasanya mengalami penurunan kesadaran, didapatkan sianosis perifer apabila
gangguan perfusi jaringan berat. Perlu dikaji tingkat kesadaran, besar dan reflek
pupil terhadap cahaya.
4) Bladder
Pengukuran volume output dan intake cairan, serta dikaji pula kelainan pada
genetalia dan pola eliminasi urine.
Pada pemerikasaan Ginjal
- Cek urine output
- Cek setatus cairan dan balance kumulatif
- Cek kadar ureum dan kreatinin darah
5) Bowel
Dikaji apakah ada distensi pada abdomen, bising usus, bagaimana pola eliminasi alvi,
adakah kelainan pada anus.
Pada pemerikasaan Pencernaan
- Cek Naso Gastrik Tube (NGT) jika ada
- Cek jenis makanan, kecepatan dan toleransi
- Auskultasi peristaltik
- Kapan terakhir BAB dan BAK.
6) Bone
Didapatkan kelemahan dan kelelahan secara fisik, bagaimana ATR (activity tonus
respon).
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial
2) Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler,
kerusakan medula oblongata neuromaskuler
3) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan pengeluaran urine
dan elektrolit meningkat
4) Pemenuhannutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
melemahnya otot yang digunakan untuk mengunyah dan menelan
5) Gangguan rasa nyeri berhubungan dengan cedera psikis, alat traksi
3. RENCANA KEPERAWATAN
No.Dx NOC NIC RASIONAL
DAFTRA PUSTAKA
Moorhead, Sue et al. 2008. Nursing Outcome Classification (NOC). Missouri : Mosby
Potter&Perry.1999. Fundamental Keperawatan. Jakarta:EGC
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 1. Jakarta:
EGC
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2. Jakarta:
EGC
Smeltzer, S.C dan Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jilid Satu. Edisi Kedelapan. Jakarta : EGC
,
Pathwa
Benturan kepala
Trauma kepala
Trauma pada jaringan lunak Trauma akibat deselerasi/akselerasi Robekan dan distorsi
Risiko tinggi terhadap infeksi Perubahan pada cairan intra dan ekstra sel → edema
Peningkatan suplai darah ke daerah trauma → vasodilatasi
Tekanan intracranial ↑
Penurunan
Merangsang hipotalamus Hipoksia jaringan
Merangsang inferior hipofise Kerusakan hemisfer motorik kesadaran
NIM : 213221262
Keluarga Pasien mengatakan tidak ada penyakit keturunan dalam keluarganya seperti DM,
hipertensi dll dan tidak ada keluarga yang memiliki penyakit yang sama dengannya.
Jalan Nafas : ✔ Paten ◻ Tidak Paten
RR : 15x/mnt
Oksigenasi : ◻ Nasal kanul ◻ Simpel mask ◻ Non RBT mask (10 lpm) ◻ RBT Mask
✔ Tidak ada
Drainase : -
Kondisi trakeostomi:
keterangan: … …
Masal
Nadi : ✔ Teraba ◻ Tidak teraba ◻ N: 101 x/mnt
Irama Jantung :
Pucat : ◻ Ya ✔ Tidak
Sianosis : ◻ Ya ✔ Tidak
JVP:
CVP:
Suara jantung:
keterangan: … …
Masalah Keperawatan:
Kesadaran: ◻ Composmentis ◻ Delirium ✔ Somnolen ◻ Apatis ◻ Koma
keterangan: … …
Masa
Keluhan : ◻ Mual ◻ Muntah ◻ Sulit menelan
TB : 165 cm BB : 70.kg
NGT:
B
O Abdomen : ◻ Distensi ◻ Supel ✔ normal
W
Bising usus: 18
E
L
BAB : ✔ Teratur ◻ Tidak
Stoma:
keterangan: … …
Masalah Kepe
B
O
N
E
(M
U
S
K
U
L
O
S
K
L
E
T
A
L
&
I
N
T Deformitas : ◻ Ya ◻ Tidak ◻ Lokasi ... ...
E
G Contusio : ◻ Ya ◻ Tidak ◻ Lokasi ... ...
