Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN CEDERA KEPALA

OLEH :

NI PUTU PUTRI ASMARIANI


P07120215004
SEMESTER V TINGKAT III
D-IV KEPERAWATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2017

A. KONSEP DASAR CIDERA KEPALA


1. Pengertian Cidera Kepala
a. Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tulang tengkorak, dan otak,
paling sering terjadi dan merupakan penyakit neurologik yamg serius
diantara penyakit neurology dan merupakan proporsi epidemiologi
sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer, 2001).
b. Cedera kepala adalah cedera kepala terbuka dan tertutup yang terjadi
karena, fraktur tengkorak, kombusio gegar serebri, kontusio memar,
leserasi dan perdarahan serebral subarakhnoid, subdural, epidural,
intraserebral, batang otak (Doenges, 1999).
c. Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,
tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung
maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).
d. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).
e. Cedera kepala adalah trauma mekanik yang terjadi pada kepala yang
terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat
berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fisik, kognitif, psikososial,
bersifat temporer atau permanen (Perdosi, 2007).
f. Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik
dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Jadi dapat disimpulkan bahwa cedera kepala adalah suatu trauma pada
kepala (kulit kepala, tulang tengkorak, jaringan otak) yang disebabkan adanya
trauma pada kepala baik secara langsung maupun tidak langsung disertai atau
tanpa perdarahan yang menyebabkan terjadinya penurunan fungsi neurologis,
fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen

2. Etiologi
Menurut ​brain injury association of america,​ penyebab utama trauma
kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak
20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan
sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama
trauma kepala (langlois & thomas, 2006). Sedangkan menurut Coronado &
Thomas (2007), kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab pasien
trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per 100.000 populasi. Kekerasan
adalah penyebab ketiga pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per 100.000
populasi di amerika serikat. Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah
seperti berikut:
a. Kecelakaan lalu lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan bermotor bertabrakan
dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan
kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya.
b. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke
bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan
turun maupun sesudah sampai ke tanah.
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang
lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain
(secara paksaan).
Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah seperti
translasi yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala
bergerak ke suatu arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat
searah dengan gerakan kepala, maka kepala akan mendapat percepatan
(akselerasi) pada arah tersebut.
Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara
tiba-tiba dan dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok
maka kepala tiba-tiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak
tiba-tiba mendapat gaya mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak
kepala. Kecederaan di bagian muka dikatakan fraktur maksilofasial.

3. Klasifikasi Cedera Kepala


Cedera kepala dapat diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan
praktis, tiga jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasar mekanisme,
tingkat beratnya cedera kepala serta berdasar morfologi (​american college of
surgeon committe on trauma​, 2004, perdossi, 2007).
1) Berdasarkan mekanisme
a. Trauma tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil), kecepatan
rendah (terjatuh, terpukul)
b. Trauma tembus : luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya.
2) Berdasarkan tingkat keparahan
Biasanya cedera kepala berdasarkan tingkat keparahannya didasari
atas GCS. Dimana GCS ini terdiri dari tiga komponen yaitu :
a. Reaksi membuka mata (e)
Reaksi membuka mata Nilai

Membuka mata spontan 4


Buka mata dengan rangsangan suara 3

Buka mata dengan rangsangan nyeri 2

Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri 1

b. Reaksi berbicara (v)


Reaksi verbal Nilai
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang 4
Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata 3

Keluar suara tetapi tak berbentuk kata-kata 2


Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun 1

c. Reaksi gerakan lengan / tungkai

Reaksi motorik Nilai

Mengikuti perintah 6
Melokalisir rangsangan nyeri 5
Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri 4
Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri 3
Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri 2
Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri 1

Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat


diklasifikasikan menjadi:
▪ Cedera Kepala Ringan (CKR)
Bila GCS 14-15 (kelompok resiko rendah)
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit. Tidak
ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
▪ Cedera kepala sedang (cks)​ :
Bila GCS 9-13 (kelompok resiko sedang)
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
Dapat mengalami fraktur tengkorak.
▪ Cedera kepala berat (ckb)​ :
Bila gcs 3-8 (kelompok resiko berat)
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga meliputi
kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

3) Berdasarkan morfologi
▪ Fraktur tengkorak
Menurut ​american accreditation health care commission​,
terdapat 4 jenis fraktur yaitu:
a. Simple :​ retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit.
b. Linear or hairline​: retak pada kranial yang berbentuk garis halus
tanpa depresi, distorsi dan ‘​splintering’​ .
c. Depressed:​ retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.
d. Compound :​ retak atau kehilangan kulit dan ​splintering ​pada
tengkorak. Selain retak terdapat juga hematoma subdural (duldner,
2008).
Terdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi anatomis yaitu
terjadinya retak atau kelainan pada bagian kranium. Fraktur basis kranii
retak pada basis kranium. Hal ini memerlukan gaya yang lebih kuat dari
fraktur linear pada kranium. Insidensi kasus ini sangat sedikit dan
hanya pada 4% pasien yang mengalami trauma kepala berat (graham
and gennareli, 2000; orlando regional healthcare, 2004). Terdapat
tanda-tanda yang menunjukkan fraktur basis kranii yaitu ​rhinorrhea
(cairan serobrospinal keluar dari rongga hidung) dan gejala ​raccoon’s
eye (​ penumpukan darah pada orbital mata). Tulang pada foramen
magnum bisa retak sehingga menyebabkan kerusakan saraf dan
pembuluh darah. Fraktur basis kranii bisa terjadi pada fossa anterior,
media dan posterior (garg, 2004).

▪ Lesi intracranial
- Fokal diakibatkan dari kerusakan local yang meliputi konsio
serebral dan hematom serebal, serta kerusakan otak sekunder yang
disebabkan oleh perluasan masa lesi, pergeseran otak.
- Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.

▪ Cedera otak
1) Commotio cerebri (gegar otak)
Commotio cerebri (gegar otak) adalah cidera otak ringan
karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi
pingsan < 10 menit. Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan
tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual, muntah, dan pusing.
Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak
diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak
diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia retrograddan
antegrad).

2) Contusio cerebri (memar otak)


Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya
pembuluh darah kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama denganrusaknya
jaringan saraf/otak di daerah sekitarnya. Di antara yang paling sering
terjadi adalah kelumpuhan n. Facialis atau n.hypoglossus, gangguan
bicara, yang tergantung pada lokalisasi kejadian cidera kepala.
Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan
gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma, sindrom
gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan
pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan
bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka
merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat
dikendalikan (decebracio rigiditas).

▪ Perdarahan intrakranial
Menurut price (2003:1174) cedera kepala diklasifikasikan
sebagai berikut:
a. Hematoma epidural
Hematoma epidural sering terjadi di daerah parietotemporal
akibat robekan arterial mengineal media. Tanda dan gejala tampak
bervariasi, penderita hematoepidural yang khas memiliki riwayat
cedera kepala dengan periode tidak sadar dalam jangka waktu pendek,
diikuti periode lusid.

b. Hematoma subdural
Pada umumnya hematoma subdural berasal dari vena.
Hematoma ini timbul akibat ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural. Hematoma subdural dibagi lagi menjadi tipe akut, subakut
dan kronik yang memiliki gejala dan prognosis yang berbeda-beda.
1) Hematoma subdural akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang
penting dan serius dalam 24-48 jam setelah cedera. Hematoma
subdural akut terjadi pada pasien yang meminum obat antikoagulan
terus menerus yang tampaknya mengalami trauma kepala minor dan
sering kali berkaitan dengan cedera deselerasi akibat kecelakaan
bermotor. Defisit neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada
jaringan otak dan herniasi batang otak ke dalam foramen magnum
yang selanjutnya menimbulkan tekanan. Keadaan ini cepat
menimbulkan henti nafas dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan
tekanan darah.
2) Hematoma subdural subakut
Hematoma subdural subakut menyebabkan defisit neurologik
bermakna dalam jangka waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2
minggu setelah cedera. Hematoma ini disebabkan oleh pendarahan
vena kedalam ruang subdural. Riwayat klinis yang khas pada penderita
ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidakkesadaran,
selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang bertahap.
3) Hematoma subdural kronik
Trauma otak yang menjadi penyebab dapat sangat sepele atau
terlupakan dan sering kali akibat cedera ringan. Tanda dan gejala dari
hematoma subdural kronik biasanya tidak spesifik, tidak terlokalisasi
dan dapat disebabkan oleh banyak proses penyakit lain.

c. Hematoma subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya
pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pad cedera
kepala yang hebat. Tanda dan gejala: nyeri kepala, penurunan
kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.

d. Hematoma intracerebralis
Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan
subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri
pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput
otak menjadi pecah juga karena tekanan pada durameter bagian bawah
melebar sehingga terjadilah subduralis haematoma.

4) Berdasarkan Patofisiologi
▪ Cedera primer
Cedera yang terjadi akibat langsung dan trauma.
a. Kulit : vulnus laserasi hemaroma subkutan, hematoma sub galeal.
b. Tulang : fraktur linear, fraktur basis krani, fraktur inpresi (tertutup
dan terbuka).
c. Otak : cedera otak primer : robekan dural, consutio ringan,
kontusio sedang, berat : fokal dan difus laserasi atau robekan.
▪ Cedera sekunder
Cedera otak sekunder, cedera yang disebabkan komplikasi atau cedera sekunder lain
seperti: oedema otak, hipoksia otak, kelainan metabolik, kelainan
saluran napas atau pernapasan, hipotensi atau syok.
a. Oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak misal :
kecelakaan, dipukul dan terjatuh.

b. Trauma saat lahir misal : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau
vacuum.

4. Manifestasi Klinis
a) Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan tidak
tegap, kehilangan tonus otot.
b) Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi
jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia
disritmia).
c) Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
d) Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami ganggua fungsi.
e) Muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur,
disfagia)
f) Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah,
pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon
terhadap cahaya simetris) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti.
Kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan
pendengaran, wajah tidak simetris, refleks tendon tidak ada atau lemah,
kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi
sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
g) Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah
tidak bisa beristirahat, merintih.
h) Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas
berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena
aspirasi).
i) Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi,
perubahan warna, adanya aliran cairan (drainase) dari telinga atau hidung
(css), gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang,
kekuatan secara umum mengalami paralisis, demam, gangguan dalam
regulasi tubuh.
j) Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang – ulang.
k) Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
l) Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi, dan
impulsif.
m) Mual, muntah, mengalami perubahan selera.
n) Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope, tinitus,kehilangan pendengaran. Perubahan dalam
penglihatan,seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang
pandang, fotopobia, gangguan pengecapan dan penciuman.
o) Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
p) Trauma baru atau trauma karena kecelakaan
q) Pada kontusio, segera terjadi kehilangan kesadaran, pada hematoma,
kesadaran mungkin hilang, atau bertahap sering dengan membesarnya
hematoma atau edema intestisium.
r) Respon pupil mungkin lenyap atau segera progresif memburuk.
s) Perubahan prilaku, kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan
gerakan motorik timbul dengan segera atau secara lambat.
t) Hematoma epidural dimanifestasikan dengan awitan yang cepat.
Hematoma ini mengancam hidup dan dikarakteristikkan dengan
detoriorasi yang cepat, sakit kepala, kejang, koma dan hernia otak dengan
kompresi pada batang otak.
u) Hematoma subdural terjadi dalam 48 jam cedera dan dikarakteristikkan
dengan sakit kepala, agitasi, konfusi, mengantuk berat, penurunan tingkat
kesadaran, dan peningkatan tik. Hematoma subdural kronis juga dapat
terjadi (price dan wilson, 2006).
5. Patofisiologi
Cedera kepala dapat terjadi karena cedera kulit kepala, tulang kepala,
jaringan otak, baik terpisah maupun seluruh. Faktor yang mempengaruhi
cedera kepala adalah lokasi dan arah dari penyebab benturan, kecepatan
kekuatan yang datang, permukaan dan kekuatan yang menimpa, kondisi
kepala ketika mendapat benturan (Price dan Wilson, 2006).
Cedera kepala dapat bersifat terbuka (menembus durameter) atau
truma tertutup (trauma tumpul tanpa penetrasi menembus durameter). Cedera
kepala terbuka memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses langsung
ke otak. Pada kedua jenis cedera kepala akan terjadi kerusakan apabila
pembuluh darah dan sel glia dan neuron hancur. Kerusakan otak akan timbul
apabila terjadi perdarahan dan peradangan yang menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial (Corwin, 2001: 175).
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan
benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselarasi-deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat
terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh
adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi
coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi
yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak
dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan
densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(contrecoup).
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansia alba, cedera robekan atau
hemoragi. Sebagai akibatnya, cedera sekunder dapat terjadi sebagai
kemampuan autoregulasi cerebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.
Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak
sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. (Hudak dan Gallo,
1996: 226).
Cedera kepala dapat disebabkan oleh berbagai faktor, namun penyebab
terseringnya adalah kecelakaan seperti kecelakaan lalu lintas. Jika hal tersebut
terjadi, akan mengakibatkan terjadinya trauma pada kepala sehingga dapat
menimbulkan perdarahan, baik perdarahan intrakranial maupun perdarahan
ekstrakranial. Perdarahan intrakranial dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan TIK, akibat yang ditimbulkan yaitu sakit kepala hebat dan
menekan pusat reflek muntah di medulla yang mengakibatkan terjadinya
muntah proyektil sehingga tidak terjadi keseimbangan antara intake dengan
output. Selain itu peningkatan TIK juga dapat menyebabkan terjadinya
penurunan kesadaran dan aliran darah otak menurun. Jika aliran darah otak
menurun maka akan terjadi hipoksia yang menyebabkan disfungsi serebral
sehingga koordinasi motorik terganggu. Disamping itu hipoksia juga dapat
menyebabkan terjadinya sesak nafas.
Pendarahan ekstrakranial dibagi menjadi dua yaitu perdarahan terbuka
dan tertutup. Perdarahan terbuka (robek dan lecet) merangsang pelepasan
mediator histamin, bradikinin, prostaglandin yang merangsang stimulus nyeri
kemudian diteruskan nervus aferen ke spinoptalamus menuju ke kortek serebri
sampai nervus eferen sehingga akan timbul rasa nyeri. Jika perdarahan
terbuka (robek dan lecet) mengalami kontak dengan benda asing akan
memudahkan terjadinya infeksi bakteri pathogen. Sedangkan perdarahan
tertutup hampir sama dengan perdarahan terbuka yaitu dapat menimbulkan
rasa nyeri pada kulit kepala.
6. Komplikasi
a. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini,
secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa
ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki
vegetative state atau mati penderita pada masa vegetative statesering
membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon
reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak
menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state
lebih dari satu tahun jarang sembuh.
b. Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya sekali
seizure pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian,
keadaan ini berkembang menjadi epilepsy.
c. Infeksi
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen) sehingga
kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena
keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang lain.
d. Kerusakan saraf
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus facialis.
Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf
untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan
ganda.
e. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan
kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala berat
mengalami masalah kesadaran.
f. Komplikasi lain :
▪ Kejang
▪ Pneumonia
▪ Perdarahan gastrointestinal
▪ Distrimia jantung
▪ Hidrochepalus
▪ Kerusakan control respirasi
▪ Inkotinensia bladder dan bowel
▪ Kebocoran
▪ Liquor cerebro spinal.
▪ Edema pulmonal
▪ Bocornya lcs
▪ gangguan mobilisasi
▪ Hipovolemia
▪ hiperthermia
▪ Infeksi

7. Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan laboratorium
▪ Agd : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
perdarahan sub arakhnoid.
▪ Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan
dalam peningkatan tik atau perubahan mental.
b. Radiology
▪ CT-Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya
hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
▪ MRI : sama dengan CT-Scan
▪ Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma.
▪ EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis.
▪ Sinar-X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang
(fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan)
adanya fragmen tulang.
▪ Baer : mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
▪ Pet : mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
▪ Screen toxicology : untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani obat
sehingga menyebabkan penurunan kesadan.
▪ Myelogram : dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya
bendungan dari spinal aracknoid jika dicurigai.
▪ Thorax X-Ray :untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
c. Fungsi lumbal : CSS, dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
sub arakhnoid.
d. Abgs: mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial, screen
toxicologi: untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadan.
e. Pemeriksaan fungsi pernafasan: mengukur volume maksimal dari inspirasi
dan ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita dengan cidera kepala
dan pusat pernafasan (medulla oblongata).

8. Penatalaksaan Medis
a. Penatalaksanaan
▪ Kontusio ringan atau sedang biasanya diterapi dengan observasi dan
tirah baring.
▪ Dilakukan pembersihan/debridement dan sel-sel yang mati (secara
bedah terutama pada cedera kepala terbuka)
▪ Dilakukan ventilasi mekanis
▪ Untuk cedera kepala terbuka diperlukan antibiotika
▪ Dilakukan metode-metode untuk menurunkan tekanan intrakranial
termasuk pemberian diuretik dan anti inflamasi
▪ Meningkatkan pencegahan terutama jatuh, dorong untuk menggunakan
alat pengaman seperti helm,sabuk pengaman
▪ Lakukan pengkajian neurologik
a. Fungsi serebral ( kesadaran, orientasi, memori, bicara )
b. TTV ( TD, nadi)
c. Pupil (isokor, anisokor)
d. Fungsi motorik dan sensorik
▪ Kaji adanya cedera lain, terutama cedera servikal. Jangan
memindahkan anak sampai kemungkinan cedera servikal telah
disingkirkan/ditangani. Tinggikan kepala tempat tidur sampai 30
derajat jika tidak terdapat cedera servikal.
▪ Pantau adanya komplikasi
1. Pantau TTV dan status neurologist dengan sering
2. Periksa adanya peningkatan TIK
3. Periksa adanya drainase dari hidung dan telinga.

b. Pengobatan
1. Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar
tetap normovolemik. Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan
cairan berlebih. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat
menyebabkan hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang
cedera. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah nacl 0,9 %
atau RL. Kadar natrium harus dipertahankan dalam batas normal,
keadaan hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus dicegah
dan diobati.
2. Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati,
hiperventilasi dapat menurunkan PCO​2 sehingga menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang lama dan
cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak menurun PCO​2 <
25 mmHg, hiperventilasi harus dicegah. Pertahankan level PCO​2 pada
25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.
3. Manitol diberikan dengan dosis 1 gram/kgBB bolus IV. Indikasi
penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian
terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis. Dosis tinggi tidak
boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan memperberat
hypovolemia.
4. Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK. Tidak boleh diberikan
bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena barbiturat dapat
menurunkan tekanan darah.
5. Dapat diberikan alkaloid ergot (ergonovino) sebagai profilaksis.
6. Dapat diberikan phenothiazine.
7. Amitriptilin dan propanol untuk mengendalikan kecemasan yang
berlebihan.
8. Menggunakan ergonovine amitriptilin dan propanol pada 100 pasien,
19 diperoleh perbaikan yang nyata, 24 perbaikan sedang dan sisanya
hanya sedikit perbaikan atau tidak ada perubahan. Pemberian analgesic
dapat mendukung, namun harus dibatasi penggunaan hariannya.
9. Endemelasin (15 – 250 mg/hari) dan naproxen (1000 – 1500 mg/hari)
berguna untuk menghindari ketergantungan terhadap analgesik.
10. Metilprednisolon yang diberikan secara dini dan dalam dosis yang
akurat, dapat memperbaiki keadaan neurologis akibat efek inhibisi
terjadinya reaksi peroksidasi lipid. Dengan kata lain, metilprednisolon
bekerja dengan cara:
● Menyusup masuk ke lapisan lipid untuk melindungi fosfolipid
dan komponen membran lain dari kerusakan.
● Mempertahankan kestabilan dan keutuhan membran.
● Mencegah perembetan kerusakan sel-sel lain di dekatnya.
● Mencegah berlanjutnya iskemia pascatrauma.
● Memutarbalikkan proses akumulasi kalsiun intraseluler.
● Menghambat pelepasan asam arakhidonat.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN CIDERA KEPALA


1. Pengkajian
Pengkajian yang dilakukan terhadap pasien cedera kepala di ruang gawat
darurat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: pengkajian primer (​primer
assessment)​ dan pengkajian sekunder (​secondary assessment)​ . Data dapat
diperoleh secara primer (klien) dan secara skunder (keluarga, saksi
kejadian/pengirim, tim kesehatan lain).
a. Primer assessment/primer survey:
1) Data subyektif:
❖ Identitas (pasien dan keluarga/penanggung jawab) meliputi: nama,
umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, status
perkawinan, alamat, dan hubungan pasien dengan keluarga/pengirim).
❖ Keluhan utama: bagaimana pasien bisa datang ke ruang gawat darurat,
apakah pasien sadar atau tidak, datang sendiri atau dikirim oleh orang
lain?
❖ Riwayat cedera, meliputi waktu mengalami cedera (hari, tanggal, jam),
lokasi/tempat mengalami cedera.
❖ Mekanisme cedera: bagaimana proses terjadinya sampai pasien menjadi
cedera.
❖ Allergi ​(alergi): apakah pasien mempunyai riwayat alergi terhadap
makanan (jenisnya), obat, dan lainnya.
❖ Medication (​ pengobatan): apakah pasien sudah mendapatkan
pengobatan pertama setelah cedera, apakah pasien sedang menjalani
proses pengobatan terhadap penyakit tertentu.
❖ Past medical history (riwayat penyakit sebelumnya): apakah pasien
menderita penyakit tertentu sebelum menngalami cedera, apakah
penyakit tersebut menjadi penyebab terjadinya cedera?
❖ Last oral intake ​(makan terakhir): kapan waktu makan terakhir sebelum
cedera? Hal ini untuk memonitor muntahan dan untuk mempermudah
mempersiapkan bila harus dilakukan tindakan lebih lanjut/operasi.
❖ Event leading injury ​(peristiwa sebelum/awal cedera): apakah pasien
mengalami sesuatu hal sebelum cedera, bagaimana hal itu bisa terjadi?

2) Data obyektif:
❖ Airway/​ c-spine: obstruksi jalan nafas berupa darah/muntahan, lidah jatuh
ke belakang, bunyi nafas (stridor, ronkhi, wheezing).
❖ Breathing/p​ ernafasan: t​ achipnea​, p​ enggunaan otot bantu pernafasan,
dispnea sampai apnea, bisa berupa nafas chyene stokes, kusmaul,
sianosis, penurunan saturasi oksigen.
❖ Circulation/​ sirkulasi: perdarahan kulit kepala, perdarahan intra cranial,
pucat, akral dingin, crt lambat, denyut nadi lemah/tak teraba,
bradikardi/takikardi diselingi disritmia, hipotensi.
❖ Disability:​ kesadaran compos mentis atau menurun sampai koma, gcs
<15, reflek pupil terhadap cahaya (-), pupil an isokor, midriasis,
tanda-tanda lateralisasi (+).
b. Secondary assessment
❖ Exposure: ​luka pada kulit kepala, edema, patah tulang tengkorak
(terbuka, tertutup), luka pada organ lain.
❖ Five intervention:
- monitor ekg: bradikardi/takikardia, disritmia, saturasi oksigen <90% atau
>90%.
- pruduksi urine: cukup, oliguria, an uria.
- ngt: muntah, cairan lambung (darah, hijau)
- Hasil laboratorium: penurunan hb, ph, pao​2​, sao​2​, peningkatan paco​2​,
gangguan elektrolit.
❖ Give comfort: n​ yeri kepala, pusing.
❖ Head to toe​:
- ​kepala: luka terbuka, perdarahan, jejas, edema, fraktur.
- ​wajah: luka terbuka, nafas cuping hidung, perdarahan hidung/telinga.
❖ Inspection back: s​ elalu waspada terhadap adanya cedera pada tulang
belakang.

c. Primary survey
Primary survey merupakan deteksi cepat dan koreksi segera terhadap
kondisi yang mengancam yang bertujuan untuk mengetahui kondisi pasien
yang mengancam jiwa dan kemudian dilakukan tindakan life saving.
1) Airway
● Pada setiap cedera kepala harus selalu diwaspadai adanya fraktur servikal
● Bebaskan jalan nafas dengan proteksi tulang cervical dengan
menggunakan teknik ​head tilt/chin lift/jaw trust,​ hati-hati pada korban
trauma
● Cross finger​ untuk mendeteksi sumbatan pada daerah mulut
● Finger sweep​ untuk membersihkan sumbatan di daerah mulut
● Suctioning​ bila perlu
● Berikan oksigen sebanyak 10-12 liter/menit agar semua hemoglobin
mendapatkan oksigen.
● Cek saturasi oksigen (> 95% = normal)
2) Breathing
Amati pergerakan dinding dada, frekuensi nafas, kualitas nafas, keteraturan nafas atau
tidak.
3) Circulatation
● Lihat adanya perdarahan eksterna/interna
● Hentikan perdarahan eksterna dengan ​rest, ice, compress, elevation
(istirahatkan lokasi luka, kompres es, tekan/bebat, tinggikan)
● Perhatikan tanda-tanda syok/ gangguan sirkulasi : ​capillary refill time​,
nadi, sianosis, pulsus arteri distal
● Gangguan circulation (syok) akan menyebabkan gangguan perfusi darah
ke otak yang akan menyebabkan kerusakan otak sekunder. Dengan
demikian syok dengan trauma kepala dilakukan penanganan dengan
agresif.
● Apabila pasien kekurangan cairan, berikan cairan kristaloid dan koloid
dengan perbandingan 3:1 hingga map pasien lebih dari sama dengan 95.
Kristaloid dan koloid diberikan dalam suhu 39​0​c.
4) Susunan saraf pusat (​disability)​
● Cek kesadaran
● Adakah cedera kepala?
● Adakah cedera leher?
● Perhatikan cedera pada tulang belakang
5) Kontrol lingkungan (​exposure/ environmental​ )
● Buka baju penderita lihat kemungkinan cedera yang timbul tetapi cegah
hipotermi/kedinginan

d. Secondary survey
Mencari perubahan-perubahan yang dapat berkembang menjadi lebih
gawat dan mengancam jiwa apabila tidak segera diatasi dengan pemeriksaan
dari kepala sampai kaki (​head to toe)​ yang bertujuan untuk mendeteksi
penyakit atau trauma yang diderita pasien sehingga dapat ditangani lebih
lanjut.
e. Anamnesis :
Riwayat “ampe” yang harus diingat yaitu :
A : alergi
M : medikasi (obat yang diminum sebelumnya)
P : past illness (penyakit sebelumnya)/pregnancy (hamil)
E : event/environment (lingkungan yang berhubungan dengan kegawatan)
Pemeriksaan fisik​ :
1. Pemeriksaan kondisi umum menyeluruh
a. Posisi saat ditemukan bahwa pada setiap cedera kepala harus selalu
diwaspadai adanya fraktur servikal
b. Nilai tingkat kesadaran dengan mengajak berbicara lalu hitung gcs
pasien
c. Sikap umum dan keluhan untuk mengambil tindakan yang tepat
d. Cek adanya trauma ataupun kelainan
e. Observasi keadaan kulit
2. Periksa kepala dan leher
a. Rambut dan kulit kepala
Perlihatikan ada tidaknya perdarahan, pengelupasan, perlukaan, penekanan
b. Telinga
Amati adanya perlukaan, darah, cairan
c. Mata
Perlukaan, pembengkakan, perdarahan, reflek pupil, kondisi kelopak mata, adanya
benda asing, pergerakan abnormal
d. Hidung
Perlukaan, darah, cairan, nafas cuping hidung, kelainan anatomi akibat trauma
e. Mulut
Perlukaan, darah, muntahan, benda asing, gigi, bau, dapat buka mulut/ tidak
f. Bibir
Perlukaan, perdarahan, sianosis, kering
g. Rahang
Perlukaan, stabilitas, krepitasi
h. Kulit
Perlukaan, basah/kering, darah, suhu, warna
i. Leher
Perlukaan, bendungan vena, deviasi trakea, spasme otot, stoma, stabilitas tulang leher
3. Periksa dada
Flail chest, nafas diafragma, kelainan bentuk, tarikan antar iga,
nyeri tekan, perlukaan (luka terbuka, luka mengisap), suara ketuk/perkusi,
suara nafas.
4. Periksa perut
Perlukaan, distensi, tegang, kendor, nyeri tekan, undulasi.
5. Periksa tulang belakang
Kelainan bentuk, nyeri tekan, spasme otot.
6. Periksa pelvis/genetalia
Perlukaan, nyeri, pembengkakan, krepitasi, inkontinensia.
7. Periksa ekstremitas atas dan bawah
Perlukaan, angulasi, hambatan pergerakan, gangguan rasa, bengkak, denyut nadi,
warna luka.
8. Pemeriksaan neurologis
Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan terdiri
dari :
▪ Gcs
▪ Reflek cahaya pupil
▪ Gerakan bola mata
▪ Tes kalori dan reflek kornea oleh ahli bedah syaraf
● Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum
penderita dilakukan sedasi atau paralisis
● Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang
● Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 – 6 mg ) iv
● Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk
memperoleh respon motorik, bila timbul respon motorik yang
bervariasi, nilai repon motorik yang terbaik.
● Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan
penderita.
● Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara
terpisah.
● Catat nilai gcs dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau
perburukan pasien.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agens cidera biologis kontraktur
(terputusnya jaringan tulang)
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
persepsi/kongnitif, terapi pembatasan kewaspadaan keamanan mis tirah
baring, immobilisasi
c. Kerusakan memori berhubungan dengan hipoksia, gangguan neurologis
d. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan
nafas, ditandai dengan dispnea
e. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan perubahan kadar
elektrolit serum (muntah)
f. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh berhubungan dengan trauma
jaringan otak
g. Resiko perdarahan berhubungan dengan trauma, riwayat jatuh
h. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan
penurunan ruang untuk perfusi serebral, sumbatan aliran darah serebral
i. Resiko infeksi
j. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, gelisah,
involunter dan kejang
k. Ansietas
3. Intervensi

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1 Nyeri Akut : NIC :
Definisi :Pengalaman ❖ Pain level ● Lakukan pengkajian
sensori dan emosional yang ❖ Pain control nyeri secara
tidak menyenangkan yang ❖ Comfort level komprehensif termasuk
muncul akibat kerusakan lokasi, karakteristik,
