Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

CEDERA KEPALA
disusun untuk memenuhi tugas profesi ners
Departemen Surgical di Ruang 12 RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh :
RENY RUDY ASISTA
NIM. 140070300011100

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

1. Definisi
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi
normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit
neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa
karena hemoragik, serta edema serebral do sekitar jaringan otak. (Batticaca
Fransisca, 2008, hal 96).
Cedera kepala merupakan proses diman terjadi trauma langsung atau deselerasi
terhasdap kepala yang menyebabkan kerusakan tenglorak dan otak. (Pierce
Agrace & Neil R. Borlei, 2006 hal 91).
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi
otak yang di sertai atau tanpa di sertai perdarahan innterstiil dalm substansi otak
tanpa di ikuti terputusnya kontinuitas otak. (Arif Muttaqin, 2008, hal 270-271).

Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga diantara


otak dan selaput otak (rongga subaraknoid).diantara lapisan dalam (pia
mater) dan lapisantengah (arachnoid mater) para jaringan yang melindungan
otak (meninges).Subarachnoid hemorrhage adalah gangguan yang mengancam
nyawa yang bisa cepat menghasilkan cacat permanen yang serius.

Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural (diantara


duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena
jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat vena
tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada
permukaanotak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral
hemisferiumdan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging
veins. Perdarahansubdural juga menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan
kerusakan otak dibawahnya berat.
2. Etiologi
Cidera kepala dapat disebabkan karena:
1. Kecelakaan lalu lintas,
2. Terjatuh,
3. Kecelakaan industry,
4. Kecelakaan olahraga,
5. Luka, dan
6. Persalinan.
( Tarwoto&Wartonah, 2007, hal 125 )

Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah seperti translasi yang
terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala bergerak ke suatu arah
atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah dengan gerakan
kepala, maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut.
Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-tiba dan
dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba
terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya
mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala. Kecederaan di bagian
muka dikatakan fraktur maksilofasial (Sastrodiningrat, 2009).
3. Klasifikasi
a. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau luka
penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan
bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jia tulang tengkorak
menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak,
jaringan sel otak akibat benda tajam / tembakan. Cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.
b. Cedera kepala tertutup
Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang
mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian
serentak berhenti dan bila ada cairan dalam otak cairan akan tumpah. Cedar kepala
tertutup meliputi: komusio (gegar otak), kontusio (memar) dan laserasi.
(Brunner & Suddarth, 2001: 2211; Long, 1990 : 203)
Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang secara deskripsi
dapat dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya cedera kepala.
(IKABI, 2004).
a. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi dua yaitu :

Cedera kepala tumpul.


Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas,
jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan
decelerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan
melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak.

Cedera tembus. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.
(IKABI, 2004)

b. Berdasarkan morfologi cedera kepala.


Cedera kepala menurut (Tandian, 2011). Dapat terjadi diarea tulang
tengkorak yang meliputi :
Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit
kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin, connective
tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan
ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang
kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung
pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat
mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.
Fraktur tulang kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi :

Fraktur linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada
tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur lenier
dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar
tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat fragmen
fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial.

Fraktur diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg tengkorak
yang mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis fraktur ini
sering terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan
erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan
dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.

Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih dari satu
fragmen dalam satu area fraktur.

Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang
langsung mengenai tulang kepala dan pada area yang kecal. Fraktur impresi
pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada
duremater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi, jika

tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula interna segmen
tulang yang sehat.

Fraktur basis kranii


Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada durameter yang
merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis kranii berdasarkan letak
anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur
fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis kranii
dan tulang kalfaria. Durameter daerah basis krani lebih tipis dibandingkan
daerah kalfaria dan durameter daerah basis melekat lebih erat pada tulang
dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat
menyebabkan robekan durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan
cerebrospinal yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak
(meningitis). Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon
eyes sign (fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batles sign
(fraktur basis kranii fossa media).
Kondisi ini juga dapat menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering
terjadi adalah gangguan saraf penciuman (N,olfactorius). Saraf wajah (N.facialis)
dan saraf pendengaran (N.vestibulokokhlearis). Penanganan dari fraktur basis
kranii meliputi pencegahan peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak
misalnya dengan mencegah batuk, mengejan, dan makanan yang tidak
menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan telinga, jika
perlu dilakukan tampon steril (konsultasi ahli THT) pada tanda bloody/
otorrhea/otoliquorrhea.

