Anda di halaman 1dari 34

BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Pengertian Cedera Kepala

Cedera kepala adalah (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara

langsung maupun tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di

kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan

jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Sjahrir,

2015).

Cedera kepala merupakan suatu proses terjadinya cedera langsung

maupun deselerasi terhadap kepala yang dapat menyebabkan kerusakan

tengkorak dan otak (Pierce dan Nail, 2014). Cedera kepala merupakan cedera

yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak (Morton, 2015).

Cedera kepala meliputi luka pada kulit kepala, tengkorak, dan otak.

Cedera kepala merupakan adanya pukulan atau benturan mendadak pada kepala

dengan atau tanpa kehilangan kesadaran (Susan Martin, 2016).

2.2 Anatomi Fisiologi

6
Gambar 2.1 Anatomi Kepala

Gambar 2.2 Petunjuk Cedera Kepala

7
8

1. Anatomi Kepala

a. Kulit kapala

Pada bagian ini tidak terdapat banyak pembuluh darah. Bila robek,

pembuluh- pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi yang dapat

menyebabkan kehilangan darah yang banyak. Terdapat vena emiseria dan

diploika yang dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai dalam

tengkorak(intracranial) trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio,

laserasi, atau avulasi.

b. Tulang kepala

Terdiri dari calvaria (atap tengkorak) dan basis eranium (dasar

tengkorak). Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuibis tulang

tengkorak disebabkan oleh trauma. Fraktur calvarea dapat berbentuk garis

(liners) yang bisa non impresi (tidak masuk / menekan kedalam) atau

impresi. Fraktur tengkorak dapat terbuka (dua rusak) dan tertutup (dua

tidak rusak). Tulang kepala terdiri dari 2 dinding yang dipisahkan tulang

berongga, dinding luar (tabula eksterna) dan dinding dalam (labula interna)

yang mengandung alur-alur artesia meningia anterior, indra dan prosterion.

Perdarahan pada arteria-arteria ini dapat menyebabkan tertimbunya darah

dalam ruang epidural.

c. Lapisan Pelindung otak / Meninges

Terdiri dari 3 lapisan meninges yaitu durameter, Asachnoid dan

diameter.
9

1) Durameter adalah membran luas yang kuat, semi translusen, tidak

elastis menempel ketat pada bagian tengkorak. Bila durameter robek,

tidak dapat diperbaiki dengan sempurna. Fungsi durameter :

a) Melindungi otak

b) Menutupi sinus-sinus vena ( yang terdiri dari durameter dan lapisan

endotekal saja tanpa jaringan vaskuler )

c) Membentuk periosteum tabula interna.

2) Asachnoid adalah membrane halus, vibrosa dan elastis, tidak menempel

pada dura. Diantara durameter dan arachnoid terdapat ruang subdural

yang merupakan ruangan potensial. Pendarahan subdural dapat

menyebar dengan bebas. Dan hanya terbatas untuk seluas valks serebri

dan tentorium. Vena-vena otak yang melewati subdural

mempunyasedikit jaringan penyokong sehingga mudah cedera dan

robek pada trauma kepala.

3) Diameter adalah membran halus yang sangat kaya dengan pembuluh

darah halus, masuk kedalam semua sulkus dan membungkus semua

girus, kedua lapisan yang lain hanya menjembatani sulkus. Pada

beberapa fisura dan sulkus di sisi medial homisfer otak. Prametar

membentuk sawan antar ventrikel dan sulkus atau vernia. Sawar ini

merupakan struktur penyokong dari pleksus foroideus pada setiap

ventrikel.

Diantara arachnoid dan parameter terdapat ruang subarachnoid,

ruang ini melebar dan mendalam pada tempat tertentu. Dan


10

memungkinkan sirkulasi cairan cerebrospinal. Pada kedalam system

vena.

d. Otak.

Otak terdapat didalam iquor cerebro Spiraks. Kerusakan otak yang

dijumpai pada trauma kepala dapat terjadi melalui 2 campuran :

1) Efek langsung trauma pada fungsi otak,

2) Efek-efek lanjutan dari sel- sel otakyang bereaksi terhadap trauma.

Apabila terdapat hubungan langsung antara otak dengan dunia

luar (fraktur cranium terbuka, fraktur basis cranium dengan cairan otak

keluar dari hidung / telinga), merupakan keadaan yang berbahaya

karena dapat menimbulkan peradangan otak.

Otak dapat mengalami pembengkakan (edema cerebri) dan karena

tengkorak merupakan ruangan yang tertutup rapat, maka edema ini

akan menimbulkan peninggian tekanan dalam rongga tengkorak

(peninggian tekanan tekanan intra cranial).

e. Tekanan Intra Kranial (TIK).

Tekanan intra cranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jaringan otak,

volume darah intracranial dan cairan cerebrospiral di dalam tengkorak

pada 1 satuan waktu. Keadaan normal dari TIK bergantung pada posisi

pasien dan berkisar ± 15 mmHg. Ruang cranial yang kalau berisi jaringan

otak (1400 gr), Darah (75 ml), cairan cerebrospiral (75 ml), terhadap 2

tekanan pada 3 komponen ini selalu berhubungan dengan keadaan

keseimbangan Hipotesa Monro – Kellie menyatakan : Karena keterbatasan

ruang ini untuk ekspansi di dalam tengkorak, adanya peningkatan salah 1


11

dari komponen ini menyebabkan perubahan pada volume darah cerebral

tanpa adanya perubahan, TIK akan naik. Peningkatan TIK yang cukup

tinggi, menyebabkan turunnya batang 0tak (Herniasi batang otak) yang

berakibat kematian.

2.3 Etiologi

Penyebab cedera kepala antara lain (Rosjidi, 2016):

1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda,

dan mobil.

2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.

3. Cedera akibat kekerasan.

4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah

dimana dapat merobek otak.

5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih

berat sifatnya.

6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah

dimana dapat merobek otak, misalnya tertembak peluru atau

benda tajam.

2.4 Manifestasi Klinis

Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi

cedera otak.

1. Cedera kepala ringan (Manurung, 2018)

a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap

setelah cedera.
12

b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.

c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah

tingkah laku

Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa

minggu atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma

ringan.

2. Cedera kepala sedang (Manurung, 2018)

a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan

kebinggungan atau hahkan koma.

b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit

neurologik, perubahan tanda-tanda vital (TTV), gangguan

penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot,

sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan

3. Cedera kepala berat (Manurung, 2018)

a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan

sesudah terjadinya penurunan kesadaran

b. Pupil tidak actual, pemeriksaan motorik tidak actual, adanya

cedera terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologic

c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukkan fraktur

d. Fraktur pada kubah cranial menyebabkan pembengkakan pada

area tersebut

2.5 Klasifikasi

Penilaian cedera kepala dapat dinilai menggunakan Glasgow Coma

Scale (GCS) (Tim Pusbankes, 2018)


13

1. Berdasarkan keparahan cedera :

a. Cedera Kepala Ringan (CKR)

1) Tidak ada fraktur tengkorak

2) Tidak ada kontusio serebri, hematom

3) GCS 13-15

4) Dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi <30 menit

b. Cedera Kepala Sedang (CKS)

1) Kehilangan kesadaran

2) Muntah

3) GCS 9-12

4) Dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan

(bingung)

c. Cedera Kepala Berat (CKB)

1) GCS 3-8

2) Hilang kesadaran >24 jam

3)Adanya kontusio serebri, laserasi/hematom intrakranial

Tabel 2.1 Nilai GCS (Glasgow Coma Scale)

Jenis Pemeriksaan Nilai


Respon buka mata (Eye)
- Spontan 4
- Terhadap suara 3
- Terhadap nyeri 2
- Tidak ada respon 1
Respon bicara (Verbal)
- Berorientasi baik 5
- Berbicara mengacau (bingung) 4
14

- Kata – kata tidak teratur 3


- Suara tidak jelas 2
- Tidak adanrespon 1
Respon gerakan (Motorik)
- Ikut perintah 6
- Melokalisir nyeri 5
- Fleksi normal (menarik anggota 4
yang dirangsang)
- Fleksi abnormal 3

- Ekstensi abnormal 2

- Tidak ada respon 1

Total 3-15

Macam – macam tingkat kesadaran (Tim Pusbankes, 2018) :

1. Composmentis (normal)

a. Sadar penuh

b. Dapat dirangsang oleh rangsangan : nyeri, bunyi atau gerak

c. Tanda-tanda: sadar, merasa mengantuk atau sampaitertidur. Jika

tidur dapat disadarkan dengan memberikan rangsangan

2. Apatis (acuh tak acuh)

a. Acuh

b. Lama untuk menjawab terhadap rangsangan yang diberikan.

c. Tanda-tanda: sadar tapi tidak kooperatif.

3. Somnolent (ngantuk)

a. Keadaan ngantuk

b. Dapat dirangsang dengan rangsangan: dibangunkan atau dirangsang

nyeri.
15

c. Tanda-tanda: sadar tapi kadang tertidur, susah dibangunkan,

kooperatif dan mampu menangkis rangsangan nyeri.

4. Dellirium (mengigau)

a. Penurunan kesadaran disertai peningkatan yang abnormal

b. Dapat dirangsang dengan rangsangan nyeri

c. Tanda-tanda: gaduh, gelisah, kacau, teriak-teriak, disorientasi.

5. Koma/sopor (tidak sadar)

a. Keadaan tidak sadarkan diri

b. Tidak dapat dibangunkan bahkan dengan diberikan rangsangan yang

kuat.

c. Tanda-tanda: tidak adanya jawaban terhadap rangsangan yang

diberikan.

2.6 Patofisiologi

Proses patofisiologi cedera otak dibagi menjadi dua yang

didasarkan pada asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya

disebabkan oleh kekuatan fisik yang lalu diikuti proses patologis yang

terjadi segera dan sebagian besar bersifat permanen. Dari tahapan itu,

Arifin (2002) membagi cedera kepala menjadi dua :

1. Cedera otak primer

Cedera otak primer (COP) adalah cedera yang terjadi sebagai

akibat langsung dari efek mekanik dari luar pada otak yang

menimbulkan kontusio dan laserasi parenkim otak dan kerusakan

akson pada substantia alba hemisper otak hingga batang otak.


16

2. Cedera otak sekunder

Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi

akibat proses metabolisme dan homeostatis ion sel otak,

hemodinamika intrakranial dan kompartement cairan serebrosspinal

(CSS) yang dimulai segera setelah trauma tetapi tidak tampak

secara klinis segera setelah trauma. Cedera otak sekunder ini

disebabkan oleh banyak faktor antara lain kerusakan sawar darah

otak, gangguan aliran darah otak, gangguan metabolisme dan

homeostatis ion sel otak, gangguan hormonal, pengeluaran

neurotransmitter dan reactive oxygen species, infeksi dan asidosis.

Kelainan utama ini meliputi perdarahan intrakranial, edema otak,

peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan otak. Cedera

kepala menyebabkan sebagian sel yang terkena benturan mati atau

rusak irreversible, proses ini disebut proses primer dan sel otak

disekelilingnya akan mengalami gangguan fungsional tetapi belum

mati dan bila keadaan menguntungkan sel akan sembuh dalam

beberapa menit, jam atau hari. Proses selanjutnya disebut proses

patologi sekunder. Proses biokimiawi dan struktur massa yang

rusak akan menyebabkan kerusakan seluler yang luas pada sel yang

cedera maupun sel yang tidak cedera. Secara garis besar cedera

kepala sekunder pasca trauma diakibatkan oleh beberapa proses

dan faktor dibawah ini :

a. Lesi massa, pergeseran garis tengah dan herniasi yang

terdiri dari : perdarahan intracranial dan edema serebral


17

b. Iskemik cerebri yang diakibatkan oleh : penurunan tekanan

perfusi serebral, hipotensi arterial, hipertensi intracranial,

hiperpireksia dan infeksi, hipokalsemia/anemia dan

hipotensi, vasospasme serebri dan kejang

Inflamasi, yang merupakan respon dasar terhadap trauma

sangat berperan dalam terjadinya cedera sekunder. Pada tahap awal

proses inflamasi, akan terjadi perlekatan netrofil pada endotelium

dengan beberapa molekul perekat Intra Cellular Adhesion

Molecules-1 (ICAM-1). Proses perlekatan ini mempunyai

kecenderungan merusak/merugikan karena mengurangi aliran

dalam mikrosirkulasi. Selain itu, netrofil juga melepaskan senyawa

toksik (radikal bebas), atau mediator lainnya (prostaglandin,

leukotrin) di mana senyawasenyawa ini akan memacu terjadinya

cedera lebih lanjut. Makrofag juga mempunyai peranan penting

sebagai sel radang predominan pada cedera otak (Hergenroeder,

2014).
18

2.7 WOC

Cedera Kepala

Ekstra cranial Tulang Intra cranial


cranial

Terputusnya Terputusnya Jaringan otak


kontinuitas kontinuitas rusak , laserasi
jaringan otot, jaringan otot,
kulit tulang

Perubahan
protoregulasi
Risiko Infeksi
Perdarahan dan Gangguan
hematoma suplai darah

Kejang

Peningkatan Iskemia
TIK
Penurunan
kesadaran
Peregangan Hipoksia
doramen dan
pembuluh
darah Bedrest Akumulasi
Perfusi serebral total cairan
tidak efektif
Nyeri akut

Gangguan Gangguan Bersihan


integritas mobilitas jalan napas
kulit tidak efektif

Gambar 2.2 WOC Cedera Kepala


19

2.8 Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Manurung (2018) hasil pemeriksaan laboratorium yang

sering ditemukan pada pasien dengan cedera kepala sebagai berikut :

a. Foto Polos

Foto polos indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm , luka tembus

(peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri

kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, dan gangguan

kesadaran.

b. CT – Scan

CT scan kepala adalah standart baku dalam penatalaksanaan

cedera kepala. Pemeriksaan CT scan kepala untuk memastikan

adanya patah tulang, pendarahan, pembengkakan jaringan otak, dan

kelainan lain di otak. Indikasi CT Scan adalah :

1) Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak

menghilang setelah pemberian obat-obatan analgesia atau anti

muntah.

