Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS


PADA PASIEN ATAS INDIKASI CEDERA KEPALA
DIRUANG INTENSIVE CARE UNIT (ICU) RSUD KARAWANG

TAZQIROTUL ULA
NIM. 433811490230016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS HORIZON INDONESIA
Jln. Pangkal Perjuangan Km. 1 By Pass Karawang 41316
Karawang, 2023
A. Konsep Cedera Kepala
1. Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala atau trauma cerebral merupakan bentuk trauma yang dapat
mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan aktivitas intelektual,
emosional, sosial dan pekerjaan. Atau suatu gangguan traumatik yang
menimbulkan perubahan fungsi otak (Global Training Center, 2017)

Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau


penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi-decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk di pengaruhi oleh
perubahan peningkatan dan percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta
notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan (Rendy, 2012)

2. Klasifikasi Cedera Kepala


a. Menurut penyebabnya cedera kepala
1) Trauma tumpul
Kekuatan benturan akan menyebabkan kerusakan yang menyebar. Berat
ringan nya cedera yang terjadi tergantung pada proses akselerasi-
deselerasi, kekuatan benturan dan kekuatan rotasi internal. Rotasi internal
dapat menyebabkan perpindahan cairan dan perdarahan petekie karena
pada saat otak bergesek akan terjadi pergesekan antara permukaan otak
dengan tonjolan-tonjolan yang terdapat di permukaan dalam tengkorak
laserasi jaringan otak sehingga mengubah integritas vaskuler otak
(Krisanty, et. all., 2016).
2) Trauma tajam
Disebabkan oleh pisau atau peluru, atau fregmen tulang pada fraktuk
tulang tengkorak. Kerusakan tergantung pada kecepatan gerak (velocity)
benta tajam tersebut menancap ke kepala atau otak. Kerusakan terjadi
hanya pada area dimana benda tersebut merobek otak (lokal) (Krisanty,
et. all., 2016).
3) Coup dan Contracoup
Pada cedera coup kerusakan terjadi segera pada daerah benturan,
sedangkan pada cedera contracoup kerusakan terjadi pada sisi yang
berlawanan dengan daerah cedera coup (Krisanty, et. all., 2016).

b. Menurut berat ringannya trauma


1) Cedera kepala ringan
a) Nilai GCS 13-15
b) Amnesia kurang dari 30 menit
c) Trauma sekunder dan trauma neurologis tidak ada
d) Kepala pusing beberapa jam sampai beberapa hari

2) Cedera kepala sedang


a) Nilai GCS 9-12
b) Penurunan kesadaran 30 menit – 24 jam
c) Terjadi trauma sekunder
d) Gangguan neurologis sedang

3) Cedera kepala berat


a) Nilai GCS 3-8
b) Kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam sampai berhari-hari
c) Terdapat cedera sekunder: kontusio, fraktur tengkorak, perdarahan
dan atau hematoma intrakranial
(Krisanty, et. all., 2016)

Gaslow Coma Scale (GCS)


4 : Buka mata spontan
3 : Buka mata terhadap suara
2 : Buka mata terhadap nyeri
Eye
1 : Tidak ada respon
5 : Bicara spontan
4 : Bicara mengacau
Verbal 3 : Bicara tidak jelas
2 : Suara tidak jelas
1 : Tidak ada respon
6 : Mengikuti perintah
5 : Melokalisir nyeri
4 : Menjauh terhadap nyeri
Motorik
3 : Reaksi fleksi (dekortikasi)
2 : Reaksi ekstensi (deselebrasi)
1 : Tidak ada respon
(Krisanty, et. all., 2016)

c. Menurut morfologinya
1) Trauma kranial
Fraktur kranial terjadi dapat terjadi pada bagian atas maupun bagian dasar
tengkorak, bentuknya seperti bintang atau liner (lurus). Pada fraktur
cranial terbuka maka terjadi hubungan antara laserasi kulit kepala dengan
permukaan otak yang diakibatkan robeknya selaput durameter (Global
Training Center, 2017).
2) Scalp wounds (truma kulit kepala)
Kulit kepala harus diperiksa adakah nukti luka atau perdarahan akibat
fraktur tengkorak (Krisanty, et. all., 2016)
3) Komosio serebri (gegar otak)
Kehilangan kesadaran sementara ( kurang dari 15 menit), sesudah itu
klien akan mengalami diorentasi dan bingung hanya dalam waktu yang
relatif singkat (Krisanty, et. all., 2016).
4) Kontusio serebri
Kehilangan kesadaran lebih lama. Dikenal juga dengan Diffuse Axonal
Injury (DAI), yang mempunyai prognosis lebih buruk.
5) Perdarahan epidural
Hematoma epidural terletak diluar durameter dibawah tulang tengkorak
dan mempunyai ciri-ciri berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa
cembung (Global Training Center, 2017).
6) Perdarahan subdural
Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena di permukaan yang
terletak antara cortek cerebri dan sinus venosus yaitu tempat vena
bermuara namun dapat juga terjadi akibat laserasi pembuluh arteri pada
permukaan otak (Global Training Center, 2017).
7) Perdarahan intra kranial
Perdarahan intra serebral sering terjadi pada cedera otak berat dan
sebagian besar terjadi pada area lobus frontal dan temporal, walau dapat
terjadi pada semua bagian otak (Global Taining Center, 2017)

3. Tekanan Intra Kranial


Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan
secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa
dalam posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal
pungsi yaitu 10 – 15 mmHg (136-204 mmH2O). Kenaikan TIK dapat
menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia.
Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg,
terutama bila menetap. Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan
darah dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat
pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK
secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan
tentang dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial
harus selalu konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro- Kellie. Otak
memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari
cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup. Aliran darah
otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100
gram jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar tergantung pada
usainya. ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada
keadaan cedera otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari
berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal
sampai beberapa hari atau minggu setelah (Krisanty, et. all., 2016)

4. Etiologi Cedera Kepala


Penyebab cedera kepala terdiri dari kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh,
kecelakaan industri, serangan dan yang berhubungan dengan olah raga, trauma
akibat persalinan. Menurut Mansjoer (2011), cidera kepala penyebab sebagian
besar kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian
besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Penyebab cedera kepala dapat dibagi
menjadi 2, seperti:
a. Cedera tertutup : kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh dan cedera
olahraga
b. Cedera terbuka : Peluru atau pisau

5. Manifestasi Klinis Cedera Kepala


Menurut Krisanty, et. all. (2016), tanda dan gejala dari cedera kepala antara lain:
a. Peningkatakn TIK, dengan manifestasi sebagi berikut:
1) Trias TIK : penurunan tingkat kesadaran, gelisah/ iritable, papil edema,
muntah proyektil
2) Penurunan fungsi neurologis, seperti: perubahan bicara
3) Sakit kepala, mual, pandangan kabur (diplopia)
b. Fraktur tengkorak, dengan manifestasi sebagai berikut:
1) CSF atau darah mengalir dari telinga dan hidung
2) Perdarahan di belakang membran timpani
3) Periorbital ekhimoasis
4) Battle’s sign (memar di daerah mastoid)
c. Kerusakan saraf cranial dan telinga tengah, dengan manifestasi sebagai
berikut:
1) Perubahan penglihatan akibat kerusakan nervus optikus
2) Pendengaran berkurang akibat kerusakan nervus auditory
3) Hilangnya daya penciuman akibat kerusakan nervus olfaktorius
4) Pupil dilatasi, ketidak mampuan mata bergerak akibat kerusakan nervus
okulomotor
5) Vertigo akibat kerusakan atolith di telinga tengah
6) Nistagmus karena kerusakan sistem vestibular
d. Komosio serebri, dengan manifestasi sebagai berikut:
1) Sakit kepala dan pusing
2) Retrograde amnesia
3) Tidak sadar lebih dari atau sama dengan 5 menit
e. Kontusia serebri, dengan manifestasi sebagai berikut:
Terjadi pada injuri berat, termasuk fraktur servikalis:
1) Penignkatan TIK
2) Tanda dan gejala herniasi otak
a) Kontusio serebri
Manifestasi tergantung area hemisfer otak yang kena. Kontusio pada
lobus temporal: agitasi, confuse; kontusio frontal: hemiparese, klien
sadar; kontusio frontotemporal: aphasia. Tanda dan gejala tersebut
reversible
b) Kontusio batang otak
(1) Respon segera menghilang dan pasien koma
(2) Penurunan tingkat kesadarann terjadi berhari-hari, bila kerusakan
berat
(3) Pada sistem riticular terjadi comatuse permanen
(4) Pada perubahan tingkat kesadaran:
(a) Repirasi: dapat normal/ periodik/ cepat
(b) Pupil: simetris kondtriktif dan reaktif
(c) Kerusakan pada batang otak bagian atas pupil abnormal
(d) Gerakan bola mata tidak ada
6. Patofisiologi Cedera Kepala
Cedera kepala atau trauma kapitis lebih sering terjadi daripada trauma tulang
belakang. Trauma dapat timbul akibat gaya mekanik maupun non mekanik.
Kepala dapat dipukul, ditampar, atau bahkan terkena sesuatu yang keras. Tempat
yang langsung terkena pukulan atau penyebab tersebut dinamakan dampak atau
impact. Pada impact dapat terjadi (1) indentasi, (2) fraktur linear, (3) fraktur
stelatum, (4) fraktur impresi, atau bahkan (5) hanya edema atau perdarahan
subkutan saja. Fraktur yang paling ringan ialah fraktur linear. Jika gaya
destruktifnya lebih kuat, dapat timbul fraktur stelatum atau fraktur impresi
(Mardjono & Sidharta, 2010).

Selain hal-hal tersebut, saraf-saraf otak dapat terkena oleh trauma kapitis karena
(1) trauma langsung
(2) hematom yang menekan pada saraf otak
(3) traksi terhadap saraf otak ketika otak tergeser karena akselerasi, atau
(4) kompresi serebral traumatik akut yang secara sekunder menekan pada batang
otak. Pada trauma kapitis dapat terjadi komosio, yaitu pingsan sejenak dengan
atau tanpa amnesia retrograd. Tanda-tanda kelainan neurologik

apapun tidak terdapat pada penderita tersebut. Sedangkan kemungkinan lain yang
terjadi adalah penurunan kesadaran untuk waktu yang lama. Derajat kesadaran
tersebut ditentukan oleh integirtas diffuse ascending reticular system. Lintasan
tersebut bisa tidak berfungsi sementara tanpa mengalami kerusakan yang
irreversibel. Batang otak yang pada ujung rostral bersambung dengan medula
spinalis mudah terbentang dan teregang waktu kepala bergerak secara cepat dan
mendadak. Gerakan cepat dan mendadak itu disebut akselerasi. Peregangan
menurut poros batak otak ini dapat menimbulkan blokade reversibel pada lintasan
retikularis asendens difus, sehingga selama itu otak tidak mendapat input aferen,
yang berarti bahwa kesadaran menurun sampai derajat yang terendah (Mardjono
& Sidharta, 2010).
Trauma kapitis yang menimbulkan kelainan neurologik disebabkan oleh
(1) kontusio serebri
(2) laserasio serebri
(3)perdarahan subdural
(4) perdarahan epidural, atau
(5) perdarahan intraserebral. Lesi-lesi tersebut terjadi karena berbagai gaya
destruktif trauma. Pada mekanisme terjadinya trauma kapitis, seperti telah
disebutkan sebelumnya, terjadi gerakan cepat yang mendadak (akselerasi).
Selain itu, terdapat penghentian akselerasi secara mendadak (deakselerasi). Pada
waktu akselerasi berlangsung, terjadi akselerasi tengkorang ke arah impact dan
penggeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah impact. Adanya
akselerasi tersebut menimbulkan penggeseran otak serta pengembangan gaya
kompresi yang destruktif, yang akhirnya akan menimbulkan terjadinya lesi
kontusio. Lesi kontusio dapat berupa perdarahan pada permukaan otak yang
berbentuk titik-tik besar dan kecil tanpa kerusakan duramater. Lesi kontusio di
bawah impact disebut lesi kontusio coup, sedangkan lesi di seberang impact
disebut lesi kontusio countrecoup. Ada pula lesi intermediate, yaitu lesi yang
berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono & Sidharta,
2010).

7. Mekanisme Trauma
Trauma kepala terjadi bila kekuatan mekanik yang di transmisikan ke jaringan
otak. Mekanisme yang berkontribusi terhadap trauma kepala:
a. Akselerasi: kepala yang diam (tak bergerak) ditabrak oleh benda yang
bergerak
b. Deselerasi: kepala membentur benda yang tidak bergerak
c. Deformasi: benturan pada kepala (tidak menyebabkan fraktur tulang
tengkorak) menyebabkan pecahnya pembuluh darah vena terdapat di
permukaan kortikal sampai ke dura sehingga terjadi perdarahan subdural
(Krisanty, et. all., 2016).
8. Pemeriksaan Penunjang
a. CT Scan (dengan atau tanpa kontras ) : mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Cat :
untuk mengetahui adanya infark/ iskemia, jangan dilakukan pada 24 -
72 jam setelah injury.
b. MRI : digunakan sama seperti CT Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
c. Cerebral angiografi : menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak menjadi udema, perdarahan dan trauma.
d. Serial EE : dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
e. X ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan /edema), fragmen tulang.
f. BAER : mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
g. PET : mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
h. CSF : lumbal punkis dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
i. ABGs : mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan TIK
j. Kadar elektrolit : untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan TIK
k. Screen toxicologi : untuk mendeteksi pengaruh obat, sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran
(Krisanty, et. all., 2016).

9. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari
factor mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation)
dan menilai status neurologis (disability, exposure), maka factor yang harus
diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Selain
itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang meninggi
disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan
tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial
ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan
hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah
metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2
ini yakin dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Intubasi dilakukan
sedini mungkin kepala klien yang koma untuk mencegah terjadinya
PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat
mencegah peningkatan tekanan intracranial.
b. Penangan khususnya pada klien dengan CKB yang mengalami
perdarahan atau hematom di kepala baik pada bagian EDH maupun
SDH dilakukan tindakan trepanasi. Trepanasi/kraniotomi adalah suatu
tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk
tindakan pembedahan definitif. Epidural Hematoma (EDH) adalah suatu
perdarahan yang terjadi di antara tulang dan lapisan duramater.
c. Kontusio berat observasi dan tirah baring, dilakukan pembersihan /
debridement dan sel-sel yang mati (secara bedah terutama pada cedera kepala
terbuka)
d. Untuk cedera kepala terbuka diperlukan antibiotika untuk mencegah
terjadinya infeksi
e. Dilakukan metode-metode untuk menurukan tekanan intracranial termasuk
pemberian diuretic dan anti inflamasi
f. Lakukan pengkajian neurologik
• Fungsi serebral ( kesadaran, orientasi, memori, bicara )
• TTV ( TD, nadi)
• Fungsi motorik dan sensorik
g. Kaji adanya cedera lain, terutama cedera servikal. Jangan memindahkan
pasien sampai kemungkinan cedera servikal telah disingkirkan / ditangani.
Tinggikan kepala tempat tidur sampai 30 derajat jika tidak terdapat cedera
servikal.
h. Pantau adanya komplikasi
• Pantau TTV dan status neurologist dengan sering
• Periksa adanya peningkatan TIK
• Periksa adanya drainase dari hidung dan telinga.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Primary Survey
a. AIRWAY
• Cek jalan napas paten atau tidak
• Ada atau tidaknya obstruksi misalnya karena lidah jatuh
kebelakang, terdapat
• cairan, darah, benda asing, dan lain-lain.
• Dengarkan suara napas, apakah terdapat suara napas tambahan seperti
snoring, gurgling, crowing.
b. BREATHING
• Kaji pernapasan, napas spontan atau tidak
• Gerakan dinding dada simetris atau tidak
• Irama napas cepat, dangkal atau normal
• Pola napas teratur atau tidak
• Suara napas vesikuler, wheezing, ronchi
• Ada sesak napas atau tidak (RR)
• Adanya pernapasan cuping hidung, penggunaan otot bantu pernapasan
c. CIRCULATION
• Nadi teraba atau tidak (frekuensi nadi)
• Tekanan darah
• Sianosis, CRT
• Akral hangat atau dingin, Suhu
• Terdapat perdarahan, lokasi, jumlah (cc)
• Turgor kulit
• Diaphoresis
• Riwayat kehilangan cairan berlebihan
d. DISABILITY
• Kesadaran : composmentis, delirium, somnolen, koma
• GCS : EVM
• Pupil : isokor, unisokor, pinpoint, medriasis
• Ada tidaknya refleks cahaya
• Refleks fisiologis dan patologis
• Kekuatan otot
e. EXPOSURE
• Ada tidaknya deformitas, contusio, abrasi, penetrasi, laserasi, edema
• Jika terdapat luka, kaji luas luka, warna dasar luka, kedalaman
f. FIVE INTERVENTION
• Monitoring jantung (sinus bradikardi, sinus takikardi)
• Saturasi oksigen
• Ada tidaknya indikasi pemasangan kateter urine, NGT
• Pemeriksaan laboratorium
g. GIVE COMFORT
• Ada tidaknya nyeri
• Kaji nyeri dengan
P : Problem
Q : Qualitas/Quantitas
R : Regio
S : Skala
T : Time
h. HEAD TO TOE
• Fokus pemeriksaan pada daerah trauma
• Kepala dan wajah
2. Pengkajian Secondary Survey
a. Kaji riwayat trauma
• Allergi (alergi): Apakah pasien mempunyai riwayat alergi terhadap
makanan (jenisnya), obat, dan lainnya.
• Medication (pengobatan): Apakah pasien sudah mendapatkan
