Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN TUTORIAL LBM 3

PERDARAHAN
BLOK EMERGENCY

Disusun oleh :
Kelompok 2
Anggota
1. Irham Hari Purnama 015.06.0007
2. Dimas Agung Okaputra 015.06.0015
3. Lilik Indrawati 015.06.0016
4. Muhammad Inas Galda Intisar 016.06.0006
5. Panji Wage Kosasih 016.06.0050
6. I Putu Gunung 017.06.0001

Tutor : dr., S.Ked

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
TAHUN 2020
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Skenario LBM 3


Seorang laki-laki usia 30 tahun diantar ke IGD RS FK UNIZAR dengan kondisi tidak
sadarkan dirim, terdapat perdarahan yang keluar dari kedua telinganya. kedua tangan dapat
digerakan namun kedua kaki tidak dapa bergerak sama sekali. pada pemeriksaan fisik ditemukan
keadaan umu : tampak sakit, GCS=E2V3M2, TD : 90/60mmHg, N: 110x/menit, RR : 20x/menit, t :
37oC. kepala : mata ditemukan anisokor, hidung tidak ada perdarahan, telinga perdarahan kanan
dan kiri, thoraks dalam batas normal, ekstremitas atas baik, ektremitas bawah tonus otot buruk.
1.2 Rangkuman Permasalahan

Seusai denga napa yang terjadi pada pasien diskenario, hal yang merupakan emergency
adalah terjadinya penurunan kesadaran pasien, terdapat penurunan fungsi motoric, dan juga adanya
tanda perdarahan. perdarahan ini bisa diebabkan oleh banyak faktor, seperti Trauma kepala, infeksi
yang berat, atau akibat operasi. Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu Trauma menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional
jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran dan dapat menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois,
Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Dari pemeriksaan fisik yang didapatkan pasien mengalami penurunan kesadaran dengan
hasil GCS 7 yang berarti dalam keadaan somnolen. adapaun interpretasinya sebagai berikut :
 Nilai GCS (15-14)  Composmentis
 Nilai GCS (13-12) Apatis
 Nilai GCS (11-10)  Delirium
 Nilai GCS (9-7)  Somnolen
 Nilai GCS (6-5)  Sopor
 Nilai GCS (4)  Semi-coma
 Nilai GCS (3)  Coma
1. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab
semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya,
sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak,
berhalusinasi, kadang berhayal.
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat,
mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi
jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan
apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon
pupil terhadap cahaya).
GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran
pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap
rangsangan yang diberikan. cara untuk menilai GCS adalah sebagai berikut:

Glasgow Coma Scale

Uji Nilai Respons Pasien

Respon mata (EYE)

Spontan 4 Mata terbuka secara spontan

Rangsangan suara 3 Mata terbuka terhadap perintah verbal

Rangsangan nyeri 2 Mata terbuka terhadap rangsangan nyeri

Tidak ada 1 Tidak membuka mata terhadap rangsangan

Respons Motorik

Mematuhi perintah 6 Bereaksi terhadap perintah verbal

Melokalisasi 5 Mengidentifikasi nyeri yang terlokalisasi

Menarik 4 Fleksi dan menarik dari rangsangan nyeri

Fleksi abnormal 3 Membentuk posisi dekortikasi

Ekstensi abnormal 2 Membentuk posisi deserebrasi

Tidak ada 1 Tidak berespons; hanya berbaring lemah


Respons Verbal

Orientasi baik 5 Orientasi baik dan mampu berbicara

Bingung 4 Disorientasi dan bingung

Kata-kata yang tidak tepat 3 Mengulang kata-kata yang tidak tepat secara acak

Kata-kata yang tidak jelas 2 Mengerang atau merintih

Tidak ada 1 Tidak berespon

Pada kasus cedera kepala, penanganan harus dilakukan dengan segera agar menghindari
komplikasi atau perburukan pada pasien, Penatalaksanaan awal yang dapat diberikan pada pasien
di scenario setelah masuk ke rumah sakit adalah sebagai berikut
 Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC), pasang collar brace
 Elevasi kepala dari tempat tidur setinggi 30-45°
 Pemberian cairan isotonis
 Terapi medikamentosa sesuai keluhan yang timbul berupa analgetik, antiemetic, H2
Reseptor antagonis, antibiotik.
 Bila telah stabil pasien dirujuk ke fasilitas rumah sakit yang memiliki sarana dokter
spesialis bedah saraf.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Trauma Kapitis
2.1.1 Definisi
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala,fraktur tulang tengkorak,
robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itusendiri, serta mengakibatkan gangguan
neurologis. Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran dan dapat menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
2.1.2 Epidemiologi

Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian, terutama pada dewasa
muda. Di Amerika Serikat, hampir 10% kematian disebabkan karena trauma, dan setengah dari
total kematian akibat trauma berhubungan dengan otak. Kasus cedera kepala terjadi setiap 7
detik dan kematian akibat cedera kepala terjadi setiap 5 menit. Cedera kepala dapat terjadi pada
semua kelompok usia, namun angka kejadian tertinggi adalah pada dewasa muda berusia 15-24
tahun. Angka kejadian pada laki-laki 3 hingga 4 kali lebih sering dibandingkan wanita
(Rowland et al, 2010). Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena kecelakaan lalu
lintas yang dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013 hanya untuk
transportasi darat, tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9 persen menjadi 47,7
persen.
2.1.3 Klasifikasi
Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2014) cedera kepala
diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu
berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
1. Berdasarkan mekanismenya, cedera kepala ada yang tembus dan tertutup.
Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau
pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang
cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak
pada protuberans tulang tengkorak. Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.

Gambar 1. Mekanisme Cedera Tertutup Gambar 2. Mekanisme Cedera Kepala

2. Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi, yaitu:


A. Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk
garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur
dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik “bone
window” untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur
dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan
lebih rinci.
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi
kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur
tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang
terjadi cukup berat.
Klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut :
i. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed
ii. Lokasi anatomis, dibedakan atas :
a. Calvarium/ Konveksitas (kubah/ atap tengkorak)
b. Basis Cranii (dasar tengkorak)
iii. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup

B. Lesi intrakranial
Dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural,
kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan.
2,3,4,5

Gambar 3. Lesi Intrakranial

a. Komosio Serebri (geger otak)


Geger otak berasal dari benturan kepala yang menghasilkan getaran keras
atau menggoyangkan otak, menyebabkan perubahan cepat pada fungsi otak,
termasuk kemungkinan kehilangan kesadaran lebih 10 menit yang disebabkan
cedera pada kepala. Tanda-tanda/gejala geger otak, yaitu: hilang kesadaran,
sakit kepala berat, hilang ingatan (amnesia), mata berkunang-kunang, pening,
lemah, pandangan ganda.
b. Kontusio Serebri (memar otak)
Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya dapat diakibatkan
oleh pukulan atau benturan pada kepala. Memar otak menimbulkan memar
dan pembengkakan pada otak, dengan pembuluh darah dalam otak pecah dan
perdarahan pasien pingsan, pada keadaan berat dapat berlangsung berhari-hari
hingga berminggu-minggu. Terdapat amnesia retrograde, amnesia
pascatraumatik, dan terdapat kelainan neurologis, tergantung pada daerah yang
luka dan luasnya lesi:
 Gangguan pada batang otak menimbulkan peningkatan tekanan
intracranial yang dapat menyebabkan kematian.
 Gangguan pada diensefalon, pernafasan baik atau bersifat Cheyne-
Stokes, pupil mengecil, reaksi cahaya baik, mungkin terjadi rigiditas
dekortikal (kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan
kaku dalam sikap fleksi)
 Gangguan pada mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun
hingga koma, pernafasan hiperventilasi, pupil melebar, refleks cahaya
tidak ada, gerakan mata diskonjugat (tidak teratur), regiditasdesebrasi
(tungkai dan lengan kaku dalam sikap ekstensi).
c. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak
dengan duramater (hematom ekstradural). Cirinya berbentuk bikonveks atau
menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo-
parietal yang disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat retaknya
tulang tengkorak.
Gumpalan darah yang terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri, namun pada
sepertiga kasus dapat terjadi akibat perdarahan vena, karena tidak jarang
perdarahan epidural terjadi akibat robeknya sinus venosus terutama pada regio
parieto oksipital dan pada fosa posterior. Walaupun secara relatif perdarahan
epidural jarang terjadi (0,5% dari seluruh penderita cedera kepala dan 9% dari
penderita yang dalam keadaan koma), namun harus dipertimbangkan karena
memerlukan tindakan diagnostik maupun operatif yang cepat. Perdarahan
epidural bila ditolong segera pada tahap dini, prognosisnya sangat baik karena
kerusakan langsung akibat penekanan gumpalan darah pada jaringan otak
tidak terlalu lama.
Keberhasilan pada penderita perdarahan epidural berkaitan langsung dengan
status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan
perdarahan epidural dapat menunjukkan intervallucid yang klasik atau
keadaan dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meninggal
(talk and die). Keputusan perlunya suatu tindakan operatif memang tidak
mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf.

Gambar 4. Perdarahan Epidural


Epidural hematoma terjadi pada 1% trauma kepala, Insiden
tertinggi terjadi pada usia 20-30 tahun, jarang terjadi pada usia dibawah 2
tahun atau lebih dari 60 tahun, (disebabkan dura yang melekat erat pada
tabula interna skull). Fraktur terjadi pada 85% pasien dewasa. Kecelakaan
lalulintas merupakan penyebab terbanyak (30-70%), penyebab lain akibat
terjatuh dan korban kekerasan.Lokasi tersering pada daerah temporal,
kemudian frontal, occipital dan fossa posterior. 2-5% terjadi bilateral.
Gejala klinis:

Penurunan kesadaran terjadi pada 22-56% pasien. Gejala klasik epidural


hematoma meliputi:

• Riwayat kehilangan kesadaran

• Lucid interval terjadi pada 25-50% kasus

• Terjadi penurunan kesadaran,

• Tanda herniasi : dilatasi pupil ipsilateral, hemiparesis kontralateral

Jika tidak tertangani gejala dapat berlanjut menyebabkan deserebrasi,


distress pernapasan dan kematian. Perburukan gejala dapat terjadi beberapa
jam, atau beberapa hari. Waktu yang lama berhubungan dengan perdarahan
yang bersumber dari perdarahan vena.

Gejala klinis lain dapat berupa: cefalgia, muntah, kejang, hiperrefleksia,


Refleks babinsky + unilateral.

• Hipertensi dan bradikardia dapat muncul sebagai bentuk dari Cushing


respon

Dilatasi pupil terjadi pada 60% pasien , dimana 85% terjadi ipsilateral
dengan lesi EDH.

Riwayat kehilangan kesadaran tidak terjadi pada 60%, lucid interval


tidak terjadi pada 20%. Pasien (lucid interval dapat juga terjadi pada
kondisi lain termaksud subdural hematoma)

Pemeriksaan penunjang

1. Plain skull x-rays


 Fraktur terjadi pada 60%.
2. CT scan
 Gambaran klasik EDH: lesi hiperdens berbentuk bikonvex
d. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada
perdarahan epidural (kira-kira 30% dari cedera kepala berat).
Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena
jembatan yang terletak antara korteks serebri dan sinus
venosus tempat vena tadi bermuara. Namun dapat juga terjadi
akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan
hemisfer otak dan kerusakan otak di bawahnya lebih berat
dan prognosisnya pun jauh lebih buruk daripada perdarahan
epidural. Angka kematian yang tinggi pada perdarahan ini
hanya dapat diturunkan dengan tindakan pembedahan yang
cepat dan penatalaksanaan medikamentosa yang agresif. 2,3,4,5

Gambar 5. Perdarahan Subdural


Gejala klinis:

Gejala klinis utama yaitu penurunan kesadaran. Sekitar 37-


80% pasien dengan SDH akut datang dengan GCS < 8. Lucid
interval terjadi pada 12-38%. Pupil abnormal terjadi pada 30-
50% pasien
Pemeriksaan penunjang:
CT Scan Lesi berbentuk bulan sabit (crescent), disertai edema
serebri. Biasanya terlokasi konveksitas, interhemisfer, tentorium atau
fossa posterior.
Gambaran CT scan SDH dapat bervariasi sesuai waktu trauma.
Perbedaan antara EDH dan SDH: SDH lebih difus, biasanya
berbentuk konkav mengikuti permukaan hemisfer.
Gambaran SDH sering menyebabkan efek penekanan/pergeseran yang
lebih besar pada struktur midline, dibandingkan dengan ketebalan SDH,
hal ini disebabkan SDH akut sering berhubungan dengan perdarahan
intracerebral, kontusio serebri serta edema serebri.
Berdasarkan gambaran radiologis, SDH dibagi menjadi:
SDH akut, hematoma terdiri dari bekuan darah serta perdarahan (terjadi
dalam 48 jam setelah trauma), lesi tampak hiperdens
subakut terdapat campuran antara darah membeku serta darah yang mulai
mencair ( 2 hari-14 hari setelah trauma), terdapat gambaran hiperdens,
isodens dan hipodens
kronik jika hematoma telah mencair (lebih dari14 hari), gambaran
lesi isodens dan hipodens

Subdural hematom Berdasarkan waktu:


1. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala
neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan
berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan
neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada
jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen
magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada
batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan
berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas
denyut nadi dan tekanan darah. Gejala klinis dari
subdural hematom akut tergantun dari ukuran hematom
dan derajat kerusakan parenkim otak. Subdural hematom
biasanya bersifat unilateral. Gejala neurologis yang
sering muncul adalah :
 Perubahan  tingkat  kesadaran,  dalam hal ini
terjadi penurunan kesadaran
 Dilatasi pupil ipsilateral hematom
 Kegagalan pupil ipsilateral bereaksi terhadap cahay
a
 Hemiparesis kontralateral
 Papiledema

