PERDARAHAN
BLOK EMERGENCY
Disusun oleh :
Kelompok 2
Anggota
1. Irham Hari Purnama 015.06.0007
2. Dimas Agung Okaputra 015.06.0015
3. Lilik Indrawati 015.06.0016
4. Muhammad Inas Galda Intisar 016.06.0006
5. Panji Wage Kosasih 016.06.0050
6. I Putu Gunung 017.06.0001
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
TAHUN 2020
BAB 1
PENDAHULUAN
Seusai denga napa yang terjadi pada pasien diskenario, hal yang merupakan emergency
adalah terjadinya penurunan kesadaran pasien, terdapat penurunan fungsi motoric, dan juga adanya
tanda perdarahan. perdarahan ini bisa diebabkan oleh banyak faktor, seperti Trauma kepala, infeksi
yang berat, atau akibat operasi. Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu Trauma menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional
jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran dan dapat menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois,
Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Dari pemeriksaan fisik yang didapatkan pasien mengalami penurunan kesadaran dengan
hasil GCS 7 yang berarti dalam keadaan somnolen. adapaun interpretasinya sebagai berikut :
Nilai GCS (15-14) Composmentis
Nilai GCS (13-12) Apatis
Nilai GCS (11-10) Delirium
Nilai GCS (9-7) Somnolen
Nilai GCS (6-5) Sopor
Nilai GCS (4) Semi-coma
Nilai GCS (3) Coma
1. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab
semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya,
sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak,
berhalusinasi, kadang berhayal.
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat,
mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi
jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan
apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon
pupil terhadap cahaya).
GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran
pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap
rangsangan yang diberikan. cara untuk menilai GCS adalah sebagai berikut:
Respons Motorik
Kata-kata yang tidak tepat 3 Mengulang kata-kata yang tidak tepat secara acak
Pada kasus cedera kepala, penanganan harus dilakukan dengan segera agar menghindari
komplikasi atau perburukan pada pasien, Penatalaksanaan awal yang dapat diberikan pada pasien
di scenario setelah masuk ke rumah sakit adalah sebagai berikut
Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC), pasang collar brace
Elevasi kepala dari tempat tidur setinggi 30-45°
Pemberian cairan isotonis
Terapi medikamentosa sesuai keluhan yang timbul berupa analgetik, antiemetic, H2
Reseptor antagonis, antibiotik.
Bila telah stabil pasien dirujuk ke fasilitas rumah sakit yang memiliki sarana dokter
spesialis bedah saraf.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Trauma Kapitis
2.1.1 Definisi
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala,fraktur tulang tengkorak,
robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itusendiri, serta mengakibatkan gangguan
neurologis. Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran dan dapat menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
2.1.2 Epidemiologi
Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian, terutama pada dewasa
muda. Di Amerika Serikat, hampir 10% kematian disebabkan karena trauma, dan setengah dari
total kematian akibat trauma berhubungan dengan otak. Kasus cedera kepala terjadi setiap 7
detik dan kematian akibat cedera kepala terjadi setiap 5 menit. Cedera kepala dapat terjadi pada
semua kelompok usia, namun angka kejadian tertinggi adalah pada dewasa muda berusia 15-24
tahun. Angka kejadian pada laki-laki 3 hingga 4 kali lebih sering dibandingkan wanita
(Rowland et al, 2010). Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena kecelakaan lalu
lintas yang dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013 hanya untuk
transportasi darat, tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9 persen menjadi 47,7
persen.
2.1.3 Klasifikasi
Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2014) cedera kepala
diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu
berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
1. Berdasarkan mekanismenya, cedera kepala ada yang tembus dan tertutup.
Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau
pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang
cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak
pada protuberans tulang tengkorak. Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.
B. Lesi intrakranial
Dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural,
kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan.
2,3,4,5
Dilatasi pupil terjadi pada 60% pasien , dimana 85% terjadi ipsilateral
dengan lesi EDH.
