Anda di halaman 1dari 12

Laporan Pendahuluan Acute Coronary Syndrom

Disusun untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners Departemen Emergency


Pembimbing Akademik:
Ns. Suryanto, S.Kep., M.Nurs, PhD

OLEH:
Aini Nur Farihah
(200070300111020)
Kelompok 2A

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
A. Definisi
ACS adalah Suatu keadaan gawat darurat jantung dengan manifestasi klinis
perasaan tidak enak di dada atau gejala-gejala lain sebagai akibat iskemia miokard
(Idrus Alwi, 2006). Sindroma Koroner Akut (SKA) atau Acute Caronary Syndrome (ACS)
adalah sindroma klinik yang mempunyai dasar fisiologi yang sama yaitu adanya erosi,
fisura, ataupun robeknya plak atheroma sehingga menyebabkan trombosis intravaskular
yang menimbulkan ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokard (Majid,
2007). Ketiga gangguan ini disebut Sindrom Koroner Akut karena gejala awal serta
manajemen awal sering serupa yaitu sebuah kondisi yang melibatkan ketidaknyamanan
dada atau gejala lain yang disebabkan oleh kurangnya oksigen ke otot jantung
(miokardium) dan merupakan sekumpulan manifestasi atau gejala akibat gangguan
pada arteri koronaria (Torry, Panda, & Ongkowijaya, 2014).

B. Etiologi
Menurut Wasid (2007) ASD dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni:
1. Aktifitas fisik yang berlebihan (tak terkondisikan)
2. Stress emosi, terkejut
3. Udara dingin, keadaan keadaan tersebut ada hubungannya dengan peningkatan
aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung
meningkat, dan kontraktilitas jantung meningkat.

C. Epidemiologi
Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit tidak menular yang menyebabkan
sebanyak >17 juta kematian di dunia setiap tahun (30% dari semua kematian), 80% dari
yang terjadi pada negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah, dan angka
ini diperkirakan akan meningkat menjadi 23,6 juta pada tahun 2030. Menurut data World
Health Organization (WHO) pada tahun 2012 penyakit kardiovaskular merupakan
penyebab kematian utama dari seluruh penyakit tidak menular dan bertanggung jawab
atas 17,5 juta kematian atau 46% dari seluruh kematian penyakit tidak menular. Dari
data tersebut diperkirakan 7,4 juta kematian adalah serangan jantung akibat penyakit
jantung koroner (PJK) dan 6,7 juta adalah stroke (Tumade et al., 2016).
Penyakit kardiovaskular terdiri dari PJK, gagal jantung, aritmia ventrikular dan
kematian jantung mendadak, penyakit jantung rematik, aneurisma arteri abdominal,
penyakit arteri perifer, dan penyakit jantung bawaan. Dari antara semua penyakit
kardiovaskular, PJK merupakan manifestasi dominan.1 WHO memperkirakan PJK
adalah penyebab utama dari kematian di dunia (Tumade et al., 2016). Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menyebutkan bahwa secara nasional terdapat 0,5%
prevalensi penyakit jantung koroner yang didiagnosis dokter. Prevalensi tersebut paling
tinggi di provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, DKI Jakarta dan Aceh. Di provinsi
DKI Jakarta pada tahun 2008-2009 berdasarkan Jakarta Acute Coronary Syndrome
Registry, terdapat 2103 pasien sindroma koroner akut dan 654 di antaranya adalah ST
elevation myocardial infarction (STEMI).

D. Klasifikasi
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, (2015)
menyatakan bahwa berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi
menjadi:
a. Infark Miokard dengan Elevasi Segmen ST (STEMI: ST segment Elevation
Myocardial Infarction)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator
kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan
tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard
secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara
mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika
terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di
dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak
memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung.
b. Infark Miokard dengan Non Elevasi Segmen ST (NSTEMI: NonST segment
Elevation Myocardial Infarction)
NSTEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi
segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat
presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T
yang datar, gelombang T pseudo normalization, atau bahkan tanpa perubahan.
Ditambah lagi dengan peningkatan marka jantung.
Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/ T atau CKMB. Bila hasil
pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis
menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (NonST Elevation Myocardial
Infarction, NSTEMI).
c. Angina Pektoris Tidak Stabil (UAP: Unstable Angina Pectoris)
Disebabkan oleh kontraksi otot poles pembuluh koroner sehingga
mengakibatkan iskemia miokard. patogenesis spasme tersebut hingga kini belum
diketahui, kemungkinan tonus alphaadrenergik yang berlebihan (Histamin,
Katekolamin Prostaglandin). Selain dari spame pembuluh koroner juga disebut
peranan dari agregasi trobosit. penderita ini mengalami nyeri dada terutama waktu
istirahat, sehingga terbangun pada waktu menjelang subuh. Manifestasi paling
sering dari spasme pembuluh koroner ialah variant (prinzmental) (Djohan, 2004).
Pada angina pektoris tidak stabil marka jantung tidak meningkat secara bermakna.
Pada sindroma koroner akut, nilai ambang untuk peningkatan CKMB yang abnormal
adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas (upper limits of normal)

E. Faktor Resiko
Faktor Resiko dari Acute Coronary Syndrome (ACS) dapat klasifikasikan menjadi
dua kelompok, yaitu faktor resiko yang dapat diubah seperti hiperlipidemia, hipertensi,
diabetes dan sindrom metabolik lainnya dan faktor resiko yang tidak dapat diubah
seperti usia dan jenis kelamin. Dimana faktor -faktor resiko tersebut sangat berpengaruh
dalam proses terbentuknya aterosklerosis pada arteri coroner (Hamm, et al., 2011).
Inflamasi dan ketidakseimbangan metabolisme lemak merupakan dua hal yang
tidak bisa dipisahkan dalam patogenesis aterosklerosis. Adanya infiltrasi dan retensi
kolesterol LDL memicu respon inflamasi pada dinding vaskuler. Pada penelitian
Framingham Heart Study, didapatkan bahwa hipertrigliseridemia merupakan faktor risiko
untuk terjadinya penyakit jantung coroner (Birhasani, 2010).

F. Pathway (Terlampir)

G. Manifestasi Klinik
Rasa tertekan/berat daerah retrosternal menjalar ke lengan kiri, leher, area
interskapuler, bahu, atau epigastrium; berlangsung intermiten atau persisten (>20
menit); sering disertai diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan
sinkop (PERKI, 2015).
H. Pemeriksaan Diagnostik
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada, diagnosis awal pasien
dengan keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina
Stabil, kemungkinan SKA, dan definitif SKA
a. Anamnesis
Faktor risiko SKA dapat dibagi dua: pertama adalah faktor risiko yang dapat diperbaiki
(reversible) atau bisa diubah (modifiable), yaitu: hipertensi, kolesterol, merokok,
obesitas, diabetes mellitus, hiperurisemia, aktivitas fisik kurang, stress, dan gaya hidup
(life style) dan faktor risiko yang tidak dapat diperbaiki seperti usia, jenis kelamin, dan
riwayat penyakit keluarga.Efek rokok adalah menambah beban miokard karena
rangsangan oleh katekolamin danmenurunnya konsumsi oksigen akibat inhalasi
karbonmonoksida atau dengan kata lain dapat menyebabkan takikardi, vasokonstriksi
pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh darah, dan merubah 5-10%
Hb menjadi karboksi-Hb sehingga meningkatkan risiko terkena sindrom koroner akut.
Hipertensi dapat berpengaruh terhadap jantung melalui meningkatkan beban jantung
sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri dan mempercepat timbulnya
aterosklerosis karena tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan
trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria sehingga
memudahkan terjadinya aterosklerosis koroner.Kolesterol, lemak, dan substansi lainnya
dapat menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah arteri, sehingga lumen dari
pembuluh darah tersebut menyempit dan proses ini disebut aterosklerosis. Penyempitan
pembuluh darahini akan menyebabkan aliran darah menjadi lambat bahkan dapat
tersumbat sehingga aliran darah pada pembuluh darah koroner yang fungsinya memberi
oksigen ke jantung menjadi berkurang. Kurangnya oksigen akan menyebabkan otot
jantung menjadi lemah, nyeri dada, serangan jantung bahkan kematian mendadak.
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina
tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa
tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung
intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering
disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak
napas, dan sinkop. Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di
daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas
yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit
diuraikan(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015).
Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri dada
nonkardiak):
1) Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi ataubatuk)
2) Nyeri abdomen tengah atau bawah
3) Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerahapeks ventrikel
kiri atau pertemuan kostokondral.
4) Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
5) Nyeri dada dengan durasi beberapa detikdanmenjalar ke ekstremitas bawah

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia, komplikasi
iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup
mitral akut, suara jantung Angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal
menjalar ke lengan kiri, leher, area interskapuler, bahu, atau epigastrium; berlangsung
intermiten atau persisten (>20 menit); sering disertai diaphoresis, mual/muntah, nyeri
abdominal, sesak napas, dan sinkop, ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya
selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia.

c. Pemeriksaan Elektrokardiogram
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada
iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya
di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9
sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada
iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua
pasien angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman
EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat.
Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali.Gambaran
EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal,
nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi
segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen
ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point
dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST
untuk diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah
0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada
usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 padaprian
usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV.Perempuan
nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-V3 tanpa memandang usia, adalah ≥0,15
mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R
adalah ≥0,05 mV
.
Tabel 2.1 Lokasi Infark Berdasarkan Sadapan EKG
Sadapan dengan Deviasi Segmen Lokasi Iskemia atau Infark
ST
V1 –V4 Anterior
V5-V6, I, aVL Lateral
II, III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan
Sumber: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015

Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien dengan
LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm pada
sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3.
Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST
yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi segmen ST
(NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang
diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di
sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi
segmen ST yang tidak persisten (<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan
berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi
untuk untuk iskemia akut(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia,
2015).

d. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan marka jantung dengan Creatinin Kinase MB(CKMB)atau troponin I/T
merupakan marka nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark
miokard. Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi dari CKMB. Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan
adanya nekrosis miosit, namun tidak dapatdipakai untuk menentukan penyebab
nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat
meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak,
gagaljantung, hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang
dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit
neurologik akut, 17emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal.
Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang
terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada
keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponinT.Dalam
keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CKMB atau troponin I/T menunjukkan kadar
yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12
jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka
pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CKMB
yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal
(menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang singkat yaitu 48 jam.
Mengingat waktu paruh yang singkat, CKMB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi
infark (infarkberulang). Data laboratorium, disamping marka jantung, yang harus
dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status
elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal dan panel lipid.

e. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto polos dada. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis
banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.

I. Penatalaksanaan Klinis
Intervensi awal (10 menit pertama)
1. Kaji ABCD
2. Tirah baring dan beri Oksigen
Memaksimalkan suplai Oksigen, dimulai 2-4 L/menit selama 6 jam, dilanjutkan jika
saturasi Oksigen. Gunakan selang yang sesuai pada saat pemberian Oksigen,
monitor saturasi Oksigen secara teratur dan hindari pemberian berlebih pada pasien
dengan COPD/PPOK.
3. Kaji TTV, saturasi Oksigen, dan melakukan EKG
4. Pasang jalur IV
5. Kaji Nyeri (PQRST)
6. Aspirin 160-325 mg (Dikunyah)
Berikan Aspirin sesegera mungkin setelah dicurigai ACS Pada saat diberikan
Aspirin kaji adanya tanda dan gejala perdarahan.
7. Nitrogliserin 0,4 mg (Sublingual)
Pemberian Nitrogliserin/Nitrat dapat diulang sampai 3 kali setiap 5 menit. Pada saat
pemberian Nitrogliserin beritahu kepada pasien bahwa penggunaan nya dibawah
lidah, bukan ditelan. Serta akan ada rasa berdenyut dibawah lidah. Pantau TD, HR,
RR. Kntraindikasi jika TD 120x/menit.
8. Morfin 2-4 mg/IV, dapat ditingkatkan 2-8 mg dengan interval 5-10 menit.
Morfin diberikan apabila nyeri tidak reda dengan Nitrogliserin. Setelah diberikan
morfin kaji TTV (khawatir terjadi Hipotensi) dan skala nyeri, apakah terjadi perbaikan
atau tidak.
9. Clopidogrel (Intervensi awal tambahan)
Loading dose 300 mg, dilanjutkan 75 mg/hr. Setelah pemberian Clopidogrel pantau
adanya tanda gejala perdarahan.
10. Ambil darah (enzim, elektrolit, koagulasi)
11. Rontgen/x-ray dada (>30 menit)
12. Monitoring : ABC, TTV, Tingkat kesadaran, Efek obat (adanya  penurunan nyeri
atau tidak)
13. Atasi kecemasan :
- Jelaskan prosedur tindakan
- Lakukan teknik relaksasi/distraksi
- Support pasien/keluarga sebagai dukungan emosional
14. Antisipasi kegawatan
- Intubasi jika terjadi distress pernapasan
- RJP + AED (jika henti jantung, henti napas)

J. Komplikasi
1. Aritmia
2. Emboli Paru
3. Gagal Jantung
4. Syok kardiogenik
5. Kematian mendadak
6. Aneurisma Ventrikel
7. Ruptur septum ventikuler
8. Ruptur muskulus papilaris
DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013.
Lap Nas 2013 [Internet]. 2013;1–384. Available from:
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil Riskesdas 2013.pdf
Birhasani, 2010. Kadar D-Dimer Plasma pada Penderita Sindrom Koroner Akut dengan Derajat
Stenosis Berbeda, pp: 9-15. Diunduh dari eprint.undip.ac.idpada Januari 2018.
Dharma S, Juzar DA, Firdaus I, Soerianata S, Wardeh AJ, Jukema JW. Acute myocardial
infarction system of care in the third world. Netherlands Hear J [Internet]. 2012;20 (6):254–
9. Available from: http://dx.doi.org/10.1007/s12471-012-0259-9
Hamm, CW, Bassand JP, Agewall S, Bax J, Boersma E, Bueno H et al (2011). ESC Guidline for
the management of Acute Coronary Syndromes inpatient presenting with persistent ST-
Segment Elevation. ESC Guidelines European Heart Journal. 32: 2999-3054.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) 2015 „Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut‟ Edisi ke I, Centra Communication, diakses 28 Oktober 2020
http://www.ina-ecg.com/2016/05/pedoman-tatalaksana-sindromkoroner.html
PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Ed : 3
PERKI. (2018). Pedoman Tata Laksana Sindrom Koroner Akut . Jakarta: PP PERKI.
Rahmawati, K. (2016). IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN
DENGAN DIAGNOSIS ACUTE CORONARY SYNDROME (ACS) DI RSUP DR.
SARDJITO YOGYAKARTA KURNIA RAHMAWATI. Universitas Gadjah Mada, 1 – 20.
Torry, S, Panda, L, Ongkowijaya, J 2014 „Gambaran Faktor Risiko Penderita Sindrom Koroner
Akut‟ Jurnal E-Clinic Universitas Sam Ratulangi vol.2 no.1 Tahun 2014, diakses 28
Oktober 2020, https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/view/3611
Tumade, B., Jim, E. L., & Joseph, V. F. F. (2016). Prevalensi Sindrom Koroner Akut di Rsup
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode 1 Januari 2014 - 31 Desember 2014. Jurnal E-
CliniC, 4(1), 223–230. https://doi.org/10.35790/ecl.4.1.2016.10959

Anda mungkin juga menyukai