CEDERA KEPALA
disusun untuk memenuhi tugas profesi ners
Departemen Surgical di Ruang 12 RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Oleh :
RENY RUDY ASISTA
NIM. 140070300011100
1. Definisi
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi
normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit
neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa
karena hemoragik, serta edema serebral do sekitar jaringan otak. (Batticaca
Fransisca, 2008, hal 96).
Cedera kepala merupakan proses diman terjadi trauma langsung atau deselerasi
terhasdap kepala yang menyebabkan kerusakan tenglorak dan otak. (Pierce
Agrace & Neil R. Borlei, 2006 hal 91).
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi
otak yang di sertai atau tanpa di sertai perdarahan innterstiil dalm substansi otak
tanpa di ikuti terputusnya kontinuitas otak. (Arif Muttaqin, 2008, hal 270-271).
Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah seperti translasi yang
terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala bergerak ke suatu arah
atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah dengan gerakan
kepala, maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut.
Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-tiba dan
dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba
terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya
mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala. Kecederaan di bagian
muka dikatakan fraktur maksilofasial (Sastrodiningrat, 2009).
3. Klasifikasi
a. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau luka
penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan
bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jia tulang tengkorak
menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak,
jaringan sel otak akibat benda tajam / tembakan. Cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.
b. Cedera kepala tertutup
Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang
mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian
serentak berhenti dan bila ada cairan dalam otak cairan akan tumpah. Cedar kepala
tertutup meliputi: komusio (gegar otak), kontusio (memar) dan laserasi.
(Brunner & Suddarth, 2001: 2211; Long, 1990 : 203)
Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang secara deskripsi
dapat dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya cedera kepala.
(IKABI, 2004).
a. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi dua yaitu :
Cedera tembus. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.
(IKABI, 2004)
Fraktur linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada
tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur lenier
dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar
tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat fragmen
fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial.
Fraktur diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg tengkorak
yang mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis fraktur ini
sering terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan
erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan
dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.
Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih dari satu
fragmen dalam satu area fraktur.
Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang
langsung mengenai tulang kepala dan pada area yang kecal. Fraktur impresi
pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada
duremater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi, jika
tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula interna segmen
tulang yang sehat.
Pada
penderita
dengan
tanda-tanda
kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain
sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.
b. Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut.
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang
terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil
dipermukaan korteks cerebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh
hemisfir
otak.
Biasanya
kerusakan
otak
dibawahnya
lebih
berat
dan
c. Edema cerebri
Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala. Pada
edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat
pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema. Edema otak bilateral lebih
disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan
hipovolemik.
d. Iskemia cerebri
Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang
atau terhenti. Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan
disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan nilai GCS:
1. Cedera kepala ringan
Nilai GCS: 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit. Ditandai dengan:
nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada fraktur tengkorak,
kontusio/hematoma.
2. Cedera kepala sedang
Nilai GCS: 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit 24 jam, dapat mengalami
fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung).
3. Cedera kepala berat
Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi: kontusio serebral,
laserasi, hematoma dan edema serebral.
(Hudack dan Gallo, 1996: 226)
4. Patofisiologi (Terlampir)
5. Manifestasi Klinis
Cedera kepala menurut Judikh Middleton (2007) akan menimbulkan gangguan
neurologis / tanda-tanda sesuai dengan area atau tempat lesinya yang meliputi:
a. Lobus frontal
-
Ketidakmampuan
untuk
melakukan
gerakan
rumit
yang
di
perlukan
untuk
b. Lobus parietal
-
Ketidakmampuan untuk menghadirkan lebih dari satu obyek pada waktu yang
bersamaan
Penurunan kesadaran pada bagian tubuh tertentu dan/area disekitar (apraksia) yang
memicu kesulitan dalam perawatan diri
c. Lobus oksipital
-
Teriptanya halusinasi
d. Lobus temporal
-
e. Batang otak
-
f.
Cerebellum
-
Bergetar (tremors)
6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang untuk trauma kepala menurut Doengoes (2000) dan Price &
Wilson (2006) antara lain:
1. CT Scan (dengan / tanpa kontras)
2. Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ventrikuler, dan pergeseran
jaringan otak.
3. MRI (dengan / tanpa kontras)
4. Menggunakan medan magnet kuat dan frekuensi radio, dapat mendiagnosis tumor,
infark, dan kelainan padapembuluh darah.
5. Angiografi serebral
6. Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat
edema dan trauma perdarahan. Digunakan untuk mengidentifikasi dan menentukan
kelainan vaskuler serebral.
7. Angiografi substraksi digital
8. Suatu jenis angiografi yang menggabungkan radiografi dengan teknik komputerisasi
untuk memperlihatkan pembuluh darah tanpa gangguan dari tulang dan jaringan
lunak di sekitarnya.
9. EEG (Electro Ensephalogram)
10. Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis. EEG
mengukur aktifitas listrik lapisan superficial korteks serebri melalui elektroda yang
dipasang di luar tengkorak pasien.
11. ENG (Electro Nistagmogram)
Merupakan pemeriksaan elektro fisiologis vestibularis yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis gangguan sistem saraf pusat.
