Anda di halaman 1dari 26

Definisi Trauma Kepala

Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu trauma yang mengenai struktur
kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional
jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran dan dapat menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik
(Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).1

Epidemiologi
Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian, terutama pada
dewasa muda. Di Amerika Serikat, hampir 10% kematian disebabkan karena trauma, dan
setengah dari total kematian akibat trauma berhubungan dengan otak. Kasus cedera kepala
terjadi setiap 7 detik dan kematian akibat cedera kepala terjadi setiap 5 menit. Cedera kepala
dapat terjadi pada semua kelompok usia, namun angka kejadian tertinggi adalah pada dewasa
muda berusia 15-24 tahun. Angka kejadian pada laki-laki 3 hingga 4 kali lebih sering
dibandingkan wanita (Rowland et al, 2010).1
Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena kecelakaan lalu lintas yang
dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013 hanya untuk transportasi
darat, tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9 persen menjadi 47,7 persen
(RISKESDAS, 2013).1,2

Klasifikasi Cedera Kepala


Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2014) cedera kepala
diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu
berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.2,3

1. Mekanisme Cedera Kepala


Percobaan biomekanika cedera kepala telah banyak dipelajari pada hewan
coba, kadaver manusia, dan model eksperimental tulang kepala dan otak. Pada tahun
1943, Holbourn menunjukkan efek kekuatan rotasional dengan gel pada tengkorak
manusia, dan 3 tahun kemudian, (Pudenz and Shelden, 1947) merekam fenomena ini
pada tengkorak monyet yang digantikan dengan plastik transparan. Perkembangan
teknologi memungkinkan dengan Computed Tomography (CT Scan) dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI) mempelajari efek linier dan angular akselerasi pada otak
pasien percobaan (Bayly dkk, 2005).3
Dengan mekanisme fisiologis pada cedera kepala akan dapat memperkirakan
dampak pada cedera kepala primer. Komponen utama diantaranya kekuatan cedera
(kontak atau gaya), jenis cedera (rotasional, translational, atau angular), dan besar
serta lamanya dampak tersebut berlangsung. Kekuatan kontak terjadi ketika kepala
bergerak setelah suatu gaya, sedangkan gaya inersia terjadi pada percepatan atau
perlambatan kepala, sehingga gerak diferensial otak relatif terhadap tengkorak.
Meskipun satu proses mungkin mendominasi, sebagian besar pasien dengan cedera
kepala mengalami kombinasi dari mekanisme ini.
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan cedera kepala (Goldsmith, 1966);
benturan kepala dengan benda padat pada kecepatan yang cukup, beban impulsif
memproduksi gerak tiba-tiba kepala tanpa kontak fisik yang signifikan, dan statis
beban kompresi statis atau kuasi kepala dengan kekuatan bertahap.
Kekuatan kontak biasanya mengakibatkan cedera fokal seperti memar dan
patah tulang tengkorak. kekuatan inersia terutama translasi mengakibatkan cedera
fokal, seperti kontusio dan Subdural Hematoma (SDH), sedangkan cedera rotasi
akselerasi dan deselerasi lebih cenderung mengakibatkan cedera difus mulai dari
gegar otak hingga Diffuse Axonal Injury (DAI). Cedera rotasi secara khusus
menyebabkan cedera pada permukaan kortikal dan struktur otak bagian dalam
(Youmans, 2011).
Percepatan sudut merupakan kombinasi dari percepatan translasi dan rotasi,
merupakan bentuk yang paling umum dari cedera inersia. Karena sifat biomekanis
kepala dan leher, cedera kepala sering mengakibatkan defleksi kepala dan leher
bagian tengah atau tulang belakang leher bagian bawah (sebagai pusat pergerakan).3
Gambar 1. Diffuse Injury - Akselerasi dan Deselerasi (Bigler, 2000)

Cedera lainnya merupakan trauma penetrasi atau luka tembak yang


mengakibatkan perlukaan langsung organ intrakranial, yang pasti membutuhkan
intervensi pembedahan.

2. Beratnya Cedera Kepala


Terlepas dari mekanisme cedera kepala, pasien diklasifikasikan secara klinis
sesuai dengan tingkat kesadaran dan distribusi anatomi luka. Kondisi klinis dan tingkat
kesadaran setelah cedera kepala dinilai menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS),
merupakan skala universal untuk mengelompokkan cedera kepala dan faktor patologis
yang menyebabkan penurunan kesadaran. 3,4
Glasgow Coma Scale (GCS) dikembangkan oleh Teasdale and Jennett pada 1974
dan saat ini digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera otak
(Teasdale, 1974). Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan,
mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara
pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata
ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS
sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat.
Tabel 1. Glasgow Coma Scale (Teasdale, 1974)

Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-13
dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15
dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Menurut Brain Injury Association of Michigan
(2005), klasifikasi keparahan dari cedera kepala yaitu:

Tabel 2. Klasifikasi Keparahan Cedera Kepala (Brain Injury Association of Michigan (2005)
3. Morfologi Cedera Kepala
Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi atau area terjadinya trauma
(Sastrodiningrat, 2009). Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari dua,
yaitu secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma kepala
tertutup merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala
setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan trauma kepala
tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-tiba sehingga
menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak. Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka
tampak luka telah menembus sampai kepada dura mater. (Anderson, Heitger, and
Macleod, 2006). 3,4

Secara morfologi cedera kepala data dibagi atas: (Pascual et al, 2008)
I. Laserasi Kulit Kepala
Luka laserasi adalah luka robek yang disebabkan oleh benda tumpul atau
runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda tajam lukanya akan
tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal
kulit dan jaringan bawah kulit. Laserasi kulit kepala sering di dapatkan pada pasien
cedera kepala.
Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disingkat dengan akronim SCALP
yaitu skin, connective tissue, apponeurosis galea, loose connective tissue dan
percranium. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar
yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala sering
terjadi robekan pada lapisan ini. 4

Gambar 2. Laserasi Kulit Kepala


II. Fraktur tulang kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi:
a. Fraktur Linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau
stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang
kepala.
b. Fraktur Diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang
tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis
fraktur ini terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu
dengan erat.
c. Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang memiliki
lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
d. Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang pepala terjadi akibat benturan dengan tenaga
besar yang langsung mengenai tulang kepala. Fraktur impresi pada tulang
kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada duramater dan
jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi jika tabula
eksterna segmen tulang yang impresi masuk hingga berada di bawah
tabula interna segmen tulang yang sehat.
e. Fraktur basis cranii
Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar
tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada
duramater yang melekat erat pada dasar tengkorak. pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan racon eyes sign pada fraktur basis
cranii fossa anterior, atau ottorhea dan battle’s sign pada fraktur basis
cranii fossa media.5,6

III. Luka memar (kontusio)


Luka memar pada kulit terjadi apabila kerusakan jaringan subkutan dimana
pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit
tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak
terjadi apabila otak menekan pembuluh darah kapiler pecah. Biasanya terjadi pada
tepi otak seperti pada frontal, temporal dan oksipital. Kontusio yang besar dapat
terlihat di CT-Scan atau MRI (Magnetic Resonance Imaging). Pada kontusio dapat
terlihat suatu daerah yang mengalami pembengkakan yang disebut edema. Jika
pembengkakan cukup besar dapat menimbulkan penekanan hingga dapat mengubah
tingkat kesadaran (Corrigan, 2004).

Gambar 3. Kontusio (luka memar)


IV. Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini
bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan
subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak. 5

Gambar 4. Abrasi Kulit Kepala


V. Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi
sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit pada
kranial terlepas setelah cedera (Mansjoer, 2010).6
Gambar 5. Abrasi Kulit Kepala
Patofisiologi
Cedera kepala didasarkan pada proses patofisiologi dibagi menjadi dua yang
didasarkan pada asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan fisik
yang lalu diikuti proses patologis yang terjadi segera dan sebagian besar bersifat permanen.
Dari tahapan itu, dikelompokkan cedera kepala menjadi dua yaitu cedera otak primer dan
cedera otak sekunder. (Youmans, 2011)6,7

Cedera Otak Primer


Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik yang
merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan perdarahan). Cedera ini
dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan
distensi akibat dari akselerasi atau deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang tengkorak, yang
dapat memberi efek pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan
kerusakan lokal, multifokal ataupun difus (Valadka, 1996).
Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan atau pembuluh darah. Cedera
parenkim berupa kontusio, laserasi atau Diffuse Axonal Injury (DAI), sedangkan cedera
pembuluh darah berupa perdarahan epidural, subdural, subarachnoid dan intraserebral
(Graham, 1995), yang dapat dilihat pada CT scan. Cedera difus meliputi kontusio serebri,
perdarahan subarachnoid traumatik dan DAI. Sebagai tambahan sering terdapat perfusi
iskemik baik fokal maupun global (Valadka, 1996). 7
Kerusakan iskhemik otak dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti hipotensi,
hipoksia, tekanan intrakranial /Intracranial Pressure (ICP) yang meninggi, edema, kompresi
jaringan fokal, kerusakan mikrovaskular pada fase lanjut (late phase), terjadi vasospasme
(Vazquez-Barquero,1992; Ingebrigtsen, 1998). Keadaan setelah cedera kepala dapat dibagi
menjadi:
1. Fase awal (fase1, segera, dengan hipoperfusi),
2. Fase intermediate (fase2, hari1-3, tampak hiperemia)
3. Fase lanjut vasospastik (fase3, hari ke-4-15), dengan reduksi aliran darah
(Ingebrigtsen, et al. 1998).
Perbedaan fase ini berhubungan jelas dengan variasi regional Cerebral Blood Flow
(CBF), dan reduksi aliran darah ke sekitar inti iskhemik (ischemic core) yang tidak memberi
respon terhadap bertambahnya Cerebral Perfusion Pressure (CPP) (Andersson, 2003).
Secara anatomis cedera kepala primer dapat dikelompokkan menjadi cedera fokal dan
difus (Teasdale, 1995)
Tabel 3. Klasifikasi Cedera Fokal dan Difus (Teasdale, 1995)