jaringan yang aktual atau Setelah dilakukan tindakan furasi, frekuensi, kualitas
potensial atau digambarkan keperawatan selama ... x 24 dan faktor presipitasi
dalam hal kerusakan
sedemikian rupa jam. Pasien tidak mengalami ● Observasi reaksi
(International Association nyeri, dengan : nonverbal dari
for the Study of Pain), Kriteria Hasil ketidaknyamanan
awitan yang tiba-tiba atau ❖ Mampu mengontrol nyeri ● Bantu pasien dan
lambat dari intensitas ringan (tahu penyebab nyer, keluarga untuk mrncari
hingga berat dengan akhir mampu menggunakan dan menemukan
yang dapat diantisipasi atau teknik nonfarmakologi dukungan
diprediksi dan berlangsung < untuk mengurangi nyeri, ● Kontrol lingkungan yang
6 bulan. mencari bantuan) dapat mempengaruhi
Batasan Karakteristik ❖ Melaporkan bahwa nyeri nyeri seperti suhu
● Perubahan selera makan berkurang dnegan rungan, pencahayaan dan
● Perubahan tekanan darah menggunakan kebisingan
● Perubahan frekuensi manajemen nyeri ● Kurangi faktor presipitasi
jantung ❖ Mampu mengenali nyeri nyeri
● Perubahan frekuensi (skala, intensitas, ● Kaji tipe dan sumber
pernapasan frekuensi dan tanda nyeri untuk menentukan
● Laporan isyarat nyeri) intervensi
● Diafroesis ❖ Menyatakan rasa nyaman ● Ajarkan tentang teknik
● Perilaku distraksi (mis, setelah nyeri berkurang non farmakologi : napas
berjalan modar mandir, ❖ Tanda vital dalam dala, relaksasi, distraksi,
mencari orang lain rentang normal kompres hangat/dingin
dan/atau aktivitas lain, ❖ Tidak mengalami ● Berikan informasi
aktivitas yang berulang) gangguan tidur tentang nyeri seperti
● Mengekspresikan perilaku penyebab nyeri, berapa
(mis, gelisah, merengek, lama nyeri akan
menangis, waspada, berkurang dan antisipasi
iritabilitas, mendesah) ketidaknyamanan dari
prosedur
● Masker wajah (mis, mata ● Monitor vital sign
kurang bercahaya, tampak sebelum dan sesudah
kacau, gerakan mata pemberian analgesik
berpencar atau tetap pada
satu fokus, meringis)
● Sikap melindungi are nyeri
● Fokus menyempit
(mis,gangguan persepsi
nyeri, hambatan proses
berpikir, penurunan
interaksi dengan orang dan
lingkungan)
● Indikasi nyeri yang dapat
diamati
● Perubahan posisi untuk
menghindari nyeri
● Sikap tubuh melindungi
● Dilatasi pupil
● Melaporkan nyeri secara
verbal
● Fokus pada diri sendiri
● Gangguan tidur
Faktor yang Berhubungan
● Agens cedera
(mis.,biologis, zat kimia,
fisik, psikologis)
2 Hambatan Mobilitas Fisik NOC NIC
❖ Join Movment : Active
Definisi : ​Keterbatasan pada ❖ Mobility Level Exercise Therapy :
pergerakan fisik tubuh atau ❖ Self care : ADLs Ambulantion
satu atau lebih ekstremitas ❖ Transfer performance ● Monitoring vital sign
secara mandiri dan terarah Setelah dilakukan tindakan sebelum dan sesudah
Batasan Karakteristik: keperawatan selama ... x 24 latihan dan lihat respon
● Penurunan waktu reaksi jam. Pasien tidak mengalami pasien saat latihan
● Kesulitan hambatan mobilitas fisik, ● Konsultasikan dengan
membolak-balik posisi dengan terapi fisik tentang
● Melakukan aktivitas lain Kriteria Hasil: rencana ambulansi
sebagai pengganti ❖ Klien meningkat dalam sesuai dengan
pergerakan (mis: aktivitas fisik kebutuhan
meningkatkan perhatian ❖ Mengerti tujuan dari ● Bantu klien untuk
pada aktivitas orang lain, peningkatan mobilitas menggunakan tongkat
mengendalikan perilaku, ❖ Memverbalisasikan saat berjalan dan cegah
focus pada perasaan dalam terhadap cedera
ketunadayaan/aktivitas meningkatkan kekuatan ● Ajarkan pasien atau
sebelum sakit) dan kemampuan tenaga kesehatan lain
● Dispnea setelah berpindah tentang teknik
beraktivitas ❖ Memperagakan ambulansi
● Perubahan cara berjalan penggunaan alat ● Kaji kemampuan pasien
● Gerakkan bergetar ❖ Bantu untuk mobilisasi dalam mobilisasi
● Keterbatasan (walker) ● Latih pasien dalam
kemampuan melakukan pemenuhan kebutuhan
keterampilan motorik ADLs secara mandiri
halus sesuai kemampuan
● Keterbatan kemampuan ● Dampingi dan bantu
melakukan keterampilan pasien saat mobilisasi
motorik kasar
● Keterbatasan rentang dan bantu penuhi
pergerakan sendi kebutuhan ADLs pasien
● Tremor akibat ● Berikan alat bantu jika
pergerakan klien memerlukan
● Ketidakstabilan postur ● Ajarkan pasien
● Pergerakan lambat bagaimana merubah
● Pergerakan tidak posisi dan berikan
terkoordinasi bantuan jika diperlukan