12. X-ray
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur). Pergeseran struktur dari
garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya fragmen tulang.
13. BAEK (Brain Auditon Euoked Tomography)
Menentuukan fungsi korteks dan batang otak.
14. PET (Positron Emmision Tomography)
Menunjukkan perubahan aktifitas metabolism batang otak.
15. Fungsi lumbal, CSS
Dapat menduga kemungkinan adanya perubahan subarachnoid.
16. GDA (Gas Darah Arteri)
Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan meningkatkan TIK.
17. Kimia (elektrolit darah)
Cairan infuse dextrose 5%, aminousin, aminofel, diberikan 18 jam pertama sejak
terjadinya kecelakaan, selama 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
g. Tindakan pembedahan
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala-gejala
yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran
hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang
tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation(ABCs). Tindakan
operasi ditujukan kepada:
a. Evakuasi seluruh SDH
b. Merawat sumber perdarahan
c. Reseksi parenkim otak yang nonviable
d. Mengeluarkan ICH yang ada.Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah:
Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK
Pasien
SDH
dengan
GCS
<
9,
dan/atau
dilatasiasimetris/fixede.
didapatkan
pupil
pada surgical patties, setelah itu dilakukan irigasi ruang subdural dengan memasukkan
kateter kesegala arah. Kontusio jaringanotak dan hematoma intraserebral direseksi.
Dipasang drain 24 jam diruang subdural,duramater dijahit rapat.Usaha diatas adalah
untuk memperbaiki prognosa akhir SDH, dilakukankraniotomi dekompresif yang luas
dengan maksud untuk mengeluarkan seluruhhematoma, merawat perdarahan dan
mempersiapkan dekompesi eksternal dari edemaserebral pasca operasi. Pemeriksaan
pasca operasi menujukkan sisa hematoma dan perdarahan ulang sangat minimal dan
struktur garis tengah kembali lebih cepat ke posisi semula dibandingkan dengan
penderita yang tidak dioperasi dengan cara ini.
Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural
kronik sudah mulai berkurang.Trepanasi atau kraniotomi adalah suatu tindakan
membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan
definitif.Pada
pasien
pupilanisokor
dengan
trauma,
adanya
trias
klinis
refleks
cahaya
menurun
yaitu
dan
penurunan
kontralateral
kesadaran,
hemiparesis
Perawatan Pasca bedah Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan
seperti biasanya.Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang
ataukranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.Setelah operasipun kita
harus tetap berhati hati, karena pada sebagian pasiendapat terjadi perdarahan lagi yang
berasal dari pembuluh darah yang baru terbentuk,subdural empiema, irigasi yang kurang
baik, pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari
otak untuk mengembang kembali danterjadinya reakumulasi dari cairan subdural. Maka
dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan.
Serial skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan. Follow-upCT scan
kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik danuntuk menilai apakah
masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
8. Komplikasi
Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut Markam (1999) pada cedera
kepala meliputi:
a. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini secara
khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita akan
BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : Menentukan fungsi korteks dan batang
otak.
g. PET
(Positron
Emission
Tomography)
Menunjukan
perubahan
aktifitas
GDA (Gas Darah Artery) : Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
yang akan dapat meningkatkan TIK.
j.
Kadar antikonvulsan darah : Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup fektif untuk mengatasi kejang.
Diagnosa Keperawatan:
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipoksia, edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran,
perubahan respon mototrik dan sensorik, gelisah, perubahan TTV.
b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler,
kerusakan medula oblongata neuromaskuler ditandai dengan kelemahan atau paralisis
otot pernafasan.
c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan peningkatan ADH
dan aldosteron, retensi cairan dan natrium ditandai dengan edema, dehidrasi, sindrom
kompartemen dan hemoragi.
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan peningkatan asam
lambung, mual, muntah, anoreksia ditandai dengan penurunan BB, penurunan massa
atau tonus otot
e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan tonus otot dan penurunan
kesadaran
ditandai
dengan
ketidakmampuan
bergerak,
kerusakan
koordinasi,
1.
2.
3.
4.
5.
Intervensi
Kaji tingkat kesadaran.
Pantau status neurologis secara teratur,
catat adanya nyeri kepala, pusing.
Tinggikan posisi kepala 15-30 derajat
Pantau TTV, TD, suhu, nadi, input dan
output, lalu catat hasilnya.
Kolaborasi pemberian oksigen.
1.
2.
3.
4.
5.
Rasional
Mengetahui kestabilan klien.
Mengkaji adanya kecendeungan pada
tingkat kesadaran dan resiko TIK
meningkat.
Untuk menurunkan tekanan vena
jugularis.
Peningkatan tekanan darah sistemik
yang diikuti dengan penurunan tekanan
darah diastolik serta napas yang tidak
teratur merupakan tanda peningkatan
TIK.
Mengurangi keadaan hipoksia
Rasional
1. Hipoventilasi biasanya terjadi atau
menyebabkan akumulasi/atelektasi atau
pneumonia (komplikasi yang sering
terjadi).