M
E Abrasi : ◻ Ya ◻ Tidak ◻ Lokasi ... ...
N)
Penetrasi : ◻ Ya ◻ Tidak ◻ Lokasi ... ...
Makan/minum :◻0 ◻1 ✔2 ◻3 ◻4
Mandi :◻0 ◻1 ✔2 ◻3 ◻4
Toileting :◻0 ◻1 ✔2 ◻3 ◻4
Berpakaian :◻0 ◻1 ✔2 ◻3 ◻4
Berpindah :◻0 ◻1 ✔2 ◻3 ◻4
Ambulasi :◻0 ◻1 ✔2 ◻3 ◻4
keterangan: … …
I : Bentuk dada simetris, retraksi otot dada simetris, tidak ada lesi, ictus cordis
tidak terlihat
P: Ada nyeri pada dada, taktil vocal premitus normal.
H P: Tidak ada suara tambahan, getaran suara yang dihasilkan oleh perkusi adalah
E sonor.
A A: Bunyi nafas vesikuler, suara jantung reguler S1 S2 tunggal
D Abdomen dan Pinggang :
I:Tidak ada lesi, tidak ada edema dan hematoma, tidak terdapat asites
T
(kembung)
O
A:Peristaltik usus normal 20x/mnt
Atas
Bawah
K
b. Pola Nutrisi dan Metabolik
U Pasien mengatakan sebelum sakit pasien makan 3x sehari, porsi makanan 1 piring
L
T dengan menu nasi, lauk pauk dan sayur. Minum kurang lebih 1500cc per hari.
U
Setelah sakit pasien mengatakan nafsu makannya tidak ada terganggu, pasien
R
A makan 3x sehari dengan menu diet rs, dengan lauk, pauk dan sayuran.
L
c. Aktivitas dan Latian
i. Manajemen Koping
Pasien mengatakan sebelum sakit maupun saat sakit jika pasien ada masalah ia
selalu menceritakan kepada keluarganya.
j. Kognitif Perseptual
Pasien mengatakan sebelum sakit maupun saat sakit pasien mampu
berkomunikasi dengan baik,memiliki kesadaran baik, dan terbiasa berbicara
menggunakan bahasa Bali. Pasien tidak memiliki gangguan pada panca indera.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Labolatorium
Hasil CT Scan
TERAPI
Paracetamol 3x1 gr IV
Omeprazole 2x40 mg IV
Phenitoin 3x100 mg IV
Ceftriaxone 2x1 gr IV
Data Diagnosa
No Interpretasi
Subyektif & Obyektif Keperawatan
1 DS : Trauma kepela Risiko perfusi
cerebral tidak efektif
-pasien tampak berbaring
dengan faktor risiko
-pasien hanya mengerang
Pendarahan intrakranial cedera kepala
DO :
- Pasien mengalami
penurunan kesadaran Darah membentuk
massa/hematoma
- Wajah pasien tampak
gelisah
- TD : 163/99 mmHg
- GCS: E2-V2-M6
(somnolen) Risiko perfusi serebral
tidak efektif
Pasien memiliki riwayat
muntah
1 1
1 1 Kerusakan neumotorik
Kelemahan otot progresif
Rencana keperawatan
Hari/ No
Tujuan & Kriteria Rasional
TGL DX Intervensi
Hasil
20/06/2022 1 Setelah dilakukan Intervensi Utama: 1. Mengetahui
08.00 wita intervensi Manajemen kestabilan pasien
keperawatan selama Peningkatan
2. mengkaji adanya
3x 24 jam maka Tekanan
kecenderungan
Perfusi Serebral Intrakranial
pada tingkat
Meningkat dengan Observasi
kesadaran dan
kriteria hasil : 1. Identifikasi
risiko
Label: Perfusi penyebab
Serebral peningkatan
peningkatan TIK
1. Tingkat kesadaran tekanan
(mis. Lesi,
meningkat (5) intracranial (TIK)
gangguan
2. Gelisah menurun 3. peningkatan
metabolisme,
(5)
edema serebral) tekanan darah
3. Tekanan arteri sistemik yang
rata-rata membaik 2. Monitor tanda
(5) diikuti dengan
/gejala
4. Tekanan intra peningkatan TIK penurunan
kranial membaik (mis. Tekanan tekanan darah
(5)
darah meningkat, diastolic serta
5. Tekanan darah tekanan nadi napas yang tidak
sistolik membaik
melebar, teratur
(5)
bradikardi, pola merupakan
6. Tekanan darah
nafas ireguler, tanda
diastolik membaik
(5) kesadaran peningkatan
menurun) tekanan
intracranial (TIK)
3. Monitor MAP
4. Mengurangi
(Mean Arterial
Pressure) keadaan hipoksia
Hari/ TGL/ No
Tindakan Keperawatan Evaluasi Proses TTD
Jam DX
Ds : -
Do : luas edema
20/06/2022 Mengkaji lokasi dan luas
1. kedalamannya 4-5 mm Wahyudi
08.30 Wita edema
dengan waktu kembali 4
detik
DS:
Do :pasien tampak gelisah,
tampak pernapasan cuping
Ds : keluarga Pasien
mengatakan sudah minum
air putih sebanyak (-+)
Mempertahankan catatan
200cc.
