Anda di halaman 1dari 10

Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

Disusun untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners Departemen Emergency


Pembimbing Akademik:
Ns. Suryanto, S.Kep., M.Nurs, PhD

OLEH:
Aini Nur Farihah
(200070300111020)
Kelompok 2A

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
DEFINISI
Trauma kepala atau cedera kepala atau trauma kapitis menurut Konsensus Nasional
Penanganan Trauma Kapitis didefinisikan sebagai trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu
gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen (Perdossi, 2006).
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), trauma kepala adalah suatu
trauma kranioserebral, secara spesifik terjadinya cedera pada kepala (akibat trauma tumpul
atau tajam atau akibat daya akselerasi atau deselerasi) yang terkait dengan gejala akibat
cedera tersebut seperti penurunan kesadaran, amnesia, abnormalitas neurologi atau
neuropsikologi lainnya, fraktur tengkorak, lesi intrakranial atau kematian (CDC, 2010).

ETIOLOGI
Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi, deselari, akselerasi-deselerasi, coup-
countre coup, dan cedera rotasional
1. Cedera Akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak
(mis: alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang ditembakkan ke kepala)
2. Cedera Deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur obyek diam, seperti
pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan mobil
3. Cedera akselerasi-deselerasi sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan
bermotor dan episoe kekerasan fisik
4. Cedera Coup-Countre Coup terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan otak
bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang
berlawanan serta area kepala yang pertama kali terbentur sebagai contoh pasien
dipukul dibagian belakang kepala
5. Cedera rotasional terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar dalam
rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron dalam
substansia aliba serta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian
dalam rongga tengkorak

EPIDEMOLOGI
Berdasarkan data dari National Center for Injury Prevention and Control, Centers for
Disease Control and Prevention (CDC), di Amerika Serikat sekitar 1,7 juta penduduk mengalami
trauma kepala dan merupakan penyebab tersering ketiga (30,5%) dari kematian terkait trauma
di Amerika, dengan 52.000 kasus di antaranya meninggal, 275.000 kasus menjalani perawatan
di rumah sakit (CDC, 2010). Di Inggris, trauma kepala merupakan diagnosis primer pada 77.239
pasien yang datang ke rumah sakit pada periode 2013-2014 (Hazeldine dkk., 2015). Riskesdas
2013 menunjukkan insiden trauma kepala di Indonesia sebanyak 4 per 100.000 penduduk, dan
di Bali dengan angka kejadian yang lebih tinggi yaitu 6 per 100.000 penduduk. Insiden cedera
kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, 2013). Di RSUP Sanglah, penyebab kematian terbanyak oleh
karena kecelakaan adalah multiple trauma (16%), trauma kepala (4%), trauma abdomen (1%)
dan trauma thorak (1%) (Yuniarti, 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RS Hasan
Sadikin dari tahun 2008- 2010 didapatkan trauma kepala sebanyak 3578 kasus, kejadian pada
lelaki (79,8%) lebih tinggi dibandingkan perempuan (20,2%), dengan kelompok umur tertinggi
18-45 tahun (Zamzami dkk, 2013). Data cedera kepala di Rumah Sakit Dr. Wahidin
Sudirohusodo, Makassar pada tahun 2005 berjumlah 861 kasus, tahun 2006 berjumlah 817
kasus, dan tahun 2007 mengalami peningkatan yaitu berjumlah 1.078 kasus (Rawis dkk,2016).
Angka kejadian trauma kepala pada laki-laki 58% lebih banyak dibandingkan
perempuan. Hal ini disebabkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif
sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah di samping
penanganan pertama yang belum benar-benar rujukan yang terlambat (Smeltzer & Bare, 2012).
Menurut penelitian nasional Amerika Guerrero et al (2012) di bagian kegawatdaruratan
menunjukkan bahwa penyebab primer cedera kepala pada anak-anak adalah karena jatuh, dan
penyebab sekunder adalah terbentur oleh benda keras. Penyebab trauma kepala pada remaja
dan dewasa muda adalah kecelakaan kendaraan bermotor dan terbentur, selain karena
kekerasan. Insidensi cedera kepala karena trauma kemudian menurun pada usia dewasa,
kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan yang sebelumnya merupakan etiologi cedera
utama, digantikan oleh jatuh pada usia >45 tahun.

