Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA KEPALA DENGAN KRANIOTOMI

Disusun Oleh:
Jahidil Kufaro Wardana
3B S1 Keperawatan
0433131420118065

SEKOLAH TINGGI ILMU KESHATAN HORIZON KARAWANG


JL. PANGKAL PERJUANGAN KM. 01 BY PASS – KARAWANG
PROGRAM STUDI STRATA 1 KEPERAWATAN 2021
Telp.(0267)412480, fax: (0267) 410842
A. Konsep Penyakit
1. Definisi Trauma Kepala
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan
otak.Cedera otak primer merupakan kerusakan yang terjadi pada otak
segera setelah trauma. Cedera kepala berat merupakan cedera kepala
yang mengakibatkan penurunan kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8,
mengalami amnesia > 24 jam (Haddad, 2012).
2. Epidemiologi
Secara global insiden cedera kepala meningkat dengan tajam terutama
karena peningkatan penggunaankendaraan bermotor. WHO
memperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan
menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga terbanyak di dunia. Di
Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum
tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan
sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang
(CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden
cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44
tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden
cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya
disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi
(Irwana,2009).
3. Etiologi
a. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor
bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga
menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan
raya.
b. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau
meluncur ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika
masih di gerakan turun maupun sesudah sampai ke tanah.
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau
perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang
atau orang lain (secara paksaan).
Selain itu penyebab lain terjadinya trauma kepala (Smeltzer, 2001:2210;
Long,1996:203), antara lain :
1) Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana merobek otak,
misalnya tertembak peluru atau benda tajam
2) Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat
sifatnya
3) Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh
pukulan maupun bukan dari pukulan
4) Kontak benturan (Gonjatan langsung)
Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu objek
5) Kecelakaan lalu lintas
6) Jatuh
7) Kecelakaan industri
Serangan yang disebabkan karena olah raga
8) Perkelahian
4. Mekanisme cedera
Mekanisme cedera / trauma kepala, meliputi :
a. Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada
orang yang diam kemudian dipukul atau dilempar.
b. Deselerasi
Jika kepala bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada
kepala yang terbentur.
c. Deformitas
Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat
trauma, misalnya adanya fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau
pemotongan pada jaringan otak.
5. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera
pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat
disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala (Gennarelli,
1996 dalam Israr dkk, 2009). Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi
yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-
titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi
kontusio. Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan
berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan
densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan
dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk 2009).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan
dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang
efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit
hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf
mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat
diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan
ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara
berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan
pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya
kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-
sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai
nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat
rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera
mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur
volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada
beberapa daerah tertentu dalam otak (Lombardo, 2003).
6. Klasifikasi
Cedera kepala dibagi menjadi:
a. Cedera Kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pencahnya
tengkorak atau luka penetrasi. Besarnya cedera kepala pada tipe ini
ditentukan oleh velositas, masa dan bentuk dari benturan. Kerusakan
otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk ke
dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel
otak akibat benda tajam/ tembakan. Cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak
b. Cedera Kepala Tertutup
Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah
goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang
bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan
dalam otak cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi:
komusio (gegar otak), kontusio (memar), dan laserasi (Brunner &
Suddarth, 2001; Long,1990)
Biasanya Cedera Kepala berdasarkan tingkat keparahannya didasari atas
GCS. Dimana GCS ini terdiri dari tiga komponen yaitu:
 Reaksi membuka mata (E)

Reaksi membuka mata Nilai

Membuka mata spontan 4

Buka mata dengan rangsangan suara 3

Buka mata dengan rangsangan nyeri 2


Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri 1

 Reaksi berbicara
Reaksi Verbal Nilai

Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5

Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang 4

Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata 3

Keluar suara tetapi tak berbentuk kata-kata 2

Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun 1

 Reaksi Gerakan lengan / tungkai


Reaksi Motorik Nilai

Mengikuti perintah 6

Melokalisir rangsangan nyeri 5

Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri 4

Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri 3

Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri 2

Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri 1


Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat
diklasifikasikan menjadi :
a. Cedera kepala ringan
Nilai GCS: 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit.
Ditandai dengan nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada
penyerta seperti pada fraktur tengkorak, kontusio/hematoma
b. Cedera kepala sedang
Nilai GCS: 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit – 24 jam,
dapat mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi ringan
(bingung)
c. Cedera kepala berat
Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi:
kontusio serebral, laserasi, hematoma dan edema serebral (Hudack
dan Gallo, 1996)
7. Gejala klinis
 Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan
tidak tegap, kehilangan tonus otot.
 Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan
frekuensi jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan
bradikardia disritmia).
 Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
 Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami ganggua
fungsi.
 Muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur,
disfagia)
 Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan
masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori).
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris) deviasi pada
mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan
seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak
simetris, refleks tendon tidak ada atau lemah, kejang, sangat
sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi
sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
 Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat,
gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
 Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi),
nafas berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif
(kemungkinan karena aspirasi).
 Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi,
abrasi, perubahan warna, adanya aliran cairan (drainase) dari
telinga atau hidung (CSS), gangguan kognitif, gangguan rentang
gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami
paralisis, demam, gangguan dalam regulasi tubuh.
 Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang
– ulang.
 Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
 Cemas,delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif.
 Mual, muntah, mengalami perubahan selera.
 Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,
vertigo, sinkope, tinitus,kehilangan pendengaran. Perubahan dalam
penglihatan,seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian
lapang pandang, fotopobia, gangguan pengecapan dan penciuman.
 Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya
lama.
 Pada kontusio, segera terjadi kehilangan kesadaran, pada
hematoma, kesadaran mungkin hilang, atau bertahap sering dengan
membesarnya hematoma atau edema intestisium.
 Respon pupil mungkin lenyap atau segera progresif memburuk.
 Perubahan prilaku, kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan
gerakan motorik timbul dengan segera atau secara lambat.
 Hematoma epidural dimanifestasikan dengan awitan yang cepat.
Hematoma ini mengancam hidup dan dikarakteristikkan dengan
detoriorasi yang cepat, sakit kepala, kejang, koma dan hernia otak
dengan kompresi pada batang otak.
 Hematoma subdural terjadi dalam 48 jam cedera dan
dikarakteristikkan dengan sakit kepala, agitasi, konfusi, mengantuk
berat, penurunan tingkat kesadaran, dan peningkatan TIK.
Hematoma subdural kronis juga dapat terjadi.
 Perubahan ukuran pupil (anisokoria)
 Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertenai, depresi
pernapasan)
 Apabila meningkatnya tekanan intracranial, terdapat pergerakan
atau posisi abnormal ekstrimitas

8. Perdarahan yang sering ditemukan


a. Epidural Hematoma
Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan
duramater akibat pecahnya pembuluh darah / cabang – cabang arteri
meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini
tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat
terjadi dalam beberapa jam sampai 1-2 hari. Lokasi yang paling
sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis. Gejala-gejala yang
terjadi: penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah,
hemiparesis, dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam cepat
kemudian dangkal irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.
b. Subdural Hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat
terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah
vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater,
perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2
hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau
beberapa bulan. Tanda-tanda dan gejalanya adalah : nyeri kepala,
bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan udem
pupil. Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak
karena pecahnya pembuluh darah arteri; kapiler; vena. Tanda dan
gejalanya: nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi
pernapasan, hemiplegia kontra lateral, dilatasi pupil, perubahan
tanda-tanda vital.

c. Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh


darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pad cedera kepala yang
hebat.

Tanda dan gejala :

 Nyeri kepala

 Penurunan kesadaran

 Hemiparese

 Dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk


9. Pemeriksaan fisik
a. Observasi dan pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum : Lemah, gelisah, cenderung untuk tidur

2. TTV : Suhu, nadi, tensi, RR, GCS

b. Pernafasan ( B1 : Breathing )
 Hidung : Hidung simetris , atau terdapat fraktur
 Dada : Bentuk simetris kanan kiri, retraksi otot bantu
pernafasan, ronchi
 Di seluruh lapangan paru, batuk produktif, irama pernafasan,
nafas dangkal.
 Inspeksi : Inspirasi dan ekspirasi pernafasan, frekuensi,
irama, gerakan cuping hidung, terdengar suara nafas
tambahan bentuk dada, batuk
 Palpasi : Pergerakan asimetris kanan dan kiri, taktil fremitus
raba sama antara kanan dan kiri dinding dada
 Perkusi : Adanya suara-suara sonor pada kedua paru, suara
redup pada batas paru dan hepar.
 Auskultasi : Terdengar adanya suara vesikuler di kedua
lapisan paru, suara ronchi dan weezing.

