Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Cedera Kepala

1. Pengertian Cedera kepala

Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala,

tengkorak dan otak(Kamien & Schwartz, 2012). Cedera kepala adalah

cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala

yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan

selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan

gangguan neurologis(Esther & Miranda, n.d.).

2. Klasifikasi
Berdasarkan beratnya, cedera kepala dibagi atas ringan, sedang dan

berat(Wijanarka & Dwiphrahasto, 2005).Pembagian ringan, sedang dan

berat ini dinilai melalui Glasgow Coma Scale (GCS). GCS merupakan

instrument standar yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran

pasien trauma kepala(Bantul, Putra, & Yani, N.D.).

Tabel Skala 2.1GCS(Nurarif, 2013).


Dewasa Respon
Buka Mata ( Eye )
Spontan 4
Berdasarkan perintah verbal 3
Berdasarkan rangsang nyeri 2
Tidak memberi respon 1
Respon Verbal
Orientasi baik 5
Percakapan kacau 4
Kata – kata kacau 3
Mengerang 2
Tidak memberi respon 1

14
15

Respon Motorik
Merurut perintah 6
Melokalisir rangsang nyeri 5
Menjauhi rangsang nyeri 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi abnormal 2
Tidak memberi respon 1

Skor nilai GCS :

14 – 15 : Nilai normal/ Composmentis/ Sadar penuh

12 – 13 : Apatis/ acuh tak acuh

11 – 12 : Delirium

8–10 :Somnolent

5–7 : SoporKoma

1–4 :Koma

a. Ringan : Skala Koma Glasgow (Glasglow Coma Scale, GCS) 14 – 15,

dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia, tetapi kurang dari 30 menit,

tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada contusia cerebral dan hematoma.

b. Sedang : GCS 9 – 13, kehilangangan kesadaran, amnesia lebih dari 30

menit tetapi kurang dari 24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak,

diikuti contusio cerebral, laserasi dan hematoma intracranial

c. Berat : GCS 3 – 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih

dari 24 jam, juga meliputi contusio cerebral, laserasi, atau hematoma

intracranial.

3. Etiologi
16

Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi, deselerasi,

akselerasi – deselerasi, coup – countre coup, dan cedera rotasional (Nurarif,

2013).

a. Cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang

bergerak (Misalnya, alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang

di tembakkan kekepala).

b. Cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur obyek

diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika ketika kepala

membentur kaca depanmobil.

c. Cedera akselerasi – deselerasi sering terjadi dalam kasus kecelakaan

kendaraan bermotor dan episode kekerasanfisik.

d. Cederacoup – countre coup terjadi jika kepala berbentur yang

menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat

mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang

pertama kali terbentur. Sebagai contoh pasien dipukul di bagian

kepalabelakang.

e. Cedera rotasional terjadi jika pukulan atau benturan menyebabkan otak

berputar dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan perenggangan

atau robeknya neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh

darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam ronggatengkorak.

4. Manifestasi Klinis
Pemeriksaan klinis biasa yang dipakai untuk menentukan cedera

kepala menggunakan pemeriksaan GCS yang dikelompokkan menjadi

cedera kepala ringan, sedang, dan berat seperti diatas. Nyeri yang menetap
17

atau setempat, menunjukkan adanya fraktur (Blevins, Beenken, Elasri,

Hurlburt, & Smeltzer, 2002).

a. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitarfraktur.

b. Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika cairan cerebro spinal keluar dari

telinga danhidung.

c. Laserasi atau kontusio otak ditunjukkan oleh cairan spinal berdarah

hematom pada cedera kepala:

1) Epidural hematom (EDH) : hematom antara durameter dan tulang,

biasanya sumber perdarahannya adalah robeknya arteri meningica

media. Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan ketidaksamaan

neurologis sisi kiri dan kanan (hemiparesis/plegi, pupil anisokor,

reflek patologis satu sisi). Gambaran CT scan area hiperdens dengan

bentuk bikonvek diantara 2 sutura. Jika perdarahan > 20 cc atau > 1

cm midline shift> 5mm dilakukan operasi untuk menghentikan

perdarahan.

