Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis
Oleh :
b. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda
keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala.
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia
otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera
sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali
jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat
diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.
Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume
darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam
otak ( Lombardo, 2003).
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya
konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika
benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan
benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi)
adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil
atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan
kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara
kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala,
yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
4. Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan morfologinya.
a. Berdasarkan Mekanisme
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan
cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil
atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedang cedera kepala tembuus
disebabkan oleh peluru atau tusukan (Bernath, 2009).
b. Berdasarkan Tingkat Keparahan
Biasanya Cedera Kepala berdasarkan tingkat keparahannya didasari atas GCS.
Dimana GCS ini terdiri dari tiga komponen yaitu :
Reaksi membuka mata (E)
Reaksi berbicara
Reaksi Verbal Nilai
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang 4
Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata 3
Keluar suara tetapi tak berbentuk kata-kata 2
Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun 1
Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi :
1) Cedera kepala ringan : Nilai GCS-nya 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit.
Ditandai dengan nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada fraktur
tengkorak, kontusio/hematoma
2) Cedera kepala sedang : Nilai GCS-nya 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit – 24
jam, dapat mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung)
3) Cedera kepala berat : Nilai GCS-nya 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi:
kontusio serebral, laserasi, hematoma dan edema serebral (Hudack dan Gallo, 1996)
c. Morfologi Cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur kranium dan lesi intrakranial.
5. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya cedera kepala.
a. Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator yang paling sensitive yang dapat
dilihat dengan penggunaan GCS (Glasgow Coma Scale). Pada cedera kepala berat
nilai GCS nya 3-8
b. Peningkatan TIK yang mempunyai trias Klasik seperti : nyeri kepala karena regangan
dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan oleh tekanan dan
pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali proyektil.
c. Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung
(bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
d. Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi,
stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi), gurgling.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala
diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang
sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka
tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan
palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran.
Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal
jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi
maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.
b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
1) Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat–obatan analgesia/anti muntah.
2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
intrakranial dicebandingkan dengan kejang general.
3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock,
febris, dll).
4) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi
temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
5) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
6) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
7) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
Fungsi CT Scan ini adalah untuk mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui
adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
c. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
d. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder
menjadi udema, perdarahan dan trauma.
e. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
f. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
g. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
h. CSF, Lumbal Punksi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
i. Analisis Gas Darah
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intracranial
j. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrkranial
7. Penatalaksanaan
a. Observasi 24 jam
b. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
c. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
d. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
e. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
f. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
g. Pemberian obat-obat analgetik.
h. Pembedahan bila ada indikasi.
Pembedahan yang dilakukan untuk pasien cedera kepala adalah pelaksanaan operasi
trepanasi. Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang
bertujuan untuk mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitive (seperti adanya SDH
(subdural hematoma) atau EDH (epidural hematoma) dan kondisi lain pada kepala yang
memerlukan tindakan kraniotomi). Epidural Hematoa (EDH) adalah suatu pendarahan yang
terjadi diantara tulang dang dan lapisan duramater; Subdural Hematoa (SDH) atau
pendarahan yang terjadi pada rongga diantara lapisan duramater dan dengan araknoidea.
Pelaksanaan operasi trepanasi ini diindikasikan pada pasien 1) Penurunan kesadaran tiba-tiba
terutama riwayat cedera kepala akibat berbagai faktor,2) Adanya tanda
herniasi/lateralisasi,3) Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana
CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan. Prioritas perawatan adalah maksimalkan perfusi /
fungsi otak, mencegah komplikasi, pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke
fungsi normal, mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga, pemberian informasi
tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi.
8. Komplikasi
a. Koma.
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada situasi ini,
secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita
akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki vegetative state atau
mati penderita pada masa vegetative statesering membuka matanya dan
mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon reflek. Walaupun demikian
penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita
pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang sembuh
b. Seizure.
Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya
sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian,
keadaan ini berkembang menjadi epilepsy
c. Infeksi.
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen)
sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena
keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang lain
d. Kerusakan saraf.
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus facialis.
Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf untuk
pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda
e. Hilangnya kemampuan kognitif.
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala berat
mengalami masalah kesadaran.
B. Trepanasi
1. Definisi
Trepanasi atau craniotomy adalah operasi untuk membuka tengkorak (tempurung
kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak. Trepanasi/
kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yangbertujuan mencapai otak
untuk tindakan pembedahan definitif.
2. Indikasi
a. Pengangkatan jaringan abnormal
b. Mengurangi tekanan intracranial
c. Mengevaluasi bekuan darah
d. Mengontrol bekuan darah
e. Pembenahan organ-organ intracranial
f. Tumor otak
g. Perdarahan
h. Peradangan dalam otak
i. Trauma pada tengkorak
4) DISABILITY
- Kesadaran : composmentis, delirium, somnolen, koma
- GCS : EVM
- Pupil : isokor, unisokor, pinpoint, medriasis
- Ada tidaknya refleks cahaya
- Refleks fisiologis dan patologis
- Kekuatan otot
5) EXPOSURE
- Ada tidaknya deformitas, contusio, abrasi, penetrasi, laserasi, edema
- Jika terdapat luka, kaji luas luka, warna dasar luka, kedalaman
6) FIVE INTERVENTION
- Monitoring jantung (sinus bradikardi, sinus takikardi)
- Saturasi oksigen
- Ada tidaknya indikasi pemasangan kateter urine, NGT
- Pemeriksaan laboratorium
7) GIVE COMFORT
- Ada tidaknya nyeri
- Kaji nyeri dengan
P : Problem
Q : Qualitas/Quantitas
R : Regio
S : Skala
T : Time
8) H 1 SAMPLE
- Keluhan utama
- Mekanisme cedera/trauma
- Tanda gejala
9) H 2 HEAD TO TOE
- Fokus pemeriksaan pada daerah trauma
- Kepala dan wajah
2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan
tekanan intracrania
b. Gangguan pola napas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial
c. Gangguan rasa nyeri berhubungan dengan cedera psikis, alat traksi
3. Rencana Keperawatan
N Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
O Keperawatan
1 Perubahan perfusi jaringan Kriteria hasil : a. Kaji tingkat kesadaran dengan rasional
serebral berhubungan dengan a. Klien melaporkan tidak mengetahui kestabilan klien.
edema serebral b. ada pusing atau sakit kepala, tidak b. Pantau status neurologis secara teratur,
dan peningkatan tekanan
terjadi peningkatan tekanan catat adanya nyeri kepala dan pusing
intracrania
intracranial, peningkatan kesadaran, c. Kolaborasi pemberian oksigen dengan
GCS≥13, fungsi sensori dan tujuan mengurangi keadaan hipoksia.
c. motorik membaik, tidak mual dan d. Tinggikan posisi kepala 15-30˚ dengan
muntah tujuan untuk menurunkan tekanan vena
jugularis.
e. Pantau tanda tanda vital (TTV); tekanan
darah (TD), suhu, nadi, input dan output
f. Anjurkan orang terdekat untuk berbicara
dengan klien sebagai relaksasi pada klien
yang akan menurunkan tekanan
intracranial (TIK)
c Gangguan pola napas Kriteria hasil : a. Kaji kecepatan, kedalaman, frekuensi, irama
berhubungan dengan obstruksi a. klien tidak mengatakan sesak nafas, nafas, adanya sianosis, kaji suara nafas
trakeobronkial, retraksi dinding dada tidak ada, dengan tambahan
neurovaskuler, kerusakan tidak ada otot-otot dinding dada,
b. Atur posisi klien dengan posisi semi fowler
medulla oblongata b. pola nafas reguler, respiratory rate
neuromskuler (RR); 16-24 x/menit, ventilasi adekuat 30 derajat, berikan posisi semi prone
bebas sianosis dengan gas darah lateral/miring,
c. analisis (GDA) dalam batas normal c. Anjurkan pasien untuk minum hangat
pasien, kepatenan jalan nafas dapat (minimal 2000 ml/hari) dengan tujuan
dipertahankan. membantu mengencerkan sekret,
meningkatkan mobilisasi sekret/ sebagai
ekspektoran
3 Gangguan rasa nyeri Kriteria hasil : a. Kaji keluhan nyeri, catat intensitasnya,
berhubungan dengan cedera Skala nyeri berkurang 3-1 dan klien lokasinya dan lamanya
psikis, alat traksi mengatakan nyeri mulai berkurang, b. Kolaborasi dengan pemberian obat anti
ekspresi
nyeri, sesuai indikasi
wajah klien rileks.
3. Implementasi Keperawatan
Sesuai dengan rencana keperawatan
4. Evaluasi
Sesuai dengan kreteria hasil
DAFTAR PUSTAKA
Barbara C. Long. 1996. Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan).
Alih bahasa : Yayasan Ikatan alumsi Pendidikan Keperawatan Pajajaran Bandung.
Cetakan I.
Carpenito, L.J. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Doengoes E.Marilyn. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran. Jakarta: EGC.
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius.
PriceS.A., Wilson L. M. 2006. Buku Ajar Ilmu. Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah edisi 3 volume 8. Jakarta:
EGC.
Sylvia A. Price. 2006. Patofosiologi Konsep Penyakit. Jakarta: EGC