Anda di halaman 1dari 27

TAMARA F.

A (1102012292) SK 2 EMERGENCY (TRAUMA KEPALA,


PERDARAHAN INTRAKRANIAL, FRAKTUR CRANII, TRIAS CUSHING)

1. TRAUMA KEPALA
1.1 DEFINISI
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga
dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut
Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-
Brown, Thomas, 2006).

1.2 EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah
tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera
kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat
(CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas
merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya
disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi (Turner DA, 1996). Data epidemiologi di Indonesia belum
ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat
60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50%
akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal (PERDOSSI, 2007).

1.3 ETIOLOGI
 Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau benda
lain sehingga menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya.
 Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah dengan cepat karena gravitasi
bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun sesudah sampai ke tanah
 Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan seseorang atau kelompok yang
menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara
paksaan)

1.4 KLASIFIKASI
Cedera Kepala Berdasarkan Mekanismenya
Cedera kepala berdasarkan mekanismenya dikelompokkan menjadi dua yaitu:
1) Cedera kepala tumpul
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera
tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan melakukan
kontak pada protuberas tulang tengkorak.
2) Cedera tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.

Cedera Kepala Berdasarkan Keparahan Cedera


1) Ringan : GCS 14–15
(tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada kelainan anatomi)
Dengan Skala Koma Glasgow >12, tidak ada kelainan dalam CT-scan, tiada lesi operatif dalam 48 jam rawat inap
di Rumah Sakit. Trauma kepala ringan atau cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurologi atau
menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer, 2001). Cedera kepala ringan adalah
trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh) tidak kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala,
hematoma, laserasi dan abrasi (Mansjoer, 2000). Cedera kepala ringan adalah cedara otak karena tekanan atau
terkena benda tumpul (Bedong, 2001). Cedera kepala ringan adalah cedera kepala tertutup yang ditandai dengan
hilangnya kesadaran sementara (Corwin, 2000). Pada penelitian ini didapat kadar laktat rata-rata pada penderita
cedera kepala ringan 1,59 mmol/L.

1
2) Sedang : GCS 9-13
(penurunan kesadaran ringan)
Dengan Skala Koma Glasgow 9 - 12, lesi operatif dan abnormalitas dalam CT-scan dalam 48 jam rawat inap di
Rumah Sakit (Torner, Choi, Barnes, 1999). Pasien mungkin bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk
mengikuti perintah sederhana (SKG 9-13). Pada suatu penelitian penderita cedera kepala sedang mencatat bahwa
kadar asam laktat rata-rata 3,15 mmol/L.

3) Berat : GCS 3–8


(penurunan kesadaran berat, mata tidak sama, pemeriksaan motor tidak sama, bocornya cairan otak, perburukan
saraf, fraktur tengkorak depressed)
Dengan Skala Koma Glasgow < 9 dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner C, Choi S, Barnes Y, 1999).
Hampir 100% cedera kepala berat dan 66% cedera kepala sedang menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera
kepala berat terjadinya cedera otak primer seringkali disertai cedera otak sekunder apabila proses patofisiologi
sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dan dihentikan (Parenrengi, 2004). Penelitian pada penderita cedera
kepala secara klinis dan eksperimental menunjukkan bahwa pada cedera kepala berat dapat disertai dengan
peningkatan titer asam laktat dalam jaringan otak dan cairan serebrospinalis (CSS) ini mencerminkan kondisi
asidosis otak.
Cedera Kepala Berdasarkan Morfologinya
Berdasarkan morfologi cedera kepala, dibedakan menjadi (Cedera kepala menurut Tandian, 2011):
1) Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit kepala/scalp terdiri dari lima lapisan
(dengan akronim SCALP) yaitu skin, connective tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum
terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering
terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka
perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.
2) Fraktur tulang kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi:
a. Fraktur linier — Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada tulang
tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang
bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat
fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial.
b. Fraktur diastasis — Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg tengkorak yang
mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita karena
sutura-sutura belum menyatu dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering terjadi pada sutura
lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.
c. Fraktur kominutif — Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih dari satu fragmen
dalam satu area fraktur.
d. Fraktur impresi — Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung
mengenai tulang kepala dan pada area yang kecal. Fraktur impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan
penekanan atau laserasi pada duremater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi, jika tabula
eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula interna segmen tulang yang sehat.
e. Fraktur basis kranii — Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak,
fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur
basis kranii berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur
fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis kranii dan tulang kalfaria. Durameter
daerah basis krani lebih tipis dibandingkan daerah kalfaria dan durameter daerah basis melekat lebih erat pada
tulang dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan
durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang menimbulkan resiko terjadinya
infeksi selaput otak (meningitis). Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon eyes sign
(fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batle’s sign (fraktur basis kranii fossa media). Kondisi ini
juga dapat menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering terjadi adalah gangguan saraf penciuman
(N,olfactorius). Saraf wajah (N.facialis) dan saraf pendengaran (N.vestibulokokhlearis). Penanganan dari
fraktur basis kranii meliputi pencegahan peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak misalnya dengan
mencegah batuk, mengejan, dan makanan yang tidak menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan sekitar lubang
hidung dan telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (konsultasi ahli THT) pada tanda bloody/

2
otorrhea/otoliquorrhea. Pada penderita dengan tanda-tanda bloody/otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur
dengan posisi terlentang dan kepala miring ke posisi yang sehat.
3) Cedera Otak
1) Commotio Cerebri (Gegar Otak)
Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak ringan karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala
dimana terjadi pingsan < 10 menit. Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa
sakit kepala, mual, muntah, dan pusing. Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak
diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera
(amnezia retrograd dan antegrad).
Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli bedah syaraf, gegar otak terjadi jika coma
berlangsung tidak lebih dari 1 jam. Kalau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih berat dan mungkin terjadi
komplikasi kerusakan jaringan otak yang berkepanjangan.
2) Contusio Cerebri (Memar Otak)
Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya pembuluh darah kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama
dengan rusaknya jaringan saraf/otak di daerah sekitarnya. Di antara yang paling sering terjadi adalah
kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi kejadian
cidera kepala.
Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya
tanda-tanda koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan pernapasan, gangguan
sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka
merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).

Berdasarkan Patofisiologi
a. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-decelerasi rotasi) yang menyebabkan gangguan pada
jaringan. Pada cedera primer dapat terjadi gegar kepala ringan, memar otak dan laserasi.
b. Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti hipotensi sistemik, hipoksia, hiperkapnea, edema
otak, komplikasi pernapasan, dan infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain.

1.5 PATOFISIOLOGI
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk
titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area
benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat
lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami
akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik.
Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya
ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang
disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono dan
Sidharta, 2008). Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat
terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid)
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa
otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003
dalam Israr dkk,2009).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan
timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam
setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat
diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.

3
1.6 MANIFESTASI KLINIS
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
 Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
 Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
 Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
 Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
 Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan:
 Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh.
 Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
 Mual atau dan muntah.
 Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
 Perubahan keperibadian diri.
 Letargik.
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat:
 Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak menurun atau meningkat.
 Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
 Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).
 Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi abnormal ekstrimitas.

1.7 DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


1) Anamnesis

4
Sedapatnya dicatat apa yang terjadi, dimana, kapan waktu terjadinya kecelakaan yang dialami pasien. Selain itu perlu
dicatat pula tentang kesadarannya, luka-luka yang diderita, muntah atau tidak, adanya kejang. Keliarga pasien
ditanyakan apa yang terjadi.
2) Pemeriksaan fisik umum
Pada pemeriksaan fisik dicatat tanda-tanda vital : kesadaran, nadi, tensi darah, frekuensi dan jenis pernapasan serta suhu
tubuh. Tingkat kesadaran dicatat yaitu kompos mentis (kondisi segar bugar), apatis, somnolen (ngantuk), sopor (tidur),
soporokomo atau koma.43 Selain itu ditentukan pula Skala Koma Glasgow sebagai berikut :
Respon 0-1 tahun
≥1 tahun
Mata
4 Membuka mata spontan Membuka mata spontan
3 Membuka mata dengan perintah Membuka mata oleh tarikan
2 Membuka mata oleh nyeri Membuka mata oleh nyeri
1 Tidak membuka mata Tidak membuka mata
Respon 0-1 tahun
≥1 tahun
motorik
6 Mengikuti perintah Belum dapat dinilai
5 Melokalisasi nyeri Melokalisasi nyeri
4 Menghindari nyeri Menghindari nyeri
3 Fleksi abnormal (decorticasi) Fleksi abnormal (decorticasi)
2 Ekstensi abnormal (deserebrasi) Ekstensi abnormal (deserebrasi)
1 Tidak ada respon Tidak ada respon
Respon
 5 tahun 2 – 5 tahun 0 - 2 tahun
verbal
5 Orientasi baik dan Menyebutkan kata – kata Menangis kuat
mampu yang sesuai
berkomunikasi
4 Disorientasi tapi Menyebutkan kata – kata Menangis lemah
mampu yang tidak sesuai
berkomunikasi
3 Menyebutkan kata – Menangis dan menjerit Kadang – kadang
kata yang tidak menangus/menjerit
sesuai (kasar, jorok) lemah
2 Mengeluarkan suara Mengeluarkan suara Mengeluarkan suara
lemah lemah
1 Tidak ada respon Tidak ada respon Tidak ada respon

Nilai tertinggi dari pemerikasan Skala Koma Glasgow (SKG) adalah 15 dan terendah adalah 3. Berdasarkan nilai SKG
trauma kapitis dapat dibagi atas :

kategori SKG Gambaran klinik Skening Otak


Pingsan ≤ 10 menit,
Trauma kapitis ringan 13 – 15 Normal
defisit neurologis (-)
Pingsan > 10 menit s/d
Trauma Kapitis
9 – 12 6 jam, defisit Abnormal
Sedang
neurologis (-)
Pingsan >6jam, defisit
Trauma Kapitis berat 3-8 Abnormal
neurologis (+)

Pemeriksaan Skala Koma Glasgow tidak dapat dilakukan bila kedua mata tertutup, misalnya bila kelopak mata
membengkak. Rangsangan nyeri untuk menimbulkan respon motorik dilakukan dengan menekan pertengahan sternum
dengan kapitulum metakarpal (telapak tangan) pertama jari tengah. Bila ada tetraplegi tentu tes ini tidak akan berguna.

3) Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Perbedaan diameter antara dua pupil
yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal.Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap
saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala.

5
Penilaian ukuran pupil dan responnya terhadap rangsangan cahaya adalah pemeriksaan awal terpenting dalam
menangani cedera kepala.
Salah satu gejala dini dari herniasi dari lobus temporal adalah dilatasi dan perlambatan respon cahaya pupil. Dalam
hal ini adanya kompresi maupun distorsi saraf okulomotorius sewaktu kejadian herniasi tentorial unkal akan
mengganggu funsi akson parasimpatis yang menghantarkan sinyal eferen untuk konstrksi pupil.Perubahan pupil pada
hematom epidural dapat dilihat dari tabel

Gerakan bola mata merupakan indeks penting untuk penilaian aktiffitas fungsional batang otak (formasio rektikularis).
Penderita yang sadar penuh (alert) dan mempunyai gerakan bola mata yang baik menandakan intaknya sistem
motorikokuler di batang otak. Pada keadaan kesadaran yang menurun, gerakan bola mata volunter menghilang, sehingga
untuk menilai gerakannya ditentukan dari refleks okulosefalik dan okulovestibuler.

4) Pemeriksaan Neurologis
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap seperti biasanya. Pada pasien yang
berada dalam keadaan koma hanya dapat dilakukan pemeriksaan obyektif. Pemeriksaan neurologis dilaksanakan
terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus,kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua
hasilnya harus dicatat.
Bentuk pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda perangsangan meningens, yang berupa tes kaku kuduk yang
hanya boleh dilakukan bila kolumna vertebralis servikalis (ruas tulang leher) normal. Tes ini tidak boleh dilakukan bila
ada fraktur atau dislokasi servikalis. Selain itu dilakukan perangsangan terhadap sel saraf motorik dan sarah sensorik
(nervus kranialis). Saraf yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai saraf 12, yaitu :
a. nervus I (nervus olfaktoris)
b. nervus II (nervus optikus)
c. nervus III (nervus okulomotoris)
d. nervus IV (troklearis)
e. nervus V (trigeminus)
f. nervus VI (Abdusens)
g. nervus VII (fasialis)
h. nervus VIII (oktavus)
i. nervus IX (glosofaringeus)
j. nervus X (vagus)
k. nervus XI (spinalis)
l. nervus XII (hipoglosus)
nervus spinalis (pada otot lidah) dan nervus hipoglosus (pada otot belikat) berfungsi sebagai saraf sensorik dan saraf
motorik

5) Analisa gas darah untuk mengetahui masalah ventilasi dan oksigenasi akibat peningkatan tekanan intracranial.

6) Pemeriksaan radiologis, yang berupa :


a. Foto Rontgen polos
Pada trauma kapitis perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna vertebralis servikalis. Film diletakkan pada sisi
lesi akibat benturan. Bila lesi terdapat di daerah oksipital, buatkan foto anterior-posterior dan bila lesi pada kulit
terdapat di daerah frontal buatkan foto posterior-anterior. Bila lesi terdapat pada daerah temporal, pariental atau
frontal lateral kiri, film diletakkan pada sisi kiri dan dibuat foto lateral dari kanan ke kiri. Kalau diduga ada fraktur
basis kranii, maka dibuatkan foto basis kranii dengan kepalamenggantung dan sinar rontgen terarah tegak lurus pada
garis antar angulus mandibularis (tulang rahang bawah). Foto kolumna vertebralis servikalis dibuat anterior-
posterior dan lateral untuk melihat adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto polos tengkorak mungkin dapat
6
ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi. Tekanan intrakranial yang tinggi mungkin menimbulkan impressions
digitae.

b. Compute Tomografik Scan (CT-Scan)


CT. Scan untuk menentukan hemoragi, ukuran ventrikel, pergeseran jaringan otak. CT-Scan diciptakan oleh
Hounsfield dan Ambrose pada tahun 1972. Dengan pemeriksaan ini kita dapat melihat ke dalam rongga tengkorak.
Potongan-potongan melintang tengkorak bersama isinya tergambar dalam foto dengan jelas.43 Indikasi
pemeriksaan CT-Scan pada penderita trauma kapitis :
a) SKG < 15 atau terdapat penurunan kesadaran
b) Trauma kapitis ringan yang disertai dengan fraktur tulang tengkorak
c) Adanya tanda klinis fraktur basis kranii
d) Adanya kejang
e) Adanya tanda neurologis fokal
f) Sakit kepala yang menetap.

c. MRI (Magnetic Resonance Imaging) MRI dapat memberikan foto berbagai kelainan parenkim otak dengan
lebih jelas. Beberapa keuntungan MRI dibandingkan dengan CT-Scan yaitu : lebih baik dalam menilai cedera
sub-akut, termasuk kontusio, shearing injury, dan sub dural hematoma, lebih baik dalam menilai dan melokalisir
luasnya kontusio dan hematoma secara lebih akurat karena mampu melakukan pencitraan dari beberapa posisi,
dan lebih baik dalam pencitraan cedera batang otak. Sedangkan kerugian MRI dibandingkan dengan CT-Scan
yaitu : membutuhkan waktu pemeriksaan lama sehingga membutuhkan alat monitoring khusus pada pasien
trauma kapitis berat, kurang sensitif dalam menilai perdarahan akut, kurang baik dalam penilaian fraktur,
perdarahan subarachnoid dan pneumosefalus minimal dapat terlewatkan.

d. Angiografi
Angiografi untuk menunjukkan kelainan sirkulasi cerebral seperti pergeseran jaringan otak akibat edema,
perdarahan dan trauma.

DIAGNOSIS BANDING
Jika riwayat trauma kurang jelas dan pasien tidak sadar, kita harus membedakan cedera kepala tertutup
dengan penyebab lainnya, seperti: koma diabetik, koma alkoholik, CVD atau epilepsy (jika pasien kejang).

1.8 TATALAKSANA
Pedoman resusitasi dan penilaian awal
1. Menilai jalan nafas
Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gig palsu, pertahan kan tulang servikal segaris
dengan badan, pasang gudel bila dapat ditoleransi. Jika cedera mengganggu jalan nafas, maka pasien
harus diintuasi.
2. Menilai pernafasan
Tentukan apakah pasien bernafas dengan spontan atau tidak, jika tidak, beri O2 melalui masker oksigen.
Jika bernafas spontan selidiki cedera dada berat seperti pneumotoraks, hemopneumotoraks.
3. Menilai sirkulasi
Otak yang rusak tidak mentoleransi hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya.
Perhatikan secara khusus adanya cedera intra abdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung
dan tekanan darah. Ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, kreatinin,
elektrolit, glukosa, AGD. Berikan larutan koloid, sedangkan larutan kristaloid (dektrose atau dektrose
dalam saline) menimbulkan eksaserbasi edema serebri pasca cedera kepala.
4. Obati kejang
Kejang konvulsiv dapat terjad setelah cedera kepala dan harus diobati.
5. Menilai tingkat keparahan
a.Cedera Kepala Ringan (kelompok resiko ringan)
- Skor GCS 14 – 15
- Tidak ada kehilangan kesadaran
- Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang.
- Pasien dpat mengeluh nyeri kepala dan pusing
- Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala.
- Tidak ada criteria cedera sedang – berat.
b.Cedera kepala Sedang (kelompok resiko sedang)
7
- Skor GCS 9 – 13
- Konkusi
- Muntah
- Tanda kemungkinan fraktur kranium (mata rabun, hematimpanium, otorea)
- Kejang
c.Cedera Kapala Berat (kelompok resiko berat)
- Skor GCS 3 – 8 (koma)
- Penurunan kesadaran secara progresif
- Tanda neurologis fokal
- Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium.

Standar Terapi
Penatalaksanaan cedera kepala secara umum dengan memperbaiki jalan napas (airway), pernapasan
(breathing) dan sirkulasi pasien, mencegah tidak sampai terjadi hipoventilasi dan hipovolemia yang dapat
menyebabkan secondary brain damage.
PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN (GCS 13–15)
1. Observasi atau dirawat di rumah sakit bila CT Scan tidak ada atau hasil CT Scan abnormal, semua cedera
tembus, riwayat hilang kesadaran, sakit kepala sedang–berat, pasien dengan intoksikasi alkohol/obat-obatan,
fraktur tengkorak, rinorea-otorea, cedera penyerta yang bermakna, tidak ada keluarga yang di rumah, tidak
mungkin kembali ke rumah sakit dengan segera, dan adanya amnesia. Bila tidak memenuhi kriteria rawat maka
pasien dipulangkan dengan diberikan pengertian kemungkinan kembali ke rumah sakit bila dijumpai tanda-
tanda perburukan.
2. Observasi tanda vital serta pemeriksaan neurologis secara periodik setiap ½- 2 jam.
3. Pemeriksaan CT Scan kepala sangat ideal pada penderita CKR kecuali memang sama sekali asimtomatik dan
pemeriksaan neurologis normal.

PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA SEDANG (GCS 9-12)


1. Dirawat di rumah sakit untuk observasi, pemeriksaan neurologis secara periodik.
2. Bila kondisi membaik, pasien dipulangkan dan kontrol kembali, bila kondisi memburuk dilakukan CT Scan
ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat.

PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA BERAT (GCS <= 8)


1. Pastikan jalan nafas korban clear (pasang ET), berikan oksigenasi 100% dan jangan banyak memanipulasi
gerakan leher sebelum cedera cervical dapat disingkirkan.
2. Berikan cairan secukupnya (ringer laktat/ringer asetat) untuk resusitasi korban agar tetap normovolemia, atasi
hipotensi yang terjadi dan berikan transfusi darah jika Hb kurang dari 10 gr/dl.
3. Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh lain, GCS dan pemeriksaan batang otak
secara periodik.
4. Berikan manitol iv dengan dosis 1 gr/kgBB diberikan secepat mungkin pada penderita dengan ancaman herniasi
dan peningkatan TIK yang mencolok.
5. Berikan anti edema cerebri: kortikosteroid deksametason 0,5 mg 3×1, furosemide diuretik 1 mg/kg BB tiap 6-
12 jam bila ada edema cerebri, berikan anti perdarahan.
6. Berikan obat-obatan neurotonik sebagai obat lini kedua, berikan anti kejang jika penderita kejang, berikan
antibiotik dosis tinggi pada cedera kepala terbuka, rhinorea, otorea.
7. Berikan antagonis H2 simetidin, ranitidin iv untuk mencegah perdarahan gastrointestinal.
8. Koreksi asidodis laktat dengan natrium bikarbonat.
9. Operasi cito pada perkembangan ke arah indikasi operasi.
10. Fisioterapi dan rehabilitasi.

TERAPY MEDIKAMENTOSA :
Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder terhadap otak yang telah
mengaalami cedera
A. Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap normovolemik Perlu diperhatikan
untuk tidak memberikan cairan berlebih.
Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak
yangn cedera.

8
Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl.
Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus
dicegah dan diobati secara agresif.

B. Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat menurunkan PCo2 sehingga menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah otak.
HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak menurun.
PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah.
Pertahankan level PCo2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.

C. Manitol
Dosis 1 gram/kg BB bolus IV.
Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian terjadi dilatasi pupil dengan atau
tanpa hemiparesis.
Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan memperberat hypovolemia.

D. Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan meningkatkan diuresis. Dosis 0,3 – 0,5
mg/kg BB IV

E. Steroid
Steroid tidak bermanfaat. Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan

F. Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK.
Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena barbiturat dapat menurunkan tekanan
darah.

G. Anticonvulasan
Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah terjadinya epilepsi pasca trauma.
Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I. Obat lain diazepam dan lorazepam.

1.9 PENCEGAHAN
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap peningkatan kasus
kecelakaan yang berakibat trauma.

Upaya yang dilakukan yaitu :


Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan lalu lintas seperti untuk
mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan
memakai helm.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yangdirancang untuk mengurangi atau
meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu :
a. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat pada kasus cedera. Guna
menghindari gangguan tersebut penanganan masalah airway menjadi prioritas utama dari masalah yang lainnya.
Beberapa kematian karena masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah airway yang
tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup
lidah penderita sendiri. Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya
gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena
pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara ke dalam paru. Selain itu aspirasi isi
lambung juga menjadi bahaya yang mengancam airway.
b. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah membantu pernafasan.
Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan dapat menimbulkan
kematian.
9
c. Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang berdarah sehingga pembuluh darah
tertutup. Kepala dapat dibalut dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan
infuse dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian transfusidarah. Syok biasanya disebabkan karena penderita
kehilangan banyak darah.

Pencegahan Tertier

Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat, penanganan yang tepat
bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan
hidup. Pencegahan tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta
memberikan dukungan psikologis bagi penderita.

Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu ditangani melalui rehabilitasi
secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.
1. Rehabilitasi Fisik
a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan bawah tubuh.
b. Perlengkapan splint dan caliper
c. Transplantasi tendon

2. Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tamadimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan memotivasi kembali keinginan dan
rencana masa depannya. Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian
financial, sosial serta seksual yang semuanya memerlukan semangat hidup.

3. Rehabilitasi Sosial
a. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan paling sederhana adalah pada
kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan orang lain.
b. Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat).

1.10 KOMPLIKASI
A. Jangka pendek :
1. Hematom Epidural
Letaknya antara tulang tengkorak dan duramater. Terjadi akibat pecahnya arteri meningea media atau cabangnya.
Gejalanya : setelah kecelakaan pasien pingsa/nyeri kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi
beberapa jam kemudian timbul gejala yang bersifat progresif seperti nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi
melambat, tekanan darah meningkat, pupil pada sisi perdarahan mula-mula miosis lalu menjadi lebar dan akhirnya
tidak bereaksi terhadap cahaya. Ini adalah tanda-tanda terjadi herniasi tentorial.
Keadaan akut (minimal 24 jam sampai 3X24 jam), adanya lucid interval, peningkatan TIK dan gejala lateralisasi
berupa hemiparesis.
Pemeriksaan CT scan menunjukan ada bagian hiperdens yang bikonveks dan LCS biasanya jernih. Tatalaksana
berupa tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan pengikatan pembuluh darah.
2. Hematom Subdural
Letak dibawah duramater. Akibat pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan laserasi piamater
serta arackhinoid dari korteks serebri. Gejala subakut mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama dan
gejala cronis timbul 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma.
Pada pemeriksaan CT Scan setelah hari ke 3 kemudian diulang 2 xkemudia terdapat bagian hipodens berbentuk
creesent.)
Operasi : segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak (dekompresi) dengan melakukan evakuasi
hematom.
Penanganan subdural hematom aku t terdiri dari tranplasntasi dekompresi.
3. Perdarahan intracerebral
Perdarahan dalam koretek serebri yang berasal dari arteri kortikal, banyak terdapat pada lobus temporal.
4. Perdarahan subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachinoid akibat robek pembuluh darah dan permukaan otak, selalu ada pada cedera
kepala yang hebat.
5. Udem cerebri

10
Otak membengkak, penderita lebih lama pingsannya, mungkin hingga berjam-jam. Tekanan darah naik, nadi
melambat, gejala kerusakan jaringan otak juga tidak ada, cairan otak normal, hanya tekanan meninggi dan
kesadaran menurun.

B. Jangka panjang :
1. Kerusakan saraf kranial
 Anosmia
Kerusakan nervus olfaktorius menyebabkan gangguan sesnsasi pembauan yang jika total disebut anosmia, jika
parsial disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita anosmia.
 Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus optikus, timbul segera setelah terjadi trauma. Disertai hematoma disekitar mata,
proptosis akibat perdarahan, dan edema dalam orbita. Gejala berupa penurunan visus,skotoma, dilatasi pupil
dengan reflek cahaya negative. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera mengakibatkan kebutaan, terjadi atrofi
pupil yang difus, kebutaan bersifat irreversible.
 Oftalmoplegi
Kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada pengobatan
khusus untuk penyakit ini, tapi bisa diusahakan dengan latihan ortoptik dini.
 Paresis fasialis
Gejala muncul saat cedera berupa gangguan pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup
mata, mulut mencong, semuanya pada sisi yang mengalami kerusakan.
 Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran yang berat biasanya disertai dengan vertigo dan nystagmus karena ada hubungan erat
antara koklea, vestibula dan saraf.
2. Disfagia
Kesulitan untuk memahami / memproduksi Bahasa disebabkan oleh penyakit SSP. Penderita disfagia membutuhkan
perwatan yang lebih lama, rehabilitasi juga lebih sulit karena masalah komunikasi. Pengobatan untuk disfagia hanya
speech therapy.
3. Hemiparesis
Manifestasi dari kerusakan jaras pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang otak. Penyebab karena perdarahan
otak, empyema subdural, dan herniasi transtentorial.
4. Syndrome pasca cedera kepala
Kumpulan gejala yang kompleks, sering dijumpai pada penderita cedera kepala. Gejala berupa nyeri kepala, vertigo
gugup, mudah tersinggung, gangguan konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidura dan
gangguan fungsi seksual.
5. Epilepsi
Epilepsy pasca trauma muncul dalam minggu pertama pasca trauma da nada yang muncul setelah 4 tahun pasca
trauma.

1.11 PROGNOSIS
a. Menurut Chusid (1982), prognosis TK tergantung berat dan letak TK.
b. Menurut King & Bewes (2001), prognosis TK buruk jika pada pemeriksaan ditemukan pupil midriasis dan tidak
ada respon E, V, M dengan rangsangan apapun. Jika kesadarannya baik, maka prognosisnya dubia, tergantung
jenis TK, yaitu: pasien dapat pulih kembali atau traumanya bertambah berat.
c. Menurut Fauzi (2002), faktor yang memperjelek prognosis adalah terlambatnya penanganan awal/resusitasi,
transportasi yang lambat, dikirim ke RS yang tidak memadai, terlambat dilakukan tindakan pembedahan dan
disertai trauma multipel yang lain.

2. PERDARAHAN INTRAKRANIAL
2.1 DEFINISI
Perdarahan intracranial mengacu pada perdarahan yang terjadi didalam kepala atau tengkorak namun belum
tentu didalam otak (intraserebral).
Perdarahan intrakranial adalah perdarahan yang tiba-tiba dalam jaringan otak merupakan bentuk yang
menghancurkan pada stroke hemmorage dan dapat terjadi pada semua umur dan juga akibat trauma kepala seperti
kapitis, tumor otak,dll.

2.2 EPIDEMIOLOGI
 Frekuensi

11
Di Amerika, insiden ICH 12-15/100.000 penduduk, termasuk 350/100.000 kejadian hypertensive hemorage pada
orang dewasa. Secara keseluruhan insiden ICH menurun sejak 1950. Insiden ini lebih tinggi di Asia.
 Mortalitas/morbiditas
Setiap tahun terdapat lebih dari 20.000 orang di Amerika meninggal karena ICH. Tingkat mortalitas ICH pada 30
hari adalah 44%. Perdarahan batang otak memiliki tingkat mortalitas 75% dalam 24 jam.
 Ras
Tingkat insidensi tinggi pada populasi dengan frekuensi hipertensi tinggi, termasuk Afrika Amerika. Insidensi ICH
juga tinggi di Cina, Jepang dan populasi Asia lainnya, hal ini mungkin disebabkan karena factor lingkungan (spt.
diet kaya minyak ikan) dan/faktor genetik.
 Gender
Berdasarkan hasil penelitian, insiden ICH lebih banyak pada pria.
Cerebral amyloid angiopathy mungkin lebih banyak ditemukan pada wanita.
Penggunaan phenylpropanolamine banyak dikaitkan dengan insiden ICH pada wanita muda.
 Usia
Insiden ICH meningkat pada individu yang berusia lebih dari 55 tahun dan menjadi 2 kali lipat tiap decade
hingga berusia 80 tahun. Risiko relative ICH >7x pada individu yang berusia lebih dari 70

2.3 ETIOLOGI
a. Cedera kepala merupakan penyebab yang paling sering ditemukan pada penderita perdarahan intrakranial yang
berusia dibawah 50 tahun.
b. Penyebab lainnya adalah malformasi arteriovenosa, yaitu kelainan anatomis di dalam arteri atau vena di dalam atau
di sekitar otak. Malformasi arteriovenosa merupakan kelainan bawaan, tetapi baru diketahui keberadaannya jika
telah menimbulkan gejala.
c. Perdarahan dari malformasi arteriovenosa bisa secara tiba-tiba menyebabkan pingsan dan kematian, dan cenderung
menyerang remaja dan dewasa muda.
d. Kadang dinding pembuluh darah menjadi lemah dan menonjol, yang disebut dengan aneurisma. Dinding aneurisma
yang tipis bisa pecah dan menyebabkan perdarahan.
e. Aneurisma di dalam otak merupakan penyebab dari perdarahan intrakranial, yang bisa menyebabkan stroke
hemoragik (stroke karena perdarahan).

2.4 KLASIFIKASI
Berdasarkan cedera kepala di area intrakranial.
Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera otak difus.
 Cedera otak fokal yang meliputi :
 Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)
Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang potensial antara tabula
interna tulang tengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran
adanya interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis
kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah,
kejang dan hemiparesis.
 Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut.
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (6-3
hari).Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri.Perdarahan
subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak.Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan
prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.
 Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik
Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3 minggu setelah
trauma.Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di
ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang
bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke dalam clot dan membentuk
noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran
tersebut akan di ikuti dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses
degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi
membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor diluar membran masuk
kedalam membran sehingga cairan subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan
oleh SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai
TIA (transient ischemic attack).disamping itu dapat terjadi defisit neorologi yang berfariasi seperti
kelemahan otorik dan kejang
12
 Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat didalam
parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan
tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang
menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau
pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya
penurunan kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari
trauma yang dialami.
 Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)
Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena
dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan
subarahnoit (PSA).Luasnya PSA menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga
menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh
darah dan menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.

 Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011)


Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi gaya rotasi dan translasi yang
menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam. Maka cedera
kepala difus dikelompokkan menjadi :
 Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI
Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan inti permukaan
otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam
satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghbungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer
(komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan karena gaya rotasi antara initi
profunda dengan inti permukaan .
 Kontusio cerebri
Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek gaya akselerasi dan
deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio cerebri adalah adanya gaya coup dan
countercoup, dimana hal tersebut menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim
otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi kontusio yang
begitu khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang berlawanan dengan arah datangnya gaya
yang mengenai kepala.
 Edema cerebri
Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala.Pada edema cerebri tidak tampak
adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat pada daerah yang mengalami
edema.Edema otak bilateral lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan
adanya renjatan hipovolemik.
 Iskemia cerebri
Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau terhenti.Kejadian
iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan karena penyakit degeneratif
pembuluh darah otak.

Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi :


1. Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
2. Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam – 7 hari
3. Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7

Perdarahan Subdural
1. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma.Biasanya terjadi pada cedera kepala yang
cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih
lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari
5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.
2. Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut
ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada
pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau
hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.

13
3. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.Perdarahan kronik subdural, gejalanya
bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak
jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga
mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus
berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga
mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk
mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan
arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini
mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini
protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini
dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di
dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea.
Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma
subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya
didapatkan lesi hipodens

Klasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya ;


1. Hematom supra tentoral.
2. Hematom serbeller.
3. Hematom pons-batang otak.

2.5 PATOFISIOLOGI
Perdarahan epidural :
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang lambat, seperti jatuh atau tertimpa
sesuatu, dan ini hampir selalu berhubungan dengan fraktur cranial linier.Pada kebanyakan pasien, perdarahan terjadi
pada arteri meningeal tengah, vena atau keduanya.Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur
melewati lekukan minengeal pada squama temporal.

Perdarahan subdural :
Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau laserasi, adalah lokasi umum terjadinya
perdarahan.Hal ini sangat berhubungan dengan comtusio serebral dan oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa
dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.

Perdarahan intraserebral
Hematom intraserebral biasanta 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau di daerah ganglia basalis, dan kerap disertai
dengan lesi neuronal primer lainnya serta fraktur kalvaria.

2.6 MANIFESTASI KLINIS


Perdarahan epidural :
Gejala klinis hematom epidural terdiri dari trias gejala;
1. Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan perkembangan yang merugikan pada
kesadaran dan hemisphere contralateral. Lebih dari 50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan
ketidaksadaran yang terjadi dari saat terjadinya cedera.
Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya
progresif bila terdapat interval lucid.
Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal. Interval ini menggambarkan waktu yang lalu
antara ketidak sadaran yang pertama diderita karena trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena
herniasi transtentorial. Panjang dari interval lucid yang pendek memungkinkan adanya perdarahan yang
dimungkinkan berasal dari arteri.

2. Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran massa pada daerah
corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat juga menyebabkan tekanan pada cerebral
kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.

14
3. Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya
yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada
tahap ahir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai
akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.

Perdarahan Subdural
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penutunan kesadaran.
Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat deperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada
effek massa atau lesi lainnya.
Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti : sakit
kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit
neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga tumor otak.

Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral merupakan salah satu jenis stroke, yang disebabkan oleh adanya perdarahan ke dalam
jaringan otak.Perdarahan intraserebral terjadi secara tiba-tiba, dimulai dengan sakit kepala, yang diikuti oleh tanda-tanda
kelainan neurologis (misalnya kelemahan, kelumpuhan, mati rasa, gangguan berbicara, gangguan penglihatan dan
kebingungan). Sering terjadi mual, muntah, kejang dan penurunan kesadaran, yang bisa timbul dalam waktu beberapa
menit.
Biasanya dilakukan pemeriksaan CT scan dan MRI untuk membedakan stroke iskemik dengan stroke
perdarahan.Pemeriksaan tersebut juga bisa menunjukkan luasnya kerusakan otak dan peningkatan tekanan di dalam
otak. Pungsi lumbal biasanya tidak perlu dilakukan, kecuali jika diduga terdapat meningitis atau infeksi lainnya.
Pembedahan bisa memperpanjang harapan hidup penderita, meskipun masih dapat meninggalkan kelainan neurologis
yang berat. Tujuan pembedahan adalah untuk membuang darah yang telah terkumpul di dalam otak dan untuk
mengurangi tekanan di dalam tengkorak.

Perdarahan Subarakhnoid
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga diantara otak dan selaput otak (rongga
subaraknoid).Sumber dari perdarahan adalah pecahnya dinding pembuluh darah yang lemah (apakah suatu malformasi
arteriovenosa ataupun suatu aneurisma) secara tiba-tiba. Kadang aterosklerosis atau infeksi menyebabkan kerusakan
pada pembuluh darah sehingga pembuluh darah pecah. Pecahnya pembuluh darah bisa terjadi pada usia berapa saja,
tetapi paling sering menyerang usia 25-50 tahun. Perdarahan subaraknoid jarang terjadi setelah suatu cedera kepala.
Perdarahan subaraknoid karena aneurisma biasanya tidak menimbulkan gejala. Kadang aneurisma menekan
saraf atau mengalami kebocoran kecil sebelum pecah, sehingga menimbulkan pertanda awal, seperti sakit kepala, nyeri
wajah, penglihatan ganda atau gangguan penglihatan lainnya. Pertanda awal bisa terjadi dalam beberapa menit sampai
beberapa minggu sebelum aneurisma pecah. Jika timbul gejala-gejala tersebut harus segera dibawa ke dokter agar bisa
diambil tindakan untuk mencegah perdarahan yang hebat. Pecahnya aneurisma biasanya menyebabkan sakit kepala
mendadak yang hebat, yang seringkali diikuti oleh penurunan kesadaran sesaat. Beberapa penderita mengalami koma,
tetapi sebagian besar terbangun kembali, dengan perasaan bingung dan mengantuk. Darah dan cairan serebrospinal di
sekitar otak akan mengiritasi selaput otak (meningen), dan menyebabkan sakit kepala, muntah dan pusing. Denyut
jantung dan laju pernafasan sering naik turun, kadang disertai dengan kejang. Dalam beberapa jam bahkan dalam
beberapa menit, penderita kembali mengantuk dan linglung. Sekitar 25% penderita memiliki kelainan neurologis, yang
biasanya berupa kelumpuhan pada satu sisi badan.

2.7 DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


Pemeriksaan penunjang
Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting dalam penilaian pasien dengan
perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma.
Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang mengakibatkan DIC.
Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika pembedahan akan dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang
tepat diberikan pre-operatif dan intra-operatif.
Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan yang signifikan pada level hematokrit
dalam rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume darahnya terbatas, perdarahan epidural dalam kranium meluas
dengan sutura terbuka yang menyebabkan kehilangan darah yang berarti.Perdarahan yang demikian mengakibatkan
ketidakstabilan hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering terhadap level hematokrit.

Pencitraan

15
 Radiografi
o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan vaskular cabang arteri meningea
media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga mungkin diamati.
o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan epidural. Namun, > 90% kasus
perdarahan epidural berhubungan dengan fraktur kranium. Pada anak-anak, jumlah ini berkurang
karena kecacatan kranium yang lebih besar.
 CT-scan
o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam mendiagnosa perdarahan epidural
akut. Temuan ini khas. Ruang yang ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke
skema bagian dalam kranium, khususnya pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau
bikonveks. Hidrosefalus mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan epidural fossa posterior yang
besar mendesak efek massa dan menghambat ventrikel keempat.
o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu hematom kurang densitasnya dan
homogen. Kuantitas hemoglobin dalam hematom menentukan jumlah radiasi yang diserap.
o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari waktu ke waktu setelah
cedera. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian
menjadi isodensitas dalam 2-4 minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah
hiperakut mungkin diamati sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin
mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level hemoglobin serum yang rendah.
o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana konfirmasi diagnosis CT-scan
mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex dapat disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan CT-
scan aksial tradisional. Bahkan ketika terdeteksi dengan benar, volume dan efek massa dapat dengan
mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital dapat digunakan untuk
mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.
o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi intrakranial lainnya. Lesi-lesi ini
termasuk perdarahan subdural, kontusio serebral, dan hematom intraserebral.

Gambar 1. Perdarahan epidural Gambar 2. Perdarahan subdural

MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang tepat untuk mendeteksi perdarahan
pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun, dapat diamati ketika meluas.

Perdarahan intraserebral
Kriteria diagnosis hematom supra tentorial:
• nyeri kepala mendadak
• penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam.
• Tanda fokal yang mungkin terjadi ;
- Hemiparesis / hemiplegi.
- Hemisensorik.
- Hemi anopsia homonim
- Parese nervus III.
Kriteria diagnosis hematom serebeller ;
 Nyeri kepala akut.
 Penurunan kesadaran.
 Ataksia
16
 Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial.
Diagnosis hematom pons batang otak:
 Penurunan kesadaran koma.
 Tetraparesa
 Respirasi irregular
 Pupil pint point
 Pireksia
 Gerakan mata diskonjugat.

DIAGNOSIS BANDING PERDARAHAN INTRAKRANIAL


 Acute Management of Stroke  Lumbar Puncture (CSF Examination)
 Acute Subdural Hematoma  Magnetic Resonance Imaging in Acute Stroke
 Anisocoria  Moyamoya Disease
 Blood Dyscrasias and Stroke  Neonatal Injuries in Child Abuse
 Cardioembolic Stroke  Neurologic Effects of Cocaine
 Cerebellar Hemorrhage  Neurological Sequelae of Infectious Endocarditis
 Cerebral Amyloid Angiopathy  Pediatric Status Epilepticus
 Cerebral Aneurysms  Posttraumatic Epilepsy
 Cerebral Venous Thrombosis  Reperfusion Injury in Stroke
 Dissection Syndromes  Secondary CNS Melanomas
 Emergent Management of Subarachnoid Hemorrhage  Stroke Anticoagulation and Prophylaxis
 Epidural Hematoma in Emergency Medicine  Subdural Empyema
 Head Injury  Thrombolytic Therapy in Stroke
 Herpes Simplex Encephalitis  Vascular Surgery for Arteriovenous Malformations
 Hydrocephalus  Vein of Galen Malformation

2.8 TATALAKSANA
1. Terapi Umum
a) Breathing : menjaga jalan nafas dengan memposisikan kepala sedikit ekstensi untuk mencegah
lidah jatuh ke belakang, pemberian oksigen 2-3 L/menit.
b) Blood : kontrol tekanan darah dan nadi
c) Brain : mengurangi edema, memenuhi intake cairan dengan pemberian cairan isotonis
seperti RL 12 jam/kolf, atasi gelisah dan kejang.
d) Bladder : pasang kateter untuk miksi dan mengetahui output urine
e) Bowel : memenuhi asupan makanan, kalori dan elektrolit
f) Burn : demam diatasi.
2. Terapi Khusus
a. Anti udema : manitol bolus 1 gr/kgBB dalam 20-30 menit, kemudian dilanjutkan dengan dosis 0,25-0,5
gr/kgBB setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam. Target osmolaritas 300-320 mosm/L atau dengan gliserol
10% 10 ml/kg dalam 3-4 jam atau dengan furosemide 1 mg/kgBB IV. Pemberian steroid tidak diberikan
secara rutin, bila ada indikasi harus diikuti oleh pengamatn yang ketat.
b. Obat homeostasis : Transamic acid 6 gram/hari IV (2 minggu), berperan sebagai antiinflamasi dan
mencegah perdarahan ulang.
c. Anti hipertensi : bila tekanan darah sistolik > 230 mmHg atau tekanan diastolik > 140 mmHg berikan :
Nikardipin 5-15 mg/jam infus kontinyu atau Diltiazem 5-40 mg/kg/menit infus kontinyu. Bila tekanan
sistolik 180-230 mmHg atau tekanan diastolik 105-140 mmHg, atau tekanan darah arterial rata-rata 130
mmHg berikan : Labetalol 10-20 mg IV selama 1-2 menit, ulangi atau gandakan setiap 10 menit sampai
maksimmum 300 mg atau berikan dosis awal bolus diikuti oleh Labetalol drip 2-8 mg/menit atau
Nikardipin 5-15 mg/jam infus kontinyu atau Diltiazem 5-40 mg/kg/menit infus kontinyu atau Nimodipin.
Bila tekanan sistolik <180 mmHg atau tekanan diastolic < 105 mmHg, tangguhkan pemberian obat anti
hipertensi.
d. Bila terdapat kejang diatasi segera dengan Diazepam IV perlahan atau dengan antikonvulsan lain.
e. Neurotropik agent : Piracetam 3x400 mg.
f. Tindakan bedah dilakukan dengan pertimbangan usia dan skala Glasgow > 4, dan hanya dilakukan pada
penderita dengan : peradarahan serebelum dengan diameter lebih dari 3 cm dilakukan kraniotomi
17
dekompresi, hidrosefalus akut akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum dapat dilakukan VP
shunting, perdarahan lobus diatas 60 cc dengan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial akut disertai
dengan ancaman herniasi.
g. Rehabilitasi : penderita perlu perawatan lanjutan secara intensif dan dimobilisasi sesegera mungkin bila
klinis neurologis dan hemodinamik stabil. Perubahan posisi badan dan ekstremitas setiap 2 jam untuk
mencegah dekubitus.