2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna

terdapat pada lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang

general.

3) Penurunan GCS lebih dari 1 dimana faktor – faktor ekstrakranial

telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi

misalnya karena syok, febris, dll).

4) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.

5) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.


20

6) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik

dari GCS

c. Untuk pemeriksaan laboratorium, umumnya pemeriksaan darah

lengkap, gula darah sewaktu, ureum-kreatinin, analisis gas darah dan

elektrolit.

d. Pemeriksaan neuropsikologis (sistem saraf kejiwaan) adalah

komponen penting pada penilaian dan penatalaksanan cedera (Anurogo

and Usman, 2014)

e. MRI

Magnetic resonance imaging (MRI) biasa digunakan untuk pasien yang

memiliki abnormalitas status mental yang digambarkan oleh CT Scan.

MRI telah terbukti lebih sensitif daripada CT-Scan, terutama dalam

mengidentifikasi lesi difus non hemoragik cedera aksonal.

f. EEG

Peran yang paling berguna EEG pada cedera kepala mungkin untuk

membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat

melihat perkembangan gelombang yang patologis. Dalam sebuah studi

landmark pemantauan EEG terus menerus pada pasien rawat inap

dengan cedera otak traumatik. Kejang konfulsif dan non konfulsif tetap

terlihat dalam 22%. Pada tahun 2012 sebuah studi melaporkan bahwa

perlambatan yang parah pada pemantauan EEG terus menerus

berhubungan dengan gelombang delta atau pola penekanan melonjak

dikaitkan dengan hasil yang buruk pada bulan ketiga dan keenam pada

pasien dengan cedera otak traumatik.


21

g. Serebral angiography: menunjukan anomalia sirkulasi serebral ,

seperti perubahan jarigan otak sekunder menjadi udema, perubahan dan

trauma.

h. Serial EEG: dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.

i. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan

struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.

j. BAER: mengoreksi bats fungsi corteks dan otak kecil

k. PET: mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

l. CSF, lumbalis punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan

subarachnoid.

m. ABGs: mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan

(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial

n. Kadar elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai

akibat peningkatan tekanan intrakranial

o. Screen toxicologi: untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga

menyebabkan penurunan kesadaran (Rendy and Margaret Clevo, 2012)

p. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral) Rontgen thoraks

menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural

q. Toraksentesis menyatakan darah/cairan

r. Analisa Gas Darah (AGD/Astrup)

Analisa gas darah adalah salah satu tes diagnostic untuk menentukan

status repirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan melalui

pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan status asam basa.
22

1.9 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien dengan cedera kepala meliputi sebagai

berikut (Manurung, 2018):

a. Keperawatan

1) Observasi 24 jam

2) Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.

Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah,

hanya cairan infus dextrose 5%, amnifusin, aminofel (18 jam

pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan

makanan lunak

3) Berikan terapi intravena bila ada indikasi

4) Pada anak diistirahatkan atau tirah baring

b. Medis

1) Terapi obat-obatan

a) Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema

serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma

b) Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu

mannitol 20 % atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %

c) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin)

atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol

d) Pembedahan bila ada indikasi (hematom epidural besar,

hematom sub dural, cedera kepala terbuka, fraktur impresi >1

diplo)
23

e) Lakukan pemeriksaan angiografi serebral, lumbal fungsi, CT

Scan dan MRI (Satyanegara, 20114).

Menurut Rendy & Margaret Clevo (2015) penatalaksanaan konservatif

adalah sebagai berikut.

a. Bedrest Total

b. Pemberian Obat-Obatan

1) Obat Anti Kejang Profilaksis anti kejang efektif diberikan pada 1

minggu pertama pasca trauma. Alternatif obat yang efektif adalah

phenytoin dan levetiracetam. Pengobatan profilaksis anti kejang

sebaiknya tidak rutin dilakukan setelah 7 hari pasca trauma karena

tidak menurunkan risiko kejang fase lanjut pasca trauma.

Pemberian profilaksis fenitoin efektif untuk mencegah kejang fase

dini pasca trauma.

2) Manitol dan Sodium Laktat Hipertonis Manitol membantu

menurunkan TIK pada pasien COB. Pemberian secara bolus

dengan dosis 0,25–1gr/kgBB lebih dianjurkan dibandingkan

pemberian secara terus menerus 3)

3) Antibiotika Profilaksispada Pemasangan Kateter Ventrikel

Pemberian antibiotik pada pemasangan dan penggantian kateter

ventrikel setiap 5 hari tidak mengurangi risiko infeksi.

Penggunaan antibiotik lokal maupun sistemik tidak menurunkan

risiko infeksi pada pemasangan kateter ventrikel.

4) Analgetik Ketorolac dan acetaminophen dapat digunakan pada

pasien trauma kepala. Ketorolac hanya boleh diberikan maksimal


24

5 hari. Obat-obatan NSAID lainnya seperti ibuprofen dan

naproxen bisa diberikan per-oral. Ketoprofen supp dan

acetaminophen supp bermanfaat menguranginyeri pada COR.

5) Kortikosteroid Terapi dengan dan tanpa kortikosteroid pada

pasien memar otak secara statistic hasil terapi tidak berbeda

bermakna

6) Sedatif/Tranquilizer Midazolam mengurangi CBF sehingga

cenderung aman dan efektif untuk anestesiadan sedasi pasien

dengan peningkatan ICP. Propofol memberikan hasil yang baik

dalam fungsi sedasi serta memudahkan dalam evaluasi fungsi

neurologis secara awal. Dexmedetomidine merupakan sedasi

tanpa efek neurologis dan memberikan efek proteksi pada otak

(Wahyuhadi et al., 2016).

1.10 Konsep Terapi Relaksasi Napas Dalam

1.10.1 Pengertian

Terapi relaksasi nafas dalam merupakan pernafasan pada

abdomen dengan frekuensi lambat serta perlahan, berirama, dan

nyaman dengan cara memejamkan mata saat menarik nafas. Efek dari

terapi ini ialah distraksi atau pengalihan perhatian. (Hartanti, dkk,

2016). Mekanisme relaksasi nafas dalam pada sistem pernafasan berupa

suatu keadaan inspirasi dan ekspirasi pernafasan dengan frekuensi

pernafasan menjadi 6-10 kali permenit sehingga terjadi peningkatan

regangan kardiopulmonari. Terapi relaksasi nafas dalam dapat


25

dilakukan secara mandiri, relatif mudah dilakukan dari pada terapi

nonfarmakologis lainnya, tidak membutuhkan waktu lama untuk terapi,

dan dapat mengurangi dampak buruk dari terapi farmakologis bagi

penderita hipertensi (Masnina & Setyawan, 2018).

1.10.2 Tujuan pemberian relaksasi napas dalam

Relaksasi napas dalam bertujuan untuk mengontrol pertukaran gas

agar menjadi efisien, mengurangi kinerja bernapas, meningkatkan inflasi

alveolar maksimal, meningkatkan relaksasi otot, menghilangkan ansietas,

menyingkirkan pola aktivitas otot-otot pernapasan yang tidak berguna,

melambatkan frekuensi pernapasan, mengurangi udara yang terperangkap

serta mengurangi kerja bernapas (Bruner & Suddart, 2015).

1.10.3 Pengaruh pemberian relaksasi napas dalam

Relaksasi nafas dalam adalah tindakan yang disadari untuk

mengatur pernafasan secara dalam yang dilakukan oleh korteks serebri,

sedangkan pernafasan spontan dilakukan oleh medulla oblongata.

Relaksasi nafas dalam dilakukan dengan mengurangi frekuensi bernafas

16-19 kali dalam satu menit menjadi 6-10 kali dalam satu menit. Relaksasi

nafas dalam akan merangsang munculnya oksida nitrit yang akan

memasuki paru-paru bahkan pusat otak yang berfungsi membuat orang

menjadi lebih tenang sehingga tekanan darah yang dalam keadaan tinggi

akan menurun (Wardani, 2015).


26

1.10.4 Manfaat relaksasi napas dalam

Beberapa manfaat terapi relaksasi nafas dalam adalah sebagai

berikut (Wardani, 2017) :

a. Ketentraman hati

b. Berkurangnya rasa cemas, khawatir dan gelisah

c. Tekanan darah dan ketegangan jiwa menjadi rendah

d. Detak jantung lebih rendah

e. Mengurangi tekanan darah

f. Meningkatkan keyakinan

g. Kesehatan mental menjadi lebih baik

1.10.5 Prosedur terapi relaksasi napas dalam

Langkah-Langkah teknik terapi relaksasi nafas dalam menurut Wardani

(2017) sebagai berikut:

a. Ciptakan lingkungan yang tenang.

b. Usahakan tetap rileks dan tenang.

c. Menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan

udara melalui hitungan.

d. Perlahan-lahan udara dihembuskan melalui mulut sambil

merasakan ekstremitas atas dan bawah rileks.

e. Anjurkan bernafas dengan irama normal 3 kali.

f. Menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskan melalui

mulut secara perlahan-lahan.

g. Membiarkan telapak tangan dan kaki rileks.


27

h. Usahakan agar tetap konsentrasi.

i. Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga benar-benar rileks.

j. Ulangi selama 15 menit, dan selingi istirahat singkat setiap 5 kali

pernafasan.

1.11 Asuhan Keperawatan Berdasarkan Teori

1.11.1 Pengkajian

Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan

dengan mengadakan kegiatan mengumpulkan data-data atau

mendapatkan data yang akurat dari klien sehingga akan diketahui

berbagai permasalahan yang ada (Hidayat, 2021). Adapun yang perlu

dikaji sebagai berikut :

1. Anamnesa (Data subyektif)

Amamnesa adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan

wawancara (Nursalam, 2017).

1) Identitas

Identitas diperlukan untuk memastikan bahwa yang

diperiksa benar-benar pasien yang dimaksud, dan tidak

keliru dengan pasien yang lain (Nursalam, 2017). Identitas

tersebut meliputi:

a) Nama pasien

Data diperlukan nama anak untuk memastikan

bahwa yang diperiksa benar-benar pasien yang


28

dimaksud. Nama harus jelas dan lengkap disertai nama

panggilan akrabnya.

b) Umur

Umur dikaji untuk mengingat periode pasien

yang mempunyai ciri khasnya dalam mortalitas, usia

pasien juga perlu untuk menginterpretasikan data

pemeriksaan klinis pasien serta untuk menentukan

pemberian dosis obat pada pasien.

c) Jenis kelamin

Dikaji untuk identitas dan penilaian data

pemeriksaan klinis, misalnya penyakit-penyakit yang

berhubungan dengan reproduksi.

d)Anak keberapa

Dikaji untuk mengetahui jumlah keluarga pasien

dan data dalam pembuatan genogram.

e)Nama orang tua

Dikaji agar dituliskan dengan jelas supaya tidak

keliru dengan pasien yang lain.

f) Agama

Menggambarkan nilai-nilai spiritual dan

keyakinan pasien dan merupaka pedoman hidup dan

dijadikan pegangan dalam mengambil keputusan untuk

memberikan tindakan keperawatan dalam spiritual.

g) Pendidikan
29

Dikaji untuk memperoleh keakuratan data yang

diperoleh serta ditentukan pola pendekatan anamnesis.

h) Alamat

Dikaji untuk mengetahui tempat tinggal pasien

2. Riwayat kesehatan

Menurut Nursalam (2017), riwayat kesehatan adalah untuk

mengetahui alasan pasien datang dan riwayat kesehatannya dahulu

sekarang, serta riwayat kesehatan keluarga untuk menemukan masalah

kesehatanyang sedang dialami pasien dan untuk menentukan diagnosa

keperawatan serta tindakan yang akan diberikan pada pasien.

1) Keluhan utama

Keluhan utama adalah keluhan atau gejala saat awal

dilakukan pengkajian yang menyebabkan pasien berobat

(Hidayat, 2021). Cedera kepala berat mempunyai keluhan atau

gejala utama yang berbeda-beda tergantung letak lesi dan luas

lesi, otak mengalami memar dengan memungkinkan adanya

daerah yang mengalami perdarahan (hemoragik-hemmorage).

Keluhan utama yang timbul pada cedera kepala berat seperti nyeri

kepala yang hebat, mual-muntah, sampai kejang, denyut nadi

lemah, pernapasan dangkal, akral dingin, pucat, gelisah, letargi,

lelah apatis, perubahan pupil. Biasanya pasien akan mengalami

penurunan kesadaran (GCS<15) karena adanya benturan serta

perdarahan pada bagian kepala klien yang disebabkan oleh

kecelakaan ataupun tindakan kejahatan (Muttaqin, 2008).


30

2) Riwayat kesehatan sekarang

Catatan tentang riwayat penyakit pasien saat dilakukan

pengkajian. Pada pasien dengan cedera kepala biasanya

didapatkan keluhan utama adanya riwayat trauma yang mengenai

kepala akibat dari kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian,

trauma langsung ke kepala. Pengkajian yang didapat, meliputi

tingkat kesadaran menurun (GCS,15), konvulsi, muntah,

takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka di

kepala, paralise, akumulasi secret pada saluran pernapasa, adanya

likuor dari hidung dan telinga, serta kejang. Adanya penurunan

atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan

perubahan di dalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku

juga umum terjadi. Sesuain perkembangan penyakit, dapat terjadi

letargik, tidak responsive dan koma.