2. Hematoma Subdural Subakut


Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik
dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2
minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural
akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan
vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini
adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan
ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu
tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status
neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai
menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.
Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring
pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan
untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap
rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi
intrakranial dan peningkatan intrakranial yang
disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan
herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda
neurologik dari kompresi batang otak.
3. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa
minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera
pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena yang
melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara
lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari
setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh
membrana fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan
osmotik yang mampu menarik cairan ke dalam
hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam
hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang
menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek
membran atau pembuluh darah di sekelilingnya,
menambah ukuran dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara
perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena
venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan
ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu
gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan
dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa
seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural
yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk
dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
• sakit kepala yang menetap
• rasa mengantuk yang hilang-timbul
• linglung
• perubahan ingatan
• kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang
berlawanan.
e. Subarachnoid Hematom
Perdarahan subarachnoid terjadi di dalam ruang
subarachnoid (yang memisahkan antara membrana arachnoid
dan piamater). Selain karena trauma, perdarahan juga dapat
terjadi secara spontan akibat aneurisma (Saccular Berry’s
Aneurism) atau malformasi arteriovenosa. Gejala yang timbul
antara lain sakit kepala berat yang mendadak (“thunderclap
headache”), penurunan kesadaran, mual/muntah dan
terkadang kejang. Kaku kuduk dapat terlihat 6 jam setelah
onset perdarahan. Dilatasi pupil terisolasi dan hilangnya
refleks cahaya menunjukkan adanya herniasi otak akibat
peningkatan tekanan intrakranial. Perdarahan intraokular
dapat timbul. Defisiensi neurologis berupa abnormalitas N.
okulomotoris (bola mata yang melihat kebawah, keluar serta
tidak mampu mengangkat kelopak mata di sisi yang sama)
menunjukkan kemungkinan perdarahan berasal dari
a.communicating posterior.
Sebagai respons terhadap perdarahan, pelepasan adrenalin
akan meningkatkan tekanan darah dan aritmia. Sebanyak
85% perdarahan subarachnoid disebabkan oleh aneurisma
serebral, kebanyakan terletak di sirkulus Wilisi dan
percabangannya. Sisanya terjadi akibat malformasi
arteriovena, tumor, atau penggunaan antikoagulan. Selain itu
trauma cedera otak juga dapat menyebabkan perdarahan
subarachnoid, melalui fraktur tulang sekitar atau kontusio
intraserebral.
Gambar 6. Perdarahan Subarachnoid pada CT-Scan

f. Kontusio dan Perdarahan Intraserebral


Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosis
kontusio serebri meningkat sejalan dengan meningkatnya
penggunaan CT scan dalam pemeriksaan cedera kepala.
Kontusio serebri hampir selalu berkaitan dengan perdarahan
subdural akut.
Kontusio serebri sangat sering terjadi di frontal dan lobus
temporal, walaupun dapat terjadi juga pada setiap bagian
otak, termasuk batang otak dan serebelum. Batas perbedaan
antara kontusio dan perdarahan intraserebral traumatika
memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja dalam waktu
beberapa jam atau hari mengalami evolusi membentuk
perdarahan intraserebral.

g. Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak
akibat cedera akselerasi dan deselerasi yang merupakan
bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio
serebri ringan adalah cedera dimana kesadaran tetap tidak
terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat
sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi,
namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk
yang paling ringan dari kontusio ini adalah keadaan bingung
dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali
tanpa gejala sisa sama sekali.
Cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan
bingung disertai amnesia retrograd dan amnesia antegrad
(keadaan amnesia pada peristiwa-peristiwa sebelum dan
sesudah cedera). Komosio serebri klasik adalah cedera yang
mengakibatkan menurunnya atau hilangnya kesadaran.
Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan
lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera.
Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu
lamanya dan reversibel.
Dalam definisi klasik penderita ini akan kembali sadar
dalam waktu kurang dari 6 jam. Banyak penerita dengan
komosio serebri klasik pulih kembali tanpa cacat neurologis
selain amnesia terhadap peristiwa yang terjadi, namun pada
beberapa penderita dapat timbul defisit neurologis untuk
beberapa waktu. Defisit neurologis itu misalnya kesulitan
mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala
lainnya. Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca
komosio yang dapat cukup berat. Cedera aksonal difusi
(Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana
penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung
lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan
iskemia. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang
dalam dan tetap koma selama beberapa waktu.
Penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau
deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat
berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita-penderita sering
menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi,
hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera
otak karena hipoksia secara klinis tidak mudah, dan memang
kedua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan.

h. Hematoma Intraserebral
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri
yang besar di dalam jaringan otak, sebagai akibat trauma
kapitis berat, kontusio berat.Gejala-gejala yang ditemukan
adalah :
 Hemiplegi
 Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan
intrakranium yang meningkat.
 Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu
peranjakan dari arteri perikalosa ke sisi kontralateral
serta gambaran cabang-cabang arteri serebri media
yang tidak normal.