2.9 PENCEGAHAN
Beberapa faktor yang dapat dicegah untuk mengurangi risiko terjadinya perdarahan otak meliputi :
a. Atasi tekanan darah tinggi. Sekitar 80% perdarahan otak terjadi pada penderita yang memiliki riwayat darah
tinggi. Untuk itu perlu tindakan untuk mengatasi tekanan darah yang tinggi, yaitu melalui diet yang sehat,
olahraga, dan obat-obatan
b. Jangan merokok
c. Jangan menggunakan obat-obat terlarang, misalnya kokain, dapat meningkatkan risiko terjadinya perdarahan di
otak
d. Mengemudi dengan hati-hati, gunakan sabuk pengaman Anda
e. Selalu memakai helm saat mengendarai sepeda motor
f. Jika Anda memiliki aneurisma, tindakan pembedahan dapat diakukan untuk mencegah perdarahan di kemudian
hari

2.10 KOMPLIKASI
Kebanyakan dari komplikasi perdarahan epidural muncul ketika tekanan yang mereka kerahkan mengakibatkan
pergeseran otak yang berarti. Ketika otak menjadi subyek herniasi subfalcine, arteri serebral anterior dan posterior
mungkin tersumbat, menyebabkan infark serebral.
Herniasi kebawah batang otak menyebabkan perdarahan Duret dalam batang otak, paling sering di pons.
Herniasi transtentorial menyebabkan palsy nervus III kranialis ipsilateral, yang seringnya membutuhkan berbulan-
bulan untuk beresolusi sekali tekanan dilepaskan. Palsy nervus III kranialis bermanifestasi sebagai ptosis, dilatasi pupil,
dan ketidakmampuan menggerakkan mata ke arah medial, atas, dan bawah.
Pada anak-anak < 3 tahun, fraktur kranium dapat menyebabkan kista leptomeningeal atau fraktur bertumbuh. Kista
ini diyakini muncul ketika pulsasi dan pertumbuhan otak tidak mengijinkan fraktur untuk sembuh, lalu menambah robek
dura dan batas fraktur membesar. Pasien dengan kista leptomeningeal biasanya memperlihatkan massa scalp pulsatil

2.11 PROGNOSIS
Meksipun tujuan akhir adalah mencapai angka kematian 0% dan hasil akhir fungsional baik sebesar 100%, angka
kematian keseluruhan pada kebanyakan seri pasien dengan perdarahan epidural berkisar antara 9,4-33%, rata-rata sekitar
10%. Secara umum, pemeriksaan motorik pre-operatif, skor GCS, dan reaktivitas pupil secara pasti berhubungan dengan
hasil akhir fungsional pasien dengan perdarahan epidural akut jika mereka berhasil bertahan. Karena banyaknya
perdarahan epidural yang terisolasi tidak melibatkan kerusakan struktural otak yang mendasarinya, hasil akhir secara
keseluruhan akan menjadi sempurna jika evakuasi bedah yang tepat dilakukan.
Pada pasien trauma cedera otak dengan perdarahan epidural, prognosis lebih baik jika ada interval lucid (sebuah
periode kesadaran sebelum kembalinya koma) dibandingkan jika pasien koma sejak mendapat cedera.

3. FRAKTUR BASIS CRANII


3.1 DEFINISI
Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah
daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita). Dalam beberapa studi telah terbukti fraktur basis cranii
dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme termaksud ruda paksa akibat fraktur maksilofacial, ruda paksa dari arah
lateral cranial dan dari arah kubah cranial, atau karena beban inersia oleh kepala.

3.2 EPIDEMIOLOGI
Cedera pada susunan saraf pusat masih merupakan penyebab utama tingginya angka morbiditas dan mortalitas
pada usia muda di seluruh dunia. Pada tahun 1998 sebanyak 148.000 orang di Amerika meninggal akibat berbagai jenis
cedera. Trauma kapitis menyebabkan 50.000 kematian. Insiden rata-rata (gabungan jumlah masuk rumah sakit dan
tingkat mortalitas) adalah 95 kasus per 100.000 penduduk. Sebanyak 22% pasien trauma kapitis meninggal akibat
cederanya. Sekitar 10.000-20.000 kejadian cedera medulla spinalis setiap tahunnya.
Lebih dari 60% dari kasus fraktur tulang tengkorak merupakan kasus fraktur linear sederhana, yang merupakan
jenis yang paling umum, terutama pada anak usia dibawah 5 tahun. Fraktur tulang temporal sebanyak 15-48% dari
seluruh kejadian fraktur tulang tengkorak, dan fraktur basis cranii sebesar 19-21%. Fraktur depresi antara lain
18
frontoparietal (75%), temporal (10%), occipital (5%), dan pada daerah-daerah lain (10%). Sebagian besar fraktur depresi
merupakan fraktur terbuka (75-90%). Insiden fraktur tulang tengkorak rata-rata 1 dari 6.413 penduduk (0.02%), atau
42.409 orang setiap tahunnya. Sejauh ini fraktur linear adalah jenis yang banyak, terutama pada anak usia dibawah 5
tahun di Amerika Serikat

3.3 ETIOLOGI
TRAUMA

3.4 KLASIFIKASI
Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang tengkorak yang tebal. Fraktur
ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater. Fraktur basis cranii paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi
tertentu yaitu regio temporal dan regio occipital condylar.
Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya menjadi fraktur fossa anterior, fraktur
fossa media, dan fraktur fossa posterior.
Jenis fraktur lain pada tulang tengkorak yang mungkin terjadi yaitu :
a. Fraktur linear yang paling sering terjadi merupakan fraktur tanpa pergeseran, dan umumnya tidak diperlukan
intervensi.
b. Fraktur depresi terjadi bila fragmen tulang terdorong kedalam dengan atau tanpa kerusakan pada scalp. Fraktur
depresi mungkin memerlukan tindakan operasi untuk mengoreksi deformitas yang terjadi.
c. Fraktur diastatik terjadi di sepanjang sutura dan biasanya terjadi pada neonatus dan bayi yang suturanya belum
menyatu. Pada fraktur jenis ini, garis sutura normal jadi melebar.
d. Fraktur basis merupakan yang paling serius dan melibatkan tulang-tulang dasar tengkorak dengan komplikasi
rhinorrhea dan otorrhea cairan serebrospinal (Cerebrospinal Fluid).

Jenis – jenis fraktur tulang tengkorak :


Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada calvarium (atap tengkorak), disebut Fraktur Calvarium dan fraktur pada
basis cranium (dasar tengkorak), disebut Fraktur Basis Cranium.
a. Fraktur Calvarium.
Beberapa contoh fraktur calvarium
 Fraktur Liniair
Bila fraktur merupakan sebuah garis (celah) saja. Fraktur liniair yang berbahaya ialah fraktur yang melintas os temporal;
pada os temporal terdapat alur yang dilalui Arteri Meningia Media. Bila fraktur memutuskan Arteri Meningia Media
maka akan terjadi perdarahan hebat yang akan terkumpul di ruang diantara dura mater dan tulang tengkorak , disebut
perdarahan epidural.
 Fraktur Berbentuk Bintang (Stellate Fracture)
Bila fraktur berpusat pada satu tempat dan garis – garis frakturnya nya menyebar secara radial.
 Fraktur Impressie
Pada fraktur impressie ,fragment-fragment fraktur melekuk kedalam dan menekan jaringan otak. Fraktur
bentuk ini dapat merobek dura mater dan jaringan otak di bawahnya dan dapat menimbulkan prolapsus
cerebri (jaringan otak keluar dari robekan duramater dan celah fraktur) dan terjadi perdarahan.

b. Fraktur basis tengkorak


 Fraktur atap orbita

19
Fraktur akan merobek dura mater dan arachnoid sehingga Liquor Cerebro Spinal (LCS) bersama darah keluar melalui
celah fraktur masuk ke rongga orbita ; dari luar disekitar mata tampak kelopak mata berwarna kebiru biruan . Bila satu
mata disebut Monocle Hematoma, bila dua mata disebut Brill Hematoma / Raccoon’s eyes
 Fraktur melintas Lamina Cribrosa
Fraktur akan menyebabkan rusaknya serabut serabut saraf penciuman ( Nervus Olfactorius) sehinggan
dapat terjadi gangguan penciuman mulai berkurangnya penciuman (hyposmia) sampai hilangnya
penciuman (anosmia). Fraktur juga merobek dura mater dan arachnoid sehingga LCS bercampur darah
akan keluar dari rongga hidung (Rhinorrhoea)
 Fraktur Fossa Media
• Fraktur Os Petrossum
Puncak (Apex ) os petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah masuk kedalam rongga telinga tengah dan
memecahkan Membrana Tympani; dari telinga keluar LCS bercampur darah (Otorrhoea).
• Fraktur Sella Tursica
Di atas sella tursica terdapat kelenjar Hypophyse yang terdiri dari 2 bagian pars anterior dan pars posterior (Neuro
Hypophyse). Pada fraktur sella tursica yg biasa terganggu adalah pars posterior sehingga terjadi gangguan sekresi ADH
(Anti Diuretic Hormone) yang menyebabkan Diabetes Insipidus.
• Sinus Cavernosus Syndrome.
Syndrome ini adalah akibat fraktur basis tengkorak di fossa media yang memecahkan Arteri Carotis
Interna yang berada di dalam Sinus Cavernosus sehingga terjadi hubungan langsung arteri – vena
(disebut Arterio-Venous Shunt dari Arteri Carotis Interna dan Sinus Cavernsus –> Carotid – Cavernous
Fistula).
Mata tampak akan membengkak dan menonjol, terasa sakit , conjunctiva berwarna merah. Bila
membran stetoskop diletakkan diatas kelopak mata atau pelipis akan terdengar suara seperti air mengalir
melalui celah yang sempit yang disebut Bruit ( dibaca BRUI ).
Gejala-gejala klinis sebagai akibat pecahnya A.Carotis Interna didalam Sinus Cavernosus , yang terdiri
atas : mata yang bengkak menonjol , sakit dan conjunctiva yang terbendung (berwarna merah) serta
terdengar bruit , disebut Sinus Cavernosus Syndrome,
 Fraktur Fossa Posterior.
• Fraktur melintas os petrosum
Garis fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os petrossum sampai os mastoid, menyebabkan
LCS bercampur darah keluar melalui celah fraktur dan berada diatas mastoid sehingga dari luar tampak
warna kebiru biruan dibelakang telinga , disebut Battle’s Sign.
• Fraktur melintas Foramen Magnum
di Foramen Magnum terdapat Medula Oblongata, sehingga getaran fraktur akan merusak Medula
Oblongata , menyebabkan kematian seketika.