KLASIFIKASI
a. Berdasarkan patologi
1. Cedera kepala primer
Merupakan akibat cedera awal. Cedera awal menyebabkan gangguan integritas fisik,
kimia, dan listrik dari sel diarea tersebut, yang menyebabkan kematian sel
2. Cedera kepala sekunder
Cedera ini merupakan cedera yang menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut yang
terjadi setelah trauma sehingga meningkatkan TIK yang tak terkendali, meliputi respon
fisiologis cedera otak, termasuk edema serebral, perubahan biokimia, dan perubahan
hemodinamik serebral, iskemia serebral, hipotensi sistemik, dan infeksi local atau
iskemik
b. Berdasarkan jenis cedera
1. Cedera kepala terbuka
Dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi diameter. Trauma yang
menembus tengkorak dan jaringan otak
2. Cedera kepala tertutup
Dapat disamakan pada pasien dengan gegar otak ringan dengan cedera serebral yang
luas
c. Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glascow Coma Scale)
1. Cedera kepala ringan/minor
- GCS 14-15
- Dapat terjadi kehilangan kesadaran,amnesia, tetapi kurang lebih 30 menit
- Tidak ada fraktur tengkorak
- Tidak ada kontusia serebral, hematoma
2. Cedera kepala sedang
- GCS 9-13
- Kehilangan kesadaran dan asam anamnesa lebih dari 30 m tetapi kurang dari 24
jam
- Dapat mengalami fraktur tengkorak
- Diikuti kontusio serebral, laserasi dan hematoma intrakranial
3. Cedera kepala berat
- GCS 3-8
- Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam
- Juga meliputi kontusio serebral, laserasi atau hematoma intracranial

Skala Coma Glasgow


Dewasa Respon Bayi dan Anak-Anak
Buka Mata (Eyes)
Spontan 4 Spontan
Berdasarkan perintah verbal 3 Berdasarkan suara
Berdasarkan rangsang nyeri 2 Berdasarkan rangsang nyeri
Tidak memberi respon 1 Tidak memberi respons
Respon verbal
Orientasi baik 5 Senyum, orientasi terhadap obyek
Percakapan kacau 4 Menangis, tetapi dapat ditenangkan
Kata-kata kacau 3 Menangis dan tidak dapat
ditenangkan
Mengerang 2 Mengerang dan agitatif
Tidak memberi respons 1 Tidak memberi respons
Respons Motorik
Menurut perintah 6 Aktif
Melokalisir rangsang nyeri 5 Melokalisir rangsang nyeri
Menjauhi rangsang nyeri 4 Menjauhi rangsang nyeri
Fleksi abnormal 3 Fleksi abnormal
Ekstensi normal 2 Ekstensi abnormal
Tidak memberi repons 1 Tidak memberi respons
Skor 14-15 12-13 11-12 8-10 <5
Kondisi Compos Apatis Somnole Stupor Koma
mentis n
PATHWAY
MANIFESTASI KLINIS
a. Berdasarkan anatomis
1. Gegar Otak (Comutio selebri)
a) Difungsi neurologis sementara dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan
kesadaran
b) Pingsan kurang dari 10 menit atau mungkin hanya beberapa detik/menit
c) Sakit kepala, tidak mampu konsentrasi, vertigo, mungkin muntah
d) Kadang amnesia retrogard
e) Edema Cerebri
f) Pingsan lebih dari 10 menit
g) Tidak ada kerusakan jaringan otak
h) Nyeri kepala, vertigo, muntah
2. Memar Otak (Kontusio cerebri)
a) Pecahnya pembuluh darah kapiler, tanda dan gejalanya bervariasi tergantung
lokasi dan derajad
b) Ptechie dan rusaknya jaringan saraf disertai perdarahan
c) Peningkatan tekanan intrakarnial (TIK)
d) Penekanan batang otak
e) Penurunan kesadaran
f) Edema jaringan otak
g) Defisit neurologis
h) Herniasi
3. Laserasi
a) Hematoma epidural
“Talk and die” tanda klasik: penurunan kesadaran ringan saat benturan,
merupakan periode lucid (pikiran jernih), beberapa menit s.d beberapa jam,
menyebabkan penurunan kesadaran dan defisit neurologis (tanda hernia):
- Kacau mental (koma)
- Gerakan bertujuan (tubuh dekortikasi atau deseverbrasi)
- Pupil isokhor (anisokhor)
b) Hematoma subdural
- Akumulasi darah dibawah lapisan durameter diatas arachnoid, biasanya karena
aselerasi, pada lansia, alkoholik
- Perdarahan besar menimbulkan gejala-gejala seperti perdarahan epidural
- Defisit neurologis dapat timbul berminggu-minggu sampai dengan berbulan-bulan
- Gejala biasanya 24-48 jam post trauma (akut)
- Perluasan massa lesi
- Peningkatan TIK
- Sakit kepala, lethargi, kacau mental, kejang
- disfasia
c) Perdarahan subarachnoid
- Nyeri kepala hebat
- Kaku kuduk
b. Berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale)
1. Cidera kepala ringan (CKR)
a) GCS 13-15
b) Kehilangan kesadaran/ amnesia <30 menit
c) Tidak ada fraktur tengkorak
d) Tidak ada kontusio celebral, hematoma
e) Cidera kepala sedang (CKS)
f) GCS 9-12
g) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >30 menit tetapi kurang dari 24 jam
h) Dapat mengalami fraktur tengkorak
2. Cidera kepala berat (CKB)
a) GCS 3-8
b) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia >24 jam
c) Juga meliputi kontusio celebral, laserasi, atau hematoma intracranial

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Foto polos tengkorak (Skull X-Ray)
2. Angiografi serebral
3. Pemeriksaan MRI
4. CT Scan: Indikasi CT Scan nyeri kepala atau muntah-muntah, penurunan GCS lebih 1
point, adanya lateralisasi, bradikardi (nadi<60x/menit), fraktur impresi dengan lateralisasi
yang tidak sesuai, tidak ada perubahan selama 3 hari perawatan dan luka tembus akibat
benda tajam atau peluru

PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Pedoman resusitasi dan penilaian awal
 Menilai jalan nafas               
Bersihkan jalan nafas dari muntahan, perdarahan dan debris.
 Menilai pernafasan               
Tentukan apakah pasien bernafas spontan atau tidak. Jika tidak berikan oksigen
melalui masker.oksigen minimal 95% jika klien tidak memperoleh oksigen yang
adekuat (PaO2 >95% dan PaCO2<40% mmHG serta saturasi O2>95% ) atau
muntah maka klien harus diintubasi serta diventilasi oleh ahli anastesi.
 Menilai sirkulasi                   
Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya, perhatikan cedera
intraabdomen dan dada.
 Obati kejang                        
Berikan diazepam 10 mg intra vena perlahan-lahan dan dapat diulangi 2x jika masih
kejang. Bila tidak berhasil berikan penitoin 15 mg/kg BB.
 Menilai tingkat keparahan (GCS)
 Untuk cidera kepala terbuka diperlukan antibiotik.
 Tirah baring.
2. Pedoman penatalaksaan
a. Foto tulang belakang, kolar servikal
b. Cairan IV (NaCl 0,9 % / NS / RL), pemeriksaan darah
c. CT scan
d. Pada pasien dengan GCS kurang, elevasi kepala 300, hiperventilasi, manitol 20 % 1
gr/kg IV, pasang folley catheter, konsul bedah saraf
3. Penatalaksanaan khusus cedera kepala ringan
Pasien umumnya dapat dipulangkan kerumah tanpa pemeriksaan CT scan bila
pemeriksaan neurologis dalam batas normal, foto servikal normal, adanya orang yang
bertanggung jawab.

KOMPLIKASI
- Pendarahan Otak
- Kejang
- Keluar cairan bening dari telinga
- Gangguan bicara, ingatan, dan emosi
- Infeksi
- Kemunduran kondisi
- Defisit neurologi
- Defisit psikologi

DAFTAR PUSTAKA

Arief Mutaqin. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/0fe7df423d9e80bfee69f3d58abb57ef.pdf diakses
pada 31 Oktober 2020 pukul 12.15 WIB
Mansjoer arif.M. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aeusculapius.
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC Edisi Revisi Jilid 1. Yogjakarta: Mediaction
Salim, C. (2015). Sistem Penilaian Trauma.Cermin Dunia Kedokteran
Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G. 2000. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Burrner dan Suddarth (ed.8,vol.1,2), alih bahasa oleh agung waluyo (dkk). Jakarta: EGC.
Padila. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai