Anda di halaman 1dari 42

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cedera Kepala

2.1.1 Pengertian Cedera Kepala

Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu

kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi

disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi

atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan

kognitif dan fungsi fisik (Langlois et al, 2006).

Cedera kepala biasanya mengacu pada cedera otak traumatis, tapi memiliki

kategori yang lebih luas karena dapat melibatkan kerusakan struktur selain otak,

seperti kulit kepala dan tengkorak. "Decade of the Brain" melihat kemajuan yang

dibuat dalam penelitian tentang otak dan perumusan pedoman standar untuk

pengobatan cedera otak traumatis. Cedera otak traumatis didefinisikan sebagai

kerusakan otak akibat kekuatan mekanik eksternal, seperti akselerasi cepat atau

deselerasi, dampak, gelombang ledakan atau penetrasi oleh proyektil. cedera

kepala jangka dan cedera otak sering digunakan secara bergantian (Pushkarna et

al., 2010).

Trauma kepala adalah segala bentuk kekerasan yang menimpa kepala dan

akan menyebabkan luka pada kulit kepala, tulang tengkorak dan otak. Trauma

kepala sering diakibatkan kekerasan benda tumpul, kekerasan thermis dengan

akibat luka bakar atau kekerasan benda tajam. Untuk kekerasan benda tumpul

sendiri dapat dibagi menjadi 2 tipe, yaitu tipe terbuka dan tertutup. Yang disebut

trauma kepala tertutup adalah suatu keadaan dimana kekerasan yang terjadi tidak

berakibat patah tulang kepala. Dan sebaliknya, trauma kepala terbuka adalah

suatu keadaan trauma kepala dengan akibat patah tulang kepala. Pada kedua
jenis trauma kepala tersebut dapat mengakibatkan cedera pada otak yang

kemudian bisa berakibat kematian (Tasmono, 2011).

2.1.2 Epidemiologi Cedera Kepala

Cedera kepala merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting

dengan estimasi kejadian pertahun hampir 500 dari 100.000 populasi dan lebih

dari 200 per 100.000 pasien rawat inap di Eropa setiap tahunnya (Styrke et al.,

2007). Cedera kepala merupakan kondisi klinis yang heterogen baik penyebab,

patologi, keparahan dan prognosisnya. Outcome dapat bervariasi terutama pada

cedera kepala berat. Tingkat mortalitas cedera kepala berat diteliti oleh Coronado

et al. (2011), selama tahun 1997-2007 di Amerika Serikat rata-rata setiap tahun

terdapat 53.014 kasus kematian akibat cedera kepala berat atau sekitar 18,4 dari

100.000 populasi.

Kematian akibat cedera kepala berat merupakan masalah kesehatan

masyarakat yang besar. Kematian akibat cedera kepala berat hampir sepertiga

dari kematian akibat trauma pada umumnya (CDC, 2010). Di USA kejadian cedera

otak traumatika setiap tahun diperkirakan mencapai 500.000 kasus dan 10%

diantaranya meninggal sebelum sampai di rumah sakit. 80% dari penderita yang

sampai di rumah sakit dikelompokkan sebagai cedera otak traumatika ringan, 10%

termasuk cedera otak traumatika sedang dan 10% sisanya adalah cedera otak

traumatika berat. Lebih dari 100.000 orang, menderita berbagai tingkat kecacatan

akibat cedera otak traumatika setiap tahunnya di USA (Fane et al., 2011).

Di Indonesia, cedera kepala berdasarkan hasil Riskesdas 2013

menunjukkan insiden cedera kepala dengan CFR sebanyak 100.000 jiwa

meninggal dunia (Depkes RI, 2013). Prevalensi cedera tertinggi berdasarkan

karakteristik responden yaitu pada kelompok umur 15-24 tahun (11,7%), laki-laki

(10,1%), pendidikan tamat SMP/MTS (9,1%), yang tidak bekerja atau bekerja
sebagai pegawai (8,4% persen), bertempat tinggal di perkotaan (8,7%) (Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013).

2.1.3 Etiologi Cedera Kepala

Tiga penyebab utama cedera kepala pada anak adalah cedera terjatuh,

cedera kendaraan bermotor dan cedera sepeda. Cedera neurologik memiliki

angka mortalitas tertinggi dan anak laki-laki terkena dua kali lipat dibanding anak

perempuan. Selain kurangnya lingkungan yang aman, proporsi tubuh anak,

dimana kepala lebih besar dan lebih berat dibanding bagian tubuh lain memiliki

peluang yang lebih besar untuk cedera. Perkembangan motorik yang belum

lengkap serta sifat ingin tahu anak juga meningkatkan risiko cedera pada anak

(Wong, 2009).

Penyebab lain terjadinya cedera kepala adalah aktivitas rekreasi dan

penganiayaan anak. Beberapa faktor (seperti attention deficit disorder, alkohol dan

penggunaan obat-obatan) dapat meningkatkan kejadian cedera kepala pada anak

dan dewasa. Anak juga lebih rentan dalam mengalami penganiayaan karena

ketergantungan mereka kepada orang dewasa dan ketidakmampuan dalam

membela diri sendiri (Verive, et al, 2013).

2.1.4 Klasifikasi Cedera Kepala

Menurut ATLS Edisi 9, Cedera kepala diklasifikasikan menjadi tingkat

keparahan cedera dan secara morfologi.

2.1.4.1 Tingkat keparahan

Skor GCS digunakan sebagai ukuran klinis dari keparahan cedera otak. Skor

GCS ≤ 8 dikategorikan sebagai “severe”. Pasien dengan cedera otak yang

memiliki skor GCS 9-12 dikategorikan sebagai "moderate," sedangkan individu

dengan skor GCS 13-15 ditetapkan sebagai "minor". Dalam menilai skor GCS,
ketika ada bagian kanan / kiri atau bagian atas / bawah asimetri, maka

menggunakan respon motorik untuk menghitung skor, karena menjadi prediktor

yang paling reliabel dari outcome. Namun, respon yang aktual di kedua sisi tubuh,

wajah, lengan, dan kaki harus dicatat.

Tabel 2.1 Glasgow Coma Scale (GCS)


Area Pengkajian Skor
Membuka mata (E)
Membuka mata spontan 4
Membuka mata dengan rangsangan suara 3
Membuka mata dengan rangsangan nyeri 2
Tidak ada respon 1
Respon verbal (V)
Berbicara normal 5
Berbicara mengacau 4
Berbicara tidak jelas, kata-kata masih jelas 3
Hanya suara yang keuar/mengerang 2
Tidak ada respon 1
Motorik (M)
Mampu bergerak sesuai perintah 6
Melokalisasi nyeri 5
Bergerak menjauhi rangsang nyeri 4
Bereaksi dengan gerak fleksi 3
Bereaksi dengan gerakan ekstensi 2
Tidak ada respon 1
Total 15
(Sumber: ATLS Ed.9, 2012)

2.1.4.2 Morfologi

Cedera kepala meliputi fraktur tengkorak dan lesi intrakranial, seperti

kontusio, hematoma, luka menyebar, dan resultan pembengkakan

(edema/hiperemia).

2.1.4.2.1 Fraktur tengkorak

Fraktur tengkorak dapat terjadi di kubah atau dasar tengkorak. Bisa linear

atau stellata, dan terbuka atau tertutup. Fraktur tengkorak basilar biasanya

membutuhkan CT scan dengan pengaturan bone-window untuk identifikasi.

Tanda-tanda klinis dari fraktur tengkorak basilar meliputi ecchymosis periorbital

(mata rakun), ecchymosis retroauricular (Battle sign), kebocoran cairan serebro

spinal dari hidung (rhinorrhea) atau telinga (otorrhea), dan saraf ketujuh dan
kedelapan mengalami disfungsi (kelumpuhan wajah dan kehilangan

pendengaran) yang terjadi segera atau beberapa hari setelah cedera. Adanya

tanda-tanda ini dapat meningkatkan indeks kecurigaan dan membantu

mengidentifikasi fraktur tengkorak basilar. Fraktur itu yang melintasi kanal karotis

yang dapat merusak arteri karotid (diseksi, pseudoaneurysm, atau trombosis), dan

pertimbangan dilakukan arteriografi otak (CT angiography [CT-A] atau cateter-

based). Fraktur tengkorak terbuka atau compound dapat memberikan hubungan

langsung antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak, karena dura

kemungkinan robek. Jangan menganggap remeh fraktur tengkorak, karena

membutuhkan kekuatan yang cukup besar terjadinya fraktur tengkorak. Fraktur

kubah linear pada pasien sadar meningkatkan kemungkinan hematoma

intrakranial sekitar 400 kali.

2.1.4.2.2 Lesi intrakranial

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan mnejadi difus atau fokal, meskipun dua

bentuk ini sering berdampingan.

1. Cedera Otak difus

Dikatakan cedera otak difus,dari gegar otak ringan, di mana CT scan

kepala normal, ke arah cedera iskemik hipoksia berat. Dengan gegar otak,

pasien memiliki transient, gangguan neurologis nonfocal yang sering

menyebabkan kehilangan kesadaran. Cedera difus berat sering

menyebabkan hipoksia, iskemik otak karena syok yang berkepanjangan atau

terjadi apnea segera setelah trauma. Dalam kasus tersebut, CT scan pada

awalnya tampak normal, atau otak tampak bengkak, disertai hilangnya

kenormalan area putih-abu abu. Pola difus lain, sering terlihat dari efek

kecepatan tinggi atau perlambatan cedera, dapat menyebabkan beberapa

perdarahan multipel di seluruh belahan otak, yang sering terlihat di perbatasan

antara materi abu-abu dan materi putih. Pergerseran cedera disebut cedera
aksonal sebagai difus, yang diartikan sindrom klinis cedera otak berat dengan

variabel tetapi outcome nya sering kurang bagus.

2. Cedera Otak Fokal

Cedera otak fokal meliputi hematoma epidural, hematoma subdural,

kontusio, dan hemotoma intraserebral.

a. Hematoma epidural

Perdarahan epidural relatif jarang, terjadi pada sekitar 0,5% pasien

dengan cedera otak dan 9% dari pasien dengan trauma otak yang koma.

Hematoma ini biasanya menjadi bikonveks atau lentikular dalam bentuk

akibat dorongan dura yang menjauh dari bagian dalam tengkorak. Paling

sering berlokasi di daerah temporal atau temporoparietal dan karena aliran

dari arteri meningeal tengah sebagai akibat dari fraktur. Clotting ini

termasuk arterial asli. Namun, juga akibat dari gangguan sinus vena besar

atau perdarahan dari fraktur tengkorak. Interval lucid antara waktu cedera

dan kerusakan neurologis adalah presentasi klasik dari hematoma

epidural.

b. Hematoma subdural

Hematoma subdural lebih umum daripada hematoma epidural, terjadi

sekitar 30% pasien dengan cedera otak parah. Melebar dari pergeseran

permukaan kecil atau menjembatani pembuluh darah dari korteks serebral.

Berbeda dengan bentuk lenticular dari perdarahan epidural pada CT scan,

hematoma subdural lebih sering tampak sesuai dengan kontur otak.

Kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akut biasanya jauh

lebih parah daripada yang berhubungan dengan hematoma epidural

karena adanya cedera parenkim secara bersamaan.

c. Kontusio dan hematoma intraserebral


Kontusio otak cukup umum terjadi (sekitar 20% sampai 30% dari

cedera otak parah). Mayoritas kontusio terjadi pada lobus frontalis dan

temporal, meskipun dapat juga terjadi di bagian manapun dari otak.

Kontusio, dalam jangka waktu beberapa jam atau hari, berevolusi

membentuk hematoma intraserebral atau kontusio coalescent dengan efek

massa yang cukup untuk dilakukan evakuasi bedah segera. Hal ini terjadi

pada sebanyak 20% dari pasien dengan kontusio pada CT scan awal. Oleh

karena itu, pasien dengan kontusio umumnya menjalani CT scan ulang

untuk mengevaluasi perubahan pola cedera dalam waktu 24 jam dari scan

awal.

2.1.5 Patofisiologi Cedera Kepala

Tekanan intrakranial (TIK) adalah tekanan positif di dalam rongga tengkorak

yang normalnya mulai dari 5 mm Hg pada bayi sampai 15 mm Hg pada orang

dewasa. Tekanan perfusi serebral sama dengan nilai means tekanan darah

dikurangi TIK. Tekanan perfusi serebal harus dipertahankan pada ≥ 70 mm Hg

pada orang dewasa dan ≥ 60 mm Hg pada anak-anak. Aliran darah otak disimpan

stabil dalam kondisi normal karena perubahan linear dalam resistensi

serebrovaskular. Fenomena ini disebut autoregulasi serebral dan berarti bahwa

perubahan dalam tekanan perfusi serebral antara 50 mm Hg dan 150 mm Hg tidak

menyebabkan perubahan signifikan dalam aliran darah otak. Namun, dalam

kondisi trauma, autoregulasi hilang, mengakibatkan hubungan linear dari tekanan

darah untuk aliran darah otak (Pushkarna, et al, 2010).

Pemeliharaan tekanan darah yang adekuat adalah sangat penting untuk

kelangsungan hidup otak. Karena tempurung kepala adalah ruang tertutup, jumlah

dari volume intrakranial otak, darah, cairan serebrospinal, dan komponen lainnya

(misalnya, hematoma, lesi massa) adalah konstan. Hal ini disebut prinsip Kellie-
Monro dan menyiratkan bahwa perubahan di salah satu komponen intrakranial

akan mengakibatkan perubahan kompensasi di bagian lain. Gejala tergantung

pada jenis cedera otak traumatik (difus atau fokal) dan bagian dari otak yang

terpengaruh. Gejala juga tergantung pada tingkat keparahan cedera (Pushkarna,

et al, 2010).

Cedera otak primer disebabkan karena dampak dan fungsi dari transmisi

energi ke otak oleh offending agent. Jenis cedera otak primer adalah: (a) cedera

aksonal difus: hasil dari pergeseran antar materi abu-abu-putih, (b) gegar otak:

didefinisikan sebagai periode amnesia, (c) luka memar dan (d) laserasi. Sangat

sedikit yang bisa dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan untuk

mempengaruhi cedera primer. Pelaksanaan langkah-langkah perlindungan pribadi

(helm) oleh perintah adalah pencegahan penting. Cedera otak sekunder hasil dari

gangguan otak dan fisiologi sistemik oleh peristiwa traumatis. Hal ini didefinisikan

sebagai kerusakan otak progresif atau berkelanjutan yang timbul sebagai akibat

dari cedera otak primer. Hipotensi dan hipoksia adalah dua mekanisme yang

paling akut dan mudah diobati dari cedera sekunder. Jenis cedera otak sekunder

adalah: (a) hematoma Intra kranial, (b) edema serebral, (c) Iskemia, (d) Infeksi, (e)

epilepsi / kejang dan (f) gangguan metabolik / endokrin (Pushkarna, et al, 2010).

2.1.6 Komplikasi Cedera Kepala

Komplikasi utama trauma kepala adalah perdarahan, infeksi, edema dan

herniasi melalui tontronium. Infeksi selalu menjadi ancaman yang berbahaya untuk

cedera terbuka dan edema dihubungkan dengan trauma jaringan. Uptur vaskular

dapat terjadi sekalipun pada cedera ringan; keadaan ini menyebabkan perdarahan

di antara tulang tengkorak dan permukaan serebral. Kompesi otak di bawahnya

akan menghasilkan efek yang dapat menimbulkan kematian dengan cepat atau

keadaan semakin memburuk (Wong, 2009).


2.1.7 Penanganan Pertama Cedera Kepala

2.1.7.1 Penanganan Pertama Cedera Kepala Untuk Anak Sekolah

Menurut Emergency First Aid Guidelines for California Schools (2013),

penanganan pertama cedera kepala adalah sebagai berikut :

1. Jika menemui seseorang yang kepalanya terbentur dan tidak ada keluhan

/ menunjukkan gejala lain. Tanyakan bagaimana cedera terjadi.

2. Jika terjadi cedera kepala (selain benjolan), selalu curigai cedera leher

juga. Jangan memindahkan atau memutar tulang belakang atau leher.

3. Posisikan supinasi

4. Jaga suhu tubuh korban tetep hangat dan tenang.

5. Kaji apakah korban muntah, jika muntah, miringkan kepala dan tubuh

bersama-sama ke arah samping kiri, jaga kepala dan leher satu garis lurus.

6. Jangan meninggalkan korban sendirian.

7. Kaji kesadaran, kejang atau nyeri pada leher.

8. Jika darah mengalir dari area kepala yang terluka, lakukan penekanan

pada area tersebut untuk menghentikan perdarahan.

9. Kaji kemampuan merespon dengan perintah sederhana.

10. Kaji apakah ada darah / cairan yang keluar dari telinga atau hidung.

11. Kaji kemampuan untuk menggerakkan atau merasakan lengan atau kaki.

12. Kaji apakah korban mengantuk, kebingungan atau menanyakan

pertanyaan secara berulang-ulang.

a. Jika ya, lakukan panggilan ke nomor darurat 118

b. Lakukan look, listen & feel, jika korban berhenti bernafas, lakukan

Resusitasi Jantung Paru Otak.

c. Jangan memberi makanan atau minuman.


d. Hubungi orang yang orang tua/saudara/wali/kerabat korban, jika terjadi

di sekolah hubungi perawat sekolah atau guru.

13. Jika tidak, korban tersebut hanya kebingungan sebentar dan tampak pulih

sepenuhnya. hubungi perawat sekolah/guru dan orang tua/wali.

14. Waspada gejala yang tertunda dan dorong untuk berobat ke rumah sakit.

Jika terjadi di sekolah, amati gejala yang tertunda di rumah.

2.1.7.2 Penanganan Cedera Kepala menurut ATLS

Manajemen cedera kepala ditujukan untuk mencegah cedera sekunder.

Manajemen mencakup perawatan pra-rumah sakit dan triase, manajemen awal di

rumah sakit terdekat dan berakhir evakuasi untuk manajemen definitif di rumah

sakit perawatan tersier.

2.1.7.1 Perawatan pra rumah sakit

Perawatan pra-rumah sakit sesuai pedoman ATLS. GCS akan

mengklasifikasikan korban cedera kepala sebagai: Minor-GCS 13-15, Moderate-

GCS 9-12 dan Severe-GCS 3-8. Keputusan triase pada pasien dengan trauma

otak kranio harus dibuat berdasarkan skor GCS. GCS <5 menunjukkan prognosis

yang suram meskipun perawatannya komprehensif agresif dan korban yang hamil

harus dipertimbangkan. GCS> 8 menunjukkan bahwa korban mungkin membaik

jika dikelola dengan tepat. GCS 6-8 bisa menjadi yang paling reversibel dan

dilanjutkan dengan manajemen bedah saraf yang melibatkan kontrol tekanan

intrakranial dan mempertahankan aliran darah otak. Bagaimanapun, sistem

penilaian GCS memiliki keterbatasan dalam memprediksi hasil. Sebuah model

saat ini dikembangkan oleh Departemen Pertahanan dan Departemen Urusan

Veteran menggunakan tiga kriteria yaitu GCS setelah resusitasi, durasi amnesia

post traumatik (Post-Traumatic Amnesia), dan kehilangan kesadaran (Loss of

Consciouness). Hal ini juga telah diusulkan untuk menggunakan perubahan yang
terlihat pada neuroimaging, seperti pembengkakan, lesi fokal, atau cedera difus

sebagai metode klasifikasi. Penilaian skala juga masih bisa untuk

mengklasifikasikan tingkat keparahan cedera kepala traumatik ringan, biasa

disebut gegar otak; menggunakan durasi dari kehilangan kesadaran , amnesia

post-traumatik, dan gejala gegar otak lainnya (Pushkarna, et al, 2010).

Evaluasi Sekunder pada perawatan pra rumah sakit adalah dengan

menggunakan CT Scan. CT Scan adalah studi radiografi definitif dalam evaluasi

cedera kepala, dan harus digunakan maksimal karena dapat meningkatkan

akurasi diagnostik dan memfasilitasi manajemen. CT berguna dalam

mengevaluasi korban dengan kecurigaan tinggi untuk cedera tulang belakang.

Radiografi tengkorak masih memiliki tempat dalam evaluasi cedera kepala

(terutama trauma tembus). Jika tidak ada CT, radiografi tengkorak lateral dan AP

dapat membantu melokalisasi benda asing dalam kasus-kasus cedera penetrasi

dan juga dapat menunjukkan patah tulang tengkorak. Standar radiografi AP,

lateral, dan mulut terbuka dapat dilakukan tidak termasuk cedera leher tulang

belakang . Eksplorasi burr holes memiliki peran yang definitif jika tidak tersedia

layanan imaging. Enam burr holes secara klasik jika tidak ada lokalisasi tanda-

tanda pada pasien tidak sadar dapat merupakan alat bagi seorang ahli bedah

perifer (Pushkarna, et al, 2010).

2.1.7.2 Manajemen di pusat bedah

Seharusnya hanya ada 3 alasan untuk menjaga pasien dengan cedera

kepala di area selanjutnya: (a) shock berat, (b) memerlukan operasi yang segera

karena perdarahan aktif intrakranial atau cedera ekstrakranial, dan (c) tidak ada

kesempatan untuk mencapai pusat layanan kesehatan khusus dalam 48-72 jam.

Tujuan: mencegah infeksi, mengobati shock dan meringankan / mencegah

hipertensi intrakranial. Kriteria untuk eksplorasi burr holes adalah: (a) Tidak ada

fasilitas CT scan yang segera tersedia, (b) Tidak ada pusat rujukan bedah saraf
yang tersedia (c) Pasien memburuk dengan cepat, dengan satu pupil melebar (d)

Pasien sekarat karena herniasi batang otak. Menempatkan tindakan burr holes

pada kasus kraniotomi trauma dan di sisi lain dilatasi pupil atau pupil yang melebar

untuk pertama kalinya (jika diketahui). Mulai hanya di depan telinga (1-1,5 cm) dan

di atas lengkungan zygomatic. Jika hematoma tidak ditemui, pertimbangkan

membuka lapisan dura, terutama jika perubahan warna kebiruan menunjukkan

hematoma subdural (Pushkarna, et al, 2010).

Burr holes sendiri tidak adekuat untuk mengobati hematoma akut.

Pendekatan untuk cedera tembus dengan perubahan neurologis ditujukan untuk

menghilangkan devitalized brain dan benda asing yang mudah diakses.

Penutupan kulit kepala yang bebas dari tekanan juga penting, tapi penggantian

beberapa fragmen tengkorak dalam upaya untuk merekonstruksi kerusakan

tengkorak tidak tepat dalam seting medan perang. Jika pembengkakan otak

semakin parah menghalangi penggantian tulang flap maka dapat dibuang atau

disimpan dalam dinding perut. Mengevakuasi pasien ke pusat bedah saraf

terdekat tapi pilih pasien yang dapat bertahan hidup 12 -24 jam (Pushkarna, et al,

2010).

2.1.7.3. Manajemen di pusat perawatan tersier

Tujuan mendasar dari resusitasi pasien cedera kepala adalah pemulihan

volume sirkulasi, tekanan darah, oksigenasi, dan ventilasi.

1. Pemulihan tekanan darah dan oksigenasi: Hipotensi (sistol <90 mmHg)

atau hipoksia (apnea, sianosis atau Sa02 <90%) harus dihindari dan

hindari dengan hati-hati, jika memungkinkan, atau segera diperbaiki pada

pasien cedera kepala traumatik berat. MAP harus dipertahankan di atas 90

mmHg melalui cairan infus dan pertahankan tekanan perfusi serebral > 70

mmHg. Pasien dengan GCS <9 yang tidak mampu untuk mempertahankan

jalan napas mereka atau yang tetap pada kondisi hypoksemia meskipun
mendapatkan tambahan 02 intubasi endotrakeal. Pa02 harus disimpan

minimal 100 mmHg. PCO2 dipertahankan antara 35 dan 40 mmHg.

2. Indikasi untuk monitoring tekanan intrakranial: pasien cedera kepala yang

koma (GCS 3-8) dengan CT scan abnormal harus dilakukan monitoring

tekanan intrakranial. Pasien koma dengan CT scan yang normal memiliki

insiden hipertensi intrakranial yang lebih rendah kecuali pasien memiliki

dua atau lebih faktor berikut pada saat masuk: usia lebih dari 40, postur

motorik unilateral atau bilateral, atau tekanan darah sistolik kurang dari 90

mm Hg. Monitoring tekanan intrakranial pada pasien dengan CT scan

normal dengan dua atau lebih faktor risiko tersebut disarankan sesuai

dengan pedoman. Monitoring tekanan intrakranial rutin tidak diindikasikan

pada pasien dengan cedera kepala ringan atau sedang.

3. Ambang batas penatalaksanaan tekanan intrakranial: Batasan mutlak

tekanan intrakranial yang sama tidak ada. Data saat ini mendukung 20-25

mmHg sebagai batas atas sebagai pengobatan untuk menurunkan tekanan

intrakranial secara umum harus diinisiasi. Manitol efektif untuk mengontrol

peningkatan tekanan intrakranial setelah cedera otak traumatik berat.

Dosis efektif berkisar dari 0,25 – 1 g/kg/berat badan. Indikasi penggunaan

sebelumnya untuk monitoring tekanan intrakranial adalah tanda-tanda

herniasi transtentorial atau neurologis yang memburuk yang tidak

disebabkan oleh ekstrakranial. Hipovolemia harus dihindari dengan

penggantian cairan.

4. Penggunaan barbiturat dalam mengontrol hipertensi intrakranial: terapi

barbiturat dosis tinggi yang berkhasiat dalam menurunkan tekanan

intrakranial dan menurunkan angka kematian dalam kondisi tekanan

intrakranial refraktori yang tidak terkontrol untuk semua perawatan

menurunkan tekanan intrakranial secara medis dan bedah konvensional


lainnya, dalam menyelamatkan pasien cedera otak traumatik.

Pemanfaatan barbiturat untuk profilaksis TIK tidak diindikasikan.

5. Peran steroid: Sebagian besar bukti menunjukkan bahwa steroid tidak

meningkatkan hasil atau menurunkan tekanan intrakranial pada pasien

cedera kepala berat.

6. Peran profilaksis anti kejang pada cedera kepala: Penggunaan profilaksis

fenitoin, carbamazepine, fenobarbital atau valproate, tidak dianjurkan

untuk pencegahan kejang pasca trauma yang terlambat. Anti kejang dapat

digunakan untuk pencegahan awal kejang pasca trauma pada pasien

dengan risiko. Profilaksis kejang yang rutin paling lambat 1 minggu setelah

cedera kepala tidak dianjurkan.

7. Nutrisi: Penggantian 140% dari pengeluaran metabolisme sisa pada pasien

yang tidak lumpuh dan 100% pada pasien lumpuh menggunakan formula

enteral atau parenteral yang mengandung setidaknya 15% dari kalori

protein hari ketujuh setelah cedera.

8. Antibiotik: antibiotik spektrum luas harus diberikan kepada pasien dengan

luka tembus.

9. Bedah: Mencegah infeksi dan meredakan / mencegah hipertensi

intrakranial. Penempatan perangkat monitoring tekanan intrakranial dan

meringankan tekanan intrakranial dengan hemicraniectomy, duraplasty

atau ventriculostomy (Pushkarna, et al, 2010).

2.2 Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA)

2.2.1 Pengertian

Menurut Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional (Sisdiknas) Bab 1 Pasal 1 menyebutkan bahwa peserta didik adalah


anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses

pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.

Peserta didik adalah individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas

dan merupakan insan yang unik. Potensi-potensi khas yang dimilikinya ini perlu

dikembangkan dan diaktualisasikan sehingga mampu mencapai taraf

perkembangan yang optimal (Desmita, 2014).

Masa usia sekolah menengah bertepatan dengan masa remaja. Fase

remaja merupakan masa perkembangan individu yang diawali dengan

kematangan organ-organ fisik sehingga mampu bereproduksi. Menurut Konopka

(Pikunas, 1976) masa remaja ini meliputi (a) remaja awal: 12-15 tahun; (b) remaja

madya: 15-18 tahun; (c) remaja akhir: 19-22 tahun. Sementara Salzman

mengemukakan bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung

(dependence) terhadap orang tua kearah kemandirian, minat-minat seksual,

perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral

(Yunus, 2001).

2.2.2 Hak dan Kewajiban Siswa/Peserta didik

Menurut Undang Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 12

ayat 1 dan 2 menjelaskan hak dan kewajiban peserta didik.

(1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:

a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang

dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;

b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan

kemampuannya;

c. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak

mampu membiayai pendidikannya;

d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak

mampu membiayai pendidikannya;


e. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain

yang setara;

f. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar

masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu

yang ditetapkan.

(2) Setiap peserta didik berkewajiban:

a. menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan

proses dan keberhasilan pendidikan;

b. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi

peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.2.3 Karakteristik Perkembangan

2.2.3.1 Perkembangan Fisik

Pubertas adalah suatu kematangan fisik yang cepat yang melibatkan

perubahan hormon dan tubuh yang terjadi terutama pada masa remaja awal.

Sejumlah perubahan terjadi dalam kematangan seksual, termasuk peningkatan

ukuran penis dan testis pada anak laki-laki serta perkembangan payudara dan

menstruasi pertama pada anak perempuan. Percepatan pertumbuhan melibatkan

tinggi badan dan berat badan serta terjadi sekitar dua tahun sebelumnya untuk

anak perempuan daripada laki-laki. Perubahan hormonal yang luas dicirikan

dengan pubertas. Kelenjar hipofise memainkan peran penting dalam perubahan

hormonal. Selama pubertas, kadar testosteron meningkat secara signifikan pada

anak laki-laki, dan estradiol meningkat secara signifikan pada anak perempuan.

Program dasar genetik untuk pubertas terkait dengan sifat spesies, tetapi gizi,

kesehatan, dan faktor lingkungan lainnya mempengaruhi waktu terjadi pubertas

dan komposisinya. Menstruasi pertama biasanya terjadi antara usia 9 dan 15


tahun. Anak laki-laki mungkin memulai rangkaian pubertas sedini usia 10 tahun

atau paling telat usia 17 tahun (Santrock, 2011).

Remaja menunjukkan minat yang tinggi dalam tubuh mereka dan citra tubuh.

Remaja yang lebih muda terobsesi dengan citra tersebut daripada remaja yang

lebih tua. Remaja putri sering memiliki citra tubuh yang lebih negatif daripada

remaja laki-laki. Kematangan dini sering menguntungkan anak laki-laki, setidaknya

selama masa remaja awal, tetapi sebagai orang dewasa, anak laki-laki dengan

kematangan yang telat memiliki identitas yang lebih positif daripada anak laki-laki

dengan kematangan dini. Gadis dengan kematangan dini berisiko pada sejumlah

masalah perkembangan. Mereka lebih cenderung untuk merokok dan minum serta

memiliki gangguan makan dan cenderung untuk memiliki pengalaman seksual

lebih awal dari anak perempuan dengan kematangan telat. Penebalan korpus

kalosum pada masa remaja berhubungan dengan meningkatkan pemrosesan

informasi. Amigdala yang terlibat dalam emosi seperti marah, matang lebih awal

dari korteks prefrontal yang berfungsi dalma penalaran dan penagturan diri.

Kesenjangan tersebut dalam perkembangan dapat membantu menjelaskan

peningkatan perilaku mengambil risiko yang sering kali menjadi ciri masa remaja

(Santrock, 2011).

2.2.3.2 Perkembangan Kognitif (Intelektual)

Selama tahap operasional formal, tahap keempat perkembangan kognitif

Piaget, pemikiran lebih abstrak, idealis, dan logis dibandingkan tahap operasional

konkret. Remaja menjadi mampu melakukan penalaran hipotesis-deduktif.

Namun, banyak remaja bukan seorang pemikir operasional formal, tetapi

menguatkan pemikiran operasional konkret. Elkind mengusulkan agar remaja,

khususnya remaja yang lebih muda, mengembangkan egosentrisme yang

mencakup imaginary audience (keyakinan bahwa orang lain tertarik pada remaja
sebagaimana remaja tersebut tertarik pada dirinya). dan sebuah personel fable

(rasa keunikan dan tidak terkalahkan).

Tiga aspek memori yang yang dapat meningkat selama masa remaja adalah

memori jangka pendek, working memory, dan memori jangka panjang. Proses

kognitif tingkat tinggi seperti pengambilan keputusan dan berpikir kritis sering

disebut pemfungsian eksekutif. Masa remaja adalah masa peningkatan dalam

pengambilan keputusan. Remaja yang lebih tua membuat keputusan yang lebih

baik daripada remaja yang lebih muda. Satu gagasan untuk menjelaskan

pengambilan keputusan untuk remaja adalah dual-process model. Masa remaja

merupakan periode transisi yang penting dalam berpikir kritis karena perubahan-

perubahan kognitif, seperti kecepatan yang meningkat, otomatisasi, dan kapasitas

pemroses informasi serta isi pengetahuan yang luas, peningkatan kemampuan

untuk menyusun kombinasi pengetahuan baru dan peningkatan penggunaan

strategi yang spontan (Santrock, 2011).

2.2.3.4 Perkembangan Sosial

Untuk memperoleh kematangan penuh, remaja harus membebaskan diri

mereka dari dominasi keluarga dan menetapkan sebuah identitas yang mandiri

dari wewenang orang tua. Remaja ingin dewasa dan ingin bebas dari kendali

orang tua, tetapi mereka takut ketika mereka mencoba untuk memahami tanggung

jawab yang terkait dengan kemandirian.

1) Hubungan dengan orang tua

Proses mencapai kemandirian sering kali melibatkan kekacauan dan

ambigulitas karena baik orang tua maupun remaja belajar untuk menampilkan

peran yang baru dan menjalankannya sampai selesai, sementara pada saat

bersamaan, penyelesaian sering kali merupakan rangkaian kerenggangan

yang menyakitkan, yang penting untuk menetapkan hubungan akhir. Pada saat

remaja menuntut hak mereka untuk mengembangkan hak-hak istimewanya,


mereka sering kali menciptakan ketegangan di dalam rumah. Mereka

menentang kendali orang tua, dan konflik dapat muncul pada hampir semua

situasi atau masalah.

2) Hubungan dengan teman sebaya

Orang tua tetap memberi pengaruh utama dalam sebagian besar

kehidupan, bagi sebagian besar remaja, teman sebaya dianggap lebih

berperan penting ketika masa remaja dibandingkan masa kanak-kanak.

Kelompok teman sebaya memberikan remaja perasaan kekuatan dan

kekuasaan. Remaja biasanya berpikiran sosial, suka berteman, dan suka

berkelompok. Dengan demikian kelompok teman sebaya memiliki evaluasi diri

dan perilaku remaja. Untuk memperoleh penerimaan kelompok, remaja awal

berusaha untuk menyesuaikan diri secara total dalam berbagai hal, sering kali

mengorbankan individualitas dan tuntutan diri. Segala sesuatu pada remaja

diukur oleh reaksi teman sebayanya. Hubungan personal antara satu orang

dengan orang lain yang berbeda biasanya terbentuk antara remaja sesama

jenis. Hubungan ini lebih dekat dan lebih stabil daripada hubungan yang

dibentuk pada masa kanak-kanak pertengahan, dan penting untuk pencarian

identitas.

2.2.3.5 Perkembangan Moral

Teori perkembangan moral menurut Kohlberg dalam Wong (2009), masa

remaja akhir dicirikan dengan suatu pertanyaan serius mengenai nilai moral dan

individu. Remaja dapat dengan mudah mengambil peran lain. Mereka memahami

tugas dan kewajiban berdasarkan hak timbal balik dengan orang lain, dan juga

memahami konsep peradilan yang tampak dalam penetapan hukuman terhadap

kesalahan dan perbaikan atau penggantian apa yang telah dirusak akibat tindakan

yang salah. Mereka mempertanyakan peraturan-peraturan moral yang telah

ditetapkan, sering sebagai akibat dari observasi remaja bahwa suatu peraturan
secara verbal berasal dari orang dewasa tetapi mereka tidak mematuhi peraturan

tersebut.

2.2.4 Tugas Perkembangan Remaja

Tugas-tugas perkembangan pada masa remaja menurut (Hurlock, 2001) antara

lain :

2.2.4.1 Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya

baik pria maupun wanita

Tugas perkembangan pada masa remaja menuntut perubahan besar dalam

sikap dan perilaku anak. Akibatnya, hanya sedikit anak laki-laki dan anak

perempuan yang dapat diharapkan untuk menguasai tugas-tugas tersebut selama

awal masa remaja, apalagi mereka yang matangnya terlambat. Kebanyakan

harapan ditumpukkan pada hal ini adalah bahwa remaja muda akan meletakkan

dasar-dasar bagi pembentukan sikap dan pola perilaku.

2.2.4.2 Mencapai peran sosial pria dan wanita

Perkembangan masa remaja yang penting akan menggambarkan seberapa

jauh perubahan yang harus dilakukan dan masalah yang timbul dari perubahan itu

sendiri. Pada dasarnya, pentingnya menguasai tugas-tugas perkembangan dalam

waktu yang relatif singkat sebagai akibat perubahan usia kematangan yang

menjadi delapan belas tahun, menyebabkan banyak tekanan yang menganggu

para remaja.

2.2.4.3 Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif

Para remaja untuk menerima keadaan fisiknya bila sejak kanak-kanak

mereka telah mengagungkan konsep mereka tentang penampilan diri pada waktu

dewasa nantinya. Diperlukan waktu untuk memperbaiki konsep ini dan untuk

mempelajari cara-cara memperbaiki penampilan diri sehingga lebih sesuai dengan

apa yang dicita-citakan.