2) Subdural hematom (SDH) : hematom dibawah lapisan durameter

dengan sumber perdarahan dapat berasal dari bridging vein, arteri atau

vena cortical sinus venous. Subdural hematom adalah terkumpulnya

darah antara durameter dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan

kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena, perdarahan

lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi dalamwaktu48 – 2 hari,

2 minggu atau beberapa bulan. Gejala– gejalanya adalah nyeri kepala,

binggung, mengantuk, berpikir lambat, kejang dan udem pupil dan


18

secara klinis ditandai dengan penurunan kesadaran, disertai adanya

lateralisasi yang paling sering berupa hemiparese/plegi. Pada

pemeriksaan CT Scan didapatkan gambaran hiperdens yang berupa

bulan sabit (cresent). Indikasi operasi jika perdarahan tebalnya > 1cm

dan terjadi pergeseran garis tengah >5mm.

3) Intraserebral hematom (ICH) : perdarahan intraserebral adalah

perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat robekan

pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Pada pemeriksaan CT

Scan indikasi dilakukan operasi adanya daearah hiperdens, diameter >

3cm, perifer, adanya pergeseran garistengah.

5. Patofisiologi

Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung

terhadap jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang

membentur sisi luar tengkorak. Pada cedera deselerasi, kepala biasanya

membentursuatuobjeksepertikacadepanmobil,sehingga terjadi deselerasi

tengkorak yang berlangsung tiba – tiba. Otak tetap bergerak kearah depan,

membentur bagian dalam tengkorak tepat di bawah titik berbentur kemudian

berbalik arah membentur sisi yang berlawanan dengan titik bentur awal.

Jika otak membengkak atau terjadi perdarahan dalam tengkorak, tekanan

intrakranial akan meningkat dan tekanan perfusi akan menurun(Widyawati,

2012).

Tubuh memiliki refleks perlindungan (respons/ refleks cushing)

yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan.


19

Saat tekanan intraserebral meningkat, tekanan darah sistemik meningkat

untuk mencoba mempertahankan aliran darah otak. Saat keadaan semakin

kritis, denyut nadi menurun (bradikardia) dan bahkan frekuensi respirasi

berkurang. Tekanan dalam tengkorak terus meningkat hingga titik kritis

tertentu dimana cedera kepala memburuk dan semua tanda vital terganggu

dan berakhir dengan kematian penderita. Jika terdapat peningkatan

intrakranial, hipotensi akan memperburuk keadaan. Harus dipertahankan

tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan

sistolik 100 – 110 mmHg pada penderita cedera kepala(Widyawati, 2012).

6. Komplikasi

Komplikasi utama trauma kepala adalah perdarahan, infeksi, edema

dan herniasi melalui tontronium. Infeksi selalu menjadi ancaman yang

berbahaya untuk cedera terbuka dan edema dihubungkan dengan trauma

jaringan. Ruptur vaskular dapat terjadi sekalipun pada cedera ringan,

keadaan ini menyebabkan perdarahan di antara tulang tengkorak dan

permukaan serebral. Kompresi otak di bawahnya akan menghasilkan efek

yang dapat menimbulkan kematian dengan cepat atau keadaan semakin

memburuk (Regan & Wong, 2009).

7. Penanganan Cedera Kepala


Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip – prinsip ABC

(Airway, Breathing, Circulation). Keadaan hipoksemia, hipotensi, anemia

akan cenderung memperhebat peninggian Tekanan intra kranial dan


20

menghasilkan prognosis yang lebih buruk. Semua cedera kepala berat

memerlukan tindakan intubasi pada kesempatanpertama.

a. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau

gangguan – gangguan di bagian tubuh lainnya.

b. Pemeriksaan neurologis mencakup respons mata, motorik, verbal,

pemeriksaan pupil, reflek okulosefalik dan reflek okuloves tubuler.

Penilaian neurologis kurang bermanfaat bila tekanan darah penderita

rendah (syok).

c. Penanganan cedera – cedera dibagianlainnya.

d. Pemberian pengobatan seperti : anti edema serebri, anti kejang dan

natriumbikarbonat.

e. Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : Scan tomografi computer

otak, angiografi serebral dan lainnya (Satyanegara, Hasan, Abubakar,

Yuliatri, & Prabowo, 2010).

B. Tinjauan Umum Tentang Waktu Tanggap atau ResponTime

Penanganan gawat darurat ada filosofinya yaitu Time Saving it’s Live

Saving, artinya seluruh tindakan yang dilakukan pada saat kondisi gawat

darurat haruslah benar-benar efektif dan efisien. Hal ini mengingatkan pada

kondisi tersebut pasien dapat kehilangan nyawa hanya dalam hitungan menit

saja. Berhenti nafas selama 2-3 menit pada manusia dapat menyebabkan

kematian yang fatal (Sutawijaya, 2009).

Waktu tanggapmerupakan kecepatan dalam penanganan pasien,

dihitung sejak pasien datang sampai dilakukan penanganan (Suhartati et al,


21

2011). Standar IGD sesuai Keputusan Menteri Kesehatan tahun 2009 bahwa

indikator waktu tanggap di IGD adalah harus ≤ 5 menit. Waktu tanggap

pelayanan merupakan gabungan dari waktu tanggap saat pasien tiba di depan

pintu rumah sakit sampai mendapat tanggapan atau respon dari petugas

instalasi gawat darurat dengan waktu pelayanan yaitu waktu yang di perlukan

pasien sampai selesai. Waktu tanggap pelayanan dapat di hitung dengan

hitungan menit dan sangat dipengaruhi oleh berbagai hal baik mengenai jumlah

tenaga maupun komponen - komponen lain yang mendukung seperti pelayanan

laboratorium, radiologi, farmasi dan administrasi. Waktu tanggap dikatakan

tepat waktu atau tidak terlambat apabila waktu yang diperlukan tidak melebihi

waktu rata- rata standar yang ada (Haryati & Aji, 2005).

Hasil penelitian Utomo, Muhlisin, & Haryatun (2013), dengan

menghitung waktu pelayanan pasien gawat darurat, cedera kepala dari pasien

masuk pintu IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta sampai siap keluar dari IGD

didapatkan rata-rata waktu tanggap pelayanan selama 98,33 menit (kategori I

resusitasi yaitu pasien memerlukan resusitasi segera, seperti pasien dengan

epidural atau sub dural hematoma, cedera kepala berat), 79,08 menit (kategori

II pasien emergency, seperti pasien cedera kepala di sertai tanda-tanda syok,

apabila tidak dilakukan pertolongan segera akan menjadi lebih buruk), 78,92

menit (kategori III pasien urgent, seperti cedera kepala disertai luka robek, rasa

pusing), 44,67 menit (kategori IV pasien semi urgent, keadaan pasien cedera

kepala dengan rasa pusing ringan, lukalecet atau luka superficial), 33,92 menit

(Kategori V “false emergency”, pasien datang bukan indikasi kegawatan


22

menurut medis, cedera kepala tanpa keluhan fisik), terdapat perbedaan yang

signifikan waktu tanggap tindakan keperawatan pada pasien cedera kepala

kategori I – V dan Pasien cedera kepala kategori I memperoleh waktu tindakan

keperawatan lebih lama dan pasien cedera kepala kategori V memperoleh

waktu keperawatan yang lebih cepat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan

bahwa terdapat perbedaan waktu tanggap tindakan pada pasien cedera kepala

kategori I –V.

Triage diambil dari bahasa Perancis “Trier” artinya mengelompokkan

atau memilih (Krisanty, 2009). Triage mempunyai tujuan untuk memilih atau

menggolongkan semua pasien yang memerlukan pertolongan dan menetapkan

prioritas penanganannya (Oman, 2008). Triage memiliki fungsi penting di IGD

terutama apabila banyak pasien datang pada saat yang bersamaan. Hal ini

bertujuan untuk memastikan agar pasien ditangani berdasarkan urutan

kegawatannya untuk keperluan intervensi. Triage juga diperlukan untuk

penempatan pasien ke area penilaian dan penanganan yang tepat serta

membantu untuk menggambarkan keragaman kasus di IGD (Gilboy, Tanabe,

Travers, Rosenau, & Eitel, 2005).

Fitzgerald (2009), menyatakan di Australia pengembangan sistem

Triage lebih formal dimulai dengan pengamatan perilaku Triage perawat.

Sementara ada banyak variabilitas dalam system Triage, pengamatan ini

mengidentifikasi beberapa tindakan konsisten dan berbeda berikut penilaian.

Tindakan ini ditentukan oleh urgensi pasien dan termasuk:

1. Untuk segera menghubungi tenaga medis dan resusitasisegera.


23

2. Untuk menetapkan pasien ke dokter tersediaberikutnya.

3. Untuk menempatkan data pasien di depan daftartunggu.

4. Untuk menempatkan data pasien dalam urutan dalam daftar tunggu.

5. Untuk mendorong pasien untuk mencari bantuan di tempat lain atau

lainwaktu.

Triage adalah fungsi penting di Emergency Department, dimana banyak

pasien dapat hadir secara bersamaan. Urgensi mengacu pada kebutuhan untuk

time critical intervensi, tidak identik dengan tingkat keparahan. Pasien Triage

untuk menurunkan ketajaman kategori mungkin aman untuk menunggu lebih

lama untuk penilaian dan pengobatan tetapi mungkin masih memerlukan

masuk rumahsakit.

Kriteria Triage :

1. Daerah penilaian Triage harus segera dapat diakses dan jelas tanda pos

(tanda Triage). Daerah Triage harus memungkinkan untuk:

a. Pemeriksaanpasien

b. Alat komunikasi antara area masuk danPenilaian

c. Privasi

2. Akan ada strategi untuk melindungistaf

3. Standar yang sama untuk Triage kategorisasi harus menerapkan semua

pengaturan Emergency Department. Harus diingat namun bahwa gejala

dilaporkan oleh orang dewasa mungkin kurang signifikan dari pada gejala

yang sama ditemukan pada anak dan dapat membuat anak urgensi yang

lebihbesar.
24

4. Korban trauma harus dialokasikan Triage kategori menurut urgensi klinis

mereka secara objektif. Seperti dengan situasi klinis lain, ini akan mencakup

pertimbangan sejarah berisiko tinggi serta pemeriksaan fisik singkat (umum

penampilan +/- fisiologispengamatan).

5. Pasien dengan kesehatan mental atau masalah-masalah kelakuan harus

Triage menurut mereka klinis dan situasional urgensi, seperti dengan pasien

Emergency Department lain. Mana masalah fisik dan perilaku hidup

berdampingan, Triase tertinggi sesuai kategori harus diterapkan berdasarkan

gabungan presentasi.

Persyaratan peralatan :

1. Peralatandarurat

2. Fasilitas untuk menggunakan standar pencegahan (fasilitas cuci tangan,

sarungtangan)

3. Perangkat komunikasi yang memadai (telepon atau interkomdll)

4. Fasilitas untuk rekaman Triageinformasi.

Tabel 2.2Skala Kategori Triage Australia (Australian College of Emergency


Medicine. 2000)
Ketajaman (Waktu
Skala Kategori Triage
tunggu maksimal)
Australia
Kategori 1 Segera
Kategori 2 10 menit
Kategori 3 30 menit
Kategori 4 60 menit
Kategori 5 120 menit

Keterangan :

1. Kategori1
25

Kondisi segera mengancam kehidupan, kondisi yang memerlukan intervensi

sesegera mungkin agresif dan ancaman terhadap kehidupan (atau risiko

kerusakan). Klinis deskriptor (hanya untuk indikasi) : Gagal jantung, sesak

nafas, risiko langsung ke saluran napas, pernapasan < 10 menit, tekanan

darah < 80 (dewasa), GCS < 9, kejang berkepanjangan, intravena overdosis

dan tidak responsif atau hipoventilasi, gangguan perilaku berat dengan

ancaman kekerasanberbahaya.

2. Kategori2

Penilaian dan pengobatan dalam waktu 10 menit, kondisi pasien cukup

serius atau memburuk begitu cepat bahwa ada potensi ancaman terhadap

kehidupan, atau kegagalan sistem organ, jika tidak ditangani dalam waktu

sepuluh menit kedatangan atau pengobatan waktu kritis yang penting

potensi pengobatan waktu-kritis (misalnya simtoma para klinis) untuk

membuat dampak signifikan pada hasil klinis tergantung pada perawatan

yang bermula dalam beberapa menit kedatangan pasien di Emergency

Department atau sangat nyeri. Airway risiko, stridor parah atau grogling

dengan tekanan, kesulitan pernapasan yang parah, perfusi menurun, heat

rate< 50, hipotensi dengan efek hemodinamik, perdarahan banyak, nyeri

dada mungkin jantung GCS < 13, akut hemiparesis/dysphasia, demam

dengan tanda-tanda kelesuan (semua usia), asam atau alkali splash mata

memerlukan irigasi terutama pasien multi trauma (memerlukan respon

cepat), trauma lokal parah terutama fraktur, amputasi berisiko tinggi,

perilaku/kejiwaan: kekerasan atau agresif ancaman terhadap diri sendiri atau


26

orang lain membutuhkan atau diperlukan pengekangan berat agitasi atau

agresi.

3. Kategori3

Penilaian dan pengobatan mulai dalam waktu 30 menit berpotensi

mengancam kehidupan kondisi pasien mungkin kemajuan untuk hidup atau

mengancam ekstremitas, atau mungkin menyebabkan signifikan morbiditas,

jika penilaian dan pengobatan tidak dimulai dalam waktu tiga puluh menit

kedatangan. Atau urgensi situasional ada potensi buruk jika time critical

pengobatan tidak dimulai dalam waktu tiga puluh menit. Klinis deskriptor

(hanya untuk indikasi): hipertensi, kehilangan darah yang cukup banyak,

sesak napas, SAO2 90-95%, kejang, demam, muntah, dehidrasi, cedera

kepala ringan sakit cukup parah, dada sakit, sakit perut tanpa risiko tinggi,

cedera ekstremitas, luka parah, trauma akut, perilaku/kejiwaan: risiko sangat

sedih, menyakiti diri akut psikosis atau berpikir teratur situasional krisis,

disengaja merugikan diri, gelisah / ditarik dan berpotensi agresif.

4. Kategori4

Penilaian dan pengobatan mulai dalam waktu 60 menit. Berpotensi

mengancam kehidupan kondisi pasien mungkin kemajuan untuk hidup atau

mengancam ekstremitas, atau mungkin menyebabkan signifikan morbiditas,

jika penilaian dan pengobatan tidak dimulai dalam waktu tiga puluh menit

kedatangan. Klinis deskriptor (hanya untuk indikasi), perdarahan ringan,

sesak nafas ringan, cedera dada tanpa sakit tulang rusuk atau kesulitan

pernapasan, kesulitan menelan,cedera kepala ringan, tanpa kehilangan


27

kesadaran, muntah atau diare tanpa dehidrasi, trauma ekstremitas kecil -

terkilir pergelangan kaki, mungkin fraktur, tidak ada gangguan

neurovaskular, bengkak sendi panas, tidak nyeri perut, perilaku/kejiwaan :

Masalah kesehatan mental semi mendesakdi bawah pengawasan dan/atau

risiko tidak langsung untuk diri sendiri atau orang lain.

5. Kategori5

Penilaian dan pengobatan mulai dalam 120 menit kurang urgen kondisi

pasien kronis atau cukup kecil bahwa gejala atau hasil klinis tidak akan

secara signifikan terpengaruh jika penilaian dan pengobatan tertunda sampai

dua jam dari kedatangan. Klinis deskriptor (hanya untuk indikasi), sakit

yang minimal dengan tidak ada risiko tinggi, luka kecil - kecil lecet, luka

kecil (tidak memerlukan jahitan), perilaku/kejiwaan: Dikenal pasien dengan

gejala kronik sosial krisis, klinis pasien baik.

C. Tinjauan Umum Tentang Peran Perawat


Perawat menurut UU RI. No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan,

perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan

melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimiliki, diperoleh

melalui pendidikan keperawatan. Tyailor C. Lilis C. Lemone (1989)

mendefinisikan perawat adalah seseorang yang berperan dalam merawat atau

memelihara, membantu dengan melindungi seseorang karena sakit, luka dan

prosespenuaan.

Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan dari masyarakat

sesuai dengan kedudukannya di masyarakat. Peran perawat adalah seperangkat


28

tingkah laku yang dilakukan oleh perawat sesuai dengan profesinya. Peran

perawat dipengaruhi oleh keadaan sosial dan bersifat tetap (Kusnanto & Kes,

2004). Peran perawat adalah tingkah laku perawat yang diharapkan oleh orang

lain untuk berproses dalam sistem sebagai pemberi asuhan, pembela pasien,

pendidik, koordinator, kolaborator, konsultan, dan pembaharu (Humardani,

2016).

1. Peran Perawat
Peran perawat dalam melakukan perawatan diantaranya:

a. Care giver atau Pemberi asuhanke perawatan

Perawat memberikan asuhan keperawatan profesional kepada pasien

meliputi pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi hingga evaluasi.

Selain itu, perawat melakukan observasi yang kontinu terhadap kondisi

pasien, melakukan pendidikan kesehatan, memberikan informasi yang

terkait dengan kebutuhan pasien sehingga masalah pasien dapat teratasi.

b. Client advocate atau Advokator

Perawat sebagai advokator berfungsi sebagai perantara antara pasien

dengan tenaga kesehatan lain. Perawat membantu pasien dalam

memahami informasi yang didapatkan, membantu pasien dalam

mengambil keputusan terkait tindakan medis yang akan dilakukan serta

memfasilitasi pasien dan keluarga serta masyarakat dalam upaya

peningkatan kesehatan yang optimal.

c. Client educator atau Pendidik

Perawat sebagai pendidik menjalankan perannya dalam memberikan


29

pengetahuan, informasi, dan pelatihan ketrampilan kepada pasien,

keluarga pasien maupun anggota masyarakat dalam upaya pencegahan

penyakit dan peningkatan kesehatan (Susanto, 2012). Perawat sebagai

pendidik bertugas untuk memberikan pengajaran baik dalam lingkungan

klinik, komunitas, sekolah, maupun pusat kesehatan masyarakat (Brunner

& Suddarth, 2003). Perawat sebagai pendidik berperan untuk mendidik

dan mengajarkan individu, keluarga, kelompok dan masyarakat, serta

tenaga kesehatan lain sesuai dengan tanggung jawabnya. Perawat sebagai

pendidik berupaya untuk memberikan pendidikan atau penyuluhan

kesehatan kepada klien dengan evaluasi yang dapat meningkatkan

pembelajaran (Wong,2009).

d. Change agent atau Agen pengubah

Perawat sebagai agen pengubah berfungsi membuat suatu perubahan atau

inovasi terhadap hal-hal yang dapat mendukung tercapainya kesehatan

yang optimal. Perawat mengubah cara pandang dan pola pikir pasien,

keluarga, maupun masyarakat untuk mengatasi masalah sehingga hidup

yang sehat dapat tercapai.

e. Peneliti

Perawat sebagai peneliti yaitu perawat melaksanakan tugas untuk

menemukan masalah, menerapkan konsep dan teori, mengembangkan

penelitian yang telah ada sehingga penelitian yang dilakukan dapat

bermanfaat untuk peningkatan mutu asuhan dan pelayanan keperawatan

(Susanto, 2012). Perawat sebagai peneliti diharapkan mampu


30

memanfaatkan hasil penelitian untuk memajukan profesi keperawatan.

f. Consultant atau Konsultan

Perawat sebagai tempat untuk konsultasi bagi pasien, keluarga dan

masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan yang dialami klien.

Peran ini dilakukan oleh perawat sesuai dengan permintaan klien

(Kusnanto, 2004).

g. Collaborator atau Kolaborasi

Peran perawat sebagai kolaborator yaitu perawat bekerja sama dengan

anggota tim kesehatan lainnya dalam memberikan pelayanan kepada

klien (Susanto, 2012)

2. Faktor –Faktor Yang Mempengaruhi Peran Perawat.


Dalam menilai ketrampilan seseorang yang dalam hal ini waktu

tanggap perawat, bisa saja dipengaruhi adanya faktor lain keadaan ini

tergantung dari motivasi perawat dalam mempraktikkan ketrampilan kerja

yang didapat dari pendidikannya. Banyak faktor- faktor yang mempengaruhi

prestasi kerja, menurut Mangkunegara (2007) faktor-faktor tersebut antara

lain: Faktor kemampuan dan Faktor motivasi. Motivasi merupakan kemauan

atau keinginan didalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertindak

(Depkes RI,2002).

Widiasih (2008), menyatakan keberhasilan pelayanan gawat darurat

dipengaruhi oleh 3 kesiapan, yaitu kesiapan mental artinya petugas harus

siap dalam 24 jam dan tidak dapat ditunda, kemudian kesiapan pengetahuan

teoritis dan fatofisiologi berbagai organ tubuh yang penting dan

keterampilan manual untuk tindakan dalam pertolongan pertama. Yang


31

ketiga kesiapan alat dan obat-obatan darurat yang merupakan bagian yang

tidak dapat dipisahkan dalam memberikan pertolongan kepada pasien gawat

darurat.

Nursalam (2001), menjelaskan peran perawat dalam intervensi

keperawatan harus berdasarkan pada kewenangan dan tanggung jawab

secara profesional meliputi tindakan dependen, independen dan

interdependen.

3. Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Waktu Tanggap.


Yoon et al (2003) mengemukakan faktor internal dan eksternal yang

mempengaruhi keterlambatan penanganan kasus gawat darurat antara lain

karakter pasien, penempatan staf, ketersediaan tandu dan petugas kesehatan,

waktu ketibaan pasien, pelaksanaan manajemen, strategi pemeriksaan dan

penanganan yang dipilih. Hal ini bisa menjadi pertimbangan dalam

menentukan konsep tentang waktu tanggap penanganan kasus di IGD rumah

sakit.

Hasil penelitian Sabriyati (2012) menyatakan bahwa faktor yang

lebih dominan berhubungan dengan ketepatan waktu tanggap IGD Bedah

yaitu ketersediaan petugas Triage. Menurut Sastrohadiwiryo (2002)

semakin lama seseorang bekerja semakin banyak kasus yang ditanganinya

sehingga semakin meningkat pengalamannya, sebaliknya semakin singkat

orang bekerja maka semakin sedikit kasus yang ditanganinya.

D. Tinjauan Empirik
32

Penelitian dilakukan Siswo Nurhasim dengan judul Pengetahuan

Perawat Tentang Response Time Dalam Penanganan Gawat Darurat Di Ruang

Triage Rsud Karanganyar, hasil menunjukan pengetahuan perawat tentang

response time dalam penanganan gawat darurat di ruang triage sudah sesuai

dengan standar igd rsud karanganyar.

Penelitian dilakukan Arif Mahrur dengan judul Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Lamanya Waktu Tanggap Dalam Pelayanan Gawat Darurat Di

Instalasi Gawat Darurat Rsud Dr Soedirman Kebumen, hasil enelitian

menunjukan waktu tanggap perawat dalam pelayanan gawat darurat di

instalasi gawat darurat di rsud dr soedirman kebumen rata-rata tepat. tidak

terdapat hubungan antara waktu tanggap dengan tingkat kegawatan dan

terdapat hubungan antara waktu tanggap dengan keterampilan dan beban kerja

perawatan.

Penelitian dilakukan Vita Maryah Ardiyani dengan judul Analisis Peran

Perawat Triage Terhadap Waiting Time Dan LengthOf Stay Pada RuangTriage

Di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Dr Saiful AnwarMalang, Hasil

penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara peran perawat dengan

waiting time ( p =0.000.), tidak terdapat hubungan antara peran perawat dengan

length of stay (p = 0.263). analisis multivariat menggunkan regresi logistik

didapatkan kontribusi peran perawat sebesar 10% pada waiting time dan 0.9 %

pada length of stay. bagi perawat diharapakan meningkatkan skill terkait

penanganan pasien triage, pemahaman kasus, penetapan kriteria


33

kegawatadaruratan secara tepat dan peran koloborasi dapat menjadi fokus

dalam penangan pasien pada ruang triage.

Penelitian dilakukan Apriani dengan judul Hubungan

Kegawatdaruratan Dengan Waktu Tanggap Pada Pasien Jantung Koroner,

Hasil penelitian menunjukan ada hubungan yang signifikan antara

kegawatdaruratan dengan waktu tanggap pada pasien jantung koroner dengan

ρ-value=0,003. dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan

antara kegawatdaruratan dengan waktu tanggap pada pasien jantung koroner di

igd rsi siti khadijah palembang.

Penelitian dilakukan nunuk haryatun dengan judul Perbedaan Waktu

Tanggap Tindakan Keperawatan Pasien Cedera Kepala Kategori 1 – V Di

Instalasi Gawat Darurat Rsud Dr. Moewardi, hasil penelitian menunjukkan

terdapat perbedaan yang signifikan waktu tanggap tindakan keperawatan

pada pasien cedera kepala kategori i –v dan Pasien cedera kepala kategori I

memperoleh waktu tindakan keperawatan lebih lama dan pasien cedera

kepala kategori V memperoleh waktu keperawatan yang lebihcepat

Anda mungkin juga menyukai