Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu trauma yang mengenai struktur
kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional
jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran dan dapat menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik
(Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).1
Epidemiologi
Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian, terutama pada
dewasa muda. Di Amerika Serikat, hampir 10% kematian disebabkan karena trauma, dan
setengah dari total kematian akibat trauma berhubungan dengan otak. Kasus cedera kepala
terjadi setiap 7 detik dan kematian akibat cedera kepala terjadi setiap 5 menit. Cedera kepala
dapat terjadi pada semua kelompok usia, namun angka kejadian tertinggi adalah pada dewasa
muda berusia 15-24 tahun. Angka kejadian pada laki-laki 3 hingga 4 kali lebih sering
dibandingkan wanita (Rowland et al, 2010).1
Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena kecelakaan lalu lintas yang
dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013 hanya untuk transportasi
darat, tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9 persen menjadi 47,7 persen
(RISKESDAS, 2013).1,2
Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-13
dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15
dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Menurut Brain Injury Association of Michigan
(2005), klasifikasi keparahan dari cedera kepala yaitu:
Tabel 2. Klasifikasi Keparahan Cedera Kepala (Brain Injury Association of Michigan (2005)
3. Morfologi Cedera Kepala
Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi atau area terjadinya trauma
(Sastrodiningrat, 2009). Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari dua,
yaitu secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma kepala
tertutup merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala
setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan trauma kepala
tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-tiba sehingga
menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak. Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka
tampak luka telah menembus sampai kepada dura mater. (Anderson, Heitger, and
Macleod, 2006). 3,4
Secara morfologi cedera kepala data dibagi atas: (Pascual et al, 2008)
I. Laserasi Kulit Kepala
Luka laserasi adalah luka robek yang disebabkan oleh benda tumpul atau
runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda tajam lukanya akan
tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal
kulit dan jaringan bawah kulit. Laserasi kulit kepala sering di dapatkan pada pasien
cedera kepala.
Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disingkat dengan akronim SCALP
yaitu skin, connective tissue, apponeurosis galea, loose connective tissue dan
percranium. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar
yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala sering
terjadi robekan pada lapisan ini. 4
Penyebab penting terjadinya lesi kontusio adalah akselerasi kepala yang juga
menimbulkan pergeseran otak dengan tulang tengkorak serta pengembangan gaya
kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat akan menyebabkan hiperekstensi
kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga
menimbulkan blokade reversibel terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat
hambatan itu, otak tidak mendapat input aferen sehingga kesadaran hilang selama
blokade reversibel berlangsung (Liau et al, 2011).
Kontusio serebri dapat dibagi berdasarkan mekanisme, lokasi anatomi, atau
cedera yang berdekatan. Misalnya, fraktur kontusio akibat dari cedera kontak
langsung dan terjadi segera disebelahnya dengan fraktur tulang tengkorak. Coup
merujuk kepada trauma yang terjadi di lokasi dampak dengan tidak adanya patah
tulang, sedangkan contrecoup adalah sisi yang berlawanan dengan titik dampak.
Gliding adalah perdarahan fokal melibatkan korteks dan white matter yang berdekatan
dari margin superior dari hemisfer serebri; terjadi karena mekanisme rotasi daripada
tenaga kontak. Intermediary adalah lesi yang mempengaruhi struktur otak dalam,
seperti korpus calosum, ganglia basal, hipotalamus, dan batang otak. Herniasi dapat
terjadi di daerah medial lobus temporal pada tepi tentorial (yaitu, uncal herniasi) atau
di mana tonsil serebelum menghubungi foramen magnum (yaitu, tonsillar herniasi).8
Gambar 8. Herniasi intrakranial (Hardman, 2002)
Diagnosis
Diagnosis dilakukan dengan memeriksa dari awal pasien datang. Dimulai dengan
anamnesis untuk mengenal pasti ada atau tidak risiko terjadi epidural hematoma. Mengenal
pasti gejala klinik, melakukan pemeriksaan fisik yang terkait dan juga melakukan pemerikaan
penunjnag. Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih
mudah dikenali.7
Penatalaksanaan
Primary Survey Dan Resusitasi
1. Airway
Jalan nafas harus dibersihkan dari benda asing, lendir, atau darah. Terhentinya pernafasan
sementara dapat terjadi pada cedera otak, dan dapat mengakibatkan gangguan sekunder.
Intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan pada penderita koma.6
2. Breathing
Pada penderita dilakukan ventilasi dengan oksigen 100%. Tindakan hiperventilasi harus
dilakukan secara hati-hati pada penderita cedera otak berat yang menunjukkan
perburukan neurologis akut.8
3. Circulation
Hipotensi biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak itu sendiri, kecuali pada stadium
terminal dimana medulla oblongata sudah mengalami gangguan. Perdarahan intrakranial
tidak dapat menimbulkan syok hemoragik. Hipotensi menunjukkan adanya kehilangan
darah yang cukup berat, walaupun tidak selalu tampak jelas.8,9
Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis langsung dilakukan segera setelah status kardiopulmoner
penderita stabil. Pemeriksaan ini terdiri dari GCS dan reflex cahaya pupil. Pada penderita
koma, respon motorik dapat dibangkitkan dengan merangsang/mencubit otot trapezius atau
menekan dasar kuku penderita.7,8
Secondary Survey
Pemeriksaan neurologis serial (GCS, lateralisasi, dan refleks pupil) harus selalu
dilakukan untuk deteksi dini gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal
(unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Adanya trauma
langsung pada mata sering merupakan penyebab abnormalitas respon pupil dan dapat
membuat pemeriksaan pupil menjadi sulit. Setelah kondisi stabil, maka dapat dilakukan hal-
hal sebagai berikut:
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu bebas, bersihkan lendir dan darah yang dapat
menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan
pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena, gunakan
cairan NaCl 0,9% atau dextrose in saline.8
b) Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan PCO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh
darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan metabolisme
anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, PO2
dipertahankan >100 mmHg dan PCO2 diantara 25-30 mmHg.9,10
c) Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan mannitol 20% per infus untuk "menarik" air dari ruang
intersel ke dalam ruang intravascular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis.
Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol harus diberikan dalam dosis yang
cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan 0,25-1gram/kgBB dalam 10-30
menit, secara bolus intravena. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu
tindakan bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound;
mungkin dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam atau
keesokan harinya.
d) Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu
yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid
tidak/kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada
asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak. Dosis parenteral yang pernah
dicoba juga bervariasi: Dexametason pernah dicoba dengan dosis awal 10 mg sampai
100 mg bolus yang kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam. Selain itu juga
Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan Triamsinolon
dengan dosis 6 dd 10 mg.
e) Barbiturat
Digunakan untuk “membius” pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan
serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena
kebutuhan yang rendah, otak relative lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan
akibat hipoksia, walaupun suplai oksigen berkurang (efek protektif terhadap otak dari
anoksia dan iskemik). Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang ketat.
Barbiturat juga dapat dipakai untuk mengatasi tekanan inrakranial yang meninggi.
Dosis yang biasa diterapkan adalah diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan
kemudian dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 3 jam serta drip 1mg/kgBB/jam
untuk mencapai kadar serum 3-4mg%.9
f) Fenitoin
Dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin sedini mungkin (24
jam pertama) untuk mencegah timbulnya focus epileptogenik dan untuk penggunaan
jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin.
g) Cara lain
Pada 24-48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 1500-2000 ml/24 jam agar
tidak memperberat edema jaringan. Ada laporan yang menyatakan bahwa posisi tidur
dengan kepala dan leher yang diangkat 30° akan menurunkan tekanan intracranial dan
meningkatkan drainase vena. Posisi tidur yang dianjurkan, terutama pada pasien yang
berbaring lama adalah:
kepala dan leher diangkat 30°
sendi lutut diganjal, membentuk sudut 150°
telapak kaki diganjal, membentuk sudut 90° dengan tungkai bawah
3. Obat-obat neurotropik
Dewasa ini banyak obat yang dikatakan dapat membantu mengatasi kesulitan/gangguan
metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.
a. Piritinol
Piritinol merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang dikatakan
mengaktivasi metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta fungsi membran sel.
Pada fase akut diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat infus. Tidak dianjurkan
pemberian intravena karena sifatnya asam sehingga mengiritasi vena.
b. Piracetam
Piracetam merupakan senyawa mirip GABA, suatu neurotransmitter penting di otak.
Diberikan dalam dosis 4-12 gram/ hari intravena.
c. Citicholine
Disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin sendiri diperlukan
untuk sintesis membran sel dan neurotransmiter di dalam otak. Diberikan dalam dosis
100-500 mg/hari intravena.
4. Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat:
Volume hematoma > 25 ml
Keadaan pasien memburuk
Pendorongan garis tengah > 3 mm
Penanganan darurat dengan cara:
Dekompresi dengan trepanasi sederhana (burr hole).
Dilakukan kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma.
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional
saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi emergensi.
Biasanya keadaan emergensi ini disebabkan oleh lesi desak ruang. Indikasi untuk life
saving adalah jika lesi desak ruang bervolume:9,10
25 cc desak ruang supra tentorial
10 cc desak ruang infratentorial
5 cc desak ruang thalamus
Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan:
Penurunan klinis
Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif
Tebal epidural hematoma >1 cm dengan midline shift >5 mm dengan penurunan
klinis yang progresif
5. Konservatif
Keadaan di bawah ini memerlukan pengelolaan medik konservatif, karena pembedahan
tidak akan membawa hasil lebih baik. Kriteria trauma kapitis yang hanya memerlukan
penatalaksanaan konservatif adalah sebagai berikut:
a. Fraktura basis cranii - ditandai adanya memar biru hitam pada kelopak mata
b. Racoon eyes atau memar diatas prosesus mastoid (Battle’s sign) dan atau
kebocoran cairan serebrospinalis yang menetes dari telinga atau hidung.
c. Comotio cerebri - ditandai dengan gangguan kesadaran temporer
d. Fraktura depresi tulang tengkorak - dimana mungkin ada pecahan tulang yang
menembus dura dan jaringan otak
e. Hematoma intracerebral - dapat disebabkan oleh kerusakan akut atau progresif
akibat contusio.
Komplikasi
Coagulopathy
Besarnya angka kejadian koagulopati pada pasien trauma kepala sudah diketahui
dengan jelas. Investigasi pada anak-anak yang mengalami trauma kepala, menunjukkan hasil
bahwa 71% nya memiliki clotting test yang abnormal dan 32% nya mengalami sindrom
disseminated intravascular coagulation and fibrinolysis (DICF).10
Tromboemboli
Pasien dengan trauma kepala memiliki resiko tinggi deep venous thrombosis (DVT)
dan pulmonary embolism (PE). Berdasarkan penelitian, didapatkan 4.3% pasien dengan
trauma kepala didiagnosa DVT.9
Prognosis
Prognosis tergantung pada lokasinya (infratentorial lebih jelek), besarnya hematoma
dan kesadaran saat masuk kamar operasi. Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma
epidural biasanya baik, karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka
kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk
pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi.10
Daftar Pustaka
1. Sidharta P, Mardjono M,2005, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta.
2. Wilson M. L, Price S. A,2002 Patofisiologi, vol.2, Edisi 6.
3. Robertson C.S, Zager E, 2010, Clinical Evaluation of Portable Near-infrared Device for
detection of Traumatic Intracranial hematom, Journal of Neurotrauma.
4. Bigler E.D,William L, 2012, Neuropathology of Mild traumatic brain Injury.
5. Wilkins, Williams L, 2008, ContralateralbAcute Epidural Hematoma After
Decompressive Surgery of Acute Subdural Hematoma, Vol.65.
6. Ersay F, Rapid spontaneous resolution of epidural hematoma,Turkish journal of trauma
& emergency surgey.
7. Gupta R, Mohindra S, 2008, Traumatic Ipsilateral acute extradural and subdural
hematoma, Indian Journal of Neurotrauma, Vol.5, No.2.
8. Gillet J, What’s the difference Between a subdural and Epidural Hematoma,
Brainline.org.
9. Leon J, Maria J, 2010, The Infrascanner, a handheld device for screening in situ for the
presence of brain Haematoms.
10. Mansjoer A, Suprohaita, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke 3, Jilid 2, UI.