Anda di halaman 1dari 15

BAB II

KONSEP DASAR

A. Tinjauan Teori
1. Definisi
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak. Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan
bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi – descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta rotasi
yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada
tindakan pencegahan. Cedera kepala pada dasarnya dikenal dua macam mekanisme
trauma yang mengenai kepala yakni benturan dan goncangan (Gernardli and Meany,
1996).
Berdasarkan GCS maka cidera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu cidera
kepala derajat ringan, bila GCS : 13 – 15, Cidera kepala derajat sedang, bila GCS : 9
– 12, Cidera kepala berat, bila GCS kuang atau sama dengan 8. Pada penderita yang
tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka reaksi verbal
diberi tanda “X”, atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga tidak dapat di
nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai “X”,
sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka
reaksi verbal diberi nilai “T”.
Cedera Kepala Sedang :
- GCS 9 – 12
- Saturasi oksigen > 90 %
- Tekanan darah systale > 100 mm Hg
- Lama kejadian < 8 jam
2. Etiologi
Etiologi Comotio Cerebri biasanya berasal dari trauma langsung dan tidak langsung
pada kepala :
a. Trauma tidak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau kekuatan yang
merobek terkena pada kepala akibat menarik leher.
b. Trauma langsung bila kepala langsung terluka
Yang bisa mengakibatkan trauma langsung maupun tidak langsung diantaranya
adalah bermotor, jatuh, kecelakaan industri dan olah raga. (Barbara, c.Long, 1996,
hal. 203).
3. Klasifikasi
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringanya gejala yang muncul
setelah cedera kepala (Alexander PM, 1995). Ada berbagai klasifikasi yang dipakai
dalam penentuan derajat cedera kepala. The Traumatic Coma Data Bank
mendifinisikan berdasarkan skor Skala Koma Glasgow (Glasgow coma scale).
Tabel 1. Kategori Penentuan Keparahan cedera Kepala berdasarkan Nilai Glasgow
Scale Coma (GCS).

Penentuan Deskripsi
Keparahan
Minor/ Ringan GCS 13 – 15

Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang

dari 30 menit. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusia

cerebral, hematoma
Sedang GCS 9 – 12

Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit

tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.


Berat GCS 3 – 8

Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24

jam. Juga meliputi kontusia serebral, laserasi atau hematoma

intracranial
Tabel 2. Glasgow Coma Scale

1. Membuka Mata 4
Spontan 3
Terhadap rangsang suara 2
Terhadap nyeri 1
Tidak ada
2. Respon Verbal 5
Orientasi baik 4
orientasi terganggu 3
Kata-kata tidak jelas 2
Suara Tidak jelas 1
Tidak ada respon
3. Respon Motorik 6
Mampu bergerak 5
Melokalisasi nyeri 4
Fleksi menarik 3
Fleksi abnormal 2
Ekstensi 1
Tidak ada respon
Total 3 – 15
Annegers et al (1998) membagi trauma kepala berdasarkan lama tak sadar dan lama

amnesis pasca trauma yang dibagi menjadi:

a. Cedera kepala ringan, apabila kehilangan kesadaran dan amnesia berlangsung

kurang dari 30 menit.

b. Cedera kepala sedang, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia terjadi 30

menit sampai 24 jam atau adanya fraktur tengkorak.

c. Cedera kepala berat, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam,

perdarahan subdural dan kontusio serebri.

d. Penggolongan cedera kepala berdasarkan periode kehilangan kesadaran ataupun

amnesia saat ini masih kontroversional dan tidak dipakai secara luas. Klasifikasi

cedera kepala berdasarkan jumlah Skala Koma Glasgow (SKG) saat masuk rumah

sakit merupakan definisi yang paling umum dipakai (Hoffman, dkk, 1996).

4. Patofisiologi
Cidera Kepala
Cidera kepala adalah kerusakan jaringan otak yang diakibatkan oleh adanya
trauma (benturan benda atau serpihan tulang) yang menembus atau merobek suatu
jaringan otak, oleh pengaruh suatu kekuatan atau energi yang diteruskan
ke otak dan akhirnya oleh efek percepatan perlambatan pada otak yang
terbatas pada kompartemen yang kaku (Price & Wilson, 1995).
Trauma kepala atau injuri cerebri umumnya terjadi akibat kecelakaan lalu lintas
dan mayoritas yang terkena adalah anak muda dan pada usia lanjut sering terjadi
karena jatuh/luka tusuk (Ignatavikus, 2002). Tipe trauma kepala yaitu tertutup dan
terbuka, tipe fraktur yang berhubungan dengan trauma kepala terbuka yakni berupa
goresan (linier), tekanan cekung dan luka terbuka dan bentuk goresan merupakan
yang sederhana dan termasuk luka bersih yang mudah dbersihkan, luka tertekan akan
menyebabkan penekanan pada jaringan tulang tengkorak, luka/fraktur terbuka akan
ditemukan laserasi yang berhubungan langsung dengan organ terkena, sedangkan
pada trauma kepala tertutup disebut trauma tumpul yang diawali dengan terjadinya
comutio, contusio dan laserasi pada otak. Maka akibat yang tampak dari adanya
trauma cerebri tergantung dari berat ringannya trauma dan bagaimana mekanisme
trauma cerebri terjadi, disamping adanya kerusakan tulang tengkorak, sering terjadi
perdarahan sehingga menyebabkan gangguan neurologis.
Bila melihat manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan penunjang yang dilakukan
pada pasien Tn.B adalah cidera kepala berat, cidera kepala berat merupakan contusio
cerebri adalah kerusakan jaringan otak yang disertai perdarahan yang secara
makoskopis tidak mengganggu kontiyunitas jaringan, yang disebabkan trauma kepala
dan dapat disertai fraktur tengkorak atau perdarahan selaput otak (Markam, 1992).
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas-
myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udema paru. Perubahan otonom pada
fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang/irama jantung. Dan bila ada perdarahan
otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler
menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi, pengaruh persyarafan
simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tida begitu
besar.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah.
Pada kontusi berat, hipoksia atau kerusakanotak akan terjasi penimbunan asam laktat
akibat metabolisme anaerob, kondisi ini aakan menyebabkan asidosis metabolik.
5. Manifestasi Klinis
Pada pemeriksaan klinis biasanya yang dipakai untuk menentukan cedera kepala
menggunakan pemeriksaan GCS yang dikelompokkan menjadi cedera kepala ringan,
sedang dan berat. Nyeri yang menetap atau setempat biasanya menunjukkan adanya
fraktur. (Smeltzer, suzanna, 2002).
a. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur.
b. Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga dan hidung.
c. Laserasi atau kontusio otak ditunjukkan oleh cairan spinah berdarah.
Hematom pada cedera kepala :
a. Epidurah Hematom (EDH) : hematom antara durameter dan tulang, biasanya
sumber pendarahannya adalah robeknya arteri meningica media. Ditandai dengan
penurunan kesadaran dengan ketidakseimbangan neurologis sisi kiri dan kanan
(hemiparase/plegi, pupil anisokor, reflex patologis satu sisi). Gambaran CT Scan
area hiperdens dengan bentuk bikovek diantara 2 sutura. Jika perdarahan > 20 cc
atau > 1 cm midline shift > 5 mm dilakukan operasi untuk menghentikan
perdarahan.
b. Subdural hematom (SDH) : hematom dibawah lapisan durameter dengan sumber
perdarahan dapat berasal dari Bridging vein, a/v cortical, sinus venous. Subdural
hematom adalah terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak, dapat
terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh vena, perdarahan
lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam-2 hari, 2 minggu atau
beberapa bulan. Gejala-gejalanya adalah nyeri kepala, bingung, mengantuk,
berpikir lambat, kejang dan udem pupil, dan secara klinis ditandai dengan
penurunan kesadaran, disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa
hemiparase/plegi. Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan gambaran hiperdens
yang berupa bulan sabit (cresent). Indikasi operasi jika pendarahan tebalnya > 1
cm dan terjadi pergeseran garis tengah > 5 mm.
c. ICH (Intracerebral Hematom)
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak
biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. pada
pemeriksaan CT Scan indikasi dilakukan operasi adanya daerah hiperdens,
diameter > 3cm, perifer, adanya pergeseran garis tengah.
Penanganan cedera kepala : (Setyanegara, 2010)
1) Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera gangguan-
gangguan dibagian tubuh lainnya.
2) Pemeriksaan neurologis mencakup respons mata, motoric, verbal, pemeriksaan
pupil, reflek okulosefalik dan reflek okuloves tubuler. Penilaian neurologis kurang
bermanfaat bila tekanan darah penderita rendah (syok).
3) Penanganan cedera-cedera dibagian lainnya.
4) Pemberian pengobatan seperti : antiedemaserebri, anti kejang dan natrium
bikarbonat.
5) Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : sken tomografi computer otak,
angiografi serebral dan lainnya.
Indikasi rawat inap pada penderita dengan cedera kepala ringan adalah :
(Setyanegara, 2010)
1) Amnesia antegrade/pasca traumatik
2) Adanya keluhan nyeri kepala mulai dari derajat yang moderat sampai berat.
3) Adanya riwayat penurunan kesadaran/pingsan
4) Intoksikasi alkohol atau obat-obatan
5) Adanya fraktur tulang tengkorak
6) Adanya kebocoran likour serebro-spinalis (ottore/rinorre)
7) Cedera berat bagian tubuh lain
8) Indikasi sosial (tidak ada keluarga/pendamping dirumah).
Pemeriksaan diagnostik penunjang
1) Foto polos tengkorak (skull X-Ray) untuk mendeteksi perubahan struktur tulang
(fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
2) Angiografi serebral untuk menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
3) CT Scan untuk mengetahui adanya massa/sel perdarahan, hematom, letak dan
luasnya. Indikasi CT Scan nyeri kepala atau muntah-muntah, penurunan GCS
lebih 1 point, adanya letralisasi, bradikardi (nadi<60x/menit), fraktur impresi
dengan lateralisasi yang tidak sesuai, tidak ada perubahan selama 3 hari
perawatan dan luka tmbus akibat benda tajam atau peluru.
4) Pemeriksaan MRI dilakukan bila CT Scan belum memberi hasil yang cukup.
B. Pathway