Pada

penderita

dengan

tanda-tanda

bloody/otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan


kepala miring ke posisi yang sehat.
Cedera kepala di area intrakranial.
Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan
cedera otak difus.
Cedera otak fokal yang meliputi :
a. Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)
Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang
potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan durameter. Epidural
hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid selama
beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis

kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain
sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.
b. Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut.
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang
terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil
dipermukaan korteks cerebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh
hemisfir

otak.

Biasanya

kerusakan

otak

dibawahnya

lebih

berat

dan

prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.


c. Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik
Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih
dari 3 minggu setelah trauma. Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut
dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu
terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang
bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke dalam
clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar
(durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti dengan
pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses
degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan
hipertonis yang dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka
akan menarik likuor diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan
subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH
kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang
menyerupai TIA (transient ischemic attack).disamping itu dapat terjadi defisit
neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik dan kejang
d.

Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)


Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen
yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan
oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan
oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya
pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh
darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain
adanya penurunan kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi
oleh mekanisme dan energi dari trauma yang dialami.

e. Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)


Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal
baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki
ruang subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit (PSA). Luasnya
PSA menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan
burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme
pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema
cerebri.
Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011), meliputi :
Cedera kepala difus adalah terminologi yang menunjukkan kondisi parenkim
otak setelah terjadinya trauma. Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena
gaya akselerasi dan deselarasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan
bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam.
Fasospasme luas pembuluh darah dikarenakan adanya perdarahan subarahnoit
traumatika yang menyebabkan terhentinya sirkulasi diparenkim otak dengan
manifestasi iskemia yang luas edema otak luas disebabkan karena hipoksia akibat
renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai cedera kepala difus. Dari gambaran
morfologi pencitraan atau radiologi menurut (Sadewa, 2011) maka cedera kepala
difus dikelompokkan menjadi :
a. Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI
Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang
menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi),
maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan
serabut yang menghubungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura)
mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan karena gaya rotasi
antara initi profunda dengan inti permukaan.
b. Kontusio cerebri
Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena
efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab
kontosio cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut
menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang
terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi
kontusio yang begitu khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang
berlawanan dengan arah datangnya gaya yang mengenai kepala.

c. Edema cerebri
Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala. Pada
edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat
pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema. Edema otak bilateral lebih
disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan
hipovolemik.
d. Iskemia cerebri
Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang
atau terhenti. Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan
disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan nilai GCS:
1. Cedera kepala ringan
Nilai GCS: 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit. Ditandai dengan:
nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada fraktur tengkorak,
kontusio/hematoma.
2. Cedera kepala sedang
Nilai GCS: 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit 24 jam, dapat mengalami
fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung).
3. Cedera kepala berat
Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi: kontusio serebral,
laserasi, hematoma dan edema serebral.
(Hudack dan Gallo, 1996: 226)
4. Patofisiologi (Terlampir)
5. Manifestasi Klinis
Cedera kepala menurut Judikh Middleton (2007) akan menimbulkan gangguan
neurologis / tanda-tanda sesuai dengan area atau tempat lesinya yang meliputi:
a. Lobus frontal
-

Adanya gangguan pergerakan bagian tubuh (kelumpuhan)

Ketidakmampuan

untuk

melakukan

gerakan

rumit

yang

di

perlukan

menyelesaikan tugas yang memiliki langkah-langkah, seperti membuat kopi


-

Kehilangan spontanitas dalam berinteraksi dengan orang lain

Kehilangan fleksibilitas dalam berpikir

Ketidakmampuan fokus pada tugas

untuk

Perubahan kondisi kejiwaan (mudah emosional)

Perubahan dalam perilaku social

Perubahan dalam personalitas Ketidakmampuan dalam berpikir (kehilangan memori)

b. Lobus parietal
-

Ketidakmampuan untuk menghadirkan lebih dari satu obyek pada waktu yang
bersamaan

Ketidakmapuan untuk memberi nama sebuah obyek (anomia)

Ketidakmampuan untuk melokalisasi kata-kata dalam tulisan (agraphia)

Gangguan dalam membaca (alexia)

Kesulitan menggambar obyek

Kesulitan membedakan kiri dan kanan

Kesulitan mengerjakan matematika (dyscalculia)

Penurunan kesadaran pada bagian tubuh tertentu dan/area disekitar (apraksia) yang
memicu kesulitan dalam perawatan diri

Ketidakmampuan fokus pada perhatian fisual/penglihatan

Kesulitan koordinasi mata dan tangan

c. Lobus oksipital
-

Gangguan pada penglihatan (gangguan lapang pandang)

Kesulitan melokalisasi obyek di lingkungan

Kesulitan mengenali warna (aknosia warna)

Teriptanya halusinasi

Ilusi visual-ketidakakuratan dalam melihat obyek

Buta kata-ketidakmampuan mengenali kata

Kesulitan mengenali obyek yang bergambar

Ketidakmampuan mengenali gerakan dari obyek

Kesulitan membaca dan menulis

d. Lobus temporal
-

Kesulitan mengenali wajah (prosoprognosia)

Kesulitan memahami ucapan (afasiawernicke)

Gangguan perhatian selektif pada apa yang dilihat dan didengar

Kesulitan identifikasi dan verbalisai obyek

Hilang ingatan jangka pendek

Gangguan memori jangka panjang

Penurunan dan peningkatan ketertarikan pada oerilaku seksual

Ketidakmampuan mengkategorikan onyek (kategorisasi)

Kerusakan lobus kanan dapat menyebabkan pembicaraan yang persisten

Peningkatan perilaku agresif

e. Batang otak
-

Penurunan kapasitas vital dalam bernapas, penting dalam berpidato

Menelan makanan dan air (dysfagia)

Kesulitan dalam organisasi/persepsi terhadap lingkungan

Masalah dalam keseimbangan dan gerakan

Sakit kepala dan mual (vertigo)

Kesulitan tidur (insomnia, apnea saat tidur)

f.

Cerebellum
-

Kehilangan kemampuan untuk mengkoordinasi gerakan halus

Kehilangan kemampuan berjalan

Ketidakmampuan meraih obyek

Bergetar (tremors)

Sakit kepala (vertigo)

Ketidakmampuan membuat gerakan cepat


Menurut Mansjoer (2000) manifestasi klinis cedera kepala berdasarkan beratnya

cedera sesuai skor GCS yaitu:


a. Cedera kepala ringan (GCS 13 15)
-

Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi

Tidak ada kehilangan kesadaran

Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang

Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing

Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala

Tidak adanya criteria cedera kepala sedang sampai berat

b. Cedera kepala sedang (GCS 9 - 12)


-Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi respon yang sesuai
dengan pernyataan yang di berikan
-Amnesia paska trauma
-Muntah
-Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea
atau rinorea cairan serebro spinal)
-Kejang
c. Cedera kepala berat (GCS 8)
-Penurunan kesadaran sacara progresif
-Tanda neorologis fokal
-Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium (Mansjoer, 2000)

6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang untuk trauma kepala menurut Doengoes (2000) dan Price &
Wilson (2006) antara lain:
1. CT Scan (dengan / tanpa kontras)
2. Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ventrikuler, dan pergeseran
jaringan otak.
3. MRI (dengan / tanpa kontras)
4. Menggunakan medan magnet kuat dan frekuensi radio, dapat mendiagnosis tumor,
infark, dan kelainan padapembuluh darah.
5. Angiografi serebral
6. Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat
edema dan trauma perdarahan. Digunakan untuk mengidentifikasi dan menentukan
kelainan vaskuler serebral.
7. Angiografi substraksi digital
8. Suatu jenis angiografi yang menggabungkan radiografi dengan teknik komputerisasi
untuk memperlihatkan pembuluh darah tanpa gangguan dari tulang dan jaringan
lunak di sekitarnya.
9. EEG (Electro Ensephalogram)
10. Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis. EEG
mengukur aktifitas listrik lapisan superficial korteks serebri melalui elektroda yang
dipasang di luar tengkorak pasien.
11. ENG (Electro Nistagmogram)
Merupakan pemeriksaan elektro fisiologis vestibularis yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis gangguan sistem saraf pusat.
12. X-ray
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur). Pergeseran struktur dari
garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya fragmen tulang.
13. BAEK (Brain Auditon Euoked Tomography)
Menentuukan fungsi korteks dan batang otak.
14. PET (Positron Emmision Tomography)
Menunjukkan perubahan aktifitas metabolism batang otak.
15. Fungsi lumbal, CSS
Dapat menduga kemungkinan adanya perubahan subarachnoid.
16. GDA (Gas Darah Arteri)
Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan meningkatkan TIK.
17. Kimia (elektrolit darah)

Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK / perubahan


mental. (Doengoes, 2000; Price & Wilson, 2006).
7. Penatalaksaan Medis
Penatalaksanaan trauma kepala menurut Smeltzer (2001) dan Long (1996) antara lain:
a. Dexamethason / Kalmetason : sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
b. Terapi hiperventilasi (pada trauma kepala berat) : untuk mengurangi vasodilatasi.
c. Analgetik : sebagai pereda nyeri.
d. Gliserol (manitol 20% glukosa 40%) : larutan hipertonis sebagai anti edema.
e. Metronidazole : untuk pengobatan infeksi anaerob, atau antibiotik yang mengandung
penicillin sebagai barier darah otak.
f.

Cairan infuse dextrose 5%, aminousin, aminofel, diberikan 18 jam pertama sejak
terjadinya kecelakaan, selama 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.

g. Tindakan pembedahan
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala-gejala
yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran
hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang
tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation(ABCs). Tindakan
operasi ditujukan kepada:
a. Evakuasi seluruh SDH
b. Merawat sumber perdarahan
c. Reseksi parenkim otak yang nonviable
d. Mengeluarkan ICH yang ada.Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah:

Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan > 10 mm atau


pergeseranmidline shift > 5 mm pada CT-scan

Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK

Pasien SDH dengan GCS < 9, dengan ketebalan perdarahan < 10 mm


dan pergeeran struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS > 2
poinantara saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit

Pasien

SDH

dengan

GCS

<

9,

dan/atau

dilatasiasimetris/fixede.

Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau TIK > 20 mmHg.

didapatkan

pupil

Gambar 11. Tindakan operatif pada SDH (Kraniotomi)(catalog.nucleusinc.org)


Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill
raniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahansub dural
kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukankomplikasi
yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap
sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yangsudah berusia lanjut
dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yangterjadi kembali, tidaklah perlu
untuk dilakukan operasi ulang kembali.
Trepanasi atau burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secaracepat
dengan lokal anestesi. Pada saat ini tindakan ini sulit untuk dibenarkan karenadengan

trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma yang biasanyasolid dan


kenyal apalagi kalau volume hematoma cukup besar. Lebih dari seperlima penderita
SDH akut mempunyai volume hematoma lebih dari 200 ml.
Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yanginvasif
dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Hampir semua ahli bedah saraf memilih
kraniotomi luas. Luasnya insisi ditentukan oleh luasnya hematoma danlokasi kerusakan
parenkim otak. Lubang bor yang pertama dibuat dilokasi dimana didapatkan hematoma
dalam jumlah banyak, dura mater dibuka dan diaspirasi sebanyak mungkin hematoma,
tindakan ini akan segara menurunkan TIK. Lubang bor berikutnya dibuat dan kepingan
kranium yang lebar dilepaskan, duramater dibukalebar dan hematoma dievakuasi dari
permukaan otak. Setelah itu, dimasukkan surgical patties yang cukup lebar dan basah
keruang subdural, dilakukan irigasi,kemudian surgical patties disedot ( suction ).
Surgical patties

perlahan lahan ditarik keluar, sisa hematoma akan melekat

pada surgical patties, setelah itu dilakukan irigasi ruang subdural dengan memasukkan
kateter kesegala arah. Kontusio jaringanotak dan hematoma intraserebral direseksi.
Dipasang drain 24 jam diruang subdural,duramater dijahit rapat.Usaha diatas adalah
untuk memperbaiki prognosa akhir SDH, dilakukankraniotomi dekompresif yang luas
dengan maksud untuk mengeluarkan seluruhhematoma, merawat perdarahan dan
mempersiapkan dekompesi eksternal dari edemaserebral pasca operasi. Pemeriksaan
pasca operasi menujukkan sisa hematoma dan perdarahan ulang sangat minimal dan
struktur garis tengah kembali lebih cepat ke posisi semula dibandingkan dengan
penderita yang tidak dioperasi dengan cara ini.
Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural
kronik sudah mulai berkurang.Trepanasi atau kraniotomi adalah suatu tindakan
membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan
definitif.Pada

pasien

pupilanisokor

dengan

trauma,

adanya

trias

klinis

refleks

cahaya

menurun

yaitu
dan

penurunan

kontralateral

kesadaran,
hemiparesis

merupakantanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian


besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial. Indikasi Operasi, yaitu:
1. Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
2. Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
3. Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CTscan
kepala tidak bisa dilakukan.

Perawatan Pasca bedah Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan
seperti biasanya.Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang
ataukranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.Setelah operasipun kita
harus tetap berhati hati, karena pada sebagian pasiendapat terjadi perdarahan lagi yang
berasal dari pembuluh darah yang baru terbentuk,subdural empiema, irigasi yang kurang
baik, pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari
otak untuk mengembang kembali danterjadinya reakumulasi dari cairan subdural. Maka
dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan.
Serial skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan. Follow-upCT scan
kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik danuntuk menilai apakah
masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.

8. Komplikasi
Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut Markam (1999) pada cedera
kepala meliputi:
a. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini secara
khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita akan

terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun


demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya.
Penderita pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh.
b. Kejang / Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang- kurangnya sekali
kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini
berkembang menjadi epilepsy.
c. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran (meningen)
sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan
ini memiliki potensial untuk menyebar ke system saraf yang lain.
d. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan
kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala mengalami masalah
kesadaran.
e. Penyakit Alzheimer dan Parkinson
Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit Alzheimer tinggi
dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi dan
keparahan cedera.

Konsep Asuhan Keperawatan


Pengkajian Fokus
1. Riwayat kesehatan
Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian,
pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
2. Pemeriksaan fisik
Sistem respirasi:
Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik), nafas
berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
Kardiovaskuler:
Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
Kemampuan komunikasi:
Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf
hipoglosus dan saraf fasialis.
Psikososial:
Data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.
Aktivitas/istirahat
S : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan
O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese, goyah dalam berjalan
(ataksia), cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot.
Sirkulasi
O : Tekanan darah normal atau berubah (hiper/normotensi), perubahan frekuensi
jantung nadi bradikardi, takhikardi dan aritmia.
Integritas Ego
S : Perubahan tingkah laku/kepribadian
O : Mudah tersinggung, delirium, agitasi, cemas, bingung, impulsive dan depresi
Eliminasi
O : BAB/BAK inkontinensia/disfungsi.
Makanan/cairan
S : Mual, muntah, perubahan selera makan
O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).
Neurosensori
S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan pendengaran,
perubahan penglihatan, diplopia, gangguan pengecapan/pembauan.
O : Perubahan kesadara, koma. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan,
atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil (respon terhadap cahaya), kehilangan

penginderaan, pengecapan dan pembauan serta pendengaran. Postur (dekortisasi,


desebrasi), kejang. Sensitive terhadap sentuhan / gerakan.
Nyeri/Keyamanan
S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda.
O : Wajah menyeringa, merintih, respon menarik pada rangsang nyeri yang hebat,
gelisah
Keamanan
S : Trauma/injuri kecelakaan
O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus otot hilang
kekuatan paralysis, demam, perubahan regulasi temperatur tubuh
Penyuluhan/Pembelajaran
Riwayat penggunaan alcohol/obat-obatan terlarang
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Scan CT (tanpa/denga kontras) : Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b. MRI ; Sama dengan scan CT dengan atau tanpa kontras.
c. Angiografi serebral : Menunjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti pengeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma
d. EEG : Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
e. Sinar X : Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran
struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.
f.

BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : Menentukan fungsi korteks dan batang
otak.

g. PET

(Positron

Emission

Tomography)

Menunjukan

perubahan

aktifitas

metabolisme pada otak.


h. Fungsi lumbal, CSS : Dapat menduka kemungkinan adanya perdarahan
subarachnoid.
i.

GDA (Gas Darah Artery) : Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
yang akan dapat meningkatkan TIK.

j.

Kimia /elektrolit darah : Mengetahui ketidak seimbangan yang berperan dalam


peningkatan TIK/perubahan mental.

k. Pemeriksaan toksikologi : Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab


terhadap penurunan kesadaran.
l.

Kadar antikonvulsan darah : Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup fektif untuk mengatasi kejang.

Diagnosa Keperawatan:
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipoksia, edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran,
perubahan respon mototrik dan sensorik, gelisah, perubahan TTV.
b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler,
kerusakan medula oblongata neuromaskuler ditandai dengan kelemahan atau paralisis
otot pernafasan.
c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan peningkatan ADH
dan aldosteron, retensi cairan dan natrium ditandai dengan edema, dehidrasi, sindrom
kompartemen dan hemoragi.
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan peningkatan asam
lambung, mual, muntah, anoreksia ditandai dengan penurunan BB, penurunan massa
atau tonus otot
e. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan tonus otot dan penurunan
kesadaran

ditandai

dengan

ketidakmampuan

bergerak,

kerusakan

koordinasi,

keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan otot.


f.

Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran, peningkatan


tekanan intra kranial

ditandai dengan disorientasi terhadap waktu, tempat, orang,

perubahan terhadap respon rangsang.


g. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan penurunan
keseadaran ditandai dengan ketidakmampuan untuk bicara dan menyebutkan katakata.
h. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit kepala,
perdarahan serebral ditandai dengan respon inflamasi, hipertermi.
Intervensi dan Rasional
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial
Tujuan:
Setelah dilalukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan perfusi jaringan
serebral kembali normal
Kriteria Hasil:
a. Kien melaporkan tidak ada pusing atau sakit kepala
b. Tidak terjadi peningkatan tekanan intrakranial
c. Peningkatan kesadaran, GCS 13
d. Fungsi sensori dan motorik membaik, tidak mual, tidak ada muntah.

1.
2.
3.
4.
5.

Intervensi
Kaji tingkat kesadaran.
Pantau status neurologis secara teratur,
catat adanya nyeri kepala, pusing.
Tinggikan posisi kepala 15-30 derajat
Pantau TTV, TD, suhu, nadi, input dan
output, lalu catat hasilnya.
Kolaborasi pemberian oksigen.

1.
2.
3.
4.

5.

Rasional
Mengetahui kestabilan klien.
Mengkaji adanya kecendeungan pada
tingkat kesadaran dan resiko TIK
meningkat.
Untuk menurunkan tekanan vena
jugularis.
Peningkatan tekanan darah sistemik
yang diikuti dengan penurunan tekanan
darah diastolik serta napas yang tidak
teratur merupakan tanda peningkatan
TIK.
Mengurangi keadaan hipoksia

2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler,


kerusakan medula oblongata, hiperventilasi.
Tujuan :
Setelah dilakuan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan pola nafas efektif
dengan
Kriteria hasil:
a. Klien tidak mengatakan sesak nafas
b. Retraksi dinding dada tidak ada, dengan tidak ada otot-otot dinding dada.
c. Pola nafas reguler, RR. 16-24 x/menit, ventilasi adekuat
d. bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien,
e. kepatenan jalan nafas dapat dipertahankan.
Intervensi
1. Kaji kecepatan, kedalaman, frekuensi,
irama nafas, adanya sianosis. Kaji suara
nafas tambahan (rongki, mengi,
krekels).
2. Atur posisi klien dengan posisi semi
fowler 30o Berikan posisi semi prone
lateral/ miring, jika tak ada kejang
selama 4 jam pertama rubah posisi
miring atau terlentang tiap 2 jam.
3. Anjurkan pasien untuk minum hangat
(minimal 2000 ml/hari).
4. Kolaborasi terapi oksigen sesui indikasi.
5. Lakukan section dengan hati-hati
(takanan, irama, lama) selama 10-15
detik, catat, sifat, warna dan bau sekret
6. Kolaborasi dengan pemeriksaan AGD,
tekanan oksimetri.

Rasional
1. Hipoventilasi biasanya terjadi atau
menyebabkan akumulasi/atelektasi atau
pneumonia (komplikasi yang sering
terjadi).
2. Meningkatkan ventilasi semua bagian
paru, mobilisasi serkret mengurangi
resiko komplikasi, posisi tengkulup
mengurangi kapasitas vital paru, dicurigai
dapat menimbulkan peningkatan resiko
terjadinya gagal nafas.
3. Membantu mengencerkan sekret,
meningkatkan mobilisasi sekret/sebagai
ekspektoran.
4. Memaksimalkan bernafas dan
menurunkan kerja nafas. Mencegah
hipoksia, jika pusat pernafasan tertekan.
Biasanya dengan menggunakan
ventilator mekanis.
5. Penghisapan yang rutin, beresiko terjadi
hipoksia, bradikardi (karena respons

vagal), trauma jaringan oleh karenanya


kebutuhan penghisapan didasarkan pada
adanya ketidakmampuan untuk
mengeluarkan sekret.
6. Menyatakan keadaan ventilasi atau
oksigen, mengidentifikasi masalah
pernafasan, contoh: hiperventilasi (PaO2
rendah/ PaCO2 mengingkat) atau adanya
komplikasi paru.
Menentukan kecukupan oksigen,
keseimbangan asam-basa dan
kebutuhan akan terapi.
3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan pengeluaran urine
dan elektrolit meningkat.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam ganguan keseimbangan
cairan dan elektrolit dapat teratasi dengan
Kriteria Hasil:
a. Menunjukan membran mukosa lembab
b. Tanda vital normal , haluaran urine adekuat dan bebas oedema.
Intervensi
1. Kaji tanda klinis dehidrasi atau
kelebihan cairan.
2. Catat masukan dan haluaran, hitung
keseimbangan cairan, ukur berat jenis
urine.
3. Berikan air tambahan sesuai indikasi
4. Kolaborasi pemeriksaan lab.
kalium/fosfor serum, Ht dan
albumin serum.