11.00 1 intake dan output yang Wahyudi
Do : - Terpasang infus IVFD
akurat.
Dextrose 8 tts/mnt
Terlihat terisi urine dalam
kateter bag sebanyak 300 cc
DS:
Do : pasien tampak gelisah,
tampak pernapasan cuping
hidung, terpasang Non RBT
Monitor status
mask oksigen 12 lpm.
pernapasan dan tanda-
09.00Wita 1 TD : 112/69 mmHg Wahyudi
tanda vital (frekuensi,
S : 36,0 oC
kedalaman, usaha napas)
RR : 31x/menit
N : 99/menit
SpO2 : 99% NRM 12 lpm
Ds : keluarga Pasien
mengatakan sudah minum
air putih sebanyak (-+)
Mempertahankan catatan 100cc.
10.00 1 intake dan output yang Do : - Terpasang infus Wahyudi
akurat. IVFD Dextrose 8 tts/mnt
Terlihat terisi urine dalam
kateter bag sebanyak 200 cc
Ds : -
Do : setelah diberikan posisi
Memberikan semifowler semifowler pasien tampak
11.00 2 Wahyudi
pada pasien nyaman
Ds : -
Do : luas edema
21/06/2022 Mengkaji lokasi dan luas
1. kedalamannya 4-5 mm Wahyudi
13.30 Wita edema
dengan waktu kembali 4
detik
14.30 Wita 1 Monitor status DS: Wahyudi
pernapasan dan tanda- Do : pasien tampak gelisah,
tampak pernapasan cuping
hidung, terpasang Non RBT
mask oksigen 12 lpm.
TD : 112/66 mmHg
tanda vital (frekuensi, S : 36,0 oC
kedalaman, usaha napas) RR : 28 x/menit
N : 89 x/menit
SpoO2 : 99% NRM 12 lpm
Ds : keluarga pasien
mengatakan sudah minum
air putih sebanyak 50 cc.
Mempertahankan catatan
Do : - Terpasang infus IVFD Wahyudi
15.00 wita 1 intake dan output yang
Dextrose 8 tts/mnt.
akurat.
-Terlihat terisi urine
dalam kateter bag
sebanyak 200 cc
DS:-
Memonitor tanda /gejala Do : pasien tampak gelisah,
peningkatan TIK (mis. tampak pernapasan cuping
hidung, terpasang Non RBT
Tekanan darah mask oksigen 12 lpm.
22/06/2022 meningkat, tekanan nadi TD : 102/56 mmHg
1
08.00 wita melebar, bradikardi, S : 36,0 oC
O:
Pasien terlihat di bantu oleh
keluarganya.
Evaluasi Keperawatan
Hari/ Tgl/ No
No Evaluasi TTD
Jam Dx
P : Lanjutkan intevensi
2. 09.00 2.
S : Keluarga pasien mengatakan
Wahyudi
pasien belum bisa melakukan
aktivitas secara mandiri, hanya dapat
bergerak sederhana di tempat tidur
P : Lanjutkan intervensi