Gambar 6. Gambaran Cedera Otak Primer


1. Cedera otak fokal
Cedera otak fokal secara tipikal menimbulkan kontusio serebri dan traumatik
Intrakranial hematoma (Winn, 2017).
I. Kontusio Serebri (memar otak)
Kontusio serebri merupakan cedera fokal berupa perdarahan dan bengkak
pada subpial, merupakan cedera yang paling sering terjadi. Dilaporkan bahwa 89%
mayat yang diperiksa postmortem mengalami kontusio serebri (Cooper, 1982).
Depreitere et al melaporkan bahwa kasus kontusio serebri paling sering disebabkan
oleh kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian dan cedera olahraga (Depreitere,
2004).
Kontusio serebri adalah memar pada jaringan otak yang disebabkan oleh
trauma tumpul maupun cedera akibat akselerasi dan deselerasi yang dapat
menyebabkan kerusakan parenkim otak dan perdarahan mikro di sekitar kapiler
pembuluh darah otak. Pada kontusio serebri terjadi perdarahan di dalam jaringan otak
tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami
kerusakan atau terputus. Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat berkembang
menjadi perdarahan serebral. Namun pada cedera berat, kontusio serebri sering
disertai dengan perdarahan subdural, perdaraham epidural, perdarahan serebral
ataupun perdarahan subaraknoid (Hardman, 2002). 8
Freytag dan Lindenberg (1968) mengemukakan bahwa pada daerah kontusio
serebri terdapat dua komponen, yaitu daerah inti yang mengalami nekrosis dan daerah
perifer yang mengalami pembengkakan seluler yang diakibatkan oleh edema
sitotoksik. Pembengkakan seluler ini sering dikenal sebagai perikontusional zone
yang dapat menyebabkan keadaan lebih iskemik sehingga terjadi kematian sel yang
lebih luas. Hal ini disebabkan oleh kerusakan autoregulasi pembuluh darah di
pericontusional zone sehingga perfusi jaringan akan berkurang akibat dari penurunan
Mean Arterial Pressure (MAP) atau peningkatan tekanan intrakranial. Proses
pembengkakan ini berlangsung antara 2 hingga 7 hari. Penderita yang mengalami
kontusio ini memiliki risiko terjadi kecacatan dan kejang di kemudian hari (Davis,
2006).8
Gambar 7. Mekanisme Terjadinya Kontusio Serebri (Mesiano, 2010)

Penyebab penting terjadinya lesi kontusio adalah akselerasi kepala yang juga
menimbulkan pergeseran otak dengan tulang tengkorak serta pengembangan gaya
kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat akan menyebabkan hiperekstensi
kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga
menimbulkan blokade reversibel terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat
hambatan itu, otak tidak mendapat input aferen sehingga kesadaran hilang selama
blokade reversibel berlangsung (Liau et al, 2011).
Kontusio serebri dapat dibagi berdasarkan mekanisme, lokasi anatomi, atau
cedera yang berdekatan. Misalnya, fraktur kontusio akibat dari cedera kontak
langsung dan terjadi segera disebelahnya dengan fraktur tulang tengkorak. Coup
merujuk kepada trauma yang terjadi di lokasi dampak dengan tidak adanya patah
tulang, sedangkan contrecoup adalah sisi yang berlawanan dengan titik dampak.
Gliding adalah perdarahan fokal melibatkan korteks dan white matter yang berdekatan
dari margin superior dari hemisfer serebri; terjadi karena mekanisme rotasi daripada
tenaga kontak. Intermediary adalah lesi yang mempengaruhi struktur otak dalam,
seperti korpus calosum, ganglia basal, hipotalamus, dan batang otak. Herniasi dapat
terjadi di daerah medial lobus temporal pada tepi tentorial (yaitu, uncal herniasi) atau
di mana tonsil serebelum menghubungi foramen magnum (yaitu, tonsillar herniasi).8
Gambar 8. Herniasi intrakranial (Hardman, 2002)