3.5 PATOFISIOLOGI
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak
(oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula; atau efek
„remote‟ dari benturan pada kepala („gelombang tekanan‟ yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk
tengkorak).
Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan dari arah mandibula atau
wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya
beban inersia, misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan
dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada area
medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian meyebabkan ring
fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior
diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput atau
mandibula.
Peneliti menyimpulkan bahwa hasil penelitian ini mendukung hipotesis bahwa ruda paksa pada mandibula saja
biasanya hanya menyebabkan fraktur mandibula. Selanjutnya, complete dan partial ring type BSF membutuhkan ruda
paksa temporo-mandibular yang secara tidak langsung menghasilkan pembebanan pada daerah sekitar foramen
magnum.
Pada EDH, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan durameter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di
daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang
tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital.
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara durameter
dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh

20
hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar. Hematoma
yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan
ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan
timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus formation retikularis di medulla oblongata
menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada
saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik
pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respon motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda
babinski positif. Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong ke arah yang
berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial
antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga makin lama makin
besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam
waktu beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur
menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut interval
lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau pada subdural
hematoma cedera primernya hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid
interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.

Sumber perdarahan :

 Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )


 Sinus duramatis
 Diploe (lubang yang mengisi kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan vena diploica

3.6 MANIFESTASI KLINIS


http://www.lhsc.on.ca/Health_Professionals/CCTC/edubriefs/baseskull.htm
a. Anterior Fossa Fracture - anosmia, epistaxis, rhinorrhea, subconjunctival hemorrhage, periorbital hemorrage
(raccoon eyes, visual disturbances, altered eye movement, ptosis, loss of sensation to forehead, cornea and nare
b. Middle Fossa Fracture - loss of sensation to lower face, ottorrhea, deafness, tinnitus, facial palsy, hemotympanium
c. Posterior Fossa Fracture - echymosis behind the ear (battle sign), impaired gag reflex
Catastrophic injuries can occur if there is a major disruption of the carotid artery (blood supply to middle and
anterior cerebral cortex) or vertebral artery (blood supply to brainstem and posterior cerebral cortex), or if the
brain stem is disrupted.

Structures
Fossa Foramen Contained in Function Signs/symptoms
Foramen
Anterior  cribiform  CN I  CN I - olfactory  anosmia (loss of
Fossa plate (ipsilateral sense of smell)
smell)  epistaxis (nose
bleed)
 rhinorrhea (CSF
from nose)

 optic  CN II  CN II - optic  visual loss or


foramen (optic nerve) (vision) impairment
 ophthalmic  impaired pupillary
artery light response (CN
  retinal artery II carries the light
message to the CN
III)
 periorbital
hemorrhage
(raccoon eyes)

21
 subconjunctival
hemorrhage

 superior  CN III  CN III - oculomotor  impaired or


orbital  CN IV (ipsilateral up and dysconjugate eye
fissure  CN V1 down eye movement
 CN VI movement, eyelid  ipsilateral ptosis
opening, pupillary (eyelid droop)
constriction)  ipsilateral pupillary
 CN IV - trochlear dilation and loss of
(contra lateral reaction
downward and  loss of sensation to
medial eye forehead, cornea or
movement) nare (loss of corneal
 CN V1 - 1st or reflex or nasal tickle

ophthalmic division response)
of the trigeminal
nerve [V]
(ipsilateral
sensation of the
cornea, nare and
forehead)
 CN VI - abducens
(ipsilateral
movement of the eye
in the temperal or
lateral direction)

Middle  foramen  CN V2  CN V2 - 2nd or  loss of sensation to


Fossa rotundum maxillary division of the mid face
the trigeminal nerve
[CN V] (ipsilateral
sensation of the
maxillary region of
the face)

 foramen  CN V3  CN V3 - 3rd or  loss of sensation to


ovale mandibular division the mid face
of the trigeminal  ipsilateral weakness
nerve [CN V] of masticator

(ipsilateral muscles
sensation of the
mandibular region
of the face)

  foramen  internal  supply of blood to  cerebral cortex


lacerum carotid anterior and middle injury (upper motor
artery cerebral cortex and neuron injury with
 sympathetic ophthalmic artery contra lateral loss of
plexus motor function to
face, upper and/or
lower extremity;
ipsilateral
blindness)

22
 foramen  middle  blood supply to  temporal lobe
spinosum meningeal temporal lobe injury (impaired
artery and hearing,
vein comprehension,

memory or seizure
activity)
 epidural hematoma

 internal  CN VII  CN VII - facial  ipsilateral facial


acoustic  CN VIII nerve - (ipsilateral weakness
meatus  labyrinthine facial movement,  ipsilateral inability
artery lacrimation, to close the eye
 internal salivation, taste to  ipsilateral dry eye
auditory anterior 2/3 of  mouth dryness
artery tongue, sensation  hemotympanium
around ear) (blood in the ear
 CN VIII - canal)
vestibulocochlear  tinnitus
nerve (hearing,  hearing loss
balance)
 blood supply to
labyrinth

Posterior  jugular  jugular vein  drainage of blood  echymosis behind


Fossa foramen  sigmoid sinus from brain the ear (battles sign)
 CN IX  CN IX -  loss of gag reflex
 CN X glossopharyngeal  bradycardias
 CN XI nerve (stimulates  inability to rotate
parotid gland, neck
sensation to
pharynx, soft palate,
posterior third of
tongue, auditory
tube, tympanic
cavity and carotid
sinus)
 CN X - vagal nerve
(muscles of soft
palate and pharynx,
parasympathetic
control of heart and
smooth muscles)
 CN XI - accessory
(movement of neck
and shoulders)

 hypoglossal  CN XII  CN XII -  inability to move


canal hypoglossal nerve tongue

(movement of
tongue)

 foramen  medulla  medulla -  bradypnea,



magnum oblongata respirations, blood respiratory
 meninges pressure irregularity

23
 vertebral  vertebral arteries -  hypertension and
arteries brainstem, occipital bradycardia
 meningeal lobe and cerebellum  cerebellar
branches of infarction (impaired
vertebral balance or fine
arteries motor coordination)
 spinal roots  occipital lobe injury
of CN XI (loss of vision in the
contra lateral visual
field of both eye -
e.g. right occipital
lobe injury can
cause loss of visual
in the left field of
the right and the
left eyes)

Brenda Morgan, Clinical Educator


November 19, 1999

3.7 DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan neurologis lengkap, pemeriksaan darah rutin, dan pemberian tetanus
toxoid (yang sesuai seperti pada fraktur terbuka tulang tengkorak), pemeriksaan yang paling menunjang untuk
diagnosa satu fraktur adalah pemeriksaan radiologi.

b. Pemeriksaan Radiologi
1. Foto Rontgen: Sejak ditemukannya CT-scan, maka penggunaan foto Rontgen cranium dianggap kurang optimal.
Dengan pengecualian untuk kasus-kasus tertentu seperti fraktur pada vertex yang mungkin lolos dari CT-can dan
dapat dideteksi dengan foto polos maka CT-scan dianggap lebih menguntungkan daripada foto Rontgen kepala.
Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia, maka foto polos x-ray dapat memberikan informasi yang
bermanfaat. Diperlukan foto posisi AP, lateral, Towne’s view dan tangensial terhadap bagian yang mengalami
benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi. Foto polos cranium dapat menunjukkan adanya fraktur, lesi
osteolitik atau osteoblastik, atau pneumosefal. Foto polos tulang belakang digunakan untuk menilai adanya fraktur,
pembengkakan jaringan lunak, deformitas tulang belakang, dan proses-proses osteolitik atau osteoblastik.
2. CT scan : CT scan adalah kriteria modalitas standar untuk menunjang diagnosa fraktur pada cranium. Potongan
slice tipis pada bone windows hingga ketebalan 1-1,5 mm, dengan rekonstruksi sagital berguna dalam menilai
cedera yang terjadi. CT scan Helical sangat membantu untuk penilaian fraktur condylar occipital, tetapi biasanya
rekonstruksi tiga dimensi tidak diperlukan.
3. MRI (Magnetic Resonance Angiography) : bernilai sebagai pemeriksaan penunjang tambahan terutama untuk
kecurigaan adanya cedera ligamentum dan vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik diperiksa dengan
menggunakan CT scan. MRI memberikan pencitraan jaringan lunak yang lebih baik dibanding CT scan.

c. Pemeriksaan Penunjang Lain


Perdarahan melalui telinga dan hidung pada kasus-kasus yang dicurigai adanya kebocoran CSF, bila di dab
dengan menggunakan kertas tissu akan menunjukkan adanya suatu cincin jernih pada tissu yang telah basah diluar
dari noda darah yang kemudian disebut suatu “halo” atau “ring” sign. Suatu kebocoran CSF juga dapat diketahui
dengan menganalisa kadar glukosa dan mengukur tau-transferrin, suatu polipeptida yang berperan dalam transport
ion Fe.