Rasional
1. Deteksi dini dan intervensi dapat
mencegah kekurangan/kelebihan fluktuasi
keseimbangan cairan.
2. Kehilangan urinarius dapat menunjukan
terjadinya dehidrasi dan berat jenis urine
adalah indikator hidrasi dan fungsi renal.
3. Dengan formula kalori lebih
tinggi,tambahan air diperlukan untuk
mencegah dehidrasi.
4. Hipokalemia/fofatemia dapat terjadi
karena perpindahan intraselluler elama
pemberian makan awal dan menurunkan
fungsi jantung bila tidak diatasi.

4. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan melemahnya otot


yang digunakan untuk mengunyah dan menelan
Tujuan :
Pasien tidak mengalami gangguan nutrisi setelah dilakukan perawatan selama 3 x 24
jam dengan
Kiteria Hasil:

a. Tidak mengalami tanda- tanda mal nutrisi dengan nilai lab. dalam rentang
normal.

b. Peningkatan berat badan sesuai tujuan.


Intervensi
1. Kaji kemampuan pasien untuk
mengunyah dan menelan, batuk dan
mengatasi sekresi.
2. Auskultasi bising usus, catat adanya
penurunan/hilangnya atau suara
hiperaktif.
3. Jaga keamanan saat memberikan
makan pada pasien, seperti
meninggikan kepala selama makan
atatu selama pemberian makan lewat
NGT.
4. Berikan makan dalam porsi kecil dan
sering dengan teratur.
5. Kolaborasi dengan ahli gizi.

Rasional
1. Faktor ini menentukan terhadap jenis
makanan sehingga pasien harus
terlindung dari aspirasi.
2. Bising usus membantu dalam
menentukan respon untuk makan atau
berkembangnya komplikasi seperti
paralitik ileus.
3. Menurunkan regurgitasi dan terjadinya
aspirasi.
4. Meningkatkan proses pencernaan dan
toleransi pasien terhadap nutrisi yang
diberikan dan dapat meningkatkan
kerjasama pasien saat makan
5. Metode yang efektif untuk memberikan
kebutuhan kalori.

5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi sensori dan


kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan.
Tujuan :
Pasien dapat melakukan mobilitas fisik setelah mendapat perawatan dengan
Kriteri Hasil :
a. Tidak adanya kontraktur, footdrop.
b. Ada peningkatan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit.
c. Mampu mendemonstrasikan aktivitas yang memungkinkan dilakukannya
Intervensi
1. Periksa kembali kemampuan dan
keadaan secara fungsional pada
kerusakan yang terjadi.
2. Berikan bantu untuk latihan rentang
gerak
3. Bantu pasien dalam program latihan
dan penggunaan alat mobilisasi.
Tingkatkan aktivitas dan partisipasi
dalam merawat diri sendiri sesuai
kemampuan

6. Perubahan

persepsi

sensori

peningkatan tekanan intra kranial.


Tujuan :

Rasional
1. Mengidentifikasi kerusakan secara
fungsional dan mempengaruhi pilihan
intervensi yang akan dilakukan.
2. Mempertahankan mobilitas dan fungsi
sendi/ posisi normal ekstrimitas dan
menurunkan terjadinya vena statis
3. Proses penyembuhan yang lambat
seringakli menyertai trauma kepala dan
pemulihan fisik merupakan bagian yang
sangat penting. Keterlibatan pasien
dalam program latihan sangat penting
untuk meningkatkan kerja sama atau
keberhasilan program.

berhubungan

dengan

penurunan

kesadaran,

Fungsi persepsi sensori kembali normal setelah dilakukan perawatan selama 3x 24


jam
Kriteria Hasil :

a. Mampu mengenali orang dan lingkungan sekitar.


b. Mengakui adanya perubahan dalam kemampuannya.
Intervensi
1. Kaji kesadaran sensori dengan
sentuhan, panas/ dingin, benda
tajam/tumpul dan kesadaran terhadap
gerakan.
2. Evaluasi secara teratur perubahan
orientasi, kemampuan berbicara, alam
perasaan, sensori dan proses pikir.
3. Bicara dengan suara yang lembut dan
pelan. Gunakan kalimat pendek dan
sederhana. Pertahankan kontak mata.
4. Berikan lingkungan terstruktur rapi,
nyaman dan buat jadwal untuk klien jika
mungkin dan tinjau kembali.
5. Kolaborasi pada ahli fisioterapi, terapi
okupasi, terapi wicara dan terapi
kognitif.

Rasional
1. Semua sistem sensori dapatn
terpengaruh dengan adanya perubahan
yang melibatkan peningkatan atau
penurunan sensitivitas atau kehilangan
sensasi untuk menerima dan berespon
sesuai dengan stimuli.
2. Fungsi cerebral bagian atas biasanya
terpengaruh lebih dahulu oleh adanya
gangguan sirkulasi, oksigenasi.
Perubahan persepsi sensori motorik dan
kognitif mungkin akan berkembang dan
menetap dengan perbaikan respon
secara bertahap
3. Pasien mungkin mengalami keterbatasan
perhatian atau pemahaman selama fase
akut dan penyembuhan. Dengan tindakan
ini akan membantu pasien untuk
memunculkan komunikasi.
4. Pasien mungkin mengalami keterbatasan
perhatian atau pemahaman selama fase
akut dan penyembuhan. Dengan tindakan
ini akan membantu pasien untuk
memunculkan komunikasi.
5. Pendekatan antar disiplin ilmu dapat
menciptakan rencana penatalaksanaan
terintegrasi yang berfokus pada masalah
klien

7. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan penurunan


keseadaran.
Tujuan:
Kerusakan komunikasi verbal tidak terjadi.
Kriteria hasil:
Mengidentifikasi pemahaman tentang masalah komunikasi dan klien dapat
menunjukan komunikasi dengan baik
Intervensi
1. Kaji derajat disfungsi
2. Mintalah klien untuk mengikuti perintah
3. Anjurkan keluarga untuk berkomunikasi
dengan klien

Rasional
1. Membantu menentukan daerah atau
derajat kerusakan serebral yang terjadi
dan kesulitan pasien dalam proses
komunikasi.
2. Melakukan penelitian terhadap adanya
kerusakan sensori

3. Untuk merangsang komunikasi pasien,


mengurangi isolasi sosial dan
meningkatkan penciptaan komunikasi
yang efektif.
8. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.
Tujuan :
Tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam
Kiteria Hasil:

a. Bebas tanda-tanda infeksi, Mencapai penyembuhan luka tepat waktu


b. suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5C)
Intervensi
1. Berikan perawatan aseptik dan
antiseptik, pertahankan teknik cuci
tangan
2. Observasi daerah kulit yang mengalami
kerusakan, kaji keadaan luka, catat
adanya kemerahan, bengkak, pus
daerah yang terpasang alat invasi dan
TTV
3. Anjurkan klien untuk memenuhi nutrisi
dan hidrasi yang adekuat.
4. Batasi pengunjung yang dapat
menularkan infeksi
5. Pantau hasil pemeriksaan lab, catat
adanya leukositosis
6. Kolaborasi pemberian atibiotik sesuai
indikasi.

Rasional
1. Cara pertama untuk menghindari
nosokomial infeksi, menurunkan jumlah
kuman patogen .
2. Deteksi dini perkembangan infeksi
memungkinkan untuk melakukan
tindakan dengan segera dan
pencegahan terhadap komplikasi
selanjutnya, monitoring adanyainfeksi.
3. Meningkatkan imun tubuh terhadap
infeksi
4. Menurunkan pemajanan terhadap
pembawa kuman infeksi.
5. Leukosit meningkat pada keadaan
infeksi
6. Menekan pertumbuhan kuman
pathogen.

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, M. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.


Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta: EGC; 1996

Smeltzer, Suzanne C, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC, Jakarta
Batticaca Fransisca B, 2008, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Pierce A. Grace & Neil R. Borley, 2006, Ilmu Bedah, Jakarta : Erlangga
Brunner & Suddart, 2001. Buku Ajar Medikal Keperawatan vol 3. EGC, Jakarta
Sastrodiningrat, A. G. 2006. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan Subdural Akut .
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39, No.3 Halaman 297- 306.FK USU:
Medan.
Heller, J. L., dkk,Subdural Hematoma , MedlinePlus Medical Encyclopedia, 2012.
Tom, S., dkk,Subdural Hematoma in Emergency Medicine, Medscape Reference,2011.

Anda mungkin juga menyukai