II. Traumatik Intrakranial Hematom


Intrakranial hematom tampak sebagai suatu massa yang merupakan target
terapi yang potensial dari intervensi bedah (sebagai lawan paling memar). Lebih
sering terjadi pada pasien dengan tengkorak fraktur. Tiga jenis utama dari hematoma
intrakranial dibedakan oleh lokasi relatif terhadap meninges: epidural, subdural, dan
intracerebral.
a. Epidural Hematoma (EDH). 3
EDH adalah adanya darah di ruang epidural yaitu ruang potensial antara tabula
interna tulang tengkorak dan duramater. EDH dapat menimbulkan penurunan
kesadaran, adanya lusid interval selama beberapa jam dan kemudian terjadi
defisit neurologis berupa hemiparesis kontralateral dan dilatasi pupil
ipsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah,
kejang dan hemiparesis.

b. Subdural Hematoma (SDH). 3


Perdarahan subdural adalah perdarahan antara duramater dan arachnoid, yang
biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian yaitu:
i. Perdarahan subdural akut
SDH akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang
terjadi akut (0-2 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-
vena kecil dipermukaan korteks cerebri.
Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan
kebingungan, respon yang lambat, serta gelisah. Keadaan kritis
terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak
besar dan cedera batang otak.
ii. Perdarahan subdural subakut
Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 2-14 hari setelah
cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat.
Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan
tingkat kesadaran.
iii. Perdarahan subdural kronis
Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil memasuki
ruang subdural. Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar
membran vaskuler dan secara pelan-pelan ia meluas, bisanya
terjadi lebih dari 14 hari. Gejala mungkin tidak terjadi dalam
beberapa minggu atau beberapa bulan. Pada proses yang lama akan
terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.

c. Intracerebral Hematoma (ICH). 3,4


Intracerebral Hematoma adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen
yang terdapat di dalam parenkim otak. ICH bukan disebabkan oleh benturan
antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya
akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya
pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau
pembuluh darah kortikal dan subkortikal.

d. Subarahnoid Hematoma (SAH) Traumatik.


Perdarahan subarahnoid diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal
baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki
ruang subarahnoid.
2. Cedera Otak Difus
Cedera otak difus merupakan efek yang paling sering dari cedera kepala dan
merupakan kelanjutan klinis cedera kepala, mulai dari gegar otak ringan sampai koma
menetap pasca cedera (Sadewa, 2011).
Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselerasi
gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan
terhadap parenkim yang sebelah dalam. Vasospasme luas pembuluh darah dikarenakan
adanya perdarahan subarahnoid traumatika yang menyebabkan terhentinya sirkulasi di
parenkim otak dengan manifestasi iskemia yang luas, edema otak disebabkan karena
hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai cedera kepala difus. Dari
gambaran morfologi pencitraan atau radiologi, cedera kepala difus dikelompokkan
menjadi:
I. Benturan (concussion) serebri
Benturan adalah bentuk paling ringan dari cedera difus dan dianggap karena
gaya rotasional akselerasi kepala dengan tidak adanya kontak mekanik yang
signifikan. Dalam bentuk klasik, penderita benturan mengalami kehilangan kesadaran
sementara dan cepat kembali ke keadaan normal kewaspadaan. Meskipun, gegar otak
ini tidak berbahaya seperti yang diduga sebelumnya, tetapi benturan berulang sering
mengakibatkan gangguan neurologis permanen.
Patofisiologi benturan kurang dipahami dan mungkin karena gangguan
kesadaran dari lesi batang otak dan diencephalon. Penelitian menunjukkan bahwa
pasien dengan benturan otak sering memiliki keterlibatan cedera otak difus, dan lesi
batang otak jauh lebih jarang. Cedera otak difus menggambarkan keadaan odema
sitotoksik meskipun gambaran CT scan normal dan GCS 15.

