TAZQIROTUL ULA
NIM. 433811490230016
c. Menurut morfologinya
1) Trauma kranial
Fraktur kranial terjadi dapat terjadi pada bagian atas maupun bagian dasar
tengkorak, bentuknya seperti bintang atau liner (lurus). Pada fraktur
cranial terbuka maka terjadi hubungan antara laserasi kulit kepala dengan
permukaan otak yang diakibatkan robeknya selaput durameter (Global
Training Center, 2017).
2) Scalp wounds (truma kulit kepala)
Kulit kepala harus diperiksa adakah nukti luka atau perdarahan akibat
fraktur tengkorak (Krisanty, et. all., 2016)
3) Komosio serebri (gegar otak)
Kehilangan kesadaran sementara ( kurang dari 15 menit), sesudah itu
klien akan mengalami diorentasi dan bingung hanya dalam waktu yang
relatif singkat (Krisanty, et. all., 2016).
4) Kontusio serebri
Kehilangan kesadaran lebih lama. Dikenal juga dengan Diffuse Axonal
Injury (DAI), yang mempunyai prognosis lebih buruk.
5) Perdarahan epidural
Hematoma epidural terletak diluar durameter dibawah tulang tengkorak
dan mempunyai ciri-ciri berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa
cembung (Global Training Center, 2017).
6) Perdarahan subdural
Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena di permukaan yang
terletak antara cortek cerebri dan sinus venosus yaitu tempat vena
bermuara namun dapat juga terjadi akibat laserasi pembuluh arteri pada
permukaan otak (Global Training Center, 2017).
7) Perdarahan intra kranial
Perdarahan intra serebral sering terjadi pada cedera otak berat dan
sebagian besar terjadi pada area lobus frontal dan temporal, walau dapat
terjadi pada semua bagian otak (Global Taining Center, 2017)
Selain hal-hal tersebut, saraf-saraf otak dapat terkena oleh trauma kapitis karena
(1) trauma langsung
(2) hematom yang menekan pada saraf otak
(3) traksi terhadap saraf otak ketika otak tergeser karena akselerasi, atau
(4) kompresi serebral traumatik akut yang secara sekunder menekan pada batang
otak. Pada trauma kapitis dapat terjadi komosio, yaitu pingsan sejenak dengan
atau tanpa amnesia retrograd. Tanda-tanda kelainan neurologik
apapun tidak terdapat pada penderita tersebut. Sedangkan kemungkinan lain yang
terjadi adalah penurunan kesadaran untuk waktu yang lama. Derajat kesadaran
tersebut ditentukan oleh integirtas diffuse ascending reticular system. Lintasan
tersebut bisa tidak berfungsi sementara tanpa mengalami kerusakan yang
irreversibel. Batang otak yang pada ujung rostral bersambung dengan medula
spinalis mudah terbentang dan teregang waktu kepala bergerak secara cepat dan
mendadak. Gerakan cepat dan mendadak itu disebut akselerasi. Peregangan
menurut poros batak otak ini dapat menimbulkan blokade reversibel pada lintasan
retikularis asendens difus, sehingga selama itu otak tidak mendapat input aferen,
yang berarti bahwa kesadaran menurun sampai derajat yang terendah (Mardjono
& Sidharta, 2010).
Trauma kapitis yang menimbulkan kelainan neurologik disebabkan oleh
(1) kontusio serebri
(2) laserasio serebri
(3)perdarahan subdural
(4) perdarahan epidural, atau
(5) perdarahan intraserebral. Lesi-lesi tersebut terjadi karena berbagai gaya
destruktif trauma. Pada mekanisme terjadinya trauma kapitis, seperti telah
disebutkan sebelumnya, terjadi gerakan cepat yang mendadak (akselerasi).
Selain itu, terdapat penghentian akselerasi secara mendadak (deakselerasi). Pada
waktu akselerasi berlangsung, terjadi akselerasi tengkorang ke arah impact dan
penggeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah impact. Adanya
akselerasi tersebut menimbulkan penggeseran otak serta pengembangan gaya
kompresi yang destruktif, yang akhirnya akan menimbulkan terjadinya lesi
kontusio. Lesi kontusio dapat berupa perdarahan pada permukaan otak yang
berbentuk titik-tik besar dan kecil tanpa kerusakan duramater. Lesi kontusio di
bawah impact disebut lesi kontusio coup, sedangkan lesi di seberang impact
disebut lesi kontusio countrecoup. Ada pula lesi intermediate, yaitu lesi yang
berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono & Sidharta,
2010).
7. Mekanisme Trauma
Trauma kepala terjadi bila kekuatan mekanik yang di transmisikan ke jaringan
otak. Mekanisme yang berkontribusi terhadap trauma kepala:
a. Akselerasi: kepala yang diam (tak bergerak) ditabrak oleh benda yang
bergerak
b. Deselerasi: kepala membentur benda yang tidak bergerak
c. Deformasi: benturan pada kepala (tidak menyebabkan fraktur tulang
tengkorak) menyebabkan pecahnya pembuluh darah vena terdapat di
permukaan kortikal sampai ke dura sehingga terjadi perdarahan subdural
(Krisanty, et. all., 2016).
8. Pemeriksaan Penunjang
a. CT Scan (dengan atau tanpa kontras ) : mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Cat :
untuk mengetahui adanya infark/ iskemia, jangan dilakukan pada 24 -
72 jam setelah injury.
b. MRI : digunakan sama seperti CT Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
c. Cerebral angiografi : menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak menjadi udema, perdarahan dan trauma.
d. Serial EE : dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
e. X ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan /edema), fragmen tulang.
f. BAER : mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
g. PET : mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
h. CSF : lumbal punkis dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
i. ABGs : mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan TIK
j. Kadar elektrolit : untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan TIK
k. Screen toxicologi : untuk mendeteksi pengaruh obat, sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran
(Krisanty, et. all., 2016).
9. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari
factor mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation)
dan menilai status neurologis (disability, exposure), maka factor yang harus
diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Selain
itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang meninggi
disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan
tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial
ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan
hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah
metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2
ini yakin dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Intubasi dilakukan
sedini mungkin kepala klien yang koma untuk mencegah terjadinya
PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat
mencegah peningkatan tekanan intracranial.
b. Penangan khususnya pada klien dengan CKB yang mengalami
perdarahan atau hematom di kepala baik pada bagian EDH maupun
SDH dilakukan tindakan trepanasi. Trepanasi/kraniotomi adalah suatu
tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk
tindakan pembedahan definitif. Epidural Hematoma (EDH) adalah suatu
perdarahan yang terjadi di antara tulang dan lapisan duramater.
c. Kontusio berat observasi dan tirah baring, dilakukan pembersihan /
debridement dan sel-sel yang mati (secara bedah terutama pada cedera kepala
terbuka)
d. Untuk cedera kepala terbuka diperlukan antibiotika untuk mencegah
terjadinya infeksi
e. Dilakukan metode-metode untuk menurukan tekanan intracranial termasuk
pemberian diuretic dan anti inflamasi
f. Lakukan pengkajian neurologik
• Fungsi serebral ( kesadaran, orientasi, memori, bicara )
• TTV ( TD, nadi)
• Fungsi motorik dan sensorik
g. Kaji adanya cedera lain, terutama cedera servikal. Jangan memindahkan
pasien sampai kemungkinan cedera servikal telah disingkirkan / ditangani.
Tinggikan kepala tempat tidur sampai 30 derajat jika tidak terdapat cedera
servikal.
h. Pantau adanya komplikasi
• Pantau TTV dan status neurologist dengan sering
• Periksa adanya peningkatan TIK
• Periksa adanya drainase dari hidung dan telinga.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Primary Survey
a. AIRWAY
• Cek jalan napas paten atau tidak
• Ada atau tidaknya obstruksi misalnya karena lidah jatuh
kebelakang, terdapat
• cairan, darah, benda asing, dan lain-lain.
• Dengarkan suara napas, apakah terdapat suara napas tambahan seperti
snoring, gurgling, crowing.
b. BREATHING
• Kaji pernapasan, napas spontan atau tidak
• Gerakan dinding dada simetris atau tidak
• Irama napas cepat, dangkal atau normal
• Pola napas teratur atau tidak
• Suara napas vesikuler, wheezing, ronchi
• Ada sesak napas atau tidak (RR)
• Adanya pernapasan cuping hidung, penggunaan otot bantu pernapasan
c. CIRCULATION
• Nadi teraba atau tidak (frekuensi nadi)
• Tekanan darah
• Sianosis, CRT
• Akral hangat atau dingin, Suhu
• Terdapat perdarahan, lokasi, jumlah (cc)
• Turgor kulit
• Diaphoresis
• Riwayat kehilangan cairan berlebihan
d. DISABILITY
• Kesadaran : composmentis, delirium, somnolen, koma
• GCS : EVM
• Pupil : isokor, unisokor, pinpoint, medriasis
• Ada tidaknya refleks cahaya
• Refleks fisiologis dan patologis
• Kekuatan otot
e. EXPOSURE
• Ada tidaknya deformitas, contusio, abrasi, penetrasi, laserasi, edema
• Jika terdapat luka, kaji luas luka, warna dasar luka, kedalaman
f. FIVE INTERVENTION
• Monitoring jantung (sinus bradikardi, sinus takikardi)
• Saturasi oksigen
• Ada tidaknya indikasi pemasangan kateter urine, NGT
• Pemeriksaan laboratorium
g. GIVE COMFORT
• Ada tidaknya nyeri
• Kaji nyeri dengan
P : Problem
Q : Qualitas/Quantitas
R : Regio
S : Skala
T : Time
h. HEAD TO TOE
• Fokus pemeriksaan pada daerah trauma
• Kepala dan wajah
2. Pengkajian Secondary Survey
a. Kaji riwayat trauma
• Allergi (alergi): Apakah pasien mempunyai riwayat alergi terhadap
makanan (jenisnya), obat, dan lainnya.
• Medication (pengobatan): Apakah pasien sudah mendapatkan
pengobatan pertama setelah cedera, apakah pasien sedang menjalani
proses pengobatan terhadap penyakit tertentu?
• Past Medical History (riwayat penyakit sebelumnya): Apakah
pasien
• menderita penyakit tertentu sebelum menngalami cedera, apakah
penyakit tersebut menjadi penyebab terjadinya cedera?
• Last Oral Intake (makan terakhir): Kapan waktu makan terakhir
sebelum cedera? Hal ini untuk memonitor muntahan dan untuk
mempermudah mempersiapkan bila harus dilakukan tindakan lebih
lanjut/operasi.
• Event Leading Injury (peristiwa sebelum/awal cedera): Apakah
pasien mengalami sesuatu hal sebelum cedera, bagaimana hal itu bisa
terjadi ?
b. Tingkat kesadaran
Nilai dengan Glaslow Coma Scale (GCS)
c. Ukur tanda-tanda vital
1) Hipertensi dan bradikardi menandakan peningkatan TIK
2) Nadi irreguler atau cepat menandakan disritmia jantung
3) Apnea, perubahan pola nafas terdapat pada cedera kepala
4) Suhu meningkat dihubungkan dengan heat injuri (trauma panas)
d. Respon pupil, apakah simetrsi atau tidak
e. Gangguan penglihatan
f. Suken eyes (mata terdorong kedalam): satu atau keduanya
g. Aktivitas kejang
h. Tanda battle’s yaitu “blush discoloration” atau memar dibelakang telinga
(mastoid) menandakan adanya fraktur dasar tengkorak
i. Rinorea atau otorea menandakan kebocoran CSF
j. Periorbital ecchymosis akan ditemukan pada fraktur anterior basilar
3. Diagnosa dan Rencana Tindakan Keperawatan
Diangosa Tujuan dan Kriteria
No Intervensi
Keperawatan Hasil
1 Resiko perfusi Perfusi Serebral Manajemen Peningkatan Tekanan
serebral tidak (L.02014) Intrakarnial (I.06194)
efektif 1. Tingkat kesadaran Tindakan:
2. Sakit kepala Observasi
3. Gelisah 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK (Mis,
4. Agitasi lesi, gangguan metabolisme,edem serebral,)
5. Demam 2. Monitor tanda dan gejala peningkatan TIK (
6. Tekanan arteri rata- mis, tekanan darah meningkat, tekanan nadi
rata melebar,bradikardia,pola napas
7. Tekanan intra ireguler,kesadaran menurun)
kranial 3. Monitor MAP (mean arterial preaure)
8. Tekanan darah 4. Monitor CVP ( Central Venous Presuure)
sistolik jika perlu
9. Tekanan darah 5. Monitor PAWP, jika perlu
diastolik 6. Monitor PAP, jika perlu
10. Refleks saraf 7. Monitor ICP (Intra cranial presuure)
8. Monitor gelombang ICP
9. Monitor status pernapasan
10. Monitor intake dan autput cairan
11. Monitor cairan serebro-spinalis
(mis,warna,konsistensi
Terapeutik
1. Minimalkan stimulus dengan menyediakan
lingkungan yang tenang
2. Berikan posisi semi fowler
3. Hindari manuver valsava
4. Cegah terjadinya kejang
5. Hindari penggunaan PEP
6. Hindari pemberian cairan IV hipotonik
7. Atur ventilator agar PaCO 2 Optimal
8. Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian sedasi dan anti
convulsan , jika perlu
2. Kolaborasi pemberian diuretik osmosis, jika
perlu
3. Kolaborasi pemberian pelunak tinja , jika
perlu
Pemantauan Tekanan Intrakranial (I.06198)
Tindakan:
Observasi
1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis:
lesi menempati ruang, gangguan
metabolisme, edema serebral, peningkatan
tekanan vena, obstruksi aliran cairan
serebrospinal, hipertensi,
intrakranialidiopatik)
2. Monitor peningknatamTD
3. Monitor pelebaran tekanan nadi (selisih TDS
dan TDD)
4. Monitor penurunan frekuensi jantung
5. Monitor ireguleritas irama nafas
6. Monitor penurunan kesadaran
7. Monitor perlambatan atau ketidaksimetrisan
respon pupil
8. Monitor kadar CO2 dan pertahankan dalam
rentang yang diindikasikan
9. Monitor tekanan perfusi serebral
10. Monitor jumlah, kecepatan dan karakteristik
drainase cairan serebrospinal
11. Monitor epek stimulus lingkungan terhadap
TIK
Terapeutik
1. Ambil sampel drainase cairan serebrospinal
2. Kalibrasi transduser
3. Pertahankan seterilitas sistem pemantauan
4. Pertahankan posisi kepaladan leher netral
5. Bilas sistem pemantauan, jika perlu
6. Atur interval pemantauan sesuai kondisi
pasien
7. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
Global Training Center. (2017). Basic trauma & cardiac life support. Jakarta: GTC.
Krissanty, P., et. all. (2016). Asuhan keperawatan: Gawat darurat. Jakarta: CV. Trans
Info Media.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar diagnosa keperawatan indonesia: Definisi
dan indikator diagnostik. Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar intervensi keperawatan indonesia: Definisi
dan tindakan keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar luaran keperawatan indonesia: Definisi dan
kriteria hasil keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.