2. Meningkatkan ventilasi semua bagian
paru, mobilisasi serkret mengurangi
resiko komplikasi, posisi tengkulup
mengurangi kapasitas vital paru, dicurigai
dapat menimbulkan peningkatan resiko
terjadinya gagal nafas.
3. Membantu mengencerkan sekret,
meningkatkan mobilisasi sekret/sebagai
ekspektoran.
4. Memaksimalkan bernafas dan
menurunkan kerja nafas. Mencegah
hipoksia, jika pusat pernafasan tertekan.
Biasanya dengan menggunakan
ventilator mekanis.
5. Penghisapan yang rutin, beresiko terjadi
hipoksia, bradikardi (karena respons
Rasional
1. Deteksi dini dan intervensi dapat
mencegah kekurangan/kelebihan fluktuasi
keseimbangan cairan.
2. Kehilangan urinarius dapat menunjukan
terjadinya dehidrasi dan berat jenis urine
adalah indikator hidrasi dan fungsi renal.
3. Dengan formula kalori lebih
tinggi,tambahan air diperlukan untuk
mencegah dehidrasi.
4. Hipokalemia/fofatemia dapat terjadi
karena perpindahan intraselluler elama
pemberian makan awal dan menurunkan
fungsi jantung bila tidak diatasi.
a. Tidak mengalami tanda- tanda mal nutrisi dengan nilai lab. dalam rentang
normal.
Rasional
1. Faktor ini menentukan terhadap jenis
makanan sehingga pasien harus
terlindung dari aspirasi.
2. Bising usus membantu dalam
menentukan respon untuk makan atau
berkembangnya komplikasi seperti
paralitik ileus.
3. Menurunkan regurgitasi dan terjadinya
aspirasi.
4. Meningkatkan proses pencernaan dan
toleransi pasien terhadap nutrisi yang
diberikan dan dapat meningkatkan
kerjasama pasien saat makan
5. Metode yang efektif untuk memberikan
kebutuhan kalori.
6. Perubahan
persepsi
sensori
Rasional
1. Mengidentifikasi kerusakan secara
fungsional dan mempengaruhi pilihan
intervensi yang akan dilakukan.
2. Mempertahankan mobilitas dan fungsi
sendi/ posisi normal ekstrimitas dan
menurunkan terjadinya vena statis
3. Proses penyembuhan yang lambat
seringakli menyertai trauma kepala dan
pemulihan fisik merupakan bagian yang
sangat penting. Keterlibatan pasien
dalam program latihan sangat penting
untuk meningkatkan kerja sama atau
keberhasilan program.
berhubungan
dengan
penurunan
kesadaran,
Rasional
1. Semua sistem sensori dapatn
terpengaruh dengan adanya perubahan
yang melibatkan peningkatan atau
penurunan sensitivitas atau kehilangan
sensasi untuk menerima dan berespon
sesuai dengan stimuli.
2. Fungsi cerebral bagian atas biasanya
terpengaruh lebih dahulu oleh adanya
gangguan sirkulasi, oksigenasi.
Perubahan persepsi sensori motorik dan
kognitif mungkin akan berkembang dan
menetap dengan perbaikan respon
secara bertahap
3. Pasien mungkin mengalami keterbatasan
perhatian atau pemahaman selama fase
akut dan penyembuhan. Dengan tindakan
ini akan membantu pasien untuk
memunculkan komunikasi.
4. Pasien mungkin mengalami keterbatasan
perhatian atau pemahaman selama fase
akut dan penyembuhan. Dengan tindakan
ini akan membantu pasien untuk
memunculkan komunikasi.
5. Pendekatan antar disiplin ilmu dapat
menciptakan rencana penatalaksanaan
terintegrasi yang berfokus pada masalah
klien
Rasional
1. Membantu menentukan daerah atau
derajat kerusakan serebral yang terjadi
dan kesulitan pasien dalam proses
komunikasi.
2. Melakukan penelitian terhadap adanya
kerusakan sensori
Rasional
1. Cara pertama untuk menghindari
nosokomial infeksi, menurunkan jumlah
kuman patogen .
2. Deteksi dini perkembangan infeksi
memungkinkan untuk melakukan
tindakan dengan segera dan
pencegahan terhadap komplikasi
selanjutnya, monitoring adanyainfeksi.
3. Meningkatkan imun tubuh terhadap
infeksi
4. Menurunkan pemajanan terhadap
pembawa kuman infeksi.
5. Leukosit meningkat pada keadaan
infeksi
6. Menekan pertumbuhan kuman
pathogen.
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzanne C, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC, Jakarta
Batticaca Fransisca B, 2008, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Pierce A. Grace & Neil R. Borley, 2006, Ilmu Bedah, Jakarta : Erlangga
Brunner & Suddart, 2001. Buku Ajar Medikal Keperawatan vol 3. EGC, Jakarta
Sastrodiningrat, A. G. 2006. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan Subdural Akut .
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39, No.3 Halaman 297- 306.FK USU:
Medan.
Heller, J. L., dkk,Subdural Hematoma , MedlinePlus Medical Encyclopedia, 2012.
Tom, S., dkk,Subdural Hematoma in Emergency Medicine, Medscape Reference,2011.