2.2.4.4 Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab


Menerima peran seks dewasa yang diakui masyarakat tidaklah mempunyai

banyak kesulitan bagi laki-laki; mereka telah didorong dan diarahkan sejak awal

masa kanak-kanak. Tetapi berbeda bagi anak perempuan. Sebagai anak-anak,

mereka diperbolehkan bahkan didorong untuk memainkan peran sederajat,

sehingga usaha untuk mempelajari peran feminin dewasa yang diakui masyarakat

dan menerima peran tersebut, seringkali merupakan tugas pokok yang

memerlukan penyesuaian diri selama bertahun-tahun. Mempelajari hubungan

baru dengan lawan jenis berarti harus mulai dari nol dengan tujuan untuk

mengetahui lawan jenis. Pengembangan hubungan baru yang lebih matang

dengan teman sebaya sesama jenis juga tidak mudah.

2.2.4.5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa

lainnya

Remaja yang sangat mendambakan kemandirian, usaha untuk mandiri

secara emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lain merupakan tugas

perkembangan yang mudah. Namun, kemandirian emosi tidaklah sama dengan

kemandirian perilaku. Banyak remaja yang ingin mandiri, juga ingin dan

membutuhkan rasa aman yang diperoleh dari ketergantungan emosi pada orang

tua atau orang-orang dewasa lain. Hal ini menonjol pada remaja yang statusnya

dalam kelompok sebaya tidak meyakinkan atau yang kurang memiliki hubungan

yang akrab dengan anggota kelompok.

2.2.4.6 Mempersiapkan karier ekonomi

Kemandirian ekonomi tidak dapat dicapai sebelum remaja memilih

pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja. Kalau remaja memilih pekerjaan

yang memerlukan periode pelatihan yang lama, tidak ada jaminan untuk

memperoleh kemandirian ekonomi bilamana mereka secara resmi menjadi

dewasa nantinya. Secara ekonomi mereka masih harus tergantung selama

beberapa tahun sampai pelatihan yang diperlukan untuk bekerja selesai dijalani.
2.2.4.7 Mempersiapkan perkawinan dan keluarga

Kecenderungan perkawinan muda menyebabkan persiapan perkawinan

merupakan tugas perkembangan yang paling penting dalam tahuntahun remaja.

Meskipun tabu sosial mengenai perilaku seksual yang berangsur-ansur

mengendur dapat mempermudah persiapan perkawinan dalam aspek seksual,

tetapi aspek perkawinan yang lain hanya sedikit yang dipersiapkan. Kurangnya

persiapan ini merupakan salah satu penyebab dari masalah yang tidak

terselesaikan, yang oleh remaja dibawa ke masa remaja.

2.2.4.8 Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk

berperilaku mengembangkan ideologi

Sekolah dan pendidikan tinggi mencoba untuk membentuk nilai-nilai yang

sesuai dengan nilai dewasa, orang tua berperan banyak dalam perkembangan ini.

Namun bila nilai-nilai dewasa bertentangan dengan teman sebaya, masa remaja

harus memilih yang terakhir bila mengharap dukungan teman-teman yang

menentukan kehidupan sosial mereka. Sebagian remaja ingin diterima oleh

teman-temannya, tetapi hal ini seringkali diperoleh dengan perilaku yang oleh

orang dewasa dianggap tidak bertanggung jawab.

2.3 Pengetahuan

2.3.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris

khususnya mata dan telinga terhadap obyek tertentu. Pengetahuan merupakan

domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt

behaviour). Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng

(Sunaryo, 2004).

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi


melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang

sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Notoatmodjo (2003) untuk mengubah pengetahuan diperlukan kondisi

belajar tertentu seperti :

a. Peserta didik harus disajikan fakta atau informasi sedemikian rupa sehingga

mereka mengerti.

b. Peserta didik mampu menyimpan fakta atau informasi dalam ingatannya,

sehingga fakta tersebut mudah diingat kembali bila diperlukan.

c. Peserta didik mampu menyajikan informasi yang disajikan sehingga dapat

digunakan untuk melakukan tugas atau memecahkan masalah di lapangan

nantinya.

Pengetahuan biasanya diperoleh dari pengalaman, guru, orang tua, teman,

buku dan media massa. Pengetahuan ini dapat membentuk keyakinan tertentu,

sehingga orang berperilaku sesuai dengan keyakinan tersebut (World Health

Organization, 1988 dalam Sunaryo, 2004). Menurut Sarwono (1997) dalam

Sunaryo (2004), pengetahuan bersifat pengenalan terhadap suatu benda atau hal

secara objektif. Pengetahuan merupakan kegiatan mental yang dikembangkan

melalui proses belajar dan disimpan dalam ingatan, akan digali saat dibutuhkan

melalui bentuk ingatan.

2.3.2 Tingkatan Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003), Pengetahuan atau kognitif memiliki 6 tingkatan :

2.3.2.1 Tahu (know)

Tahu diartikan mampu mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk dalam mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang

spesifik dari seluruh bagian yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Untuk mengukur

bahwa orang itu tahu tentang apa yang dipelajari antara lain dengan menyebutkan,

menguraikan, mengidentifikasikan, menyatakan dan sebagainya.

2.3.2.2 Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar

tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut

secara benar. Seseorang yang telah paham tentang sesuatu harus dapat

menjelaskan, memberikan contoh, menyimpulkan dan meramalkan dan

sebagiainya terhadap objek yang dipelajari.

2.3.2.3 Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya, atau dapat menggunakan hukum-

hukum, rumus, metode, dan prinsip dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya

dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan hasil penelitian, dapat

menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle)

di dalam pemecahan suatu kasus kesehatan.

2.3.2.4 Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menguraikan materi atau suatu

obyek ke dalam komponen-komponen, dan masih terkait satu sama lain.

Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti, dapat

menggambarkan, membuat bagan, membedakan, memisahkan,

mengelompokkan dan sebagainya.

2.3.2.5 Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk kepada kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru

atau kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang


ada. Misalnya dapat menyusun, merencanakan, meringkas, menyesuaikan dan

sebagainya terhadap teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

2.3.2.6 Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi/penilaian

terhadap suatu materi atau objek penelitian. Penilaian-penilaian didasarkan pada

suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang

telah ada. Pengetahuan dapat diukur dengan wawancara atau angket yang

menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau

responden dalam pengetahuan yang ingin diketahui atau disesuaikan dengan

tingkatan-tingkatan tersebut di atas (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Abror (1993), cara mengukur tingkat pengetahuan pada tahap

mengetahui dan memahami dapat dilakukan dengan tes objektif tipe benar salah

atau pilihan berganda. Tahap penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi diukur

dengan bentuk tes uraian. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan melalui tes

atau wawancara dengan alat bantu kuesioner berisi materi yang ingin diukur dari

responden (Sunaryo, 2004).

2.4 Keterampilan

Keterampilan adalah hasil dari latihan berulang, yang dapat disebut

perubahan yang meningkat atau progresif oleh orang yang mempelajari

keterampilan tadi sebagai hasil dari aktivitas tertentu (Whiterington,1991).

Keterampilan dari kata dasar terampil yang artinya cakap menyelesaikan tugas,

mampu dan cekatan sedangkan keterampilan artinya kecakapan untuk

menyelesaikan tugas (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999).

Pelatihan keterampilan merupakan aktivitas utama selama fase

implementasi suatu program kesehatan. Selama implementasi pelatihan bertujuan

untuk membangun dan memelihara perilaku-perilaku yang sangat penting dalam


kelangsungan program, maka pelatihan tersebut akan mengarah kepada

perolehan keterampilan. Keterampilan adalah kemampuan melaksanakan

tugas/pekerjaan dengan menggunakan anggota badan dan peralatan kerja yang

tersedia.

Ada 3 jenis kemampuan dasar bersifat manusia (human skill), kemampuan

teknik (technicall skill), dan kemampuan membuat konsep (conceptual skill).

Keterampilan teknik adalah kemampuan untuk menggunakan alat, prosedur, dan

teknik yang berhubungan dengan bidangnya. Keterampilan manusia adalah

kemampuan untuk dapat bekerja, mengerti, dan mengadakan motivasi kepada

orang lain. Keterampilan konsep adalah kemampuan untuk melakukan kerja sama

di dalam pekerjaan, pekerjaan itu dapat memberikan keterampilan (Sukiarko,

2007).

2.5 Efikasi Diri

2.5.1 Definisi

Efikasi diri adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dalam

mengatur dan melaksanakan suatu tindakan yang ingin dicapai. Keyakinan

tentang efikasi diri akan memberikan dasar motivasi, kesejahteraan dan prestasi

seseorang. Bandura (1994) menjelaskan efikasi diri adalah keyakinan

seseorang tentang kemampuan mereka untuk mencapai suatu tingkat

kinerja yang mempengaruhi setiap peristiwa dalam hidupnya. Efikasi diri

menentukan bagaimana seseorang merasa, berfikir, memotifasi dirinya dan

berperilaku. Efikasi diri terbentuk melalui 4 proses utama yaitu kognitif, motivasi,

afektif dan proses seleksi.

Teori efikasi diri didasarkan pada premis bahwa individu membuat

penilaian tentang kapasitas mereka untuk terlibat dalam perilaku perawatan

diri dalam menghasilkan sesuatu yang diinginkan. Penilaian ini memberikan


jembatan antara pengetahuan dan perilaku perawatan diri yang sebenarnya.

Keyakinan efikasi diri juga membantu menentukan seberapa banyak usaha

yang dikeluarkan seseorang dalam suatu perilaku, berapa lama mereka akan

bertahan dalam menghadapi rintangan dan seberapa tangguh mereka dalam

menghadapi situasi yang merugikan (Bandura, 1994).

2.5.2 Proses Pembentukan Efikasi Diri

2.5.2.1 Proses kognitif

Keyakinan efikasi diri terbentuk melalui proses kognitif, misalnya melalui

perilaku manusia dan tujuannya. Penentuan dari tujuan dipengaruhi oleh

penilaian atas kemampuan diri sendiri. Semakin kuat efikasi diri seseorang maka

semakin tinggi seseorang berkomitmen untuk mencapai tujuan yang

ditentukannya. Beberapa tindakan pada awal diatur dalam bentuk pemikiran.

Keyakinan tentang keberhasilan akan membentuk skenario dimana seseorang

akan berusaha dan berlatih untuk mewujudkan keyakinannya tersebut. Mereka

yang mempunyai efikasi diri yang tinggi akan menvisualisasikan skenario

keberhasilannya sebagai panduan positif dalam mencapai tujuan seseorang,

sedangkan orang yang meragukan keberhasilan mereka akan menvisualisasikan

skenario kegagalan dan banyak melakukan kesalahan. Fungsi utama dari

pemikiran adalah memungkinkan seseorang memprediksi kejadian dan

mengembangkan cara untuk mengendalikan hidup mereka sendiri (Bandura,

1994).

2.5.2.2. Proses motivasional

Tingkat motivasi tiap orang tercermin pada seberapa banyak upaya

yang dilakukan dan seberapa lama bertahan dalam menghadapi hambatan yang

dihadapi. Semakin kuat keyakinan akan kemampuan seseorang maka akan lebih

besar upaya yang harus dilakukan. Keyakinan dalam proses berfikir sangat
penting bagi pembentukan motivasi, disebabkan sebagian besar motivasi

dihasilkan melalui proses berfikir. Cara mengantisipasi tindakan dengan

menetapkan tujuan dan rencana program untuk mencapai tujuannya. Proses

motivasi dibentuk oleh 3 teori pemikiran yaitu causal attributions, outcome

expectancies value theory dan cognized goal. Keyakinan akan mempengaruhi

atribusi kausa seseorang, ketika menganggap diri mereka mempunyai atribut

kausal kegagalan maka ia akan mempunyai kemampuan yang rendah, dan

sebaliknya, sedangkan motivasi diatur oleh harapan seseorang dan nilai dari

tujuan yang ditentukan (Bandura, 1994).

2.5.2.3 Proses afektif

Keyakinan seseorang tentang seberapa kuat dalam mengatasi stress dan

depresi melalui berbagai pengalaman yang dialami akan sangat berpengaruh

pada motivasi seseorang. Efikasi diri dapat mengendalikan depresi yakni dengan

mengontrol stress. Seseorang yang dapat mengontrol depresi maka pola

pikirnya tidak akan terganggu, tetapi bagi orang-orang yang tidak dapat

mengontrol ancaman yang dihadapi maka akan mengalami kecemasan yang

tinggi. Kecemasan tidak hanya dipengaruhi oleh koping mekanisme seseorang

tetapi juga dipengaruhi oleh kemampuan untuk mengendalikan pemikiran yang

mengganggu (Bandura, 1994).

2.5.2.4 Proses seleksi

Tujuan akhir dari proses efikasi adalah untuk membentuk sebuah

lingkungan yang menguntungkan dan dapat dipertahankan. Sebagian besar

orang adalah produk dari lingkungan itu sendiri. Oleh karena itu keyakinan efikasi

dipengaruhi dari tipe aktifitas dan lingkungan yang dipilihnya. Seseorang akan

menghindari aktifitas dan lingkungan bila orang tersebut merasa tidak mampu

untuk melakukannya. Tetapi mereka akan siap dengan berbagai tantangan dan

situasi yang dipilihnya bila mereka menilai dirinya mampu untuk melakukannya
(Bandura, 1994).

2.5.3 Dimensi Efikasi Diri

2.5.3.1 Magnitude

Dimensi magnitude berfokus pada tingkat kesulitan pada setiap

orang yang berbeda atau tidak akan sama. Seseorang bisa mengalami tingkat

kesulitan yang tinggi dihubungkan dengan usaha yang dilakukan, kadang sedikit

agak berat atau ada juga yang melakukan usaha tersebut dengan sangat mudah

dan sederhana. Semakin tinggi keyakinan efikasi diri yang dimiliki maka akan

semakin mudah usaha yang dapat dilakukan (Bandura, 1977).

2.5.3.2 Generality

Dimensi generalisasi berfokus pada harapan penguasaan seseorang

terhadap pengalaman dari usaha yang berkaitan yang telah dilakukan.

Seseorang akan mengeneralisasi keyakinan mereka tentang keberhasilan yang

diperolehnya dan tidak hanya pada hal tersebut saja tetapi akan digunakan pada

usaha yang lainnya (Bandura, 1977).

2.5.3.3 Strength

Dimensi generalisasi berfokus pada kekuatan seseorang atau keyakinan

dalam melakukan sebuah usaha yang terkait. Harapan yang lemah bisa

disebabkan oleh pengalaman seseorang yang buruk. Tetapi bila seseorang

mempunyai harapan yang kuat, mereka akan tetap berusaha walaupun

mengalami berbagai kegagalan (Bandura, 1977).

2.5.4 Efikasi Diri Siswa Remaja Terhadap Fungsi Sekolah

Menilai kepercayaan diri remaja dan persepsi sebuah kemampuan itu

penting karena bisa membantu orang tua dan guru berempati dengan atau

setidaknya lebih memahami bagaimana remaja menafsirkan dan melihat dunia.

Masalah yang muncul adalah apakah efikasi diri memiliki dampak signifikan
terhadap kemampuan remaja untuk berhasil di sekolah. Pada bagian ini akan

membahas hubungan antara efikasi diri dan tiga variabel penting yang

berhubungan dengan fungsi sekolah: motivasi akademik, prestasi akademik, dan

akademik serta perkembangan personal.

2.5.4.1 Motivasi Akademik

Motivasi didefinisikan oleh peneliti kognitif sosial sebagai sebuah

proses dimana perilaku yang diarahkan pada tujuan dipengaruhi dan

dipertahankan. Ketika siswa percaya bahwa mereka bisa melakukan tugas

secara baik, mereka akan semakin terlibat dalam aktivitas, bekerja lebih

keras, dan berusaha yang lebih baik bahkan ketika terdapat kendala.

Salomon (1984) dalam buku Self-Efficacy Beliefs of Adolescents

melakukan penelitian tentang hubungan antara efikasi diri siswa kelas 6

untuk belajar dari teks dengan usaha dan prestasi mental. Efikasi diri siswa

yang terpapar materi cetak secara positif berhubungan dengan usaha dan

prestasi mental. Artinya, kepercayaan siswa terhadap kemampuan mereka

untuk belajar dari materi cetak meningkat, demikian juga persepsi mereka

untuk menyelesaikan tugas. Efikasi diri secara konsisten dikaitkan dengan

tingkat ketekunan. Bila mereka menganggap tugas itu sulit, siswa dengan

efikasi diri cenderung lebih tekun dibanding dengan siswa yang memiliki

efikasi diri rendah.

2.5.4.2 Prestasi akademik

Efikasi diri adalah prediktor yang lebih baik dari sikap positif terhadap

matematika daripada kemampuan sebenarnya. Hasil serupa dilaporkan

oleh Bouffard-Bouchard (1990) yang secara eksperimental meningkatkan

efikasi diri siswa pada dua tingkat kemampuan pada tugas pemecahan
masalah baru. Siswa yang memiliki efikasi diri tinggi menggunakan strategi

yang lebih efektif dan lebih berhasil dalam pemecahan masalah mereka

daripada siswa yang efikasi dirinya rendah. Studi ini mengungkapkan

bahwa efikasi diri siswa diyakini berkontribusi terhadap kinerja akademis

yang lebih baik dan diatas kemampuan mereka (Bandura, 1993). Studi

analitik path telah menunjukkan bahwa efikasi diri memiliki efek langsung

pada kinerja akademis siswa di ranah akademis seperti menulis dan

matematika (Bandura, 1994).

2.5.4.3 Perkembangan personal dan akademik

Secara umum ada tiga tipe efikasi siswa yang diselidiki: fungsi sosial

(misalnya, pembentukan dan pemeliharaan hubungan sesama), fungsi

pengaturan diri pribadi (misalnya, melawan tekanan teman sebaya untuk

terlibat dalam aktivitas berisiko tinggi seperti narkoba dan alkohol), dan

fungsi akademis ( misalnya, mengatur diri sendiri belajar dan menguasai

berbagai materi pelajaran).

Bahasan pemilihan karier siswa, Bandura dkk. (2001) mempelajari tiga

hal yang berpengaruh secara umum, yakni efikasi diri, aspirasi akademis,

dan prestasi akademik terhadap persepsi keberhasilan mereka mengenai

enam jalur karir yang spesifik (sains teknologi, pendidikan kedokteran, seni

sastra, pelayanan sosial, polisi militer, Dan pertanian). Jenis efikasi diri

kerja ini terbukti menjadi faktor penentu utama pilihan karir siswa. Prestasi

akademis siswa tidak secara langsung memprediksi pilihan karir mereka

melainkan dimediasi melalui efikasi diri terhadap pekerjaan yang mereka

pilih. Efikasi diri memainkan peran utama dalam Ppengembangan

akademik dan karir siswa (Zimmerman, et al, 2006).

2.6 Bystander Trauma


2.6.1 Pengertian Bystander Trauma

Bystander adalah seseorang yang ada / hadir di tempat kejadian (Pelinka, et

al, 2004).