II. Cedera akson difus (Difuse axonal injury)


Difus Axonal Injury (DAI) adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang
menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi),
maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan
serabut yang menghubungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura)
mengalami kerusakan. 8
DAI merupakan istilah yang kurang tepat, sebab ini bukan merupakan cedera
difus pada seluruh daerah otak. Cedera yang terjadi lebih dominan pada area otak
tertentu yang mengalami percepatan yang tinggi dan cedera deselerasi dengan durasi
yang panjang. DAI merupakan ciri yang konsisten pada cedera kepala akibat
kecelakaan lalu lintas dan beberapa olahraga tertentu. Gambaran patologi secara
histologi dari DAI pada manusia adalah terdapat kerusakan yang luas pada akson dari
batang otak, parasagittal white matter dari korteks serebri, korpus callosum dan gray-
white matter junction dari korteks serebri (Smith et al, 1999).
Pada DAI ringan dan sedang umumnya tidak terdapat kelainan pada
pemeriksaan radiologi baik CT-scan dan MRI. Namun pada pemeriksaan mikroskopis
akan dijumpai akson-akson yang membengkak dan putus. Mekanisme utama
terjadinya DAI adalah akibat dari pergerakkan rotasional dari otak saat akselerasi dan
deselerasi. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan densitas dari jaringan otak yaitu
jaringan white matter lebih berat dibandingkan grey matter. Pada saat otak mengalami
rotasi akibat kejadian akselerasi-deselerasi, jaringan dengan densitas lebih rendah
bergerak lebih cepat dibandingkan dengan jaringan dengan densitas lebih besar.
Perbedaan kecepatan inilah yang menyebabkan robekan pada akson neuron yang
menghubungkan grey matter dan white matter (Smith et al, 1999). 8
Terdapat dua fase dari cedera aksonal pada DAI yaitu fase pada cedera primer
dan cedera sekunder atau fase lambat. Pada cedera primer robekkan akson terjadi
akibat regangan saat kejadiaan. Sedangkan pada fase lambat terjadi perubahan
biokimia yang mengakibatkan pembengkakan dan putusnya akson-akson. Perubahan
biokimia yang terjadi yaitu peningkatan influks natrium yang juga memicu influks
kalsium. Peningkatan kadar kalsium ini akan menyebabkan aktifnya calsium-
mediated proteolysis. Kerusakan akson menyebabkan kerusakan dari pengangkutan
sehingga terjadi penunmpukan di dalam akson yang membengkak. Kerusakan akson
yang luas akan menyebabkan atrofi otak dengan ventrikulomegali yang dapat
menyebabkan kejang, spastisitas, penurunan fungsi intelektual dan yang paling berat
adalah vegetative state (Blumbergs, 2011).

Cedera Otak Sekunder


Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak primer yang dapat terjadi
karena adanya reaksi inflamasi, biokimia, pengaruh neurotransmitter, gangguan autoregulasi,
neuro-apoptosis dan inokulasi bakteri. Melalui mekanisme Eksitotoksisitas, kadar Ca++
intrasellular meningkat, terjadi generasi radikal bebas dan peroxidasi lipid.
Perburukan mekanis awal sebagai akibat cedera kepala berefek pada perubahan
jaringan yang mencederai neuron, glia, axon dan pembuluh darah. Cedera ini akan di ikuti
oleh fase lanjut, yang di mediasi jalur biologis intraselular dan ekstraseluler yang dapat
muncul dalam menit, jam, maupun hari, bahkan minggu setelah cedera kepala primer (Cloots
dkk, 2008). Selama fase ini, banyak pasien mengalami cedera kepala sekunder yang
dipengaruhi hipoksia, hipotensi, odema serebri, dan akibat peningkatan Tekanan Intrakranial
(TIK). Faktor sekunder inilah yang akan memperberat cedera kepala primer dan berpengaruh
pada outcome pasien (Czosnyka dkk, 1996). 5,6
Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi akibat proses metabolisme
dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika intrakranial dan kompartement CSS yang
dimulai segera setelah trauma tetapi tidak tampak secara klinis segera setelah trauma. Cedera
otak sekunder ini disebabkan oleh banyak faktor antara lain kerusakan sawar darah otak,
gangguan aliran darah otak (ADO), gangguan metabolisme dan homeostatis ion sel otak,
gangguan hormonal, pengeluaran neurotransmitter dan reactive oxygen species (ROS),
infeksi dan asidosis. Kelainan utama ini meliputi perdarahan intrakranial, edema otak,
peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan otak. Cedera kepala menyebabkan sebagian
sel yang terkena benturan mati atau rusak irreversible, proses ini disebut proses primer dan
sel otak disekelilingnya akan mengalami gangguan fungsional tetapi belum mati dan bila
keadaan menguntungkan sel akan sembuh dalam beberapa menit, jam atau hari. Proses
selanjutnya disebut proses patologi sekunder. Proses biokimiawi dan struktur massa yang
rusak akan menyebabkan kerusakan seluler yang luas pada sel yang cedera maupun sel yang
tidak cedera. Secara garis besar cedera kepala sekunder pasca trauma diakibatkan oleh
beberapa proses dan faktor dibawah ini :
1. Lesi massa, pergeseran garis tengah dan herniasi yang terdiri atas :
a. Perdarahan intrakranial (hematom epidural/ subdural/ intraserebral).
b. Edema serebral.
2. Iskemik cerebri yang diakibatkan oleh :
a. Penurunan tekanan perfusi serebral.
b. Hipotensi arterial, hipertensi intrakranial.
c. Hiperpireksia dan infeksi.
d. Hipokalsemia/ anemia dan hipotensi.
e. Vasospasme serebri dan kejang
Proses inflamasi terjadi segera setelah trauma yang ditandai dengan aktivasi substansi
mediator yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah, penurunan aliran darah, dan
permeabilitas kapiler yang meningkat. Hal ini menyebabkan akumulasi cairan (edema) dan
leukosit pada daerah trauma. Sel terbanyak yang berperan dalam respon inflamasi adalah sel
fagosit, terutama sel leukosit Polymorphonuclear (PMN), yang terakumulasi dalam 30 - 60
menit yang memfagosit jaringan mati. Bila penyebab respon inflamasi berlangsung melebihi
waktu ini, antara waktu 5-6 jam akan terjadi infiltrasi sel leukosit mononuklear, makrofag,
dan limfosit. Makrofag ini membantu aktivitas sel PMN dalam proses fagositosis (Riahi,
2006). 7
Inflamasi, yang merupakan respon dasar terhadap trauma sangat berperan dalam
terjadinya cedera sekunder. Pada tahap awal proses inflamasi, akan terjadi perlekatan netrofil
pada endotelium dengan beberapa molekul perekat Intra Cellular Adhesion Molecules-1
(ICAM-1). Proses perlekatan ini mempunyai kecenderungan merusak/merugikan karena
mengurangi aliran dalam mikrosirkulasi. Selain itu, neutrofil juga melepaskan senyawa toksik
(radikal bebas), atau mediator lainnya (prostaglandin, leukotrin) di mana senyawa-senyawa
ini akan memacu terjadinya cedera lebih lanjut. Makrofag juga mempunyai peranan penting
sebagai sel radang predominan pada cedera otak (Hergenroeder, 2008).