Pemeriksaan penunjang
g. Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak
akibat cedera akselerasi dan deselerasi yang merupakan
bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio
serebri ringan adalah cedera dimana kesadaran tetap tidak
terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat
sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi,
namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk
yang paling ringan dari kontusio ini adalah keadaan bingung
dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali
tanpa gejala sisa sama sekali.
Cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan
bingung disertai amnesia retrograd dan amnesia antegrad
(keadaan amnesia pada peristiwa-peristiwa sebelum dan
sesudah cedera). Komosio serebri klasik adalah cedera yang
mengakibatkan menurunnya atau hilangnya kesadaran.
Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan
lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera.
Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu
lamanya dan reversibel.
Dalam definisi klasik penderita ini akan kembali sadar
dalam waktu kurang dari 6 jam. Banyak penerita dengan
komosio serebri klasik pulih kembali tanpa cacat neurologis
selain amnesia terhadap peristiwa yang terjadi, namun pada
beberapa penderita dapat timbul defisit neurologis untuk
beberapa waktu. Defisit neurologis itu misalnya kesulitan
mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala
lainnya. Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca
komosio yang dapat cukup berat. Cedera aksonal difusi
(Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana
penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung
lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan
iskemia. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang
dalam dan tetap koma selama beberapa waktu.
Penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau
deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat
berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita-penderita sering
menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi,
hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera
otak karena hipoksia secara klinis tidak mudah, dan memang
kedua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan.
h. Hematoma Intraserebral
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri
yang besar di dalam jaringan otak, sebagai akibat trauma
kapitis berat, kontusio berat.Gejala-gejala yang ditemukan
adalah :
Hemiplegi
Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan
intrakranium yang meningkat.
Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu
peranjakan dari arteri perikalosa ke sisi kontralateral
serta gambaran cabang-cabang arteri serebri media
yang tidak normal.
Secara spontan 4
Atas perintah 3
Rangsangan nyeri 2
Tidak bereaksi 1
Orientasi baik 5
Jawaban kacau 4
Kata-kata tidak berarti 3
Mengerang 2
Tidak bersuara 1
Catatan :
1. Pasien yang disfasia atau dalam intubasi tidak mampu bicara, dan skor
verbalnya tidak dapat dinilai, diberi tanda T untuk komponen verbal
tersebut. Pasien dengan intubasi, skor GCS maksimal adalah 10 T dan
minimal 2 T.
2. Pasien dengan cedera local pada mata dan mata tidak bias dibuka, diberi
tanda C (eye closed) untuk komponen mata.
3. Untuk pasien yang diberi obat pelemas otot di ICU diberi tanda M pada
komponen motoriknya.
1. Tingkat kesadaran
2. Kekuatan fungsi motorik
3. Ukuran pupil dan responsnya terhadap cahaya
4. Gerakan bola mata (refleks okulo-sefalik dan vestibuler)
B. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap
cahaya. Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1mm
adalah abnormal. Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya
penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu
terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala.
C. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf
perifer. Tonus, ekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan
semua hasilnya harus dicatat.
Tabel 2. Nervus Cranialis dan Fungsinya.
Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui subkutan membuat luka
mudah dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk mengeluarkan benda
asing dan miminimalkan masuknya infeksi sebelum laserasi ditutup.
Penanganan emergensi sesuai dengan beratnya trauma kapitis (ringan,
sedang, berat) berdasarkan urutan:
d. Mengatasi komplikasi
1. kejang: profilaksis OEA selama 7 hari untuk mencegah immediate dan
early seizure pada kasus risiko tinggi
2. infeksi akibat fratur basis kranii: profilaksis antibiotika sesuai dosis
infeksi intrakranial selama 10-14 hari.
3. Gastrointestinal-pendarahan lambung
4. demam
5. DIC
e. pemberian cairan dan nutrisi adekuat.
Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh kondisi
klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum
digunakan panduan sebagai berikut, yaitu:
1. Riwayat:
a. Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan
b. Mekanisme cedera dan waktu cedera
c. Tidak sadar segera setelah cedera
d. Tingkat kewaspadaan
e. Amnesia: Retrograde, Antegrade
f. Sakit kepala: ringan, sedang, berat
g. Kejang
2. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis terbatas
4. Pemeriksaan ronsen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi
5. Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urine
6. Pemeriksaan CT scan kepala sangat ideal pads setiap penderita cedera
kepala ringan, kecuali bila memang sama sekali asimtomatik dan
pemeriksaan neurologis normal
1. Pemeriksaan awal:
a. Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditarnbah pemeriksaan darah
sederhana
b. Pemeriksaan CT scan kepala
c. Dirawat untuk observasi
2. Setelah dirawat
a. Pemeriksaan neurologis periodik
b. Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila
penderita akandipulangkan
•Secondary Survey
•Re-evaluasi neurologic
•Respon motorik
•Respon verbal
•Obat-obatan
•Manitol
•Antikonvulsan
•Hiperventilasisedang
•TesDiagnostik (sesuaiurutan)
•Ventrikulografiudara
•Angiogram
2.1.8 Prognosis
Lebih kurang 80% penderita yang datang ke rung gawat darurat
dengan cedera kepala ringan, sebagian besar penderita sembuh dengan
baik.Sekitar 10% penderita dengan cedera kepala sedang, masih dapat
mengikuti perintah sederhana tetapi sering kali bingung dan somnolen,
mungkin ada defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Sekitar 10-20% di
antaranya menurun dan koma. Bila gejala neurologis membaik dan atau CT-
scan.
Scan ulangan tidak memperlihatkan lesi massa yang memerlukan
operasi, penderita mungkin dapat dipulangkan dalam beberapa hari
kemudian. Penderita yang tergolong dalam cedera kepala berat, tidak dapat
mengikuti perintah yang sederhana, walaupun sudah dilakukan resusitasi
kardiopulmoner. Semua penderita mempunyai resiko morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.
2.1.9 Komplikasi
Trauma kapitis dapat terjadi pada berbaiagi faktor, komplikasi
yang mengancam nyawa jika terjadi perdarahan yang massif dan juga
keterlambatan pertolongan. sering terjadinya kejang, gagal nafas serta
kematian batang otak dalam beberapa kasus, trauma kapitis juga bisa
berujung dengan kecacatan permanen pada system saraf akibat brain
damage yang tidak dapat dipulihkan.
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat di simpulkan bawah pasien pada sekenario
mengalami Trauma pada kepala atau disebut trauma kapitis, dari scenario yang di
dapatkan pada sesi kedua ditemukan adanya gambaran CT-scan Hiperdens
bikonkaf unilateral dextra yang dapat mengarahkan diagnosis pasien ke SDH
maupun EDH tergantung dari gambaran CT-scan, namun dari hasil diskusi kami
sepakat mengambil diagnosis sementara EDH didasari dengan keadaan klinis
pasien, penanganan yang perlu dilakukan adalah memastikan ABC pasien baik,
berikan tatalaksana suportif hingga keadaan Vital sign pasien stabil lalu dirujuk ke
dokter spesialis beedah saraf untuk dilakukan penanganan.
DAFTAR PUSTAKA
Iskandar J, Cedera Kepala, PT Dhiana Populer. Kelompok Gramedia, Jakarta,
2007.
Handbook of Neurosurgery, Mark S. Greenberg (edt), 7th Ed, Thieme New York,
NewYork,2010
Neurologi and Trauma, Randolph W Evans, 2nd edition, Oxford University Press,
2006
American Collage of Surgeons, Advance Trauma Life Suport For Doctors, 7th
Edition. United States of America, 2008.
Trevana, L., & Cameron, I. (2011). Traumatic Brain Injury Long Term Care of
Patients in General Practice. Focus Neurology, XL(12), 956-960