24
( Gambar 7. HALO sign )
Diagnosis banding
- Echimosis periorbita (racoon eyes) dapat disebabkan oleh trauma langsung seperti kontusio fasial atau blow-
out fracture dimana terjadi fraktur pada tulang-tulang yang membentuk dasar orbita (arcus os zygomaticus,
fraktur Le Fort tipe II atau III, dan fraktur dinding medial atau sekeliling orbital).
- Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur basis cranii juga bisa diakibatkan oleh :
a. Kongenital
b. Ablasi tumor atau hidrosefalus
c. Penyakit-penyakit kronis atau infeksi
d. Tindakan bedah

3.8 TATALAKSANA
Diagnose fraktur basis kranii secara klinis lebih bermakna dibandingkan dengan diagnose secara radiologis oleh karena:
a. Foto basis cranii posisinya hanging Foto , dimana posisi ini sangat berbahaya tertutama pada cidera kepala disertai
dengan cidera vertebra cervikal ataupun pada cidera kepala dengan gangguan kesadaran yang dapat menyebabkan
gangguan pernafasan
b. Adanya gambaran fraktur pada foto basis kranii tidak akan merubah penatalaksanaan dari fraktur basis kranii.
c. Pemborosan biaya perawatan karena penambahan biaya foto basis kranii.

Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi:


a. Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah batuk, mengejan, makanan yang tidak
menyebabkan sembelit.
b. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (Consul ahli THT)
pada tanda bloody otorrhea/ otoliquorrhea,
c. Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea /otoliquorrheapenderita tidur dengan posisi terlentang dan
kepala miring keposisi yang sehat.
d. Pemberian antibiotika profilaksis untuk mencegah terjadinya meningoensefalitis masih kontroversial, di SMF
Bedah Saraf RSU Dr. Soetomo kami tetap memberikan antibiotika profilaksis dengan alasan penderita fraktur basis
kranii dirawat bukan diruangan steril / ICU tetapi di ruang bangsal perawatan biasa dengan catatan pemberian kami
batasi sampai bloody rhinorrhea/otorrhea berhenti.

Terapi medis
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural neurologis tidak memerlukan
intervensi apapun bahkan pasien dapat dipulangkan untuk berobat jalan dan kembali jika muncul gejala. Sementara
itu, Pada Bayi dengan simple fraktur linier harus dilakukan pengamatan secara terus menerus tanpa memandang
status neurologis. Status neurologis pasien dengan fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara
conservative, tanpa antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika disertai rupture membrane
timpani biasanya akan sembuh sendiri.
Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada neurologis pada bayi ditatalaksana
dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur depress dengan baik membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi
dari fraktur depress. Obat anti kejang dianjurkan jika kemungkinan terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%. Open
fraktur, jika terkontaminasi, mungkin memerlukan antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole

25
direkomendasikan pada kasus ini. Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara konservatif dengan
stabilisasi leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.

Peran antibiotik pada profilaksis fraktur basis cranii


Pemberian antibiotic sebagai terapi profilaksis pada fraktur basis cranii dengan pertimbangan terjadinya
kebocoran dari lapisan meningeal akan menyebabkan mikroorganisme pathogen dari saluran nafas atas (hidung dan
telinga) dapat mencapai otak dan selaput mengingeal, hal ini masih menjadi controversial. Pemberian antibiotic
profilaksis berkontribusi terhadap terjadinya peningkatan resistensi antibiotic dan akan menyebabkan infeksi yang
serius.
Pada sebuah review artikel yang di publish antara tahun 1970 dan 1989, menemukan 848 kasus dari fraktur
basis cranii (519 mendapatkan antibiotic profilaksis dan 8% menjadi meningitis) dan kesimpulannya adalah
antibiotic tidak mencegah terjadinya meningitis pada fraktur basis cranii14. Studi lain juga menunjukkan dengan
menggunakan uji statistik, dari total 1241 pasien dengan fraktur basis cranii, 719 pasien diantaranya mendapat
antibiotic profilaksis dan 512 pasien tidak mendapat antibiotic profilaksis. Kesimpulan dari penelitian tersebut
menunjukkan antibiotic profilaksis tidak mencegah terjadinya meningitis pada pasien fraktur basis cranii. (odds
ratio (OR) = 1.15; 95% confidence interval (CI) = 0.68-1.94 P = .678)14.

Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-anak dengan open fraktur depress
memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk mengevaluasi fraktur depress jika segmen
depress lebih dari 5 mm di bawah inner table dari adjacent bone. Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang
terkontaminasi, dural tear dengan pneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya. Kadang kadang, craniectomy
dekompressi dilakukan jika otak mengalami kerusaksan dan pembengkakan akibat edema. Dalam hal ini,
cranioplasty dilakukan dikemudian hari. Indikasi lain untuk interaksi bedah dini adalah fraktur

3.9 PENCEGAHAN
Pencegahan sama seperti trauma kepala, ada pencegahan primer, sekunder, tersier.
3.10 KOMPLIKASI
Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai dengan rhinorrhea. Facial palsy dan
gangguan ossicular yang berhubungan dengan fraktur basis cranii dibahas di bagian klinis. Namun, terutama, facial
palsy yang terjadi pada hari ke 2-3 pasca trauma adalah akibat sekunder untuk neurapraxia dari nervus cranialis VII
dan responsif terhadap steroid, dengan prognosis yang baik. Onset facila palsy secara tiba tiba pada saat bersamaan
terjadinya fraktur biasanya akibat skunder dari transeksi nervus, dengan prognosis buruk.
Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis cranii. Fraktur pada ujung pertosus os temporale
mungkin melibatkan ganglion gasserian. Cedera nervus cranialis VI yang terisolasi bukanlah akibat langsung dari
fraktur, tapi mungkin akibat skunder karena terjadinya ketegangan pada nervus.
Nervus kranialis (IX, X, XI,dan XII) dapat terlibat dalam fraktur condylar os oksipital, seperti yang dijelaskan
sebelumnya dalam Vernet dan sindrom Collet-Sicard (vide supra). Fraktur os sphenoidalis dapat mempengaruhi nervus
cranialis III, IV,dan VI dan juga dapat mengganggu arteri karotis interna dan berpotensi menghasilkan pembentukan
pseudoaneurysma dan fistula caroticocavernous (jika melibatkan struktur vena). cedera carotiddiduga terdapat pada
kasus kasus dimana fraktur berjalan melalui kanal karotid, dalam hal ini, CT-angiografi dianjurkan.

3.11 PROGNOSIS
Walaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk cedera nervus cranialis, pembuluh darah,
dan cedera langsung pada otak, sebagian besar jenis fraktur adalah jenis fraktur linear pada anak-anak dan tidak
disertai dengan hematom epidural. Sebagian besar fraktur, termasuk fraktur depresi tulang cranium tidak memerlukan
tindakan operasi.

4. TRIAS CUSHING
Trias Cushing adalah 3 tanda utama yang menindikasikan peningkatan tekanan intracranial. Terdiri dari :
 Hipertensi
 Bradikardi
 Depresi pernapasan

26
Akibat dari cederaotak, maka pembuluh darah otak melepaskan serotonin yang akan melonggarkan endotel
pembuluhdarah sehingga blood brain barrier terganggu dan terjadi udem otak regional / diffuse. Kemudian udem akan
menekan pembuluh darah yang mensuplai otak menyebabkan iskemik jaringan otak.Ketika sel-sel otak kekurangan
energy, pompa intraseluler mulai tidak berfungsi, hal ini menyebabkan natrium memasuki sel-sel otak sehingga terjadi
udem di sel-sel otak. Udem otak regional yang terjadi menyebabkan kompresi ke jaringanotak, maka mekanisme
kompensasi untuk menahan kompresi adalah kenaikan TIK untuk menahan udem yang menekan jaringan otak.

Tekanan perfusi otak = Tekanan arteri -Tekanan intra kranial

Dengan demikian tekanan arteri harus lebih besar dari TIK, maka dari itu hipotalamus mengaktifkan sistem
saraf simpatik yang menyebabkan vasoktriksi perifer sehingga tekanan darah menjadi tinggi. Ketika tekanan darah
arteri melebihi tekanan intra kranial,aliran darah ke otak dipulihkan. Peningkatan darah arteri tadi menyebabkan
rangsangan baroreseptor di badan karotis sehinggamemperlambatdenyut jantung secara drastis yang menyebabkan
bradikardi.
Ketika udem regional semakin mem besar maka TIK tidak bisa mempertahankan tekanan perfusi otak, dengan
demikian jaringan otak akan terkompresi, yang menyebabkan herniasi transtentoral. Herniasi ini menyebabkan
gangguan pada daerah batang otak ,menyebabkan frekuensi nafas yang tidak teratur akibat akibat gangguan pada pusat
pengatur pernafasan. Selain itu ganguan juga terjadi pada pusat reflek muntah pada medulla oblongata akibat herniasi
tersebut, yang menyebabkan pasien muntah-muntah.
Tekanan yang diakibatkan udem regional otak juga mengakibatkan gangguan pada saraf cranial nervus II dan
III akibatnya mata pasien anisokor dan terdapat gangguan pada reflex cahaya langsung dan tidak langsung. Udem otak
regional jugamengakibatkan hemiparesis sinistraakibat gangguan pdadecustio pyramidium pada medulla oblongata
tempat persilangan tractus corticospinal lateral, hal ini yang menyebabkan hemiparesis yang berbeda pada letak lesi.

DAFTAR PUSTAKA

Apardi, Iskandar. Cedera Kepala. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2004


http://www.lhsc.on.ca/Health_Professionals/CCTC/edubriefs/baseskull.htm
Sabiston, David C. Buku Ajar Bedah. Vol 2. Jakarta : EGC, 1994
Sjamsuhidayat, R dan De Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2nd ed. Jakarta : EGC, 2005.

27

Anda mungkin juga menyukai