Bystander adalah seseorang yang berdiri didekat dan menyaksikan sesuatu

terjadi tetapi bukan bagian dari kejadian tersebut (dictionary.cambridge.org).

Bystander trauma adalah seseorang yang melakukan tindakan perawatan

trauma yang diperlukan sebelum EMS tiba di tempat kejadian (Pelinka, et al,

2004).

2.6.2 Kualitas bantuan yang dilakukan oleh bystander

Beberapa kejadian menunjukkan bahwa banyak tindakan pertolongan

pertama yang dilakukan oleh bystander tidak memadai atau berpotensi berbahaya.

Mengabaikan pemeliharaan jalan napas dan keputusan untuk memotong EMS dan

mengangkut korban di kendaraan pribadi adalah dua contoh yang muncul dalam

beberapa studi. Dalam satu studi menyimpulkan bahwa 9% dari pasien darurat

yang meninggal akan memiliki kesempatan lebih besar untuk bertahan hidup jika

mereka telah menerima perawatan yang lebih baik dari orang awam dan para

profesional. Studi lain, yang dilakukan di Australia, meneliti tiga belas kematian

akibat cedera kepala dan tulang belakang. Selama beberapa kematian ini,

pertolongan pertama yang tidak memadai yang diberikan oleh orang awam dan

keputusan untuk mengangkut korban di kendaraan pribadi yang dikutip sebagai

faktor kontribusi potensial.

2.6.3 Model Intervensi Bystander

Menurut Latane' dan Rodin (1969) dalam Koon (2013), agar bystander

berhasil terlibat dalam suatu situasi atau melakukan intervensi, terdapat 5 langkah

yang harus dilakukan, yakni:

1) Individu tersebut harus melihat secara langsung kejadian


2) Mereka melihat hal tersebut adalah sebuah masalah atau kegawatdaruratan

3) Individu tersebut harus merasa bertanggungjawab untuk membantu atau

terlibat

4) Individu harus memutuskan untuk melakukan tindakan apa yang diambil dan

percaya diri dalam kemampuan dan keterampilan untuk

mengimplementasikan tindakan dengan sukses dan aman

5) Langkah terakhir adalah individu tersebut benar-benar melakukan tindakan

pertolongan

2.6.4 Model Tingkat Kesiapan dan Keterlibatan Bystander

Bowes-Sperry dan O'Leary-Kelly (2005) dalam Koon (2013) menciptakan

tipologi intervensi bystander yang dikategorikan menjadi dua dimensi, (1) kesiapan

intervensi dan (2) tingkat keterlibatan. Dimensi pertama (intervensi kesiapan)

membedakan antara situasi di mana intervensi terjadi pada saat ini (kesiapan

tinggi) dan intervensi yang membutuhkan waktu dan tempat (kesiapan rendah).

Bystander dapat melakukan intervensi pada peristiwa yang terjadi sebagai pelapor

kejadian untuk mencegah situasi berbahaya selanjutnya. Dimensi kedua (tingkat

keterlibatan) mencerminkan sejauh mana individu terlibat dalam insiden itu dan

mencakup bagaimana mereka bertindak. Intervensi keterlibatan yang tinggi adalah

orang-orang yang berdiri di dekatnya yang ikut terlibat langsung dalam situasi,

yang meningkatkan potensi risiko pribadi dan manfaat (mis langsung menghadapi

pelaku). Strategi intervensi keterlibatan yang rendah (misalnya, menawarkan

dukungan pribadi ke penerima), tidak melibatkan keterlibatan publik tegas atau

langsung atau memamerkan perilaku. Tipologi ini memberikan contoh perilaku

yang mencakup empat tingkat potensi interaksi bystander. Meskipun tipologi ini

tidak menjelaskan bystander yang tidak terlibat, seperti bystander berkolusi

dengan pelaku terhadap korban, bystander pasif, mengabaikan, atau menolak

melakukan intervensi.
2.6.5 Sasaran utama pelatihan bystander

Sasaran utama pelatihan bystander adalah masyarakat, pengemudi, dan

anak-anak (sekolah dasar, menengah, dan menengah atas). Anak-anak akan

menjadi peserta yang ideal untuk menerima pendekatan yang lebih komprehensif

untuk informasi mengenai bystander.

1. Pelajar di sekolah

Sistem sekolah seharusnya mengajarkan perawatan darurat dasar

sebagai bagian dari kurikulum perawatan kesehatan. Remaja lebih

termotivasi untuk belajar, lebih mudah untuk diajari, dan lebih mungkin

untuk mempertahankan keterampilan mereka. Penelitian telah

menunjukkan bahwa anak-anak berumur 10 tahun dapat diajari teknik

perawatan darurat dasar. Memasukkan instruksi perawatan darurat ke

dalam kurikulum sekolah memiliki keuntungan yang memungkinkan untuk

pelatihan ulang selama beberapa tahun untuk mempromosikan retensi

keterampilan jangka panjang. Sebuah badan besar pendidikan dan

penelitian pendidikan substansi menjelaskan bahwa review berulang dan

latihan dari waktu ke waktu adalah pendekatan yang efektif untuk

memastikan retensi jangka panjang.

2. Pengemudi

Beberapa penulis telah menyarankan bahwa pelatihan perawatan

darurat mungkin diperlukan untuk pengemudi sebagai bagian dari

pelatihan pengemudi dan proses perizinan. Saran ini tampaknya lebih tepat

dihubungkan dengan masalah kematian di jalan raya. Namun, hal ini juga

membuka pertanyaan jenis pelatihan apa dan pengujian bagaimana yang

diperlukan dari pengemudi yang sudah berlisensi.

3. Masyarakat di tempat kejadian


Pertimbangan pilihan untuk memberikan bystander instruksi pada

saat kejadian. Penelitian tentang perawatan darurat yang operator dibantu

(dispatcher-assisted emergency care) menunjukkan sebagai pendekatan

baik agar korban mendapatkan perawatan darurat sesuai yang mereka

butuhkan. Untuk mobil yang dilengkapi dengan radio atau telepon seluler,

perawatan darurat yang dibantu operator dibantu (dispatcher-assisted

emergency care) sangat memungkinan. Mekanisme lain yang dapat

dilakukan untuk mendapatkan informasi penting tersedia dalam format

yang dapat diakses ketika dibutuhkan (National Standard Curriculum for

Bystander Trauma Care, 1992).

2.6.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku bystander

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku bystander

1. Ignorance (ketidakpedulian)

Rata-rata warga tidak peduli pada banyak aspek dalam perawatan

darurat. Orang awam mengalami kesulitan besar dalam mengenali kondisi

medis darurat dan memutuskan untuk memanggil ambulans. Orang yang

merasa dirinya tidak kompeten untuk menangani keadaan tersebut tidak

mungkin menawarkan bantuan bahkan bantuan yang minimal. Beberapa

studi menunjukkan bahwa orang yang merasa tidak kompeten akan

menghindar dengan tidak mau mengenali kondisi yang darurat.

Implikasinya adalah bahwa bystander tidak yakin dengan kemampuan

mereka untuk membantu korban terjatuh dan berasumsi bahwa korban

tidak mengalami luka serius. Asumsi ini membuat bystander terlepas dari

kewajibannya untuk berhenti dan menolong serta memberitahu EMS.

2. Confusion (Kebingungan)

Orang awam memiliki banyak kesulitan untuk menilai kapan keadaan

darurat terjadi. Kesulitan ini dapat menyebabkan keterlambatan dalam


menghubungi EMS dan menghasilkan keputusan yang tidak tepat untuk

mengangkut korban dengan kondisi yang mengancam jiwa dengan

kendaraan pribadi daripada menghubungi EMS. Beberapa bukti

menunjukkan bahwa kecelakaan kendaraan bermotor mungkin lebih

mudah bagi orang awam untuk dikenali sebagai keadaan darurat bila

dibandingkan dengan jenis keadaan darurat lainnya seperti serangan

jantung.

3. Characteristics of the emergency (karakteristik kegawatdaruratan)

Bystander juga menghadapi hambatan lain yang dapat memperlambat

atau mencegah bantuan dalam keadaan darurat selain ketidakpedulian.

Bystander cenderung menunda karena karakteristik fisik yang tidak

menyenangkan seperti darah, muntahan, atau alkohol pada nafas. Ketiga

karakteristik fisik mungkin ditemui dalam kecelakaan kendaraan bermotor.

Sehubungan dengan tindakan bystander dalam kecelakaan jalan raya,

salah satu studi menemukan bahwa satu-satunya karakteristik pribadi yang

muncul untuk mempengaruhi perilaku menolong adalah ukuran

masyarakat di mana subjek dibesarkan. Individu yang dibesarkan di

lingkungan pedesaan lebih cepat membantu daripada orang yang

dibesarkan di daerah perkotaan. Faktor lain yang harus dipertimbangkan

dalam perilaku menolong untuk kecelakaan di jalan raya adalah waktu

kedatangan bystander. Seorang bystander yang telah melihat kejadian

darurat memiliki peluang yang lebih besar untuk membantu daripada

bystander yang tiba setelah kejadian. Hal ini menunjukkan bahwa

menyaksikan kecelakaan memudahkan bystander untuk mengenali kondisi

darurat (National Standard Curriculum for Bystander Trauma Care, 1992).

2.6.7 Hal-hal yang perlu dilakukan oleh bystander


Studi yang dilakukan oleh Pelinka et al (2004), terdapat lima langkah

spesifik bystander trauma care yang dinilai oleh EMS sesuai dengan pedoman

yang membentuk dasar dari pelatihan EMS. EMS mendokumentasikan apakah

setiap tindakan berikut dilakukan sesuai kebutuhan, dan jika perlu, telah dilakukan

dengan benar, tidak benar atau tidak sama sekali:

a. Memastikan keamanan situasi (untuk mencegah trauma lebih lanjut);

b. Melepaskan pasien trauma (dari kendaraan atau dari zona bahaya);

c. Posisi pasien trauma (untuk menjaga kepatenan jalan napas);

d. Mengontrol perdarahan;

e. Pencegahan hipotermia.

Pedoman National Standard Curriculum for Bystander Trauma Care (1992)

menuliskan Bystander Care Project fokus pada langkah penting pertama yang

disebut “Enam Langkah Sederhana untuk Menyelamatkan Kehidupan” , yakni:

1. Menyadari keadaan darurat,

2. Memutuskan untuk membantu,

3. Menghubungi sistem EMS untuk menginformasikan lokasi dan kejadian

yang terjadi

4. Mencegah cedera lebih lanjut,

5. Menilai korban, dan

6. Memberikan perawatan untuk mempertahankan hidup, jika diperlukan.

(Perawatan untuk mempertahankan hidup adalah memeriksa kesadaran

korban (apakah korban mampu menjawab atau tidak, pernafasan korban,

mempertahankan kepatenan jalan nafas, mengontrol perdarahan dengan

tekanan langsung)).

Keterangan:

a. Langkah 1 dan 2 : Menyadari kondisi darurat dan memutuskan untuk

membantu
Secara logika, tampak bahwa bystander harus datang terlebih dahulu

pada kejadian kecelakaan kendaraan bermotor dan mengenalinya sebagai

darurat sebelum bystander membuat keputusan untuk bertindak. Penelitian

menunjukkan sesuatu yang berbeda. Seseorang merasa tidak percaya diri

dapat membantu dalam situasi darurat, adalah orang yang cenderung sadar

kondisi tersebut darurat. Kecuali keputusan untuk bertindak dalam keadaan

darurat dianggap baik sebelum terjadi keadaan darurat. Bahkan salah satu

strategi penting yang digunakan orang untuk menghindari aksi adalah

menolak (sadar atau tidak sadar) untuk mengakui kondisi darurat. Mengingat

bahwa banyak keadaan darurat tidak terlihat seperti yang terjadi di media,

ambiguitas dari kejadian nyata dapat memudahkan pejalan kaki untuk

menghindari keadaan darurat. Untuk alasan ini, menyadari keadaan darurat

dan memutuskan untuk membantu harus dipertimbangkan bersama-sama.

Penelitian telah menunjukkan bahwa pelatihan dan praktek difokuskan pada

mengenali keadaan darurat dan mengatasi hambatan umum untuk bertindak

yang dapat meningkatkan probabilitas seseorang cepat dalam bertindak pada

kondisi darurat.

b. Langkah 3: Menghubungi EMS

Program pertolongan pertama untuk orang awam menjelaskan bagaimana

menghubungi EMS dan informasi apa yang EMS butuhkan, tetapi mereka tidak

memberikan aturan umum tentang kapan dan mengapa EMS diperlukan.

Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang awam sering membuat keputusan

yang tidak tepat mengenai penggunaan EMS. Mereka menunda menghubungi

EMS sampai mereka benar-benar yakin bahwa keadaan darurat terjadi. Mereka

secara rutin memilih untuk memotong EMS dan mengangkut korban dengan

kendaraan pribadi. Tindakan ini menunjukkan bahaya yang signifikan untuk

korban.
c. Langkah 4: Mencegah cedera lebih lanjut

Ketika dihadapkan pada kondisi kecelakaan lalu lintas; rata-rata orang awam

sering memindahkan korban dari kendaraan yang rusak yang sangat mungkin

akan meledak. Beberapa program pertolongan pertama berisi diskusi singkat yang

relevan dengan bahaya, adegan keselamatan, keamanan penyelamat, dan

keputusan untuk memindahkan korban. Tak satu pun mengandung diskusi

substantif pendekatan untuk mengendalikan bahaya umum di tempat kejadian.

Beberapa program pertolongan pertama berisi informasi tentang langkah

penyelamatan. Biasanya, teknik yang disajikan dalam program ini mengasumsikan

bahwa korban tergeletak di tanah. Satu penjelasan yang mungkin untuk

pendekatan ini adalah kenyataan bahwa sangat sulit untuk penyelamat tunggal

untuk melindungi kepala korban saat memindahkan korban keluar dari mobil.

d. Langkah 5: Menilai korban

Dalam menilai korban, bystander harus memutuskan jenis bantuan apa yang

dibutuhkan korban segera. Dalam membuat keputusan ini melibatkan:

1) Menentukan apakah jalan napas korban terbuka dan bersih,

2) Menentukan apakah korban bernapas,

3) Menentukan apakah korban memiliki denyut nadi,

4) Menentukan apakah korban mengalami pendarahan parah,

5) Mengetahui kapan harus berasumsi bahwa korban kemungkinan menderita

cedera tulang belakang.

e. Langkah 6: Memberikan perawatan untuk mempertahankan hidup, jika

diperlukan.

Seringkali tindakan bantuan hidup hanya dapat efektif jika dimulai dari orang

terdekat dengan segera. Dari sekian banyak teknik pertolongan pertama yang

diajarkan kepada orang-orang awam, teknik pertolongan pertama berikut telah


diidentifikasi oleh Safar dan Bircher (1988) sebagai memiliki relevansi khusus

untuk korban trauma dan dapat dipelajari oleh orang awam:

1) Memeriksa kesadaran,

2) Membuka dan memelihara jalan napas,

3) Memeriksa pernafasan,

4) Melakukan pernafasan mulut ke mulut atau mulut ke hidung,

5) Membersihkan mulut dan faring, jika ada obstruksi (muntahan, gigi) secara

manual,

6) Memeriksa denyut nadi di leher,

7) Menggunakan tekanan langsung dan elevasi untuk menghentikan

pendarahan,

8) Memindahkan korban tidak sadar yang masih bernapas adekuat dari posisi

supin ke posisi stabil,

9) Memposisikan korban sadar untuk mengurangi kemungkinan syok

(horizontal, kaki di atas),

10) Menggunakan rescue pull untuk memindahkan ke posisi supin agar aman,

11) Melakukan CPR jika terjadi serangan jantung.

2.7 Pelatihan

2.7.1 Pengertian Pelatihan

Pelatihan merupakan suatu proses belajar mengajar terhadap pengetahuan

dan keterampilan tertentu serta sikap agar peserta semakin terampil dan mampu

melaksanakan tanggung jawabnya dengan semakin baik, sesuai dengan standar

(Tanjung, 2003). Kirkpatrick (1994) mendefinisikan pelatihan sebagai upaya

meningkatkan pengetahuan, mengubah perilaku dan mengembangkan

keterampilan. Pelatihan menurut Strauss dan Syaless di dalam Notoatmodjo

(2003) berarti mengubah pola perilaku, karena dengan pelatihan maka akhirnya
akan menimbulkan perubahan perilaku. Pelatihan adalah bagian dari pendidikan

yang menyangkut proses belajar, berguna untuk memperoleh dan meningkatkan

keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku, dalam waktu relatif singkat

dan metodenya mengutamakan praktek daripada teori.

Pelatihan adalah proses pembelajaran yang lebih menekankan pada praktek

daripada teori yang dilakukan seseorang atau kelompok dengan menggunakan

pelatihan orang dewasa dan bertujuan meningkatkan kemampuan dalam satu atau

beberapa jenis keterampilan tertentu. Sedangkan pembelajaran merupakan suatu

proses interaksi antara peserta dengan lingkungannya yang mengarah pada

pencapaian tujuan pendidikan dan pelatihan yang telah ditentukan terlebih dahulu

(Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kesehatan, 2002).

2.7.2 Klasifikasi Bystander Berdasar Tingkat Pelatihan pada Trauma

Menurut tingkat pelatihan pada perawatan trauma, bystander diklasifikasikan

menjadi 4 kategori, yakni:

1. No training : Sejak pelatihan dasar merupakan suatu kewajiban untuk

memperoleh surat ijin mengemudi di Austria dan Jerman, bystander

dengan tanpa pelatihan termasuk kelompok yang tidak memiliki lisensi

mengemudi yang belum menerima pelatihan apapun.

2. Basic : Pelatihan dasar meliputi semua bystander yang telah mengikuti

pelatihan dasar selama 8 jam yang dibutuhkan untuk surat ijin mengemudi.

Mereka telah dilatih bagaimana untuk memastikan keamanan tempat

kejadian, bagaimana mengeluarkan seorang pasien trauma dari

kendaraan atau memindahkan pasien trauma dari zona bahaya. Bystander

dengan pelatihan dasar juga telah diajarkan kapan dan bagaimana posisi

pasien trauma untuk menjaga kebersihan jalan napas , bagaimana

mengontrol perdarahan dan tindakan yang dapat mencegah hipotermia.


3. Advanced : Pelatihan lanjutan meliputi semua individu yang telah mengikuti

pelatihan lanjutan selama 16 jam. Kursus lanjutan ini pada dasarnya

merupakan pengulangan dari langkah-langkah yang telah diajarkan dan

dibahas dalam kursus dasar tetapi ditambah adanya pemberian instruksi

tambahan pada resusitasi jantung paru.

4. Professional : Pelatihan profesional meliputi paramedis, perawat dan

dokter, terlepas dari apakah mereka telah mengambil pelatihan tambahan

atau tidak (Pelinka, et al, 2004).

Anda mungkin juga menyukai