c. Kardiovaskuler ( B2 : Bleeding )
 Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan kiri, denyut jantung pada
ictus cordis 1
 Palpasi : Frekuensi nadi/HR, tekanan darah, suhu, perfusi
dingin, berkeringat
 Perkusi : Suara pekak
 Auskultasi : Irama reguler, sistole/murmur, bendungan vena
jugularis, oedema
d. Persyarafan ( B3 : Brain ) Kesadaran, GCS

 Kepala : Bentuk ovale, wajah tampak miring ke sisi kanan


 Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak icteric, pupil
isokor, gerakan bola mata mampu mengikuti perintah.
 Mulut : Kesulitan menelan, kebersihan penumpukan ludah dan
lendir, bibir tampak kering, terdapat afasia.
 Leher : Tampak pada daerah leher tidak terdapat pembesaran
pada leher, tidak tampak perbesaran vena jugularis, tidak
terdapat kaku kuduk.

e. Perkemihan-eliminasi urine ( B4 : Bledder )

 Inspeksi : Jumlah urine, warna urine, gangguan perkemihan


tidak ada, pemeriksaan genitalia eksternal, jamur, ulkus, lesi dan
keganasan.
 Palpasi : Pembesaran kelenjar inguinalis, nyeri tekan.
 Perkusi : Nyeri pada perkusi pada daerah ginjal.

f. Pencernaan-eliminasi alvi ( B5 : Bowel )

 Inspeksi : Mulut dan tenggorokan tampak kering, abdomen


normal tidak ada kelainan, keluhan nyeri, gangguan pencernaan
ada, kembung kadang-kadang, terdapat diare, buang air besar
perhari.
 Palpasi : Hepar tidak teraba, ginjal tidak teraba, anoreksia, tidak
ada nyeri tekan.
 Perkusi : Suara timpani pada abdomen, kembung ada suara
pekak pada daerah hepar.
 Auskultasi : Peristaltik lebih cepat.
 Abdomen : Tidak terdapat asites, turgor menurun, peristaltik
ususnormal.
 Rektum : Rectal to see
g. Tulang-otot-integumen ( B6 : Bone )

 Kemapuan pergerakan sendi : Kesakitan pada kaki saat gerak


pasif, droop foot, kelemahan otot pada ekstrimitas atas dan
bawah.
 Kulit : Warna kulit, tidak terdapat luka dekubitus, turgor baik,
akral kulit.

10. Pemeriksaan diagnostik/penunjang


a. Pemeriksaan laboratorium
 AGD : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
perdarahan sub arakhnoid.
 Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang
berperan dalam peningkatan TIK atau perubahan mental.
b. Radiology
 CT Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya
hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan
otak.
 MRI : sama dengan CT Scan
 Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral,
seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma.
 EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis.
 Sinar X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang
( fraktur ), pergeseran struktur dari garis tengah ( karena
perdarahan ) adanya fragmen tulang.
 BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
 PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
 Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani
obat sehingga menyebabkan penurunan kesadan.
 Myelogram :Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya
bendungan dari spinal aracknoid jika dicurigai.
 Thorax X ray :Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
c. Fungsi lumbal : CSS, dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
sub arakhnoid.
d. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial
e. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani obat
sehingga menyebabkan penurunan kesadan.
f. Pemeriksaan fungsi pernafasan: Mengukur volume maksimal dari
inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita dengan
cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).

11. Penatalaksanaan
 Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari
factor mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation)
dan menilai status neurologis (disability, exposure), maka factor yang
harus diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia serebri yang
terjadi. Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan
intracranial yang meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun
tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk
menurunkan tekanan intracranial ini dapat dilakukan dengan cara
menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis
intraserebral dan menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha
untuk menurunkan PaCO2 ini yakin dengan intubasi endotrakeal,
hiperventilasi. Intubasi dilakukan sedini mungkin kepala klien yang
koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC
dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan
intracranial.
 Penangan khususnya pada klien dengan CKB yang mengalami
perdarahan atau hematom di kepala baik pada bagian EDH maupun
SDH dilakukan tindakan trepanasi. Trepanasi/kraniotomi adalah suatu
tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk
tindakan pembedahan definitif. Epidural Hematoma (EDH) adalah
suatu perdarahan yang terjadi di antara tulang dan lapisan duramater.
 Kontusio berat observasi dan tirah baring, dilakukan pembersihan /
debridement dan sel-sel yang mati (secara bedah terutama pada cedera
kepala terbuka)
 Untuk cedera kepala terbuka diperlukan antibiotika untuk mencegah
terjadinya infeksi
 Dilakukan metode-metode untuk menurukan tekanan intracranial
termasuk pemberian diuretic dan anti inflamasi
 Lakukan pengkajian neurologik
a. Fungsi serebral ( kesadaran, orientasi, memori, bicara )
b. TTV ( TD, nadi)
c. Fungsi motorik dan sensorik
 Kaji adanya cedera lain, terutama cedera servikal. Jangan
memindahkan pasien sampai kemungkinan cedera servikal telah
disingkirkan / ditangani. Tinggikan kepala tempat tidur sampai 30
derajat jika tidak terdapat cedera servikal.
 Pantau adanya komplikasi
a. Pantau TTV dan status neurologist dengan sering
b. Periksa adanya peningkatan TIK
c. Periksa adanya drainase dari hidung dan telinga.

12. Komplikasi
a. Koma.
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada
situasi ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu,
setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus
lainya memasuki vegetative state atau mati penderita pada masa
vegetative statesering membuka matanya dan mengerakkannya,
menjerit atau menjukan respon reflek. Walaupun demikian penderita
masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya.
Penderita pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang
sembuh

b. Seizure.
Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy

c. Infeksi.
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini
biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk
menyebar ke sistem saraf yang lain

d. Kerusakan saraf.
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada
nervus facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau
kerusakan dari saraf untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan
terjadinya penglihatan ganda

e. Hilangnya kemampuan kognitif.


Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan
memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan
cedera kepala berat mengalami masalah kesadaran
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data subjektif :
 Identitas (pasien dan keluarga/penanggung jawab) meliputi: Nama,
umur,jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan,
status perkawinan, alamat, dan hubungan pasien dengan
keluarga/pengirim).
 Keluhan utama: Bagaimana pasien bisa datang ke ruang gawat
darurat, apakah pasien sadar atau tidak, datang sendiri atau dikirim
oleh orang lain?
 Riwayat cedera, meliputi waktu mengalami cedera (hari, tanggal,
jam), lokasi/tempat mengalami cedera.
 Mekanisme cedera: Bagaimana proses terjadinya sampai pasien
menjadi cedera.
 Allergi (alergi): Apakah pasien mempunyai riwayat alergi terhadap
makanan (jenisnya), obat, dan lainnya.
 Medication (pengobatan): Apakah pasien sudah mendapatkan
pengobatan pertama setelah cedera, apakah pasien sedang
menjalani proses pengobatan terhadap penyakit tertentu?
 Past Medical History (riwayat penyakit sebelumnya): Apakah
pasien menderita penyakit tertentu sebelum menngalami cedera,
apakah penyakit tersebut menjadi penyebab terjadinya cedera?
 Last Oral Intake (makan terakhir): Kapan waktu makan terakhir
sebelum cedera? Hal ini untuk memonitor muntahan dan untuk
mempermudah mempersiapkan bila harus dilakukan tindakan lebih
lanjut/operasi.
 Event Leading Injury (peristiwa sebelum/awal cedera): Apakah
pasien mengalami sesuatu hal sebelum cedera, bagaimana hal itu
bisa terjadi?
2. Pengkajian ABCD
AIRWAY
 Cek jalan napas paten atau tidak
 Ada atau tidaknya obstruksi misalnya karena lidah jatuh kebelakang,
terdapat cairan, darah, benda asing, dan lain-lain.
 Dengarkan suara napas, apakah terdapat suara napas tambahan seperti
snoring, gurgling, crowing.

BREATHING
 Kaji pernapasan, napas spontan atau tidak
 Gerakan dinding dada simetris atau tidak
 Irama napas cepat, dangkal atau normal
 Pola napas teratur atau tidak
 Suara napas vesikuler, wheezing, ronchi
 Ada sesak napas atau tidak (RR)
 Adanya pernapasan cuping hidung, penggunaan otot bantu pernapasan
CIRCULATION
 Nadi teraba atau tidak (frekuensi nadi)
 Tekanan darah
 Sianosis, CRT
 Akral hangat atau dingin, Suhu
 Terdapa perdarahan, lokasi, jumlah (cc)
 Turgor kulit
 Diaphoresis
 Riwayat kehilangan cairan berlebihan
DISABILITY
 Kesadaran : composmentis, delirium, somnolen, koma
 GCS : EVM
 Pupil : isokor, unisokor, pinpoint, medriasis
 Ada tidaknya refleks cahaya
 Refleks fisiologis dan patologis
 Kekuatan otot
EXPOSURE
 Ada tidaknya deformitas, contusio, abrasi, penetrasi, laserasi, edema
 Jika terdapat luka, kaji luas luka, warna dasar luka, kedalaman
3. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan ventilasi spontan
2) Risiko perfusi serebal tidak efekttif d.d adanya edema pada otak dan
perdarahan temporal kiri
3) Risiko infeksi d.d Fraktur femur kanan terbuka
4) Gangguan mobilitas fisik
4. Intervensi

No Definisi Tindakan
1 Memfasilitasi dalam Dukungan ventilasi (I.01002)
mempertahankan Observasi
pernapasan spontan untuk  Identifikasi adanya kelelahan otot bantu nafas
memaksimalkan pertukaran  Identifikasi efek perubahan posisi terhadap
das di paru-paru. status pernapasan
 Monitor status respirasi dan oksigenasi
(frekuensi dan kedalaman napas, penggunaan
otot bantu napas, bunyi napas tambahan,
saturasi oksigen)
Terapeutik
 Pertahankan kepatenan jalan nafas dan
penggunan ventilator
 Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan
 Fasililitasi mengubah posisi senyaman
mungkin
Edukasi
 Ajarkann teknik relaksasi napas dalam
 Ajarkan mengubah posisi secara mandiri
 Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian bronchodilator, jika
perlu
2. Mengidentifikasi dan Pencegahan Syok (I.02068)
menurunkan risiko Observasi:
terjadinya ketidakmampuan  Monitor status kardiopulmonal (frekuensi dan
tubuh menyediakan oksigen kekuatan nadi, frekuensi napas, TD, MAP)
dan nutrien untuk  Monitor status oksigen (oksimetri nandi, ADG)
mencukupi kebutuhan  Monitor status cairan (masukan dan haluaran,
jaringan. turgor kulit, CRT)
 Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil
 Periksa riwayat alergi
Terapeutik:
 Berikan oksigen untuk mempertahankan
saturasi oksigen >94%
 Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis, jika
perlu
 Pasang jalur IV, jika perlu
 Pasang kateter urine untuk menilai produksi
urine, jika perlu
 Lakukan skin test untuk mencegah reaksi
alergi
Edukasi:
 Jelaskan penyebab/faktor risiko syok
 Jelaskan tanda dan gejala awal syok
 Anjurkan melapor jika menamukan/merasakan
tanda dan gejala awal syok
 Anjurkan memperbanyak asupan cairan
 Anjurkan menghindari alergen
Kolaborasi:
 Kolaborasi pemberian IV, jika perlu
 Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika
perlu
 Kolaborasi pemberian antiinflamasi, jika perlu
3. Mengidentifikasi dan Pencegahan Infeksi (I.14539)
menurunkan risiko terserang Observasi:
patogenik  Monitor tanda dan gejala infeksi lokal sistemik
Terapeutik:
 Batasi jumlah pengunjung
 Berikan perawatan kulit pada area edema
 Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
denga pasien dan lingkungan pasien
 Pertahankan teknik aseptik pada pasien
berisiko tinggi
Edukasi:
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
 Ajarkan cara memeriksa kondisi luka
 Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
 Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi:
 Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
4. Memfasilitasi pasien untuk Dukungan mobilisasi (I.05173)
meningkatkan aktivitas Observasi:
pererakan fisik  Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
lainnya
 Identifikasi toleransi fisik melakukan
pergerakan
 Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
sebelum dan sesudah memulai mobilisasi
 Monitor kondisi umum selama melakukan
mobilisasi
Terapeutik:
 Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
(mis. Pagar tempat tidur)
Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
 Libatkan keluarga untuk membantu pasien
dalam meningkatkan pergerakan
Edukasi:
 Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
 Anjurkan melakukan mobilisasi dini
Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus
dilakukan (mis. Duduk di tempat tidur, duduk di
sisi tempat tidur, pindah dari tempat tidur ke
kursi).

Anda mungkin juga menyukai