pengobatan pertama setelah cedera, apakah pasien sedang menjalani
proses pengobatan terhadap penyakit tertentu?
• Past Medical History (riwayat penyakit sebelumnya): Apakah
pasien
• menderita penyakit tertentu sebelum menngalami cedera, apakah
penyakit tersebut menjadi penyebab terjadinya cedera?
• Last Oral Intake (makan terakhir): Kapan waktu makan terakhir
sebelum cedera? Hal ini untuk memonitor muntahan dan untuk
mempermudah mempersiapkan bila harus dilakukan tindakan lebih
lanjut/operasi.
• Event Leading Injury (peristiwa sebelum/awal cedera): Apakah
pasien mengalami sesuatu hal sebelum cedera, bagaimana hal itu bisa
terjadi ?
b. Tingkat kesadaran
Nilai dengan Glaslow Coma Scale (GCS)
c. Ukur tanda-tanda vital
1) Hipertensi dan bradikardi menandakan peningkatan TIK
2) Nadi irreguler atau cepat menandakan disritmia jantung
3) Apnea, perubahan pola nafas terdapat pada cedera kepala
4) Suhu meningkat dihubungkan dengan heat injuri (trauma panas)
d. Respon pupil, apakah simetrsi atau tidak
e. Gangguan penglihatan
f. Suken eyes (mata terdorong kedalam): satu atau keduanya
g. Aktivitas kejang
h. Tanda battle’s yaitu “blush discoloration” atau memar dibelakang telinga
(mastoid) menandakan adanya fraktur dasar tengkorak
i. Rinorea atau otorea menandakan kebocoran CSF
j. Periorbital ecchymosis akan ditemukan pada fraktur anterior basilar
3. Diagnosa dan Rencana Tindakan Keperawatan
Diangosa Tujuan dan Kriteria
No Intervensi
Keperawatan Hasil
1 Resiko perfusi Perfusi Serebral Manajemen Peningkatan Tekanan
serebral tidak (L.02014) Intrakarnial (I.06194)
efektif 1. Tingkat kesadaran Tindakan:
2. Sakit kepala Observasi
3. Gelisah 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK (Mis,
4. Agitasi lesi, gangguan metabolisme,edem serebral,)
5. Demam 2. Monitor tanda dan gejala peningkatan TIK (
6. Tekanan arteri rata- mis, tekanan darah meningkat, tekanan nadi
rata melebar,bradikardia,pola napas
7. Tekanan intra ireguler,kesadaran menurun)
kranial 3. Monitor MAP (mean arterial preaure)
8. Tekanan darah 4. Monitor CVP ( Central Venous Presuure)
sistolik jika perlu
9. Tekanan darah 5. Monitor PAWP, jika perlu
diastolik 6. Monitor PAP, jika perlu
10. Refleks saraf 7. Monitor ICP (Intra cranial presuure)
8. Monitor gelombang ICP
9. Monitor status pernapasan
10. Monitor intake dan autput cairan
11. Monitor cairan serebro-spinalis
(mis,warna,konsistensi
Terapeutik
1. Minimalkan stimulus dengan menyediakan
lingkungan yang tenang
2. Berikan posisi semi fowler
3. Hindari manuver valsava
4. Cegah terjadinya kejang
5. Hindari penggunaan PEP
6. Hindari pemberian cairan IV hipotonik
7. Atur ventilator agar PaCO 2 Optimal
8. Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian sedasi dan anti
convulsan , jika perlu
2. Kolaborasi pemberian diuretik osmosis, jika
perlu
3. Kolaborasi pemberian pelunak tinja , jika
perlu
Pemantauan Tekanan Intrakranial (I.06198)
Tindakan:
Observasi
1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis:
lesi menempati ruang, gangguan
metabolisme, edema serebral, peningkatan
tekanan vena, obstruksi aliran cairan
serebrospinal, hipertensi,
intrakranialidiopatik)
2. Monitor peningknatamTD
3. Monitor pelebaran tekanan nadi (selisih TDS
dan TDD)
4. Monitor penurunan frekuensi jantung
5. Monitor ireguleritas irama nafas
6. Monitor penurunan kesadaran
7. Monitor perlambatan atau ketidaksimetrisan
respon pupil
8. Monitor kadar CO2 dan pertahankan dalam
rentang yang diindikasikan
9. Monitor tekanan perfusi serebral
10. Monitor jumlah, kecepatan dan karakteristik
drainase cairan serebrospinal
11. Monitor epek stimulus lingkungan terhadap
TIK
Terapeutik
1. Ambil sampel drainase cairan serebrospinal
2. Kalibrasi transduser
3. Pertahankan seterilitas sistem pemantauan
4. Pertahankan posisi kepaladan leher netral
5. Bilas sistem pemantauan, jika perlu
6. Atur interval pemantauan sesuai kondisi
pasien
7. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