6. Penatalaksanaan
a. Umum
- Airway : pertahankan kepatenan jalan nafas
- Atur posisi: posisi kepala flat dan tidak miring ke satu sisi untuk mencegah
penekanan/bendungan pada vena jugularis
- Cek adanya pengeluaran cairan dari hidung, telinga atau mulut
- Breathing : - Kaji pola nafas, frekuensi, irama nafas, kedalaman
- Monitoring ventilasi : pemeriksaan analisa gas darah, saturasi
- Oksigen
- Circulation : - Kaji keadaan perfusi jaringan perifes (akral, nadi capillary
rafill, sianosis pada kuku, bibir)
- Monitor tingkat kesadaran, GCS, periksa pupil, ukuran, reflek terhadap
cahaya
- Monitoring tanda – tanda vital
- Pemberian cairan dan elektrolit
- Monitoring intake dan output
b. Khusus Khusus
- Konservatif : dengan pemberian manitol/gliserin, furosemid, pemberian
steroid
- Operatif : Tindakan kraniotomi, pemasangan drain, shuting prosedur
- Monitoring tekanan intrakranial : yang ditandai dengan sakit kepala hebat,
muntah proyektil dan papil edema
- Pemberian diet/nutrisi
- Rehabilitasi, fisioterapi
Penatalaksanaan berdasarkan klasifikasi
a. Penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan (GCS 14–15)
1) Observasi atau dirawat di rumah sakit bila CT Scan tidak ada atau hasil CT
Scan abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilang kesadaran, sakit kepala
sedang–berat, pasien dengan intoksikasi alkohol/obat-obatan, fraktur
tengkorak, rinorea-otorea, cedera penyerta yang bermakna, tidak ada keluarga
yang di rumah, tidak mungkin kembali ke rumah sakit dengan segera, dan
adanya amnesia. Bila tidak memenuhi kriteria rawat maka pasien dipulangkan
dengan diberikan pengertian kemungkinan kembali ke rumah sakit bila
dijumpai tanda-tanda perburukan.
2) Observasi tanda vital serta pemeriksaan neurologis secara periodik setiap ½-
2 jam.
3) Pemeriksaan CT Scan kepala sangat ideal pada penderita CKR kecuali
memang sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan neurologis normal.
penatalaksanaan cedera kepala sedang (GCS 9-13).
4) Dirawat di rumah sakit untuk observasi, pemeriksaan neurologis secara
periodik.
5) Bila kondisi membaik, pasien dipulangkan dan kontrol kembali, bila kondisi
memburuk dilakukan CT Scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol
cedera kepala berat.
Penatalaksanaan Cedera Kepala Berat (GCS > 8)
1) Pastikan jalan nafas korban clear (pasang ET), berikan oksigenasi 100%
dan jangan banyak memanipulasi gerakan leher sebelum cedera cervical
dapat disingkirkan.
2) Berikan cairan secukupnya (ringer laktat/ringer asetat) untuk resusitasi
korban agar tetap normovolemia, atasi hipotensi yang terjadi dan berikan
transfusi darah jika Hb kurang dari 10 gr/dl.
3) Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh lain,
GCS dan pemeriksaan batang otak secara periodik.
4) Berikan manitol iv dengan dosis 1 gr/kgBB diberikan secepat mungkin
pada penderita dengan ancaman herniasi dan peningkatan TIK yang
mencolok.
5) Berikan anti edema cerebri: kortikosteroid deksametason 0,5 mg 3×1,
furosemide diuretik 1 mg/kg BB tiap 6-12 jam bila ada edema cerebri,
berikan anti perdarahan.
6) Berikan obat-obatan neurotonik sebagai obat lini kedua, berikan anti
kejang jika penderita kejang, berikan antibiotik dosis tinggi pada cedera
kepala terbuka, rhinorea, otorea.
7) Berikan antagonis H2 simetidin, ranitidin iv untuk mencegah perdarahan
gastrointestinal.
8) Koreksi asidodis laktat dengan natrium bikarbonat.
9) Operasi cito pada perkembangan ke arah indikasi operasi.
10) Fisioterapi dan rehabilitasi.

B. Askep Teori

I. Pengkajian
Pengumpulan data pasien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem
persyarafan sehubungan dengan trauma kepala adalah sebagi berikut :
1. Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab)
2. Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat penyakit dahulu
3. Pemeriksaan Fisik
 Aspek Neurologis :
Yang dikaji adalah Tingkat kesadaran, biasanya GCS kurang dari 15,
disorentasi orang/tempat dan waktu, adanya refleks babinski yang positif,
perubahan nilai tanda-tanda vital, adanya gerakan decebrasi atau dekortikasi
dan kemungkinan didapatkan kaku kuduk dengan brudzinski positif. Adanya
hemiparese. Pada pasien sadar, dia tidak dapat membedakan berbagai
rangsangan/stimulus rasa, raba, suhu dan getaran. Terjadi gerakan-gerakan
involunter, kejang dan ataksia, karena gangguan koordinasi. Pasien juga tidak
dapat mengingat kejadian sebelum dan sesuadah trauma. Gangguan
keseimbangan dimana pasien sadar, dapat terlihat limbung atau tidak dapat
mempertahankana keseimabangan tubuh.
Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas sampai batang
otak karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan nervus I
(Olfaktorius) : memperlihatkan gejala penur unan daya penciuman dan
anosmia bilateral. Nervus II (Optikus), pada trauma frontalis :
memperlihatkan gejala berupa penurunan gejala penglihatan. Nervus III
(Okulomotorius), Nervus IV (Trokhlearis) dan Nervus VI (Abducens),
kerusakannya akan menyebabkan penurunan lapang pandang, refleks
cahaya ,menurun, perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti
perintah, anisokor.
Nervus V (Trigeminus), gangguannya ditandai ; adanya anestesi daerah
dahi. Nervus VII (Fasialis), pada trauma kapitis yang mengena i neuron
motorik atas unilateral dapat menurunkan fungsinya, tidak adanya lipatan
nasolabial, melemahnya penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa pada 2/3
bagian lidah anterior lidah.
Nervus VIII (Akustikus), pada pasien sadar gejalanya berupa menurunnya
daya pendengaran dan kesimbangan tubuh. Nervus IX (Glosofaringeus).
Nervus X (Vagus), dan Nervus XI (Assesorius), gejala jarang ditemukan
karena penderita akan meninggal apabila trauma mengenai saraf tersebut.
Adanya Hiccuping (cekungan) karena kompresi p ada nervus vagus, yang
menyebabkan kompresi spasmodik dan diafragma. Hal ini terjadi karena
kompresi batang otak. Cekungan yang terjadi, biasanya yang berisiko
peningkatan tekanan intrakranial.
Nervus XII (hipoglosus), gejala yang biasa timbul, adalah jatuhnya lidah
kesalah satu sisi, disfagia dan disartria. Hal ini menyebabkan adanya kesulitan
menelan.
 Aspek Kardiovaskuler :
Didapat perubahan tekanan darah menurun, kecuali apabila terjadi
peningkatan intrakranial maka tekanan darah meningkat, denyut nadi b
radikardi, kemudian takhikardia, atau iramanya tidak teratur. Selain itu
pengkajian lain yang perlu dikumpulkan adalah adanya perdarahan atau
cairan yang keluar dari mulut, hidung, telinga, mata. Adanya hipereskresi
pada rongga mulut. Adanya perdarahan te rbuka/hematoma pada bagian tubuh
lainnya. Hal ini perlu pengkajian dari kepalal hingga kaki.
 Aspek sistem pernapasan :
Terjadi perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi
yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur (chyne stokes, ataxia br ething),
bunyi napas ronchi, wheezing atau stridor. Adanya sekret pada tracheo
brokhiolus. Peningkatan suhu tubuh dapat terjadi karena adanya infeksi atau
rangsangan terhadap hipotalamus sebagai pusat pengatur suhu tubuh.
 Aspek sistem eliminasi :
Akan didapatkan retensi/inkontinen dalam hal buang air besar atau kecil.
Terdapat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat
hiponatremia atau hipokalemia. Pada sistem gastro-intestinal perlu dikaji
tanda-tanda penurunan fungsi saluran pencernaan sep erti bising usus yang
tidak terdengar atau lemah, aanya mual dan muntah. Hal ini menjadi dasar
dalam pemberian makanan.
4. Pengkajian Psikologis :
Dimana pasien dengan tingkat kesadarannya menurun, maka untuk data
psikologisnya tidak dapat dinilai, sedangkan pada pasien yang tingkat
kesadarannya agak normal akan terlihat adanya gangguan emosi, perubahan
tingkah laku, emosi yang labil, iritabel, apatis, delirium, dan kebingungan
keluarga pasien karena mengalami kecemasan sehubungan dengan penyakitnya.
Data sosial yang diperlukan adalah bagaimana psien berhubungan dnegan orang-
orang terdekat dan yang lainnya, kemampuan berkomunikasi dan peranannya
dalam keluarga. Serta pandangan pasien terhadap dirinya setelah mengalami
trauma kepala dan rasa aman.
5. Data spiritual :
Diperlukan adalah ketaatan terhadap agamanya, semangat dan falsafah hidup
pasien serta ke-Tuhanan yang diyakininya. Tentu saja data yang dikumpulkan bila
tidak ada penurunan kesadaran.
Prinsip melakukan pengkajian dengan menggunakan 5 B yaitu :
a. Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga
terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa
berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi,
wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi
sputum pada jalan napas.
b. Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan
pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke
jantung yang ak an mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia,
takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
c. Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manif estasi adanya gangguan otak
akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,
vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila
perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus
cranialis, maka dapat terjadi :
- Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
- Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, foto fobia.
- Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
- Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
- Sering timbu l hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus
menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
- Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu
sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
d. Blader dan Bowel
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia urin,
ketidakmampuan menahan miksi.
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin
proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia)
dan terganggunya proses eliminasi alvi.
e. Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi
yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi
spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal
selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.

II. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul

1. Nyeri akut (nyeri kepala, pusing) berhubungan dengan agen injuri fisik,
biologis, psikologis.

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


faktor biologis, fisiologis.

3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskuler.

4. Perfusi jaringan tidak efektif berhubungan dengan menurunnya curah jantung,


hipoksemia jaringan, asidosis dan kemungkinan thrombus atau emboli.

5. Intoleransi aktivitas
DAFTAR PUSTAKA

Barbara, CL., 1996, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan proses keperawatan),

Bandung.

Markam, S., 1992. Penuntun Neurologi, Cetakan Pertama. Binarupa Aksara, Jakarta.

Price, Sylvia Anderson, Wilson, Lorraine Mc Carty, 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-

proses Penyakit, Ed. 6, volume 1&2, EGC, Jakarta.

Setyanegara. Ilmu Bedah Syaraf edisi IV. Gramedia Pustaka Utama. Tengerang, 2010

Smeltzer, suzanna C. 2002. B uku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & suddart edisi 8

volume 1,2,3. EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai