Anda di halaman 1dari 37

PROPOSAL DESAIN INOVATIF

Penerapan Asuhan Keperawatan pada Pasien Gangguan Mobolisasi dengan


Fraktur Femur Sinistra

Disusun oleh
Lulu Noharia
201133039

PROGRAM STUDI PROFESI NERS JURUSAN KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN
PONTIANAK TAHUN AKADEMIK
2020/2021
PROPOSAL DESAIN INOVATIV
GANGGUAN MOBILISASI FISIK DENGAN FRAKTUR FEMUR SINISTA

Telah Mendapatkan Persetujuan Dari Dosen Penanggung Jawab Mata Kuliah Konsep Dasar
Keperawatan.
Telah disetujui pada
Hari : Sabtu
Tanggal : 10 oktober 2020

Oleh:

Dosen Penanggung Jawab

Ns. Egidius umbu ndeta M.kes


NIK:1991090220151101
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya sehingga kelompok dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah
Keperawatan Kritis yang berjudul “proposal desain inovatif Penerapan Asuhan
Keperawatan pada Pasien Gangguan Mobolisasi dengan Fraktur Femur Sinistra” ini.
Penulisan proposal ini merupakan pemenuhan tugas yang diberikan dalam mata
kuliah konsep dasar keperawatan prodi profesi ners.
Dalam penulisan tugas proposal ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada bapak Ns. Egidius Umbu Ndeta S.kep M.kes selaku dosen pemebimbing Praktek
klininik mata kuliah konsep dasar keperawatan prodi profesi ners, yang telah
memberikan penga rahan, bimbingan dan masukannya dalam pembuatan makalah ini.
Dalam Penulisan dan penyusunan tugas proposal ini, mungkin masih banyak
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan
yang kelompok penulis miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat
diharapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Pontianak, 10 oktober 2020

Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh manusia
dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupun psikologis, yang tentunya
bertujuan untuk kehidupan dan kesehatan. Jean Watson membagi kebutuhan dasar
manusia dalam dua peringkat utama yaitu kebutuhan yang tingkatnya lebih rendah (lower
order needs) dan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi (higher order needs). Kebutuhan
tingkat rendah terbagi atas 2 yaitu kebutuhan bertahan hidup (biofisikal) dan kebutuhan
fungsional (psikososial). Kebutuhan bertahan hidup (biofisikal) seperti makanan,
minuman, eleminasi, dan ventilasi. Kebutuhan fungsional (psikososial) seperti aktivitas,
istirahat, dan seksual. Kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi juga terbagi atas 2 yaitu
kebutuhan integrative (Psikososial) dan Kebutuhan untuk berkembang (Intrapersonal-
Interpersonal). Kebutuhan integrative seperti berprestasi dan berafiliasi. Kebutuhan untuk
berkembang seperti aktualisasi diri (Hidayat, 2014).
Kebutuhan dasar manusia menurut Jean Watson yaitu kebutuhan fungsional
(psikososial). Kebutuhan fungsional adalah kebutuhan tubuh dalam menjaga fungsi-
fungsi tubuh. Kebutuhan ini menurut Watson digolongkan kedalam kebutuhan tingkat
rendah karena bisa dengan mudah dilakukan. Kebutuhan fungsional didalamnya
mengatur tentang kebutuhan tubuh akan aktivitas (Hidayat, 2014). Aktivitas adalah suatu
energi atau keadaan dimana bergerak untuk memenuhi kebutuhan. Kemampuan aktivitas
seseorang tidak terlepas dari keadekuatan sistem persarafan dan muskuloskletal. Salah
satu yang termasuk kebutuhan aktivitas yaitu mobilisasi dan imobilisasi fisik (Tarwoto
dan Wartonah, 2010).
Mobilisasi atau mobilitas fisik merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
secara bebas, mudah, dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat.
Setiap orang butuh untuk bergerak. Kehilangan kemampuan untuk bergerak
menyebabkan ketergantungan dan ini membutuhkan tindakan keperawatan. Mobilisasi
diperlukan untuk meningkatkan kemandirian diri, kesehatan, memperlambat proses
penyakit-khususnya penyakit degenerative, dan untuk aktualisasi diri (harga diri dan citra
tubuh) (Ambarwati, 2014).
Sedangkan, Immobilisasi merupakan ketidakmampuan untuk bergerak bebas yang
disebabkan karena kondisi pasien yang gerakannya terganggu atau dibatasi secara
terapeutik (Andina dan Yuni 2017). Keadaan imobilisasi adalah keadaan dimana klien
mengalami perubahan dalam tingkat mobilisasi yang dapat mengakibatkan terjadinya
pembatasan gerak dalam bentuk tirah baring, pembatasan gerak fisik selama penggunaan
alat bantu eksternal (gips/traksi rangka), pembatasan gerakan volunter, kehilangan fungsi
motorik (Andri & wahid 2016).
Dampak dari imobilitas dalam tubuh dapat mempengaruhi sistem tubuh, seperti
perubahan pada metabolisme tubuh, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, gangguan
dalam kebutuhan nutrisi, gangguan fungsi gastrointestinal, perubahan sistem pernapasan,
perubahan kardiovaskuler, perubahan sistem muskuloskletal, perubahan kulit, perubahan
eleminasi, dan perubahan perilaku (Hidayat, 2014).Riwayat penyakit yang berhubungan
dengan pemenuhan kebutuhan mobilitas, adanya riwayat penyakit sistem neurologis
(kecelakaan cerebrovaskular, trauma kepala, peningkatan TIK, miastenia gravis, guillain
bare, cedera medulla spinalis, dll), riwayat penyakit kardiovaskuler (infark miokard,
gagal jantung kongestif), riwayat penyakit muskuloskletal (osteoporosis, fraktur,
arthritis), riwayat penyakit system pernapsan (penyakit paru obstruksi menahun,
pneumonia dll) (Andri & Wahid, 2016).
Penyakit muskuloskletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di pusat-
pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Bahkan Badan Kesehatan Dunia (WHO)
telah menetapkan dekade ini (2000-2010) menjadi dekade tulang dan persendian.
Penyebab fraktur terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas ini
menyebabkan fraktur sebanyak 1,3 juta orang (WHO, 2011-2012). Menurut Smeltzer
(2014) fraktur merupakan terputusnya kontiniutas jaringan tulang, yang biasanya disertai
dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh
darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya
fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsobsinya.
Fraktur terjadi ketika tulang menjadi subjek tekanan yang lebih besar dari yang
dapat diserapnya (Brunner & Suddarth, 2016). Fraktur juga terjadi dibagian ekstremitas
bawah antara lain fraktur pinggul, fraktur femur, fraktur patella, fraktur tibia dan fibula.
Menurut Kementrian Kesehatan RI melalui survey Nasional (2012) mencatat bahwa
angka prevalensi kasus fraktur secara nasional sekitar 37,7%, dan jenis kasus yang paling
terbanyak adalah fraktur femur dengan persentase 35% dibandingkan fraktur yang lain.
Fraktur femur terbagi dua macam yaitu fraktur femur terbuka dan fraktur femur tertutup.
Fraktur femur terbuka adalah hilangnya kontinuitas tulang paha disertai kerusakan
jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan pembuluh darah) yang dapat disebabkan
oleh trauma langsung pada paha.
Fraktur femur tertutup atau patah tulang paha tertutup adalah hilangnya
kontinuitas tulang paha tanpa disertai kerusakan jaringan kulit yang dapat disebabkan
oleh trauma langsung atau kondisi tertentu, seperti degenerasi tulang (osteoporosis)dan
tumor atau keganasan tulang paha yang menyebabkan fraktur patologis (Muttaqin, 2012).
Akibat dari fraktur femur ini dapat berdampak terhadap fisik dan psikologis, sosial,
spiritual. Dampak terhadap psikologis seperti pasien akan merasakan cemas
yangdiakibatkan oleh rasa nyeri dari fraktur, perubahan gaya hidup, kehilangan peran
baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, takutnya terjadi kecacatan pada dirinya
dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra diri).
Dampak sosial dari fraktur femur pasien akan kehilangan perannya dalam
keluarga dan dalam masyarakat karena harus menjalani perawatan yang waktunya tidak
akan sebentar dan juga perasaan akan ketidakmampuan dalam melakukan kegiatan
memenuhi kebutuhannya sendiri seperti biasanya. Dampak spiritual dari fraktur femur
pasien akan mengalami gangguan kebutuhan spiritual sesuai dengan keyakinannya baik
dalam jumlah ataupun dalam beribadah yang diakibatkan karena rasa nyeri dan
ketidakmampuannya. Dan bahkan juga berdampak pada fisik nya yaitu terjadi perubahan
pada bagian tubuhnya yang terkena trauma seperti perubahan ukuran pada ekstermitas
bahkan kehilangan ekstermitas yang disebabkan oleh amputasi (Mutaqqin,
2008).Menurut WHO pada tahun 2011-2012 mencatat terdapat 5,6 juta orang meninggal
dunia dan 1,3 juta orang menderita fraktur akibat kecelakaan lalu lintas, dan juga
menyebabkan kematian ±1,25 juta orang setiap tahunnya, dimana sebagian besar
korbannya adalah remaja atau dewasa muda.
Menurut Depkes RI dalam Fadliyah (2014), mencatat pada tahun 2011 dari sekian
banyak kasus fraktur di Indonesia, fraktur pada ekstremitas bawah akibat kecelakaan
memiliki prevalensi yang paling tinggi diantara fraktur lainnya yaitu sekitar 46,2%. Dari
45.987 orang dengan kasus fraktur ekstremitas bawahakibat kecelakaan, 19.629 orang
mengalami fraktur pada tulang femur.Menurut Depkes RI (2013),Kecelakaan lalu lintas
di Indonesia setiap tahunnya meningkat. Terdapat peningkatan 21,8% dalam jangka
waktu lima tahun. Dari jumlah total peristiwa kecelakaanyang terjadi, terdapat 5,8%
korban cedera atau sekitar delapan juta orang yang mengalami fraktur dengan jenis
fraktur yang paling banyak terjadi yaitu fraktur pada bagian ekstremitas atas sebesar
36,9% dan ekstremitas bawah sebesar 65,2%.Hasil Riskesdas (2013) dan sesuai data yang
dihimpun Dinas Perhubungan dan Komunikasi Informasi Sumatera Barat pada Tahun
(2015) tercatat 2.157 kecelakaan lalu lintas, hal ini menurun jika dibandingkan dengan
kejadian tahun 2014 dengan 2.625 kasus kecelakaan. Kota Padang merupakan angka
tertinggi dengan 540 kejadian, disusul Kabupaten Padang Pariaman 315 kejadian dan
Kota Pariaman 279 kejadian.Dinas Kesehatan Kota Padang tahun 2014 mencatat terjadi
peningkatan kejadian fraktur, pada tahun 2013 sebanyak 242 orang terkenafraktur,
sedangkan pada tahun 2014 meningkat menjadi 358 orang.
Pergerakan setelah operasi karena kurang pengetahuan tentang cara melakukan
mobilisasi sebelum dan sesudah operasi. Didapatkan sebanyak 3 orang pasien yang
diberikan edukasi tentang pelaksanaan aktivitas mobilisasi dan 2 orang pasien tidak
diberikan edukasi tentang pelaksanaan aktvitas mobilisasi..
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan diatas, maka perumusan
masalah penelitian ini adalah “Bagaimana Penerapan Asuhan Keperawatan Gangguan
Pemenuhan Mobilisasi pada Pasien Fraktur Femur Padang Tahun 2020”.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian adalah mampu mendeskripsikan proses penerapan asuhan
keperawatan gangguan pemenuhan mobilisasi pada pasien Fraktur Femur tahun 2020.
2. Tujuan khusus
a. Mengideskripsikan pengkajian keperawatan pada asuhan keperawatan gangguan
pemenuhan mobilisasi pada pasien Fraktur Femur Sinistra.
b. Mengideskripsikan rumusan diagnosa keperawatan pada asuhan keperawatan
gangguan pemenuhan mobilisasi pada pasien Fraktur Femur sinistra
c. Mengideskripsikan perencanaan keperawatan pada asuhan keperawatan gangguan
pemenuhan mobilisasi pada pasien Fraktur Femur sinistra .
d. Mengideskripsikan pelaksanaan tindakan keperawatan pada asuhan keperawatan
gangguan pemenuhan mobilisasi pada pasien Fraktur Femur sinistra.
e. Mengideskripsikan hasil evaluasi keperawatan pada asuhan keperawatan
gangguan pemenuhan mobilisasi pada pasien Fraktur Femur sinistra
D. Manfaat
1. Bagi penulis mampu mengaplikasikan ilmu tentang penerapan asuhan keperawatan
pada pasien dengan gangguan pemenuhan mobilisasi pada pasien Fraktur Femur.
2. Bagi Mahasiswa diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dalam
meningkatkan penerapan asuhan keperawatan gangguan pemenuhan mobilisasi pada
pasien Fraktur Femur.
3. Bagi institusi pendidikan dapat memberikan pemikiran kepada institusi pendidikan
untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan gangguan pemenuhan mobilisasi
pada pasien fraktur femur
BAB II
KONSEP DASAR

A. Mobilisasia.
1. Defenisi Mobilisasi
Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak bebas, mudah, teratur,
mempunyai tujuan memenuhi kebutuhan hidup sehat, dan penting untuk kemandirian
(Andri & wahid 2016).Menurut Ambarwati (2014) Mobilisasi adalah kemampuan
seseorang untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehat. Setiap orang butuh untuk bergerak. Kehilangan
kemampuan untuk bergerak menyebabkan ketergantungan dan ini membutuhkan
tindakan keperawatan. Mobilisasi diperlukan untuk meningkatkan kemandirian diri,
meningkatkan kesehatan, memperlambat proses penyakit-khususnya penyakit
degenerative, dan untuk aktualisasi diri (harga diri dan citra tubuh).
2. Jenis Mobilitas
a) Moblitas PenuhKemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas sehingga dapat
melakukan interaksi sosial dan menjalankan aktivitas sehari-hari. Mobilitas penuh
ini merupakan fungsi saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol
seluruh area tubuh seseorang.
b) Mobilitas Sebagian Kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan
tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf
motorik dan sensorik pada area tubuhnya.
Hal ini dijumpai pada kasus cidera patah tulang dengan pemasangan traksi. Mobilitas
sebagian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu
a) Mobilitas sebagian temporer Kemampuan individu untuk bergerak dengan
batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat disebabkan oleh trauma
reversibel pada sistem muskuloskletal. Contohnya adalah dislokasi sendi dan
tulang.
b) Mobilitas sebagian permanenKemampuan individu untuk bergerak dengan
batasan yang sifatnya menetap. Hal ini disebabkan oleh rusaknya sistem saraf
yang reversibel. (Ernawati, 2012)
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi Mobilitas seseorang dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya:
a. Gaya hidup
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas seseorang karena
gaya hidup berdampak pada perilaku atau kebiasaan sehari-hari.
b. Proses penyakit/cidera
Proses penyakit dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas karena dapat
mempengaruhi fungsi sistem tubuh. Sebagai contoh, orang yang menderita fraktur
fremur akan mengalami keterbatasan dalam ekstremitas bagian bawah.
c. Kebudayaan
Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga dipengaruhi kebudayaan. Sebagai contoh
orang yang memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki kemampuan mobilitas yang
kuat dan sebaliknya.
d. Tingkat energy
Energi adalah sumber untuk melakukan aktivitas. Agar seseorang dapat melakukan
mobilitas dengan baik, dibutuhkan energi yang cukup.
e. Usia dan status perkembangan
Terdapat perbedaan kemampuan mobilitas pada tingkat usia yang berbeda. Hal ini
dikarenakan kemampuan atau kematangan fungsi alat gerak sejalan dengan
perkembangan usia .(Andri & wahid 2016).
B. Imobilisasia.
1. Defenisi Imobilisasi
Gangguan mobilitas fisik atau imobilisasi yaitu suatu keadaan ketika individu
mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerak fisik. Perubahan dalam
tingkat mobilisasi fisik dapat mengakibatkan instruksi pembatasan gerak dalam
bentuk tirah baring, pembatasan gerak fisik selama penggunaan alat bantu eksternal
(gips/traksi rangka), pembatasan gerakan volunter, kehilangan fungsi motorik (Andri
& Wahid, 2016). Imobilisasi adalah seseorang yang tidak hanya kehilangan
kemampuan geraknya secara total, tetapi juga mengalami penurunan aktivitas dari
kebiasaan normalnya. Ada beberapa alasan dilakukannya imobilisasi, yaitu :
a. Pembatasan gerak yang ditujukan untuk pengobatan atau terapi. Misalnya pada
klien yang mengalami cidera pada tungkai dan lengan.
b. Keharusan (tidak terelakkan). Ini biasanya disebabkan oleh ketidakmampuan
primer, seperti penderita paralisis.
c. Pembatasan secara otomatis sampai dengan gaya hidup.(Ernawati, 2012).
2. Jenis imobilisasi
a. Imobilisasi fisik
Merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan tujuan mencegah
terjadinya gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada pasien dengan
hemiplegia yang tidak mampu mempertahankan tekanan di daerah paralisis
sehingga tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi tekanan.
b. Imobilisasi intelektual
Kondisi ini dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan untuk dapat berfungsi
sebagaimana mestinya.
c. Imobilisasi emosional
Merupakan keadaan ketika seseorang mengalami pembatasan secara emosional
karena adanya pengaruh secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri. Sebagai
contoh, keadaan stress bisa disebabkan karena bedah amputasi ketika seseorang
kehilangan salah satu anggota tubuhnya atau kehilangan salah satu yang paling
dicintainya
d. Imobilisasi sosial
Kondisi ini bisa menyebabkan perubahan interaksi sosial yang sering terjadi
akibat penyakit.(Ernawati, 2012).
3. Pengaruh imobilitas terhadap sistem tubuh
Apabila ada perubahan mobilisasi, maka setiap sistem tubuh beresiko terjadi
gangguan. Tingkat keparahan dari gangguan tersebut tergantung pada umur klien, dan
kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta tingkat imobilisasi yang dialami.
a. Perubahan metabolik, sistem endokrinKetika cedera atau stress terjadi, sistem
endokrin memicu serangkaian respons yang bertujuan mempertahankan tekanan
darah dan memelihara hidup. Sistem endokrin paling penting dalam
mempertahankan homeostasis ion. Imobilisasi menggangu fungsi metabolik
normal, antara lain laju metabolik; metabolisme karbohidrat, lemak dan protein;
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit; ketidakseimbangan kalsium; dan
menganggu pencernaan. Keberadaan proses infeksius pada klien imobilisasi
mengalami peningkatan BMR diakibatkan karena penyembuhan luka. Demam
dan penyembuhan luka meningkatkan kebutuhan oksigen seluler (Andri & Wahid,
2016).
b. Perubahan sistem respiratorikKlien pasca operasi dan imobilisasi beresiko tinggi
mengalami komplikasi paru-paru. Komplikasi paru-paru yang paling umum
adalah atelektasis dan pneumonia hipostastik (Andri & Wahid, 2016).
c. Perubahan sistem kardiovaskuler Menurut Ernawati (2012), Sistem
kardiovaskuler juga dipengaruhi oleh mobilisasi. Ada 3 perubahan utama yaitu :
hipotensi ortostastik, peningkatan beban kerja jantung dan pembentukan kerja
jantung, pembentukan trombus.
1) Hipotensi ortostatik Penurunan tekanan darah sistolik 25 mmHg dan diastolic
10 mmHg ketika klien bangun dari posisi berbaring atau duduk ke posisi
berdiri. Hipotensi ortostastik terjadi karena sistem saraf otonom tidak dapat
menjaga keseimbangan suplai darah ketubuh sewaktu individu bangun dari
posisi berbaring dalam waktu lama. Darah berkumpul diekstremitas dan
tekanan darah turun drastis. Akibatnya perfusi di otak mengalami gangguan
yang bermakna, dan individu dapat mengalami pusing, berkunang-kunang
bahkan pingsan.
2) Pembentukan trombusTrombus adalah akumulasi trombosit, fibrin, faktor
pembekuan darah dan elemen sel-sel darah yang menempel pada dinding
bagian anterior vena dan arteri, kadang-kadang menutup lumen pembuluh
darah.Ada tiga faktor yang menyebabkan timbulnya trombus, yaitu :
gangguan aliran balik vena menuju jantung, hiperkoagulabilitas darah dan
cidera pada pembuluh darah. Jika trombus lepas dari dinding pembuluh darah
dan masuk ke sirkulasi disebut sebagai embolus.
3) Peningkatan beban kerja jantungJika beban kerja jantung meningkat maka
konsumsi oksigen juga meningkat. Oleh karena itu jantung bekerja lebih keras
dan kurang efisien selama masa istirahat yang lama. Jika imobilisasi
meningkat maka curah jantung menurun, penurunan efisiensi jantung yang
lebih lanjut dan peningkatan beban kerja jantung
d. Sistem muskuloskletal Pengaruh imobilisasi pada sistem muskuloskletal meliputi
gangguan mobilisasi permanen. Keterbatasan mobilisasi dapat menimbulkan
masalah-masalah pada sistem muskuloskletal. Masalah bisa timbul seperti
osteoporosis, atrofi otot, kontraktur dan kekakuan serta nyeri pada sendi.
1. Atrofi otot Otot
yang tidak dipergunakan dalam waktu lama akan kehilangan sebagian kekuatan
dan fungsi normalnya.
2. Kontraktur
Pada kondisi imobilisasi, serabut otot tidak mampu untuk memendek atau
memanjang. Dalam waktu yang lama kondisi ini akan mengakibatkan
kontraktur atau pemendekan otot permanen. Proses ini sering mengenai sendi,
tendon dan ligament.
3. Osteoporosis
Tanpa adanya aktivitas yang memberi beban kepadatulang, maka akan
mengakibatkan tulang mengalami demineralisasi (osteoporosis). Proses ini
mengakibatkan tulang kehilangan kekuatan dan kepadatannya sehingga tulang
menjadi keropos dan mudah patah.
4. Kekakuan dan nyeri sendi
Pada kondisi imobilisasi, jaringan kolagen pada sendi dapat mengalami
ankilosa. Selain itu, tulang juga akan mengalami demineralisasi yang akan
menyebabkan akumulasi pada sendi yang dapat mengakibatkan kekakuan dan
nyeri pada sendi.(Ernawati, 2012).
5. Eliminasi urineEleminasi urine klienakan berubah dengan adanya imobilisasi.
Pada posisi tegak lurus, urine mengalir keluar dari pelvis ginjal lalu masuk ke
dalam ureter dan kandung kemih akibat gaya gravitasi. Pada saat klien dalam
posisi berbaring maka urine yang akan dialirkan ke kandung kemih akan
melawan gravitasi. Akibat kontraksi pristaltik ureter yang tidak cukup kuat
melawan gravitasi, pelvis ginjal akan terisi dengan urine sebelum urine masuk
ke dalam kandung kemih. Kondisi ini disebut dengan stasis urine hal ini
mengakibatkan risiko terjadi infeksi saluran kencing dan batu ginjal
6. Sistem gastrointestinal Imobilitas dapat menyebabkan gangguan fungsi
gastrointestinal. Hal ini disebabkan karena imobilitas dapat menurunkan hasil
makanan yang dicerna, sehingga penurunan jumlah masukan yang cukup dapat
menyebabkan keluhan, seperti perut kembung, mual dan nyeri lambung yang
dapat menyebabkan gangguan proses eliminasi.
7. Sistem integumenPerubahan sistem integumen yang terjadi berupa penurunan
elastisitas kulit karena menurunnya sirkulasi darah akibat imobilitas dan
terjadinya iskemia serta nekrosis jaringan superficial dengan adanya luka
dekubitus sebagai akibat tekanan kulit dan sirkulasi yang menurun
kejaringan.(Ernawati, 2012).
e. Efek imobilitas
Efek imobilitas sangat jauh jangkauannya. Imobilitas dapat mempengaruhi
tampilan fisik seseorang dan kondisi psikososialnya. Akibatnya mencakup
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sederhana dalam kehidupan sehari-
hari (misal makan sendiri, mengenakan pakaian, berhias atau berdandan) sehingga
keterbatasan lebih parah seperti gangguan pernapasan, masalah sirkulasi, isolasi
sosial, depresi (Vougans, 2013).
f. Penatalaksanaan/ tindakan keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan mobilisasi
1. Latihan ROM Latihan ROM tersebut seperti latihan gerak sendi yaitu:
a) FleksiPergerakan yang memperkecil sudut persendian, misalnya pada
pergelangan tangan dan leher
b) EkstensiPergerakan yang memperbesar sudut persendian
c) Adduksi Merupakan pergerakan mendekati garis tengah tubuh
d) AbduksiMerupakan pergerakan menjauhi garis tengah tubuhe)Rotasi
Pergerakan memutari pusat aksis pada tulang
e) Eversi Perputaran bagian telapak kaki kebagian luar, bergerak membentuk
sudut persendiang)Inverse Perputaran bagian telapak kaki kebagian dalam,
bergerak membentuk sudut dari persendianh)
f) PronasiPergerakan telapak tangan dimana permukaan tangan bergerak
kebawahi)SupinasiPergerakan telapak tangan dimana permukaan tangan
bergerak keatas (Andina & Yuni, 2017).
2. Latihan ambulasi
Ambulasi adalah kegiatan berjalan. Ambulasi dini merupakan tahapan
kegiatan yang dilakukan segera pada klien pasca operasi yang dimulai dari
bangun dari tempat tidur, duduk hingga klien turun dari tempat tidur dan
mulai berjalan dengan bantuan alat sesuai dengan kondisi pasien. Manfaat
ambulasi antara lain menurunkan insiden komplikasi imobilisasi pascaoperasi,
mengurangi komplikasi respirasi dan sirkulasi, mempercepat pemulihan
pasien pascaoperasi, mengurangi tekanan pada kulit/dekubitus, dan penurunan
intesitas nyeri serta menormalkan frekuensi nadi dan suhu tubuh. Beberapa
alat yang sering digunakan yaitu : kruk, canes (tongkat), dan walkers (Andina
& Yuni,2017)
3. Pengaturan Posisi
Ada beberapa macam-macam posisi antara lain :
a) Posisi fowler/semi fowler (posisi duduk/setengah duduk)
b) Posisi sims (posisi miring kiri dan kanan)
c) Posisi trendelenburg (posisi berbaring ditempat tidur dengan bagian
kepala lebih rendah daripada bagian kaki)
d) Posisi dorsal recumbent (posisi berebaring terlentang dengan kedua lutut
fleksi)
e) Posisi lithotomic (posisi berbaring terlentang dengan mengangkat kedua
kaki dan menariknya keatas bagian perut)
f) Posisi genu pectoral/knee chest (posisi menungging dengan kedua kaki
ditekuk dan dada menempel pada bagian alas tempat tidur)
g) Posisi supinasi (posisi terlentang)
h) Posisi orthopneu (posisi duduk dimana klien duduk di bed atau pada tepi
bed dengan meja yang menyilang diatas bed)
i) Posisi pronasi (posisi telungkup)
j) Posisi lateral (posisi dimana klien berbaring diatas salah satu sisi bagian
tubuh dengan kepala menoleh kesamping.(Andri & Wahid, 2016).
C. Konsep Frakur Femur
1. Defenisi Fraktur Femur
Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak di
sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak
lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur
tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang (Sylvia A. Price & Lorraine
M. Wilson, 2012).
Fraktur juga terjadi dibagian ekstremitas bawah antara lain fraktur pinggul,
fraktur femur, fraktur patella, fraktur tibia dan fibula. Fraktur femur terbagi dua
macam yaitu fraktur femur terbuka dan fraktur femur tertutup. Fraktur femur terbuka
adalah hilangnya kontinuitas tulang paha disertai kerusakan jaringan lunak (otot,
kulit,jaringan saraf, dan pembuluh darah) yang dapat disebabkan oleh trauma
langsung pada paha. Fraktur femur tertutup atau patah tulang paha tertutup adalah
hilangnya kontinuitas tulang paha tanpa disertai kerusakan jaringan kulit yang dapat
disebabkan oleh trauma langsung atau kondisi tertentu, seperti degenerasi tulang
(osteoporosis) dan tumor atau keganasan tulang paha yang menyebabkan fraktur
patologis (Muttaqin, 2012).
2. Klasifikasi Fraktur
Menurut Robinson dan Lyndon (2014), ada beberapa istilah yang dipakai untuk
menjelaskan fraktur :
a. Sudut patah Fraktur transversal
Adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang.
pada fraktur semacam ini, segmen-segmen tulang yang patah direposisi atau
direduksi kembali ketempatnya semula, maka segmen-segmen itu akan stabil,
dan biasanya mudah dikontrol dengan bidai gips Fraktur oblik adalah fraktur
yang garis patahnya membentuk sudut terhadap tulang. fraktur ini tidak stabil
dan sulit diperbaiki.Fraktur spiral timbul akibat torsi pada ekstremitas. Yang
menarik adalah bahwa jenis fraktur rendah energi ini hanya menimbulkan sedikit
kerusakan jaringan lunak, dan fraktur semacam ini cenderung cepat sembuh
dengan imobilisasi luar.
b. Fraktur multipel
pada satu tulang Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu
tulang yang menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya.
Fraktur semacam ini sulit ditangani. Biasanya satu ujung yang tidak memiliki
pembuluh darah menjadi sulit untuk menyembuh, dan keadaan ini mungkin
memerlukan pengobatan secara bedah. Fraktur kominuta adalah serpihan-
serpihan atau terputusnya keutuhan jaringan dengan lebih dari dua fragmen
tulang.
c. Fraktur impaksi
Fraktur kompresi terjadi ketika dua tulang menumbuk (akibat tubrukan) tulang
ketiga yang berada diantaranya, seperti satu vertebra dengan dua vertebra
lainnya. Fraktur pada korpus vertebra ini dapat didiagnosis dengan radiogram.
Pandangan lateral dari tulang punggung menunjukkan pengurangan tinggi
vertical dan sedikit membentuk sudut pada satu atau beberapa vertebra. Pada
orang muda, fraktur kompresi dapat disertai perdarahan retroperitoneal yang
cukup berat. Seperti pada fraktur pelvis, pasien dapat secara cepat menjadi syok
hipovolemik dan meninggal jika tidak dilakukan pemeriksaan denyut nadi,
tekanan darah, dan pernapasan secara akurat dan berulang dalam 24 sampai 48
jam pertama setelah cedera
d. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah
oleh karena tumor atau proses patologik lainnya. Tulang sering kali
menunjukkan penurunan densitas. Penyebab yang paling sering dari fraktur-
fraktur semacam ini adalah tumor primer atau tumor metastasis.
e. Fraktur beban (kelelahan)
Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang-orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka. Fraktur semacam ini akan sembuh dengan
baik jika tulang itu diimobilisasi selama beberapa minggu. Setiap pasien yang
mengalami nyeri berat setelah meningkatkan aktivitas kerja tubuh, mungkin
mengalami fraktur dan seharusnya diproteksi dengan menggunakan tongkat atau
bidai gips yang tepat.
f. Fraktur greenstick
Fraktur greenstick adalah fraktur tidak sempurna dan sering terjadi pada anak-
anak. Fraktur-fraktur ini akan segera sembuh dan segera mengalami remodeling
kebentuk dan fungsi normal.
g. Fraktur avulse
Fraktur avulse memisahkan suatu fragmen tulang pada tempat insersi tendon
ataupun ligamen. Biasanya tidak ada pengobatan yang spesifik yang diperlukan.
Namun, bila diduga akan terjadi ketidakstabilan sendi atau hal-hal lain yang
menyebabkan kecacatan, maka perlu dilakukan pembedahan untuk membuang
atau meletakkan kembali fragmen tulang tersebut pada banyak kasus
h. Fraktur sendi
Jika tidak ditangani secara tepat, cedera semacam ini akan menyebabkan
osteoarteritis pasca trauma yang progresif pada sendi yang cedera tersebut.
3. Etiologi
Menurut Abdul Wahid (2013) Penyebab fraktur antara lain :
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengangaris patah melintang
atau miring.
b. Kekerasan tidak langsungKekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang
ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya
adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vector kekerasan.
c. Kekerasan akibat tarikan otot Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang
terjadi. Kekuatan dapat berupa penekanan dan penarikan.
4. Patofisiologi
Fraktur merupakan gangguan pada tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma.
Adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolik,
patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun
tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan perdarahan, maka volume
darah menurun. COP menurun maka terjadi perubahan perfusi jaringan. Hematoma
akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edema lokal maka terjadi
penumpukan didalam tubuh.
Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat
menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan
dapat terjadi neurovaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas
terganggu. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang
kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar dan kerusakan
jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit. Pada umumnya pada
pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan immobilitas yang bertujuan
untuk mempertahankan fragmen tulang yang telah dihubungkan tetap pada tempatnya
sampai sembuh (Sylvia, dalamAndra Saferi Wijaya, dkk, 2013).
Kerusakan fragmen tulang femur menyebabkan hambatan mobilitas fisik dan
diikuti dengan spasme otot paha yang menimbulkan deformitas khas pada paha, yaitu
pemendekan tungkai bawah. Apabila kondisi ini berlanjut tanpa dilakukan intervensi
yang optimal, akan menimbulkan risiko terjadinya malunion pada tulang femur.
Intervensi medis dengan penatalaksanaan pemasangan fiksasi interna dan fiksasi
eksterna memberikan implikasi pada masalah risiko tinggi infeksi pasca-bedah, nyeri
akibat trauma jaringan lunak, risiko tinggi trauma sekunder akibat pemasangan fiksasi
eksterna, dampak psikologis ansietas sekunder akibat rencana bedah dan prognosis
penyakit dan pemenuhan informasi (Muttaqin, 2012).
5. Manifestasi Klinis.
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnyab.Hilangnya fungsi (cenderung
bergerak secara tidak alamiah)
b. Pada ekstremitas terjadinya pemendekan pada tulang (deformitas)
c. Krepitus (teraba adanya derik tulang akibat gesekan antara fragmen satu dengan
yang lainnya
d. Pembengkakan danperubahan warna lokal pada kulit (terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur(Muttaqin, 2012).
6. Penatalaksanaan Fraktur Femur
Menurut Andra Saferi Wijaya dan Yessie Meriza Putri (2013) prinsip penangan
fraktur femur dikenal dengan empat “R” yaitu :
a. Rekognisi adalah menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kejadian dan
kemudian di rumah sakit.
b. Reduksi adalah usaha dan tindakan memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang
patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak asalnya.
c. Retensi adalah atauran umum dalam pemasangan gips, yang dipasang untuk
mempertahankan reduksi harus melewati sendi diatas fraktur dan dibawah fraktur.
d. Rehabilitasi adalah pengobatan dan penyembuhan frakturPenatalaksanaan
perawat menurut Mansjoer dalam Andra, dkk (2013), adalah sebagai berikut :
1) Terlebih dahulu perhatikan adanya perdarahan, syok dan penurunan
kesadaran, syok dan penurunan kesadaran dan periksa patah tulang
2) Atur posisi tujuannya untuk menimbulkan rasa nyaman, mencegah
komplikasi
3) Pemantauan neurocirculatory yang dilakukan setiap jam secara dini, dan
pemantauan neurocirculatory pada daerah yang cedera
4) Pertahankan kekuatan dan pergerakane.Mempertahankan kekuatan kulit
5) Meningkatkan gizi
6) Mempertahankan immobilisasi fraktur yang telah direduksi dengan tujuan
untuk mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan tetap pada
tempatnya sampai sembuh.
7. Dampak fraktur femur Dampak yang dapat ditimbulkan fraktur dikelompokkan
menjadi dua, yaitu :
a. Dampak awal
1) Kerusakan arteri Pecahnya arteri karena trauma dapat ditandai dengan tidak
adanya nadi, CRT (capillary refill time) menurun, sianosis pada bagian distal,
hematoma melebar, dan dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh
tindakan darurat, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
2) Sindrom kompartemenSindrom kompartemen merupakan komplikasi serius
yang terjadi karena terjebaknya otot, syaraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Hal ini disebabkan oleh edema atau perdarahan yang menekan
otot, syaraf dan pembuluh darah atau tekanan dari luar seperti gips atau
pembebatan yang terlalu kuat.
3) Fat embolisme sindromFat embolism syndrome (FES) adalah komplikasi
serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi
karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrowkuning masuk ke aliran
darah dan menyebabkan kadar oksigen dalam darah menjadi rendah. Hal
tersebut ditandai dengangangguan pernapasan, takikardi, hipertensi, takipnea,
dan demam.
4) Infeksi System pertahanan tubuh akan rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma otrtopedi, infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
kedalam. Hal ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tetapi dapat juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin (ORIF &
OREF) dan plat.
5) Nekrosis avaskulerNekrosis avaskuler terjadi karena aliran darah ke tulang
rusuk atau terganggu sehingga menyebabkan nekrosis tulang.,biasanya
diawali dengan adanya iskemia volkman.
6) SyokSyok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan oksigen menurun. Hal ini
biasanya terjadi pada fraktur. Pada beberapa kondisi tertentu, syok eurogenik
sering terjadi pada fraktur femur karena rasa sakit yang hebat pada
klien.(Mutaqqin,2008)
b. Dampak lama
1) Delayed union
Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Hal ini dapat terjadi
karena suplai darah ke tulang menurun. Delayed union adalah fraktur yang
tidak sembuh setelah selang waktu 3-5 bulan (tiga bulan untuk anggota gerak
atas dan lima bulan untuk anggota gerak bawah). Etiologi delayed sama
dengan etiologi pada pada non union.Gambaran klinis delayed union adalah
sebagai berikut :
a) Nyeri anggota gerak pada pergerakan dan waktu berjalan
b) Terdapat pembengkakan
c) Nyeri tekan
d) Terdapat gerakan yang abnormal pada daerah fraktur
e) Pertambahan deformitas
2) Non-union
Non union adalah fraktur yang tidak sembuh antara 6-8 bulan dan tidak
didapatkan konsolidasi sehingga terdapat pseudoartosis (sendi palsu).
Pseudoartosis dapat terjadi tanpa infeksi, tetapi dapat juga terjadi karena
bersama-sama infeksi yang disebut infected pseudoartosis.Berikut adalah
gambaran klinis dari atrofik:
a) Nyeri ringan atau sama sekali tidak ada.
b) Gerakan abnormal pada daerah fraktur membentuk sendi palsu yang
disebut pseudoartosis
c) Nyeri tekan sedikit atau sama sekali tidak ada
d) Pembengkakan dapat ditemukan dan dapat juga tidak terdapat
pembengkakan sama sekali
e) Saat diraba, perawat dapat menemukan rongga di antara kedua fragmen
3) Mal-union
Mal-union adalah keadaan ketika fraktur menyembuh pada saatnya, tetapi
terdapat deformitas yang berbentuk angulasi, varus/valgus,rotasi,
pemendekan, atau union secara menyilang, misalnya pada fraktur tibia-fibulla.
Etiologi pada mal-union adalah fraktur tanpa pengobatan, pengobatan yang
tidak adekuat, reduksi dan imobilisasi yang tidak baik, pengambilan
keputusan serta teknik yang salah pada awal pengobatan, psifikasi premature
pada lempeng epifisis karena adanya trauma.Gambaran klinis mal-union
adalah sebagai berikut :
a) Deformitas dengan bentuk yang bervariasi
b) Gangguan fungsi anggota gerak
c) Nyeri dan keterbatasan pergerakan sendi
d) Ditemukan komplikasi seperti paralisis tardi nervus ulnaris
e) Osteoarthritis apabila terjadi pada daerah sendi Nekrosis kulit pada tulang
yang mengalami deformitas.
BAB III
STRATEGI PEMECAHAN MASALAH
Konsep Asuhan Keperawatan Gangguan Mobilitas Pada Pasien Fraktur Femur

1. Pengkajian.
a. Identitas klienMeliputi dari: nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,
pekerjaan, alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor registrasi, tanggal
masuk rumah sakit, dan diagnose medis (Wijaya & Putri, 2013).
b. Identitas penanggung jawabMeliputi dari : nama, pekerjaan, alamat, dan
hubungan dengan klien.
2. Riwayat Kesehatana)Riwayat kesehatan sekarang
a. Keluhan utamaPasien fraktur biasanya mengalami kecelakaan yang parah yang
mengakibatkan trauma atau cedera yang disertai dengan perdarahan yang
banyak. Biasanya pasien fraktur merasakan nyeri akibat jejas/ cedera sehingga
susahnya bergerak dan terjadinya gangguan mobilitas dan imobilitas (Andri &
Wahid, 2016)
b. Riwayat kesehatan sekarangPengkajian riwayat pasien saat ini meliputi alasan
pasien yang menyebabkan terjadi keluhan/gangguan dalam mobilitas dan
imobilitas, seperti adanya nyeri, kelemahan otot, kelelahan, tingkat mobilitas dan
imobilitas, daerah dan lama terjadinya gangguan mobilitas (Hidayat, 2014)
c. Riwayat kesehatan dahuluPengkajian riwayat penyakit yang berhubungan
dengan pemenuhan kebutuhan mobilitas, misalnya adanya riwayat penyakit
system neurologis (kecelakaan cerebrovaskular, trauma kepala, peningkatan TIK,
miastenia gravis, guillain bare, cedera medulla spinalis, dll), riwayat penyakit
kardiovaskuler (infark miokard, gagal jantung kongestif), riwayat penyakit
muskuloskletal (osteoporosis, fraktur, arthritis), riwayat penyakit system
pernapsan (penyakit paru obstruksi menahun, pneumonia dll), riwayat pemakaian
obat (sedative, hipnotik, depresan system saraf, laksansia,dll) (Andri & Wahid,
2016).
d. Riwayat kesehatan keluarga Ditanya tentang riwayat penyakit keturunan pada
keluarga seperti DM, hipertensi, dan penyakit menular seperti TBC ataupun
hepatitis (Hidayat, 2014).
3. Pola Aktivitas Sehari-hari
Menurut Muttaqin (2011) ada beberapa pola fungsi kesehatan yang dapat dikaji pada
pasien dengan fraktur, yaitu :
a. Pola nutrisi
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien dapat membantu menentukan masalah
muskuloskletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat,
terutama kalsium dan protein. Kurangnya sinar matahari yang diperoleh oleh
tubuh merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskletal terutama pada
lansia. Obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
b. Pola eleminasi
Untuk kasus fraktur, tidak ada gangguan pada pola eleminasi. Namun perlu dikaji
frekuensi, konsistensi, warna serta bau feses. Pada pola eleminasi urine dikaji
frekuensi, kepekatan, warna, bau dan jumlahnya. Pada keduanya juga dikaji
apakah ada kesulitan atau tidak.
c. Pola tidur dan istirahat
Semua klien fraktur biasanya merasa nyeri, geraknya terbatas sehingga hal ini
dapat menganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Dilakukan pengkajian pada
lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, kesulitan tidur, dan
penggunaan obat tidur
d. Pola aktivitas
Karena adanya nyeri dan gerak yang terbatas, semua bentuk aktivitas klien
menjadi berkurang dan klien butuh banyak bantuan dari orang lain. Hal lain yang
perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan pekerjaan klien
karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding
pekerjaan lain
e. Riwayat psikologis
Pengkajian perubahan psikologis disebabkan oleh adanya gangguan mobilitas dan
imobilitas antara lain perubahan perilaku, peningkatan emosi, perubahan dalam
mekanisme koping dll (Andri & Wahid, 2016)
f. Riwayat Kemampuan fungsi motorik
Pengkajian fungsi motorik antara lain pada kaki dan tangan kanan dan kiri untuk
menilai ada atau tidaknya kelemahan atau spastic.
g. Kemampuan Mobilitas Pengkajian mobilitas dilakukan dengan tujuan untuk
menilai kemampuan gerak ke posisi miring, duduk, berdiri, bangun, dan
berpindah tanpa bantuan. Pengkajian mobilisasi klien berfokus pada rentang
gerak, gaya berjalan, latihan, dan toleransi aktivitas, serta kesejajaran tubuh.
Rentang gerak Rentang gerak dalam mobilisasi terdapat tiga rentang gerak yaitu:
1) Rentang gerak pasif
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan
persendian dengan menggerakan otot orang lain secara pasif misalnya
perawat mengangkat dan menggerakan kaki pasien.
2) Rentang gerak aktif
Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot-ototnya secara aktif
misalnya berbaring pasien menggerakkan kakinya.
3) Rentang gerak fungsional
Berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan aktivitas
yang diperlukan.b)Gaya berjalanSiklus gaya berjalan dimulai dengan tumit
mengangkat satu tungkai dan berlanjut dengan mengangkat dua tungkai yang
sama. Pengkajian ini memungkinkan perawat untuk mengetahui
keseimbangan, postur, keamanan, dan kemampuan berjalan tanpa bantuan
4. Kategori tingkat kemampuan aktivitas
a. Tingkat 0 Mampu merawat diri sendir secara penuh
b. Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat
c. Tingkat 2 Memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain
d. Tingkat 3 Memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain dan peralatan
e. Tingkat 4 Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan atau berpartisipasi dalam
perawatan
5. Pemeriksaan fisik
Menurut Muttaqin (2012) hal yang perlu diketahui dalam pemeriksaan fisik klien
fraktur adalah sebagai berikut :
a. Gambaran umum Keadaan umum (keadaan baik atau buruknya klien). Hal yang
perlu diketahui dalam pemeriksaan fisik klien fraktur adalah sebagai berikut :
1) Kesadaran klien : apatis, stupor, koma, gelisah, komposmentis yang bergantung
pada keadaan klien
2) Kesakitan, keadaan penyakit : akut, kronis, ringan, sedang, berat dan biasanya
pada kasus fraktur akut.
3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baikfungsi maupun bentuk.
4) Kepala : tidak ada gangguan, simetris, tidak ada benjolan, tidak ada nyeri kepala
5) Leher : tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada benjolan, reflek menelan
positif
6) Muka : wajah terlihat menahan sakit, tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tidak ada lesi, simetris, dan tidak ada oedema5)Mata : bisa terjadi
anemis (karena terjadi perdarahan)
7) Telinga : tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal, tidak ada lesi atau
nyeri tekan
8) Hidung : tidak ada deformitas, tidak ada pernapasan cuping hidung
9) Mulut dan faring : tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat
10) Thoraks : tidak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
11) Paru
 Inspeksi Pernapasan meningkat, regular, atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru
 Palpasi Pergerakan sama atau simetris, fremitus raba sama
 Perkusi Suara ketok sonor, tak ada redup atau suara, tambahan lainnya.
 Auskultasi Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suaratambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi
12) Jantung
 Inspeksi Tidak ada ictus cordis
 Palpasi Nadi meningkat, iktus tidak terabac
 AuskultasiSuara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur-mur
13) Abdomen
 Inspeksi Bentuk datar, simetris
 Palpasi Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba
 Perkusi Suara thympani
 Auskultasi Peristaltic usus normal ± 20 kali/menit
14) Ekstremitas Perbedaan ukuran pada ekstremitas bawah kiri dan kanan, teraba
adanya derik tulang (krepitus), terdapat nyeri pada ekstremitas yang fraktur,
edema, hematoma, perubahan warna local pada kulit, pada fraktur terbuka
terdapat luka pada area femur, sedangkan pada fraktur tertutup tidak terdapat
kerusakan jaringan yang parah Keadaan lokal : pemeriksaan pada sistem
muskuloskletal adalah sebagai berikut : Look (inspeksi). Perhatikan apa yang
dilihat antara lain sebagai berikut :
a) Sikatriks (jaringan parut, baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi)
b) Fistula
c) Warna kemerahan atau kebiruan (livid) atau hiperpigmentasi
d) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
(abnormal)
e) Posisi dan bentuk ekstremitas (deformitas)
f) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)Feel (palpasi). Hal-hal yang
perlu dicatat adalah sebagai berikut :
 Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembapan kulit
 Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau edema terutama
disekitar persendian
 Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, letak kelainan (1/3 proximal, tengah,
atau distal)
 Tonus otot pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang terdapat di
permukaan atau melekat pada tulang. selain itu, periksa status
neurovascular. Apabila ada benjolan, perawat perlu mendeskripsikan
permukaanya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaan,
nyeri atau tidak, dan ukurannya.Move (pergerakan terutama rentang gerak).
Keluhan nyeri pada pergerakan. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral), atau
dalam ukuran metric. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan
gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif
dan pasif.
15) Data Psikologis
a) Status EmosionalStatus emosional menghadapi penyakit yang dialami
biasanya terganggu
b) Kecemasan Kecemasan dalam menghadapi penyakit yang dialami
c) Pola koping Cara pasien menghadapi masalah penyakit yang dialami
d) Gaya komunikasiBiasanya pasien mengalami gangguan komunikasi karena
nyeri pada pasien fraktur dan penurunan kesadaran
e) Konsep diriSetelah mengalami penyakit yang diderita kemungkinan konsep
diri terganggud.Pemeriksaan penunjang
16) Pemeriksaan radiologia
a) Sinar X Sebagai penunjang pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (X-ray), untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperkirakan 2 proyeksi
yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi
tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan patologi yang dicari
karena adanya super posisi. Perlu disadari bahwa permintaan X-ray harus
atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang hasilnya dibaca sesuai
dengan permintaan.
b) Tomografi, ditemukan kerusakan struktur yang kompleks, tidak hanya pada
satu struktur saja, pada struktur lain juga mengalami kerusakan
c) Miclografi, cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah diruang vertebra
yang mengalami kerusakan akibat traumad) Artrografi, tampak jaringan ikat
rusak akibat traumae) Computed Tomography scanning: tampak potongan
secara transversal dari tulang tempat terdapatnya struktur tulang yang rusak.
17) Pemeriksaan Laboratoriuma
a) Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang
b) Fosfaltase alkali meningkat pada saat kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang
c) Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehidrogenase (LDH-5), aspartat
amino transferase meningkat (AST), dan aldolase meningkat pada tahap
peyembuhan tulang
18) Pemeriksaan lain-laina
a) Biopsy tulang dan otot bila terjadi infeksi
b) Elektromiografi : terdapat kerusakan konduksi saraf akibat fraktur
c) Arteroskopi : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan
d) Indium imaging : infeksi pada tulange)MRI : menggambarkan kerusakan
tulang pada fraktur
19) Diagnosa, tujuan dan intevensi
a) Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan Agen cidera biologis
(Fraktur femur sinistra)
b) Interensi
Observasi
 identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima inomasi
 identiikasi indikasi dan konta indikasi mobilisasi
 monitor kemajuan pasien dan keluarga dalam melakukan moblisasi
Terapeutik
 pesiapkan materi, media dan alat-alat seperti bantal, gait belt
 jadwalkan waktu pendidikan
 berikan kesempatan untuk pasien dan keluarga untuk bertanya
Edukasi
 Jelaskan prosedur, tujuan, indikasi dan konta indikasi mobilisasi seta
dampak imobilisasi
 Ajarkan cara mengidentifikasi sarana dan prasarana yang mendukung
untuk mobilisasi di rumah
 Ajarkan cara mengidentifikasi kemapuan mobilisasi (seperti kekuatan
otot, entang gerak )
 Demotrasikan cara mobilisasi di tempat tidur (mis. Mekanika tubuh,
posisi pasien digeser keaah berlawanan dai arah posisi yang akan
dimiringka, tekhnik-tekhnik memiringkan penempatan posisi bantal
sebagai penyangga)
 Demotasikan caa melatih rentang geser (mis. Geakan dilakukan dengan
perlahan dimulai dai kepala ke ekstemitas, gerakan semua persendian
sesuai rentang gerak nomal, cara melatih melatih rentang gerak pada
sisi ekstemitasyang parase dengan menggunakan ekstemitas yang
nomal, frekuensi tiap gerakan)
 Anjukan pasien/ keluarga mendemotrasikan mobilisasi miing
kanan/miring kiri dan latihan rentang geak sesuai yang telah di
demotrasikan

Kolaborasi
kolaboasi dengan dokter dalam pembeian pengobatan, melatih ROM
aktif/pasif atau melakukan tindakan pembedahan
20) Jenis Intervensi
Penatalaksanaan ROM
21) Tujuan
a) Meningkatkan atau mempertahankan fleksibiltas dan kekuatan otot
b) Mempertahankan fungsi jantung dan pernapasan
c) Mencegah kekakuan pada sendi
d) Merangsang sirkulasi darah
e) Mencegah kelainan bentuk, kekakuan dan kontraktur.

SOP ROM ( Range Of Motion)


A. Pengertian ROM
ROM adalah gerakan yang dalam keadaan normal dapat dilakukan oleh sendi
yang bersangkutan.
B. Tujuan ROM
1. Mempertahankan atau memelihara kekuatan otot
2. Memelihara mobilitas persendian
3. Merangsang sirkulasi darah
4. Mencegah kelainan bentuk
C. Prinsip Dasar Latihan ROM
1. ROM diulang sekitar 8kali dan dikerjakan minimal 2x sehari
2. ROM dilakukan perlahan dan hati-hati sehingga tidak melelahkan pasien
3. Bagian tubuh yang dapat dilakukan latihan ROM adalah leher, jari, lengan,
siku, bahu, tumit, kaki, dan pergelangan kaki
D. Indikasi dan Kontra Indikasi Latih ROM :
1. Indikasi Latihan ROM :
- Stroke atau penurunan tingkat kesadaran
- kelemahan otot
- klien dengan tirah baring lama
2. Kontraindikasi :
- Trombus/emboli
- Peradangan
- kelainan sendi
- tulang
- nyeri berat
- sendi kaku atau tidak dapat bergerak
E. Klasifikasi ROM
1. Latihan ROM pasif : latihan ROM yang dilakukan pasien dengan bantuan
orang lain setiap gerakannya.
Indikasi latihan pasif :
- Pasien semikoma
- Tidak sadar
- Pasien usia lanjut dengan mobilitas terbatas
- Pasien tirah baring total
2. Latihan ROM aktif : latihan ROM yang dilakukan sendiri oleh pasien tanpa
bantuan orang lain.
Indikasi latihan aktif :
- Semua pasien yang mampu melakukan ROM sendiri.
F. Prinsip dasar latihan ROM ( Range of Motion ) :
1. ROM diulang 8 kali gerakan dan latihan setiap 2 kali sehari.
2. Dilakukan perlahan dan hati-hati sehingga pasien tidak kelelahan.
3. Perhatikan umur pasien, diagnosa, tanda-tanda vital dan lamanya tirah
baring.
4. ROM dapat dilakukan pada leher, jari, lengan, siku, bahu, tumit, kaki,
danpergelangan kaki
5. ROM dapat di lakukan pada semua persendian atau hanya pada bagian-
bagian yang di curigai mengalami proses penyakit.
6. Melakukan ROM harus sesuai waktunya. Misalnya setelah mandi atau
perawatan rutin telah di lakukan.
7. mulailah latih ROM dari ekstremitas yang sehat
8. terapi latihan gerak yang diberikan adalah gerak fungsional (meraih,
memegang)
G. Gerakan pada ROM
1. Fleksi : gerakan menekuk persendian
2. Ekstensi : gerakan meluruskan persendian
3. Abduksi : gerakan satu anggota tubuh ke arah mendekati aksis tubuh
4. Adduksi : gerakan satu anggota tubuh ke arah menjauhi aksis tubuh
5. Rotasi : gerakan memutar atau menggerakkan satu bagian melingkari
aksis tubuh
6. Pronasi : gerakan memutar ke bawah
7. Supinasi : gerakan memutar ke atas
8. Inversi : gerakan ke dalam
9. Eversi : gerakan ke luar

Leher, Spina, Serfikal


Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Menggerakan dagu menempel ke dada rentang 45°
Ekstensi Mengembalikan kepala ke posisi tegak, rentang 45°
Hiperektensi Menekuk kepala ke belakang sejauh mungkin, rentang 40-45°
Fleksi lateral Memiringkan kepala sejauh mungkin sejauh mungkin rentang 40-45°
kearah setiap bahu,
Rotasi Memutar kepala sejauh mungkin dalam gerakan sirkuler, rentang 180°

Bahu
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Menaikan lengan dari posisi di samping tubuh ke depan ke rentang 180°
posisi di atas kepala,
Ekstensi Mengembalikan lengan ke posisi di samping tubuh, rentang 180°
Hiperektensi Mengerkan lengan kebelakang tubuh, siku tetap lurus, rentang 45-60°
Abduksi Menaikan lengan ke posisi samping di atas kepala dengan rentang 180°
telapak tangan jauh dari kepala,
Adduksi Menurunkan lengan ke samping dan menyilang tubuh sejauh rentang 320°
mungkin,
Rotasi dalam Dengan siku pleksi, memutar bahu dengan menggerakan lengan rentang 90°
sampai ibu jari menghadap ke dalam dan ke belakang,
Rotasi luar Dengan siku fleksi, menggerakan lengan sampai ibu jari ke atas rentang 90°
dan samping kepala,
Sirkumduksi Menggerakan lengan dengan lingkaran penuh, rentang 360°

Siku
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Menggerakkan siku sehingga lengan bahu bergerak ke rentang 150°
depan sendi bahu dan tangan sejajar bahu,
Ektensi Meluruskan siku dengan menurunkan tangan, rentang 150°

Lengan bawah
Gerakan Penjelasan Rentang
Supinasi Memutar lengan bawah dan tangan sehingga telapak rentang 70-90°
tangan menghadap ke atas,
Pronasi Memutar lengan bawah sehingga telapak tangan rentang 70-90°
menghadap ke bawah,

Pergelangan tangan
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Menggerakan telapak tangan ke sisi bagian dalam lengan bawah, rentang 80-90°
Ekstensi Mengerakan jari-jari tangan sehingga jari-jari, tangan, rentang 80-90°
lengan bawah berada dalam arah yang sama,
Hiperekste Membawa permukaan tangan dorsal ke belakang sejauh rentang 89-90°
nsi mungkin,
Adduksi Menekuk pergelangan tangan miring ke arah lima jari, rentang 30-50°
Jari- jari tangan
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Membuat genggaman, rentang 90°
Ekstensi Meluruskan jari-jari tangan, rentang 90°
Hiperekstensi Menggerakan jari-jari tangan ke belakang sejauh rentang 30-60°
mungkin,
Abduksi Mereggangkan jari-jari tangan yang satu dengan yang rentang 30°
lain,

Ibu jari
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Mengerakan ibu jari menyilang permukaan telapak rentang 90°
tangan,
Ekstensi menggerakan ibu jari lurus menjauh dari tangan, rentang 90°
Abduksi Menjauhkan ibu jari ke samping, rentang 30°
Adduksi Mengerakan ibu jari ke depan tangan, rentang 30°

Pingg ul
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Mengerakan tungkai ke depan dan atas, rentang 90-120°
Ekstensi Menggerakan kembali ke samping tungkai yang rentang 90-120°
lain,
Hiperekstensi Mengerakan tungkai ke belakang tubuh, rentang 30-50°
Abduksi Menggerakan tungkai ke samping menjauhi tubuh, rentang 30-50°
Adduksi Mengerakan tungkai kembali ke posisi media dan
rentang 30-50°
melebihi jika mungkin,
Rotasi dalam Memutar kaki dan tungkai ke arah tungkai lain, rentang 90°
Rotasi luar Memutar kaki dan tungkai menjauhi tungkai
rentang 90°
lain.
Sirkumduksi Menggerakan tungkai melingkar -
Lutut
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Mengerakan tumit ke arah belakang paha, rentang 120-130°
Ekstensi Mengembalikan tungkai kelantai, rentang 120-130°

Mata kaki
Gerakan Penjelasan Rentang
Dorsifleksi Menggerakan kaki sehingga jari-jari rentang 20-30°
kaki menekuk ke atas,
Plantarfleksi Menggerakan kaki sehingga jari-jari rentang 45-50°
kaki menekuk ke bawah,

Kaki
Gerakan Penjelasan Rentang
Inversi Memutar telapak kaki ke samping dalam, rentang 10°
Eversi Memutar telapak kaki ke samping luar, rentang 10°

Jari-Jari Kaki
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Menekukkan jari-jari kaki ke bawah, rentang 30-60°
Ekstensi Meluruskan jari-jari kaki, rentang 30-60°
Abduksi Menggerakan jari-jari kaki satu dengan rentang 15°
yang lain,
Adduksi Merapatkan kembali bersama-sama, rentang 15°
DAFTAR PUSTAKA

Ackley, B.J, Ladwig, G.B, & makic, M.B.F (2017). Nursing diagnosis handbook an evidence-
based giut to planning care. .louis:Elsevier

Mubarak,Wahid Iqbal dan Nurul Chayatin. 2008. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia.Jakarta :
EGC.
Bodilse et al (2016), prediction mof mobility limitation after hospitalization in older medical
patiens by the emergency dapartement.plos:one

Sylvia A. 2016. Asuahan keperawatan pada pasien gangguan mobilisasi fisik. Junal Volume I
dan II:Semarang

Sri rahma yanti .2017. PENERAPAN ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN


PEMENUHANMOBILISASI PADA PASIENFRAKTURFEMUR DI RUANG TRAUMA
CENTER RSUD DR. M. DJAMIL PADANG. Junal Volume 33 :padang

Anda mungkin juga menyukai