Gambar. Hematom Intraserebral pada gambaran CT-Scan

i. Fraktura Basis Cranii


Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang
dapat menimbulkan fraktur pada dasar tengkorak. Penderita
biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang
menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang
dapat berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia
retrogad dan amnesia pascatraumatik. Gejala tergantung letak
frakturnya
a. Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung
atau kedua mata dikelilingi lingkaran “biru” (Brill
Hematoma atau Racoon’s Eyes), rusaknya Nervus
Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.
b. Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga.
Fraktur memecahkan arteri carotis interna yang berjalan
di dalam sinus cavernous sehingga terjadi hubungan
antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt).
c. Fraktur fossa posterior
Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran
fraktur dapat melintas foramen magnum dan merusak
medula oblongata sehingga penderita dapat mati
seketika.3-6

3. Berdasarkan beratnya, cedera kepala dikelompokkan menjadi, yaitu:


a. Cedera Kepala Ringan (CKR), termasuk didalamnya Laseratio dan
Commotio Cerebri
 Skor GCS 13-15
 Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari
10 menit
 Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
 Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan neurologis
b. Cedera Kepala Sedang (CKS)
 Skor GCS 9-12
 Ada pingsan lebih dari 10 menit
 Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
 Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota
gerak
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
 Skor GCS < 8
 Gejalanya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih
berat
 Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
 Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang
terlepas
2.1.4 Pemeriksaan awal pasien
Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2015), antara
lain:

A. Glasgow Coma Scale (GCS)


Dinilai dengan respon mata, verbal dan motorik (Eyes, Verbal, Movement).

1.    Kemampuan membuka kelopak mata (E)

 Secara spontan 4
 Atas perintah 3
 Rangsangan nyeri 2
 Tidak bereaksi 1

2.    Kemampuan komunikasi (V)

 Orientasi baik  5
 Jawaban kacau 4
 Kata-kata tidak berarti 3
 Mengerang              2
 Tidak bersuara   1

3.    Kemampuan motorik (M)

 Kemampuan menurut perintah 6


 Reaksi setempat 5
 Menghindar 4
 Fleksi abnormal 3
 Ekstensi 2
 Tidak bereaksi 1

Catatan :

1. Pasien yang disfasia atau dalam intubasi tidak mampu bicara, dan skor
verbalnya tidak dapat dinilai, diberi tanda T untuk komponen verbal
tersebut. Pasien dengan intubasi, skor GCS maksimal adalah 10 T dan
minimal 2 T.
2. Pasien dengan cedera local pada mata dan mata tidak bias dibuka, diberi
tanda C (eye closed) untuk komponen mata.
3. Untuk pasien yang diberi obat pelemas otot di ICU diberi tanda M pada
komponen motoriknya.

Pemeriksaan korban cedera kepala yang kesadarannya baik mencakup


pemeriksaan neurologis yang lengkap. Sedangkan pada penderita yang
kesadarannya menurun pemeriksaan yang diutamakan adalah yang dapat
memberikan pedoman dalam penanganan di unit gawat darurat, yaitu:

1. Tingkat kesadaran
2. Kekuatan fungsi motorik
3. Ukuran pupil dan responsnya terhadap cahaya
4. Gerakan bola mata (refleks okulo-sefalik dan vestibuler)

Sehubungan dengan tingginya insidensi kelainan atau cedera sistemik


penyerta (lebih dari 50%) pada kasus-kasus cedera kepala berat, maka di dalam
evaluasi klinis perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut, yaitu:

1. Cedera daerah kepela dan leher: laserasi, perdarahan, otorhea, rinorre,


racoon’s eyes (ekhimosis periorbital), atau Battle’s sign (ekhimosis
retroaurikuler).
2. Cedera daerah toraks: fraktur iga, pneumotoraks, hematotoraks, temponade
jantung (bunyi jantung melemah, distensi vena jugularis dan hipotensi
aspirasi atau ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome).
3. Cedera daerah abdomen: khususnya laserasi hepar, lien atau ginjal.
Adanya perdarahan ditandai dengan gejala akut abdomen yang tegang dan
distensif.
4. Cedera derah pelvis: cedera pada penderita nonkomatus. Biasanya,
klinisnya tidak jelas dan membutuhkan konfirmasi radiologis. Cedera ini
sering berkaitan dengan kejadian kehilangan darah yang okult.
5. Cedera daerah spinal: trauma kepala dan spinal khususnya derah servikal
dapat terjadi secara bersamaan.
6. Cedera ekstremitas: dapat melibatkan jaringan tulang atau jaringan lunak
(otot, saraf, pembuluh darah). 1,3-5

B. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap
cahaya. Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1mm
adalah abnormal. Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya
penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu
terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala.

C. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf
perifer. Tonus, ekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan
semua hasilnya harus dicatat.
Tabel 2. Nervus Cranialis dan Fungsinya.

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Foto Rontgen polos
Pada trauma kapitis perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna
vertebralis servikalis. Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan. Bila
lesi terdapat di daerah oksipital, buatkan foto anterior-posterior dan bila
lesi pada kulit terdapat di daerah frontal buatkan foto posterior-anterior.
Bila lesi terdapat pada daerah temporal, pariental atau frontal lateral kiri,
film diletakkan pada sisi kiri dan dibuat foto lateral dari kanan ke kiri.
Kalau diduga ada fraktur basis kranii, maka dibuatkan foto basis kranii
dengan kepala menggantung dan sinar rontgen terarah tegak lurus pada
garis antar angulus mandibularis (tulang rahang bawah). Foto kolumna
vertebralis servikalis dibuat anterior-posterior dan lateral untuk melihat
adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto polos tengkorak mungkin dapat
ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi. Tekanan intrakranial yang
tinggi mungkin menimbulkan impressions digitae.
2. Compute Tomografik Scan (CT-Scan)
CT-Scan diciptakan oleh Hounsfield dan Ambrose pada tahun
1972. Dengan pemeriksaan ini kita dapat melihat ke dalam rongga
tengkorak. Potongan-potongan melintang tengkorak bersama isinya
tergambar dalam foto dengan jelas.43 Indikasi pemeriksaan CT-Scan pada
penderita trauma kapitis : c.1. GCS < 15 atau terdapat penurunan
kesadaran c.2. Trauma kapitis ringan yang disertai dengan fraktur tulang
tengkorak c.3. Adanya tanda klinis fraktur basis kranii c.4. Adanya kejang
c.5. Adanya tanda neurologis fokal c.6. Sakit kepala yang menetap.

3. MRI (Magnetic Resonance Imaging)


MRI dapat memberikan foto berbagai kelainan parenkim otak
dengan lebih jelas. Beberapa keuntungan MRI dibandingkan dengan CT-
Scan yaitu : lebih baik dalam menilai cedera sub-akut, termasuk kontusio,
shearing injury, dan sub dural hematoma, lebih baik dalam menilai dan
melokalisir luasnya kontusio dan hematoma secara lebih akurat karena
mampu melakukan pencitraan dari beberapa posisi, dan lebih baik dalam
pencitraan cedera batang otak. Sedangkan kerugian MRI dibandingkan
dengan CT-Scan yaitu: membutuhkan waktu pemeriksaan lama sehingga
membutuhkan alat monitoring khusus pada pasien trauma kapitis berat,
kurang sensitif dalam menilai perdarahan akut, kurang baik dalam
penilaian fraktur, perdarahan subarachnoid dan pneumosefalus minimal
dapat terlewatkan.
2.1.7 Diagnosis Trauma kapitis
1. Anamnesis
a. Trauma kapitis dengan atau tanpa gangguan kesadaran atau dengan
interval lucid
b. Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
c. Amnesia traumatika (retrograd atau anterograd)
2. Pemeriksaan neurologis:
a. Kesadaran berdasarkan GCS
b. Tanda-tanda vital
c. Otorrhea/rhinorrhea
d. Ecchymosis periorbital bilateral/eyes/hematoma kacamata
e. Gangguan fokal neurologis
f. Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
g. Refleks patologis
h. Pemeriksaan fungsi batang otak: pupil, refleks kornea, doll’s eye
phenomen
i. Monitor pola pernafasan: cheyne stokes, central neurogenic
hyperventilation, apneusitic breath, ataxic breath
j. Gangguan fungsi otonom
k. Funduskopi
3. Pemeriksaan penunjang:
a. Foto polos kepalaAP/lateral
b. Dari hasil foto perlu diperhatikan kemungkinan adanya fraktur
linier, impresi, terbuka/tertutup
c. CT scan kepala untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi
berupa gambaran kontusio, gambaran edema otak, gambaran
perdarahan(hiperdens), hematoma epidural, hematoma subdural,
hematoma subarachnoid, hematoma intraserebral.
d. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
e. Lumbal Pungsi: Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS
harus dilakukan sebelum 6 jamdari saat terjadinya trauma
f. EEG: Dapat digunakan untuk mencari lesi

2.1.7 Tatalaksana pada Trauma kapitis

Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui subkutan membuat luka
mudah dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk mengeluarkan benda
asing dan miminimalkan masuknya infeksi sebelum laserasi ditutup.
Penanganan emergensi sesuai dengan beratnya trauma kapitis (ringan,
sedang, berat) berdasarkan urutan:

1. Survei primer, gunanya untuk menstabilkan kondisi pasien meliputi


tindakan seperti berikut, yaitu:
a. Menilai jalan nafas (airway): membersihkan jalan nafas dari debris dan
muntahan, lepaskan gigi palsu, mempertahankan tulang servikal segaris
dengan badan dengan memasang collar cervikal, memasang guedel atau
mayo bila dapat ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas,
maka pasien harus di intubasi.
b. Menilai pernafasan (breathing), menentukan apakah pasien bernafas
spontan/tidak. Jika tidak beri O2 melalui masker O2. Jika pasien bernafas
spontan selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks tensif,
hemopneumotoraks. Memasang oksimeter nadi untuk menjaga saturasi
O2 minimum 95%. Jika jalan nafas pasien tidak terlindungi bahkan
terancam atau memperoleh O2 yg adekuat (Pa O2>95% dan Pa CO2<40%
mmHg serta saturasi O2 >95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi
serta diventilasi oleh ahli anestesi.
c. Menilai sirkulasi (circulation): otak yang rusak tidak mentolerir
hipotensi. Menghentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya.
Memperhatikan adanya cedera intra abdomen atau dada mengukur dan
mencatat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah pasang EKG.
Memasang jalur intravena yg besar dan memberikan larutan koloid
sedangkan larutan kristaloid menimbulkan eksaserbasi edema.
d. Menilai disability untuk mengetahui lateralisasi dan kondisi umum
dengan pemeriksaan cepat status umum dan neurologi.
2. Survei sekunder, meliputi pemeriksaan, dan tindakan lanjutan setelah
kondisi pasien stabil.
E : Laboratorium
Darah: Hb, leukosit, hitung jenis lekosit, trombosit, ureum, kreatinin, gula
darah sewaktu, analisa gas darah dan elektrolit
Urin: perdarahan (+/-)
Radiologi
Foto polos kepalaAP/lateral
CT scan kepala
Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
F : Manajemen terapi
Siapkan untuk operasi pada pasien yang mempunyai indikasi
Siapkan untuk masuk ruang rawat
Penanganan luka luka
Pemberian obat obatan sesuai kebutuhan

Consensus di ruang rawat- Trauma kapitis sedang dan berat, yaitu:


a. Lanjutkan penanganan ABC
b. Pantau tanda vital, pupil, SKG, gerakan ekstrimitas, sampai pasien sedar
(pantauan dilakukan tiap 4 jam, lama patauan sampai pasien SKG 15).
Dijaga jangan terjadi kondisi sebagai berikut:
1. Tekanan darah sistolik < 90 mmHg
2. Suhu > 38˚C
3. Frekuensi nafas > 20x/m
c. Cegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intracranial dengan cara:
1. Elevasi kepala 30
2. Hiperventilasi
3. Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dalam waktu 1/2 jam-1jam,
drip cept, dilanjutkan pemberian dengan dosis 0,5 g/kgBB drip cepat, /
2 jam-1jam, setelah 6 jam dari pemberian pertama dan 0,25 g/kgBB
drip cepat, /2 jam-1jam, setelah 12 jam dan 24 jam dari pemberian
pertama.
4. berikan analgetik dan bila perlu dapat diberikan sedasi jangka pendek

d. Mengatasi komplikasi
1. kejang: profilaksis OEA selama 7 hari untuk mencegah immediate dan
early seizure pada kasus risiko tinggi
2. infeksi akibat fratur basis kranii: profilaksis antibiotika sesuai dosis
infeksi intrakranial selama 10-14 hari.
3. Gastrointestinal-pendarahan lambung
4. demam
5. DIC
e. pemberian cairan dan nutrisi adekuat.

Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh kondisi
klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum
digunakan panduan sebagai berikut, yaitu:

1. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial


atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial
2. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta
gejala dan tanda fokal neurologis semakin berat
3. Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
4. Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
5. Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg
6. Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
7. Terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
8. Terjadi kompresi atau obliterasi sisterna basalis

ALGORITME 1. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN


Definisi: penderita sadar dan berorientasi (GCS: 14-15)

1. Riwayat:
a. Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan
b. Mekanisme cedera dan waktu cedera
c. Tidak sadar segera setelah cedera
d. Tingkat kewaspadaan
e. Amnesia: Retrograde, Antegrade
f. Sakit kepala: ringan, sedang, berat
g. Kejang
2. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis terbatas
4. Pemeriksaan ronsen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi
5. Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urine
6. Pemeriksaan CT scan kepala sangat ideal pads setiap penderita cedera
kepala ringan, kecuali bila memang sama sekali asimtomatik dan
pemeriksaan neurologis normal

Observasi atau dirawat di RS

1. CT scan tidak ada


2. CT scan abnormal
 Semua cedera tembus
3. Riwayat hilang kesadaran
4. Kesadaran menurun
 Sakit kepala sedang-berat
 Intoksikasi alkohol/obat-obatan
 Fraktur tengkorak
5. Rhinorea-otorea
6. Cedera penyerta yang bermakna
7. Tak ada keluarga di rumah
8. Tidak mungkin kembali ke RS segera
9. Amnesia

ALGORITME 2. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA SEDANG


Definisi: Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun masih
mampu menuruti perintah-perintah sederhana (GCS: 9-13).

1. Pemeriksaan awal:
a. Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditarnbah pemeriksaan darah
sederhana
b. Pemeriksaan CT scan kepala
c. Dirawat untuk observasi
2. Setelah dirawat
a. Pemeriksaan neurologis periodik
b. Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila
penderita akandipulangkan

Bila kondisi membaik (90%)


1. Pasien dapat pulang
2. Pasien dapat mengkontrol di poliklinik

Bila kondisi memburuk (10%)


Bila penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah lagi, segera
lakukan pemeriksaan CT scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera
kepala berat.