3) Riwayat kesehatan dahulu

Riwayat kesehatan dahulu untuk mengetahui apakah

sebelumnya pasien mengalami penyakit yang sama atau penyakit

4) Riwayat kesehatan keluarga

Riwayat kesehatan keluarga adalah untuk melihat apakah

keluarga pernah menderita gejala dan sakit yang sama, apakah

keluarga memiliki penyakit yang menurun dan menular

3. Pemeriksaan Fisik

a) Kepala dan leher


31

Kaji bentuk kepala tanda-tanda mikro atau makrosepali,

adakah dispersi bentuk kepala, apakah tanda-tanda kenaikan

tekanan intrakranial, adakah hematoma atau edema, adakah luka

robek, fraktur, perdarahan dari kepala, keadaan rambut, adakah

pembesaran pada leher, telinga bagian luar dan membran timpani,

cedera jaringan lunak periorbital.

b) Sistem integument

Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit.

Adanya perubahan warna kulit, warna kebiruan menunjukkan

adanya sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, bibir, dan

mebran mukosa). Pucat pada wajah dan membrane mukosa dapat

berhubungan dengan rendahnya kadar hemoglobin atau syok.

Pucat dan sianosis pada klien yang menggunakan ventilator dapat

terjadi akibat adanya hipoksemia. Warna kemerahan pada kulit

dapat menunjukkan adanya demam, dan infeksi. Integritas kulit

untuk menilai adanya lesi dan decubitus. Adanya kesulitan untuk

beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau

paralise/hemiplegi, mudah lelah menyebabkan masalah pada pola

aktivitas dan istirahat.

c) Sistem pernafasan

Perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun

frekuensi, nafas bunyi ronchi. Adakah sesak nafas, batuk, sputum,

nyeri dada. Pada pasien cedera kepala berat dapat ditemukan

adanya perubahan pola pernafasan, pola napas abnormal,


32

perubahan frekuensi napas, dispnea, penggunaan otot bantu

napas, pernafasan cuping hidung, penurunan kemampuan batuk

efektif, penumpukan sputum/secret berlebih di jalan napas,

adanya bunyi napas tambahan, bunyi napas menurun, nilai gas

darah arteri abnormal, PCO2 meningkat, PO2 menurun, SaO2

menurun, sianosis, napas mengap-mengap, adanya penggunaan

ventilator, upaya napas dan bantuan ventilator tidak sinkron.

d) Sistem kardiovaskuler

Apabila terjadi peningkatan TIK, tekanan darah

meningkat, denyut nadi bradikardi kemudian takikardi. Perfusi

jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang,

hipertensi/hipotensi, aritmia, kardiomegalis.

e) Sistem gastrointestinal

Didapatkan adanya kesulitan menelan, nafsu makan

menurun, mual dan muntah pada fase akut. Mual sampai muntah

dihubungkan dnegan peningkatan produksi asam lambung

sehinggan menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola

defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltic

usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan

kerusakan neurologis luas. Pemeriksaan rongga mulut dengan

melakukan penilaian ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan

pada lidah dapat menunjukkan adanya dehidrasi. Pemeriksaan

bising usus untuk menilai ada atau tidaknya dan kualitas bising

usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising


33

usus menurun atau hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan

peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama kurang lebih 2

menit. Penurunan motilitas usus dapat terjadi akibat tertelannya

udara yang berasal dari sekitar selang endotrakeal dan

nasotrakeal.

f) Sistem urinary

Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik

urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan

peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya

perfusi pada ginjal. Setelah cedera kepala, klien mungkin

mengalami inkontinensia urine karena konfusi, ketidakmampuan

untuk menggunakan sistem perkemihan karena kerusakan kontrol

motorik dan postural. Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius

eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan

katerisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine

yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.

g) Sistem musculoskeletal

Kelemahan otot, deformasi

h) Sistem neurologis

Tingkat kesadaran/nilai GCS, reflek bicara, pupil, orientasi

waktu dan tempat, amnesia, vertigo, syncope, tinnitus, kehilangan

pendengaran, perubahan penglihatan, gangguan pengecapan.


34

Perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status mental,

konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori.

4. Pemeriksaan penunjang

a. Computed Temografik Scan (CT-Scan) (tanpa/denga

kontras) : Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik,

menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.

b. Magnetic Resonance Imaging (MRI) : Sama dengan

Computed Temografik Scan (CT-Scan) dengan atau tanpa

kontras.

c. Angiografi serebral: Menunjukan kelainan sirkulasi

serebral, seperti pengeseran jaringan otak akibat edema,

perdarahan, trauma

d. Electroencephalogram (EEG) : Untuk memperlihatkan

keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.

e. Sinar-X : Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang

(fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena

perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.

f. Brain Auditory Evoked Respons (BAER): Menentukan

fungsi korteks dan batang otak.

g. Positron Emission Tomography (PET): Menunjukan

perubahan aktifitas metabolisme pada otak.

h. Fungsi lumbal, cairan serebrosspinal (CSS): Dapat menduka

kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid.