Gambar 9. Proses Cedera Otak Sekunder


Sebaliknya faktor ekstrakranial (sistemik) yang dikenal dengan istilah nine deadly H’s
adalah hipoksemia (hipoksia, anemia), hipotensi (hipovolemia, gangguan jantung,
pneumotorak), hiperkapnia (depresi nafas), hipokapnea (hiperventilasi), hipertermi
(hipermetabolisme/respon stres), hiperglikemia, hipoglikemia, hiponatremia,
hipoproteinemia, dan hemostasis (Cohadon, 1995). Beratnya cedera primer karena lokasinya
memberi efek terhadap beratnya mekanisme cedera sekunder (Li, 2004).
Gambar 9. Diagram Patofisiologi Cedera Otak Sekunder (COS)

Diagnosis
Diagnosis dilakukan dengan memeriksa dari awal pasien datang. Dimulai dengan
anamnesis untuk mengenal pasti ada atau tidak risiko terjadi epidural hematoma. Mengenal
pasti gejala klinik, melakukan pemeriksaan fisik yang terkait dan juga melakukan pemerikaan
penunjnag. Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih
mudah dikenali.7

Foto Polos Kepala


Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural
hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang mengalami
trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria
meningea media. Sebaiknya foto ini hanya dilakukan pada cedera kepala dengan indikasi
tertentu. Indikasi pemeriksaan x-ray pada cedera kepala, diantaranya: 7,8
1. Kehilangan kesadaran, amnesia
2. Nyeri kepala menetap
3. Tanda neurologis fokal
4. Cedera SCALP
5. Dugaan cedera penetrating
6. Cairan serebrospinal dari darah ataupun telinga
7. Deformitas tengkorak tampak atau teraba
8. Kesulitan penilaian (dalam pengaruh alkohol, obat, epilepsi, atau anak-anak)
9. GCS 12 dengan riwayat trauma multipel yang langsung dan keras.

Computed Tomography (CT-Scan)


Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi cedara
intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi dapat pula
terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah
temporoparietal. Densitas darah yang homogeny (hiperdens), berbatas tegas, midline
terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma,
densitas yang tinggi pada stage yang akut (60– 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan
dari pembuluh darah.9

Indikasi pemeriksaan CT scan pada penderita cedera kepala:


1. GCS < 15 atau terdapat penurunan kesadaran > 1 point selama observasi
2. Cedera kepala ringan yang disertai dengan fraktur tulang tengkorak
3. Adanya tanda klinis fraktur basis kranii
4. Disertai dengan kejang
5. Adanya tanda neurologis fokal
6. Sakit kepala yang menetap

Pada pemeriksaan CT Scan kepala, akan ditemukan gambaran sebagai berikut:


1. Hiperdens ellips yang bikonveks dengan batas tegas
2. Densitas yang bervariasi menunjukkan adanya perdarahan aktif
3. Hematoma tidak menyeberangi garis sutura kecuali jika terjadi fraktur sutura yang
diastatik
4. Dapat memisahkan sinus vena dari cranium; epidural hematoma merupakan satu-
satunya bentuk perdarahan intrakranial yang dapat memberikan gambaran seperti ini
5. Adanya efek massa yang bergantung pada ukuran perdarahan dan berhubungan
dengan edema.
6. Perdarahan vena dapat memberikan gambaran yang lebih bervariasi.
7. Garis fraktur yang berkaitan dapat dilihat
Gambar 12. Gambaran Epidural Hematoma dengan Menggunakan CT-Scan

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi
duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat menggambarkan
batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk
menegakkan diagnosis.9

Penatalaksanaan
Primary Survey Dan Resusitasi
1. Airway
Jalan nafas harus dibersihkan dari benda asing, lendir, atau darah. Terhentinya pernafasan
sementara dapat terjadi pada cedera otak, dan dapat mengakibatkan gangguan sekunder.
Intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan pada penderita koma.6
2. Breathing
Pada penderita dilakukan ventilasi dengan oksigen 100%. Tindakan hiperventilasi harus
dilakukan secara hati-hati pada penderita cedera otak berat yang menunjukkan
perburukan neurologis akut.8
3. Circulation
Hipotensi biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak itu sendiri, kecuali pada stadium
terminal dimana medulla oblongata sudah mengalami gangguan. Perdarahan intrakranial
tidak dapat menimbulkan syok hemoragik. Hipotensi menunjukkan adanya kehilangan
darah yang cukup berat, walaupun tidak selalu tampak jelas.8,9

Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis langsung dilakukan segera setelah status kardiopulmoner
penderita stabil. Pemeriksaan ini terdiri dari GCS dan reflex cahaya pupil. Pada penderita
koma, respon motorik dapat dibangkitkan dengan merangsang/mencubit otot trapezius atau
menekan dasar kuku penderita.7,8

Secondary Survey
Pemeriksaan neurologis serial (GCS, lateralisasi, dan refleks pupil) harus selalu
dilakukan untuk deteksi dini gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal
(unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Adanya trauma
langsung pada mata sering merupakan penyebab abnormalitas respon pupil dan dapat
membuat pemeriksaan pupil menjadi sulit. Setelah kondisi stabil, maka dapat dilakukan hal-
hal sebagai berikut:
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu bebas, bersihkan lendir dan darah yang dapat
menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan
pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena, gunakan
cairan NaCl 0,9% atau dextrose in saline.8

2. Mengurangi edema serebri


Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a) Cairan intravena
Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam
keadaan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya.
Namun harus diperhatikan untuk tidak memberikan cairan yang berlebihan. Jangan
berikan cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat
menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu
cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau atau
ringer laktat. Kadar natrium serum juga harus dipertahankan untuk mencegah
terjadinya edema otak. Strategi terbaik adalah mempertahankan volume intravaskular
normal dan hindari hipoosmolalitas, dengan cairan isotonik. Saline hipertonik bisa
digunakan untuk mengatasi hiponatremia yang bisa menyebabkan edema otak.9

b) Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan PCO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh
darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan metabolisme
anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, PO2
dipertahankan >100 mmHg dan PCO2 diantara 25-30 mmHg.9,10

c) Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan mannitol 20% per infus untuk "menarik" air dari ruang
intersel ke dalam ruang intravascular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis.
Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol harus diberikan dalam dosis yang
cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan 0,25-1gram/kgBB dalam 10-30
menit, secara bolus intravena. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu
tindakan bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound;
mungkin dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam atau
keesokan harinya.

d) Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu
yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid
tidak/kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada
asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak. Dosis parenteral yang pernah
dicoba juga bervariasi: Dexametason pernah dicoba dengan dosis awal 10 mg sampai
100 mg bolus yang kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam. Selain itu juga
Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan Triamsinolon
dengan dosis 6 dd 10 mg.

e) Barbiturat
Digunakan untuk “membius” pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan
serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena
kebutuhan yang rendah, otak relative lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan
akibat hipoksia, walaupun suplai oksigen berkurang (efek protektif terhadap otak dari
anoksia dan iskemik). Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang ketat.
Barbiturat juga dapat dipakai untuk mengatasi tekanan inrakranial yang meninggi.
Dosis yang biasa diterapkan adalah diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan
kemudian dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 3 jam serta drip 1mg/kgBB/jam
untuk mencapai kadar serum 3-4mg%.9

f) Fenitoin
Dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin sedini mungkin (24
jam pertama) untuk mencegah timbulnya focus epileptogenik dan untuk penggunaan
jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin.

g) Cara lain
Pada 24-48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 1500-2000 ml/24 jam agar
tidak memperberat edema jaringan. Ada laporan yang menyatakan bahwa posisi tidur
dengan kepala dan leher yang diangkat 30° akan menurunkan tekanan intracranial dan
meningkatkan drainase vena. Posisi tidur yang dianjurkan, terutama pada pasien yang
berbaring lama adalah:
 kepala dan leher diangkat 30°
 sendi lutut diganjal, membentuk sudut 150°
 telapak kaki diganjal, membentuk sudut 90° dengan tungkai bawah

3. Obat-obat neurotropik
Dewasa ini banyak obat yang dikatakan dapat membantu mengatasi kesulitan/gangguan
metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.
a. Piritinol
Piritinol merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang dikatakan
mengaktivasi metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta fungsi membran sel.
Pada fase akut diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat infus. Tidak dianjurkan
pemberian intravena karena sifatnya asam sehingga mengiritasi vena.

b. Piracetam
Piracetam merupakan senyawa mirip GABA, suatu neurotransmitter penting di otak.
Diberikan dalam dosis 4-12 gram/ hari intravena.
c. Citicholine
Disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin sendiri diperlukan
untuk sintesis membran sel dan neurotransmiter di dalam otak. Diberikan dalam dosis
100-500 mg/hari intravena.

4. Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat:
 Volume hematoma > 25 ml
 Keadaan pasien memburuk
 Pendorongan garis tengah > 3 mm
Penanganan darurat dengan cara:
 Dekompresi dengan trepanasi sederhana (burr hole).
 Dilakukan kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma.
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional
saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi emergensi.
Biasanya keadaan emergensi ini disebabkan oleh lesi desak ruang. Indikasi untuk life
saving adalah jika lesi desak ruang bervolume:9,10
 25 cc desak ruang supra tentorial
 10 cc desak ruang infratentorial
 5 cc desak ruang thalamus
Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan:
 Penurunan klinis
 Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif
 Tebal epidural hematoma >1 cm dengan midline shift >5 mm dengan penurunan
klinis yang progresif

5. Konservatif
Keadaan di bawah ini memerlukan pengelolaan medik konservatif, karena pembedahan
tidak akan membawa hasil lebih baik. Kriteria trauma kapitis yang hanya memerlukan
penatalaksanaan konservatif adalah sebagai berikut:
a. Fraktura basis cranii - ditandai adanya memar biru hitam pada kelopak mata
b. Racoon eyes atau memar diatas prosesus mastoid (Battle’s sign) dan atau
kebocoran cairan serebrospinalis yang menetes dari telinga atau hidung.
c. Comotio cerebri - ditandai dengan gangguan kesadaran temporer
d. Fraktura depresi tulang tengkorak - dimana mungkin ada pecahan tulang yang
menembus dura dan jaringan otak
e. Hematoma intracerebral - dapat disebabkan oleh kerusakan akut atau progresif
akibat contusio.

Komplikasi
Coagulopathy
Besarnya angka kejadian koagulopati pada pasien trauma kepala sudah diketahui
dengan jelas. Investigasi pada anak-anak yang mengalami trauma kepala, menunjukkan hasil
bahwa 71% nya memiliki clotting test yang abnormal dan 32% nya mengalami sindrom
disseminated intravascular coagulation and fibrinolysis (DICF).10

Tromboemboli
Pasien dengan trauma kepala memiliki resiko tinggi deep venous thrombosis (DVT)
dan pulmonary embolism (PE). Berdasarkan penelitian, didapatkan 4.3% pasien dengan
trauma kepala didiagnosa DVT.9

Prognosis
Prognosis tergantung pada lokasinya (infratentorial lebih jelek), besarnya hematoma
dan kesadaran saat masuk kamar operasi. Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma
epidural biasanya baik, karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka
kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk
pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi.10

Daftar Pustaka
1. Sidharta P, Mardjono M,2005, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta.
2. Wilson M. L, Price S. A,2002 Patofisiologi, vol.2, Edisi 6.
3. Robertson C.S, Zager E, 2010, Clinical Evaluation of Portable Near-infrared Device for
detection of Traumatic Intracranial hematom, Journal of Neurotrauma.
4. Bigler E.D,William L, 2012, Neuropathology of Mild traumatic brain Injury.
5. Wilkins, Williams L, 2008, ContralateralbAcute Epidural Hematoma After
Decompressive Surgery of Acute Subdural Hematoma, Vol.65.
6. Ersay F, Rapid spontaneous resolution of epidural hematoma,Turkish journal of trauma
& emergency surgey.
7. Gupta R, Mohindra S, 2008, Traumatic Ipsilateral acute extradural and subdural
hematoma, Indian Journal of Neurotrauma, Vol.5, No.2.
8. Gillet J, What’s the difference Between a subdural and Epidural Hematoma,
Brainline.org.
9. Leon J, Maria J, 2010, The Infrascanner, a handheld device for screening in situ for the
presence of brain Haematoms.
10. Mansjoer A, Suprohaita, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke 3, Jilid 2, UI.

Anda mungkin juga menyukai