Faktor yang berhubungan


● Intoleransi aktivitas
● Perubahan metabolisme
selular
● Ansietas
● Indeks masa tubuh diatas
perentil ke 75 sesuai usia
● Gangguan koknitif
● Konstraktur
● Kepercayaan budaya
tentang aktivitas sesuai
usia
● Fisik tidak bugar
● Penurunan ketahanan
tubuh
● Penurunan kendali otot
● Penurunan massa otot
● Malnutrisi
● Gangguan
muskulosskeletal
● Gangguan
neuromuscular, Nyeri
● Agens obat
● Penurunan kekuatan otot
● Kurang pengetahuan
tentang aktivitas fisik
● Keadaan mood depresif
● Keterlambatan
perkembangan
● Ketidaknyamanan
● Disuse, kaku sendi
● Kurang dukungan
lingkungan (mis: fisik
atau social)
● Keterbatasan ketahanan
kardiovaskuler
● Kerusakan integritas
struktur tulang
● Program pembatasan
gerak
● Keengganan memulai
pergerakan
● Gaya hidup monoton
● Gangguan sensori
perceptual
3 Kerusakan Memori NOC NIC
Definisi: Ketidakmampuan ❖ Tissue perfusion Cerebral Neurologi Monitoring
mengingat beberapa iformasi ❖ Acute Confusion Level ● Memantau ukuran
atau keterampilan perilaku ❖ Environment pupil, bentuk simetri
Batasan Karakteristik Intrepretation syndrome dan reaktivitas
● Lupa melakukan impaired ● Memantau tingkat
perilaku pada waktu kesadaran
yang telah dijadwalkan Setelah dilakukan tindakan ● Memantau tingkat
● Ketidakmampuan keperawatan selama ... x 24 orientasi
mempelajari informasi jam. Pasien tidak mengalami ● Memantau tren
baru kerusakan memori, dengan: Glascow Coma Scale
● Ketidakmampuan Kriteria hasil: ● Memonitoring memori
melakukan keterampilan ❖ Mampu untuk baru, rentang
yang telah dipelajari melaksanakan proses perhatian, emori masa
sebelumnya mental yang kompleks lalu, suasana hati,
● Ketidakmampuan ❖ Orientasi kognitif: mampu mempengaruhi dan
mengingat peristiwa mengidentifikasi orang, perilaku
● Ketidakmampuan tempat, dan waktu secara ● Memonitor
mengingat informasi adekuat tanda-tanda vital: suhu,
factual ❖ Konsentrasi: mampu tekanan darah, denyut
● Ketidakmampuan focus pada stimulus nadi, pernafasan
mengingat perilaku tertentu ● Memonitor status
tertentu yang pernah ❖ Ingatan (memori): mampu pernafasan: ABG
dilakukan untuk mendapatkan tingkat, oksimetri
● Ketidakmampuan kembali secara kognitif pulsa, kedalaman pola,
menyimpan informasi dan menyampaikan tingkat, dan usaha
baru kembali informasi yang ● Memantau ICP dan
disimpan sebelumnya CPP
● Ketidakmampuan ❖ Kondisi neurologis: ● Memantau refleks
menetrasi keterampilan kemampuan system saraf kornea
baru perifer dan system saraf ● Memantau refleks
● Mengeluh mengalami pusat untuk menerima, batuk dan muntah
lupa memproses dan memberi ● Memantau otot,
Faktor yang berhubungan respon terhadap stimulus gerakan motoric,
● Anemia internal dan eksternal kiprah, dan
● Penurunan curah jantung ❖ Kondisi neurologis: proprioception
● Ketidakseimbangan kesadaran ● Memantau kekuatan
elektrolit ❖ Menyatakan mampu cengkeraman
● Gangguan lingkungan mengingat lebih baik ● Memantau untuk
berlebihan gemetar
● Ketidakseimbangan ● Memantau simetri
cairan dan elektrolit wajah
● Hipoksia ● Memantau tonjolan
● Gangguan neurologis lidah
● Memantau tanggapan
pengamatan
● Memantau EOMs dan
karakteristik tatapan
● Memantau untuk
gangguan visual:
diplopia, nystagmus,
pemotongan bidang
visual, penglihatan
kabur, dan ketajaman
visual
● Catatan keluhan sakit
kepala
● Memantau
karakteristik bicara:
kelancaran,
keberadaan aphapsias,
atau kata temuan
kesulitan
● Pantau respon terhdap
ragsangan:
erbal, taktil, dan berbahaya.
● Memantau
diskriminasi tajam/
tumpul, dan
panas/dingin.
● Memantau untuk
paresthesia : mati rasa
dan kesemutan.
● Memantau indera
penciuman.
● Memonitor pola
berkerigat.
● Memantau respon
Babinski.
● Memantau respon
cushing
● Memantau craniotomy
● Laminektomi pembalut
untuk drainase
● Pantau respon terhadap
obat.
● Konsultasikan dengan
rekan kerja untuk
mengkonfirmasi data.
● Mengidentifikasi
pola-pola yang muncul
dalam data.
● Meningkatkan
frekuensi pemantauan
neurologis
● Hindari kegiatan yang
meningkatan tekanan
intracranial.
● Ruang kegiatan
keperawatan yang
diperlukan yang
meningkatkan tekanan
intracranial.
● Beritahu dokter dari
perubahan dalam
kondisi pasien.
● Melakukan protocol
darurat, sesuai
kebutuhan.
4 Ketidak efektifan bersihan NOC Airway suction
Jalan Nafas ❖ Respiratory Status : ● Pastikan kebutuhan oral/
Definisi: Ketidakmampuan Ventilation tracheal suctioning
untuk membersihkan sekresi ❖ Respiratory Status : ● Auskultasi suara nafas
atau obstruksi dari saluran Airway Patency sebelum dan sesudah
pernapasan untuk suctioning
mempertahankan kebersihan Setelah dilakukan tindakan ● Informasikan pada klien
jalan napas. keperawatan selama ... x 24 dan keluarga tentang
Batasan Karakteristik : jam. Pasien tidak mengalami suctioning
● Tidak ada batuk ketidak efektifan bersihan ● Minta klien nafas dalam
● Suara napas tambahan jalan nafas, dengan : sebelum suction
● Perubahan frekuensi dilakukan
napas Kriteria Hasil : ● Berikan O2 dengan
● Perubahan irama napas ❖ Mendemonstrasikan menggunakan nasal
● Sianosis batuk efektif dan suara untuk memfasilitasi
● Kesulitan berbicara atau napas yang bersih, tidak suction nasotrakeal
mengeluarkan suara ada sianosis dan dyspneu ● Gunakan alat yang steril
● Penurunan bunyi napas (mampu mengeluarkan setiap melakukan
● Dispneu sputum, mampu bernapas tindakan
● Sputum dalam jumlah dengan mudah, tidak ada ● Anjurkan pasien untuk
yang berlebihan pursed lips) istirahat dan napas dalam
● Batuk yang tidak efektif ❖ Menunjukkan jalan napas setelah kateter
● Orthopneu yang paten (klien tidak dikeluarkan dari
● Gelisah merasa tercekik, irama nasotrakeal
● Mata terbuka lebar napas, frekuensi ● Monitor status oksigen
Faktor yang Berhubungan pernapasan dalam pasien
Lingkungan : rentang normal, tidak ada
● Perokok pasif suara napas abnormal)
● Menghisap asap ❖ Mampu mengidentifikasi ● Ajarkan keluarga
● Merokok dan mencegah faktor bagaimana cara
Obstruksi jalan napas : yang dapat menghambat melakukan suction
● Spasme jalan napas jalan nafas ● Hentikan suction dan
● Mokus dalam jumlah berikan oksigen apabila
berlebihan pasien menunjukkan
● Eksudat dalam jalan bradikardi, peningkatan
alveoli saturasi O2, dll.
● Materi asing dalam jalan
napas Airway Management
● Adanya jalan napas ● Buka jalan napas,
buatan gunakan teknik chin lift
● Sekresi bertahan/sisa atau jaw thrust bila perlu
sekresi ● Posisikan pasien untuk
● Sekresi dalam bronchi memaksimalkan
Fisiologis : ventilasi
● Jalan napas alergik ● Identifikasi pasien
● Asma perlunya pemasangan
● Penyakit paru obstruktif alat jalan napas buatan
kronik ● Lakukan fisioterapi dada
● Hiperplasi dinding jika perlu
bronkial ● Keluarkan secret dengan
● Infeksi batuk atau suction
● Disfungsi neuromuskular ● Auskultasi suara napas,
catat adanya suara
tambahan
● Berikan bronkodilator
bila perlu
● Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan
keseimbangan
● Monitor respirasi dan
status O2

Anda mungkin juga menyukai