35

i. Gas Darah Artery (GDA) : Mengetahui adanya masalah

ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan

tekanan intracranial (TIK).

j. Kimia /elektrolit darah : Mengetahui ketidak seimbangan

yang berperan dalam peningkatan tekanan intracranial

(TIK)/perubahan mental.

k. Pemeriksaan toksikologi: Mendeteksi obat yang mungkin

bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran.

l. Kadar antikonvulsan darah: dapat dilakukan untuk

mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk

mengatasi kejang

1.11.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis

mengenai respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses

kehidupan yang dialami baik yang berlangsung actual maupun

potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi

respons klien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang

berkaitan dengan kesehatan (PPNI, 2016). Diagnosis keperawatan

merupakan keputusan klinis mengenai seseorang, keluarga, atau

masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses

kehidupan yang aktual atau potensial (Hidayat, 2021). Adapun

diagnosis yang muncul pada pasien yang penulis ambil dengan cedera

kepala ringan adalah risiko perfusi serebral tidak efektif dan nyeri akut

(PPNI, 2016).
36

1.11.3 Intervensi Keperawatan

Tabel 2.1 Intervensi keperawatan

No Diagnosa SLKI SIKI


1. Risiko Perfusi Perfusi serebral Manajemen peningkatan
Serebral Tidak Efektif (L.02014) tekanan intrakranial
(D.0017) (I.06194)
Setelah di lakukan
intervensi keperawatan Observasi
selama 3 x 24 jam, - Monitor tanda / gejala
diharapkan perfusi peningkatan TIK
serebral efektif dengan (tekanan darah
kriteria hasil : meningkat,
- Tingkat kesadaran bradikardi, kesadaran
baik menurun, pola napas
- Sakit kepala menurun ireguler)
- Tekanan darah dalam - Monitor status
batas normal pernapasan
Terapeutik
- Menyediakan
lingkungan yang
tenang
- Berikan posisi semi
fowler
Kolaborasi
- Kolaborasi
pemberian sedasi dan
anti konvulsan, jika
perlu

2. Nyeri akut (D.0077) Tingkat nyeri (L.08066) Manajemen nyeri


(I.08238)
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan Observasi
selama 2 x 24 jam - Identifikasi pqrst
diharapkan tingkat nyeri nyeri
berkurang dengan - Identifikasi respon
kriteria hasil : nyeri non verbal
- Keluhan nyeri - Identifikasi faktor
menurun yang memperberat
- Sikap protektif dan meperingan nyeri
menurun
37

- TTV dalam batas Terapeutik


normal - Berikan teknik non
farmakologis untuk
meringankan nyeri
(teknik relaksasi
napas dalam,
kompres
dingin/hangat, terapi
musik dsb)
- Fasilitasi istirahat
dan tidur

Edukasi
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Ajarkan teknik non
farmakologis untuk
meringankan nyeri

Kolaborasi
- Kolaborasi
pemberian analgetik,
jika perlu

1.11.4 Implementasi Keperawatan

Setelah rencana tindakan keperawatan di susun maka untuk

selanjutnya adalah pengolahan data dan kemudian pelaksanaan asuhan

keperawatan sesuai dengan rencana yang telah di susun tersebut. Dalam

pelakasaan implementasi maka perawat dapat melakukan obesrvasi atau

dapat mendiskusikan dengan klien atau keluarga tentang tindakan yang akan

di lakukan. (Nursalam, 2017)

1.11.4 Evaluasi Keperawatan


38

Evaluasi adalah langkah terakir dalam asuhan keperawatan, evaluasi

dilakuakan dengan pendekatan SOAP ( data subjektif, data objektif, analisa,

planning ). Dalam evaluasi ini dapat ditentukan sejauh mana keberhasilan

rencana tindakan keperawatan yang harus dimodifikasi. (Nursalam, 2017)

1.12 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan atau ikatan antara

konsep satu terhadap konsep lainnya dari masalah yang ingin diteliti (Nursalam,

2017)

Etilogi
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Kecelakaan olahraga
3. Kekerasan
4. Benturan

Patofisiologi
1. Cedera otak primer
CKR
2. Cedera otak sekunder

Terapi relaksasi napas dalam


1. Mengontrol pertukaran gas menjadi
lebih efisien
2. Meningkatkan relaksasi otot Asuhan Keperawatan Pada Anak Febris
3. Meringankan aktivitas otot
1. Pengkajian
2. Diagnosa
3. Intervensi
4. Implementasi
5. Evaluasi

Keterangan :
: Variabel yang diteliti
39

: Variabel yang tidak diteliti


: Terdapat Hubungan

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Terapi Relaksasi Napas Dalam Terhadap


Penurunan Nyeri pada Pasien dengan Cedera Kepala Ringan

Anda mungkin juga menyukai