ALGORITME 3. PENATALAKSANAAN AWAL CEDERA KEPALA


BERAT
Definisi: penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah sederhana karena
kesadaran yang menurun (GCS 3-8)
•Pemeriksaan dan penatalaksaan ABCDE

•Primary Sunny dan resusitasi

•Secondary Survey

•Re-evaluasi neurologic

•Respon buka mata

• Reaksi Cahaya pupil

•Respon motorik

• Refleksokulosefalik (Doll's eyes)

•Respon verbal

• RefleksOkulovestibuler (Test Kalori)

•Obat-obatan

•Manitol

•Antikonvulsan

•Hiperventilasisedang

•TesDiagnostik (sesuaiurutan)

•CT Scan (semuapenderita)

•Ventrikulografiudara
•Angiogram

2.1.8 Prognosis
Lebih kurang 80% penderita yang datang ke rung gawat darurat
dengan cedera kepala ringan, sebagian besar penderita sembuh dengan
baik.Sekitar 10% penderita dengan cedera kepala sedang, masih dapat
mengikuti perintah sederhana tetapi sering kali bingung dan somnolen,
mungkin ada defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Sekitar 10-20% di
antaranya menurun dan koma. Bila gejala neurologis membaik dan atau CT-
scan.
Scan ulangan tidak memperlihatkan lesi massa yang memerlukan
operasi, penderita mungkin dapat dipulangkan dalam beberapa hari
kemudian. Penderita yang tergolong dalam cedera kepala berat, tidak dapat
mengikuti perintah yang sederhana, walaupun sudah dilakukan resusitasi
kardiopulmoner. Semua penderita mempunyai resiko morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.
2.1.9 Komplikasi
Trauma kapitis dapat terjadi pada berbaiagi faktor, komplikasi
yang mengancam nyawa jika terjadi perdarahan yang massif dan juga
keterlambatan pertolongan. sering terjadinya kejang, gagal nafas serta
kematian batang otak dalam beberapa kasus, trauma kapitis juga bisa
berujung dengan kecacatan permanen pada system saraf akibat brain
damage yang tidak dapat dipulihkan.
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat di simpulkan bawah pasien pada sekenario
mengalami Trauma pada kepala atau disebut trauma kapitis, dari scenario yang di
dapatkan pada sesi kedua ditemukan adanya gambaran CT-scan Hiperdens
bikonkaf unilateral dextra yang dapat mengarahkan diagnosis pasien ke SDH
maupun EDH tergantung dari gambaran CT-scan, namun dari hasil diskusi kami
sepakat mengambil diagnosis sementara EDH didasari dengan keadaan klinis
pasien, penanganan yang perlu dilakukan adalah memastikan ABC pasien baik,
berikan tatalaksana suportif hingga keadaan Vital sign pasien stabil lalu dirujuk ke
dokter spesialis beedah saraf untuk dilakukan penanganan.
DAFTAR PUSTAKA
Iskandar J, Cedera Kepala, PT Dhiana Populer. Kelompok Gramedia, Jakarta,
2007.

Greenberg Michael I. 2008. Text-atlas of emergency medicine. Penerbit Erlangga.


Jakarta, hal 44-51.

Handbook of Neurosurgery, Mark S. Greenberg (edt), 7th Ed, Thieme New York,
NewYork,2010

Head Injury, Pathofisdiology and Management of Severe Closed Injury, Peter


Reilly and Russ Bullock, 2nd Ed. CRC Press, 2005

Neurologi and Trauma, Randolph W Evans, 2nd edition, Oxford University Press,
2006

American Collage of Surgeons, Advance Trauma Life Suport For Doctors, 7th
Edition. United States of America, 2008.

Whitfield Peter C, et al. Head Injury; A Multy Diciplinary Approach. Cambridge


University Press. Cambridge.2009

Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon


LearningSystem LLC, 2003

Arifin & Zafrullah. (2008). Perbandingan Kadar Potasium Darah Penderita


Cedera Kepala Sedang dan Cedera Kepala Berat di Ruang Emergensi Bedah
di RS. dr. Hasan Sadikin Bandung. http://
pustaka.unpad.ac.id/archives/26259/.

DepKes, RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar. http


//www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%202013.pdf, Diakses tanggal 21 oktober 2020.

Irawan, H., Setiawan, F., Dewi., Dewanto, G. (2010). Perbandingan Glasgow


Coma Scale dan Revised Trauma Score dalam Memprediksi Disabilitas
Pasien Trauma Kepala di Rumah Sakit Atma Jaya. Majalah Kedokteran
Indonesia. Available from http://indonesia.digitaljournals.org/
index.php/idnmed/article/download/.../745.

Trevana, L., & Cameron, I. (2011). Traumatic Brain Injury Long Term Care of
Patients in General Practice. Focus Neurology, XL(12), 956-960

Anda mungkin juga menyukai