2 Penurunan Kapasitas adaptif Manajemen Peningkatan Tekanan


kapasitas adaftif intrakranial (L.06049) Intrakarnial (I.06194)
intra kranial 1. Tingkat kesadaran Tindakan:
2. Fungsi kognitif Observasi
3. Sakit kepala 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK (Mis,
4. Gelisah lesi, gangguan metabolisme,edem serebral,)
5. Agitasi 2. Monitor tanda dan gejala peningkatan TIK (
6. Muntah mis, tekanan darah meningkat, tekanan nadi
7. Postur deserabrasi melebar,bradikardia,pola napas
(ekstensi) ireguler,kesadaran menurun)
8. Papiledema 3. Monitor MAP (mean arterial preaure)
9. Tekanan darah 4. Monitor CVP ( Central Venous Presuure)
10. Tekanan nadi jika perlu
(pulse Pressure) 5. Monitor PAWP, jika perlu
11. Bradikardi 6. Monitor PAP, jika perlu
12. Pola napas 7. Monitor ICP (Intra cranial presuure)
13. Respon pupil 8. Monitor gelombang ICP
14. Refleks neurologis 9. Monitor status pernapasan
15. Tekanan intra 10. Monitor intake dan autput cairan
kranial 11. Monitor cairan serebro-spinalis
(mis,warna,konsistensi
Terapeutik
1. Minimalkan stimulus dengan menyediakan
lingkungan yang tenang
2. Berikan posisi semi fowler
3. Hindari manuver valsava
4. Cegah terjadinya kejang
5. Hindari penggunaan PEP
6. Hindari pemberian cairan IV hipotonik
7. Atur ventilator agar PaCO 2 Optimal
8. Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian sedasi dan anti
convulsan , jika perlu
2. Kolaborasi pemberian diuretik osmosis, jika
perlu
3. Kolaborasi pemberian pelunak tinja , jika
perlu
Pemantauan Tekanan Intrakranial (I.06198)
Tindakan:
Observasi
1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis:
lesi menempati ruang, gangguan
metabolisme, edema serebral, peningkatan
tekanan vena, obstruksi aliran cairan
serebrospinal, hipertensi,
intrakranialidiopatik)
2. Monitor peningknatamTD
3. Monitor pelebaran tekanan nadi (selisih TDS
dan TDD)
4. Monitor penurunan frekuensi jantung
5. Monitor ireguleritas irama nafas
6. Monitor penurunan kesadaran
7. Monitor perlambatan atau ketidaksimetrisan
respon pupil
8. Monitor kadar CO2 dan pertahankan dalam
rentang yang diindikasikan
9. Monitor tekanan perfusi serebral
10. Monitor jumlah, kecepatan dan karakteristik
drainase cairan serebrospinal
11. Monitor epek stimulus lingkungan terhadap
TIK
Terapeutik
1. Ambil sampel drainase cairan serebrospinal
2. Kalibrasi transduser
3. Pertahankan seterilitas sistem pemantauan
4. Pertahankan posisi kepaladan leher netral
5. Bilas sistem pemantauan, jika perlu
6. Atur interval pemantauan sesuai kondisi
pasien
7. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
3 Nyeri akut Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri
(L.08066) Tindakan
1. Keluhan nyeri Observasi
2. Meringis 1. Identifikasi lokasi,karakteristik, durasi,
3. Sikap protektif frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
4. Gelisah 2. Identifikasi skala nyeri
5. Diaforesis 3. Identifikasi Respons nyeri non verbal
6. Anoreksia 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan
7. Pupil dilatasi memperingan nyeri
8. Muntah 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
9. Mual tentang nyeri
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap
respon nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
hidup
8. Monitor keberhasilan terapi komplementer
yang sudah di berikan
9. Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
1. Berikan tehnik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis, TENS,
hipnosis,akupresur, terapi musik,terapi
pijat,aromaterapi,tehnik imajinasi
terbimbing,kompres hangat dingin,terapi
bermain)
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
nyeri (mis, suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan
3. Fasilitas istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan tehnik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Global Training Center. (2017). Basic trauma & cardiac life support. Jakarta: GTC.

Krissanty, P., et. all. (2016). Asuhan keperawatan: Gawat darurat. Jakarta: CV. Trans
Info Media.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar diagnosa keperawatan indonesia: Definisi
dan indikator diagnostik. Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar intervensi keperawatan indonesia: Definisi
dan tindakan keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar luaran keperawatan indonesia: Definisi dan
kriteria hasil keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai