KONSEP DASAR
A. Tinjauan Pustaka
1. Definisi
Hernia adalah merupakan protusi atau penonjolan isi suatu rongga
melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. Pada
hernia abdomen isi perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari
lapisan muskulo apeneurotik dinding perut ( R. Sjamsuhidayat, 2004).
Hernia adalah proporsi abdnormal organ jaringan atau bagian organ
melalui stuktur yang secara normal berisi bagian ini. Hernia paling sering
terjadi pada rongga abdomen sebagai akibat dari kelemahan muskular
abdomen konginental atau didapat (Monika Ester, 2004).
Hernia adalah menonjolnya suatu organ atau struktur organ dari
tempatnya yang normal melalui sebuah defek kongenital atau yang didapat
( Barbara C Long, Hal 246).
Hernia Inguinalis adalah visera menonjol ke dalam kanal inguinal pada
titik di mana tali spermatik muncul pada pria,dan di sekitar ligamen
wanita (Monika E.2002).
Hernia Inguinalis Indirek disebut hernia Inguinalis Lateralis yaitu
hernia yang keluar dari rongga peritoneum melalui anulus inguinalis
internus yang terletak lateral dari pembuluh epigastrik inferior, kemudian
masuk ke dalam kanalis inguinalis ( Jong 2004:527).
Hernia Skrotalis adalah hernia yang keluar dari rongga peritonium
melalui anulus inguinalis internus yang terletak lateral dari pembuluh
epigastrika inferior kemudian hernia masuk dari anulus ke dalam kanalis
dan jika panjang menonjol keluar dari anulus inguinalis eksternum dan
sampai ke skrotum R. Sjamsuhidayat, 2004).
Hernia Umbilikalis adalah hernia isi perut yang tampak di daerah
pusat (Monika Ester, 2000).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa hernia adalah
ketidaknormalan tubuh berupa tonjolan yang disebabkan karena
kelemahan pada dinding otot abdomen, dapat congenital maupun aquisita.
2. Anatomi Fisiologi
Otot-otot dinding perut dibagi empat yakni musculus rectus
abdominis, musculus, obliqus abdominis internus, musculus transversus
abdominis. Kanalis inguinalis timbul akibat descensus testiculorum,
dimana testis tidak menembus dinding perut melainkan mendorong
dinding ventral perut ke depan. Saluran ini berjalan dari kranio-lateral ke
medio-kaudal, sejajar ligamentum inguinalis, panjangnya : + 4 cm.
(Brunner & Suddarth, 2000).
Kanalis inguinalis dibatasi di kraniolateral oleh anulus inguinalis
internus yag merupakan bagian terbuka dari fasia transversalis dan
aponeurosis muskulus transversus abdominis di medial bawah, di atas
tuberkulum pubikum. Kanal ini dibatasi oleh anulus eksternus. Atap ialah
aponeurosis muskulus ablikus eksternus dan didasarnya terdapat
ligamentum inguinal. Kanal berisi tali sperma serta sensitibilitas kulit
regio inguinalis, skrotum dan sebagian kecil kulit, tungkai atas bagian
proksimedial (Martini, H 2001).
Dalam keadaan relaksasi otot dinding perut, bagian yang membatasi
anulus internus turut kendur. Pada keadaan itu tekanan intra abdomen
tidak tinggi dan kanalis inguinalis berjalan lebih vertikal. Sebaiknya bila
otot dinding perut berkontraksi kanalis inguinalis berjalan lebih
transversal dan anulus inguinalis tertutup sehingga dapat mencegah
masuknya usus ke dalam kanalis inguinalis. Pada orang yang sehat ada
tiga mekanisme yang dapat mencegah terjadinya hernia inguinalis yaitu
kanalis inguinalis yang berjalan miring, adanya struktur muskulus oblikus
internus abdominis yang menutup anulus inguinalis internus ketika
berkontraksi dan adanya fasia transversal yang kuat yang menutupi
triganum hasselbaeh yang umumnya hampir tidak berotot sehingga adanya
gangguan pada mekanisme ini dapat menyebabkan terjadinya hernia
inguinalis (Martini, H 2001).
3. Etiologi
Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomaly konginental atau
karena sebab yang di dapat. Hernia dapat di jumpai pada setiap usia. Lebih
banyak pada laki-laki dari pada perempuan. Berbagai faktor penyebab
berperan pada pembentukan pintu masuk hernia. Pada hernia anulus
internus yang cukup lebar sehingga dapat dilalui oleh kantong dan isi
hernia. Selain itu juga diperlukan faktor yang dapat mendorong isi hernia
melewati pintu yang sudah terbuka cukup lebar itu. Pada orang yang sehat,
ada tiga mekanisme yang dapat mencegah terjadinya hernis inguinalis,
yaitu kanalis inguinalis yang berjalan miring, adanya struktur m.Obilikus
internus abdominalis yang menutup anulus inguinalis internus ketika
berkontraksi, dan adanya fasia transversa yang kuat yang menutupi
trigonum hasseibach yang umumnya hampir tidak berotot. Gangguan
mekanisme ini dapat menyebabkan terjadilah hernia.
Faktor secara konginental adalah adanya proseus vaginalis yang
terbuka, dan secara yang di dapat adalah peningkatan tekanan di dalam
rongga perut, dan kelemahan otot dinding perut karena usia. Tekanan intra
abdomen yang meninggi secara kronik, seperti batuk kronik, hipertrofi
prostat, konstipasi dan ansietas disertai hernia inguinalis.
Dalam keadaan relaksasi otot dinding perut, bagian yang membatasi
annulus internus turut kendur. Pada keadaan itu tekanan intra abdomen
tidak tinggi dan kanalis berjalan lebih vertikal. Sebaliknya, bila otot
dinding perut berkontraksi kanalis inguinalis berjalan lebih transversal dan
anulus inguinalis. Kelemahan otot dinding perut antara lain terjadi akibat
kerusakan n. Ilioinguinalis dan iliofemoralis setelah apendiktomi
( Sjamsuhidayat, 2004).
4. Klasifikasi
Menurut Sachdeva ( 1996, hal 232-234) menklasifikasikan hernia sebagai
berikut ;
a. Hernia Reponiblis
Hernia yang dapat masuk kembali ketika penderita tidur terlentang
atau dapat dimasukkan oleh penderita atau ahli bedah.
b. Hernia Ireponiblis
Apabila isinya tidak dapat dikembalikan ke dalam abdomen dan tidak
tampak adanya komplikasi.
c. Hernia Obstruksi
Merupakan hernia ireponiblis yang berisi usus dimana lumennya
mengalami onstruksi dari luar atau adanya gangguan suplai darah dari
usus.
d. Hernia Strangulasi
Hernia akan mengalami strangulasi bila suplai darah terhadap isinya
sangat terganggu yang dapat mengakibatkan gangren.
Adapun tindakan yang digunakan untuk mengatasi hernia ada 2 macam
yaitu;
a. Tindakan konservatif
Yaitu tindakan dengan melakukan reposisi dan pemakaian penyangga
atau penunjang untuk mempertahankan isi hernia.
b. Tindakan definitive
Tindakan definitive untuk mengatasi hernia berupa operasi yang
dilakukan dibawah anestesi umum atau spinal. Dengan melakukan
insisi pada garis linear di atas kanalis inguinalis yaitu 1 inci diatas dan
sejajar terhadap 2/3 medial ligamentum inguinalis.
Adapun prinsip dasar operasi hernia terdiri dari Herniotomi dan Herniorapi.
a. Herniotomi
Merupakan operasi pemotongan untuk memperbaiki hernia.
b. Herniorapi
Herniorapi yaitu dengan melakukan perbaikan pada dinding posterior
tanpa menggunakan bahan asesoris. Apabila dalam melakukan perbaikan
dinding posterior menggunakan bahan asesoris maka disebut dengan
Hernioplasti.
5. Patofisiologi
Hernia inguinalis lateralis disebabkan oleh factor yang pertama
kelemahan dinding otot abdomen yang meliputi kelemahan jaringan,
adanya daerah yang luas di ligament inguinal dan trauma. Yang kedua
disebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang meliputi obesitas,
mengangkat beban berat, mengejan, konstipasi, kehamilan, batu kronik,
hipertropi prostat dan yang ketiga factor congenital (Betz, (2004).
Bila kanalis inguinalis terbuka terus, karena prosesus tidak beroblitasi
maka akan timbul hernia inguinalis lateralis kangenital (Hockenberry,
2008), Herniasi mengakibatkan cincin hernia menyempit dan menekan isi
hernia sehingga menonjol keluar maka terjadi edema, indikasi
pembedahan dilakukan jika penonjolan besar yang mengidentifikasikan
peningkatan resiko hernia inkaserata dan nyeri hebat yang merupakan
respon masuknya penonjolan melalui kanal inguinal (Black, 2005)
Faktor yang dipandang berperan kausal adalah adanya prosesus
vaginalis yang terbuka, peninggian tekanan di dalam rongga perut dan
kelemahan otot dinding perut karena usia. Bila otot dinding perut
berkontraksi, kanalis dapat mencegah masuknya usus ke dalam kanalis
inguinalis, kelemahan dinding perut antara lain terjadi akibat kerusakan
inguinalis.
Tanda dan gejala klinis dapat ditentukan oleh keadaan isi hernia, pada
hernia reponibel keluhan satu-satunya adalah benjolan dilipat paha yang
muncul pada saat bediri, batuk, bersin atau mengejan dan menghilang
setelah berbaring. Keluhan nyeri biasanya dirasakan di epigastium atau
para umbilical berupa nyeri visceral karena regangan pada mesrentium
sewaktu, satu segmen usus halus 21 masuk kedalam kantung hernia. Nyeri
yang disertai mual atau muntah baru timbul kalau terjadi inkarsesari
karena ileus atau strangulasi karena nekrosis ( R. Sjamsuhidayat,2004).
Bila isi kantong hernia dapat di pindahkan ke rongga abdomen dengan
manipulasi hernia disebut redusibel. Hernia irredusibel dan hernia
inkarserta adalah hernia yang tidak dapat dipindahkan atau dikurangi
dengan manipulasi. Nyeri akan terasa jika cincin hernia terjepit, jepitan
cincin hernia akan menyebabkan gangguan perfusi jaringan isi hernia
menjadi nekrosis dan kantong hernia akan terisi transudat berupa cairan
serosangoinus, ini adalah kedaruratan bedah karena usus terlepas, usus ini
cepat menjadi gangrene. Pada hernia redusibel dilakukan tindakan bedah
elektif karena ditakutkan terjadi komplikasi ( Sjamsuhidayat, 2004).
6. Manifestasi Klinis
Pada umumnya keluhan pada orang dewasa berupa benjolan di lipat
paha, benjolan tersebut bisa mengecil dan menghilang pada saat istirahat
dan bila menangis, mengejan, mengangkat beban berat atau dalam posisi
berdiri dapat timbul kembali, bila terjadi komplikasi dapat ditemukan
nyeri, keadaan umum biasanya baik pada inspeksi ditemukan asimetri
pada kedua sisi lipat paha, scrotum atau pada labia dalam posisi berdiri
dan berbaring pasien diminta mengejan dan menutup mulut dalam
keadaan berdiri palpasi dilakukan dalam keadaan ada benjolan hernia,
diraba konsistensinya dan coba didorong apakah benjolan dapat di reposisi
dengan jari telunjuk atau jari kelingking pada anak-anak, kadang cincin
hernia dapat diraba berupa annulus inguinalis yang melebar.
Pemeriksaan melalui scrotum, jari telunjuk dimasukkan ke atas lateral
dari tuberkulum pubikum, ikuti fasikulus spermatikus sampai ke anulus
inguinalis internus pada keadaan normal jari tangan tidak dapat masuk,
bila masa tersebut menyentuh ujung jari maka itu adalah hernia inguinalis
lateralis, sedangkan bila menyentuh sisi jari maka itu adalah hernia
inguinalis medialis (Mansjoer, 2000, hal 314 ; Kusala, 2007,
http://www.kalbe.co.id/files)
Terapi operatif merupakan terapi satu-satunya yang rasional. Beberapa
masalah yang sering terjadi pada fase post operasi antara lain; kesadaran
menurun, sumbatan saluran nafas, hipoventilasi, hipotensi , aritmi cardiak,
shock, nyeri, distensi kandung kencing, cemas, aspirasi isi lambung.
Tindakan operatif dilakukan dengan melakukan insisi pada tubuh sehingga
tubuh memerlukan waktu untuk penyembuhan luka. Luka bedah karena
dilakukan dengan disertai teknik asepsis pada umumnya penyembuhannya
lancar dan cepat.
Ada empat fase penyembuhan luka; fase I penyembuhan luka, lekosit
mencerna bakteri dan jaringan rusak. Fibrin tertumpuk pada gumpalan
yang mengisi luka dan pembuluh darah tumbuh pada luka dari benang
fibrin sebagai kerangka. Luka kekuatannya rendah tapi luka yang dijahit
akan menahan jahitan dengan baik. Pasien akan terlihat dan merasa sakit
pada fase ini yang berlangsung selama 3 (tiga) hari.
Fase II berlangsung 3 – 14 hari setelah pembedahan. Lekosit mulai
menghilang, semua lapisan epitel mulai beregenerasi selengkapnya dalam
1 (satu) minggu. Jaringan baru memiliki sangat banyak jaringan vaskuler,
jaringan ikat berwarna kemerah-merahan karena banyak pembuluh darah
dan mudah terjadi perdarahan, pasien akan terlihat lebih baik. Tumpukan
kolagen serabut protein putih akan menunjang luka dengan baik dalam 6 –
7 hari. Jadi jahitan diangkat pada waktu ini, tergantung pada tempat dan
luasnya bedah.
Pada fase III kolagen terus bertumpuk. Hal ini akan menekan
pembuluh darah baru dan arus darah menurun. Luka sekarang terlihat
seperti berwarna merah jambu yang luas. Pada fase ini yang kira-kira
berlangsung dari minggu ke dua sampai minggu ke enam post operasi,
pasien harus menjaga agar tidak menggunakan otot yang terkena.
Fase terakhir, fase ke IV berlangsung beberapa bulan post operasi.
Pasien akan mengeluh gatal diseputar luka. Kolagen terus menimbun pada
waktu ini, luka menciut dan menjadi tegang. Bila luka dekat persendian
akan terjadi kontraktur. (Long,1996, hal 70 – 86)
7. Pathway
8. Permeriksaan Penunjang
a. Pemeriksasaan darah
Lekosit ; peningkatan jumlah lekosit mengindikasikan adanya
infeksi.
Hemoglobin ; Hemoglobin yang rendah dapat mengarah pada
anemia/kehilangan darah.
Hematokrit ; peningkatan hematokrit mengindikasikan dehidrasi
Waktu koagulasi ; Mungkin diperpanjang, mempengaruhi
hemostasis intraoperasi/pascaoperasi.
b. Urinalisis
BUN, Creatinin, munculnya SDM atau bakteri mengindikasikan
infeksi.
c. GDA
Mengevaluasi status pernafasan terakhir.
d. EKG
Untuk mengetahui kondisi jantung.
9. Penatalaksanaan
Pada hernia inguinalis reponibilis dan ireponibilis dilakukan tindakan
bedah efektif karena ditakutkan terjadi komplikasi. Sebaliknya bila telah
terjadi proses stranglasi tindakan bedah harus dilakukan tindakan secepat
mungkin sebelum terjadinya nekrosis usus.
Prinsip terapi operasi pada inguinalis:
Untuk memperoleh keberhasilah maka faktor yang menimbulkan
terjadinya hernia harus dicari dan diperbaiki (batuk kronis, prostat, tumor,
asites, dan lain lain) dan defek yang ada direkonstruksi dan diaproksinasi
tanpa tegangan.
a. Kasus hernia indirek harus diisolasi, dipisahkan dari peritoneum, dan
diligasi. Pada bayi dan anak-anak yang mempunyai anatomi inguinal
normal, repair hanya terbatas pada ligasi tinggi, memisahkan sakus,
dan mengecilkan cincin keukuran yang semestinya. Pada kebanyakan
pada orang dewasa, dasar inguinal juga harus direkontruksi cincin
inguinal juga dikecilkan. Pada wanita cincin inguinal dapat ditutup
total untuk mencegah rekurenasi dari tempat yang sama.
b. Hernia rekuren yang terjadi dalam beberapa bulan atau setahun
biasanya menunjukkan adanya repair yang tidk adekuat. Sedangkan
rekuren yang terjadi setelah dua atau lebih cenderung disebabkan oleh
timbulnya kelemahan yang progresif pada fasia rekurensi terulang
setelah repair berhati-hati yang dilakukan oleh seorang ahli
menunjukkan adanya defek dalam sintesis kolagen.
10. Komplikasi
a. Terjadi pelekatan antara isi hernia dengan dinding kantong hernia,
sehingga isi hernia tidak dapat dimasuki kembali, keadaan ini disebut
hernia irrepponsibilis. Pada keadaan ini belum ada gangguan
penyaluran isi usus. Isi hernia yang tersering menyebabkan keadaan
irreponsibel adalah omentum, karena mudah melekat pada dinding
hernia dan isinya dapat menjadi lebih besar karena infiltrasi lemak.
Usus besar lebih sering menyebabkan irreponsibel dari pada usus
halus.
b. Terjadi tekanan terhadap cincin hernia akibat makin banyaknya usus
yang masuk, keadaan ini menyebabkan gangguan aliran isi usus diikuti
dengan gangguan vaskular ( proses strangulasi). Keadaan ini disebut
hernia inguinalis strangulata. Pada keadaan strangulata akan timbul
gejala ileus, yaitu perut kembung, muntah, dan obstipasi. Pada
strangulasi nyeri yang timbul lebih hebat dan kontinyu, daerah
benjolan menjadi merah dan pasien menjadi gelisah ( Arif Mansyoer,
2000).
B. Fokus Keperawatan
1. Pengkajian
Pengumpulan data pasien baik subyektif atau obyektif pada gangguan
sistem perkemihan sehubungan dengan hernia inguinalis lateralis adalah
sebagi berikut :
a) Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab)
b) Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat penyakit dahulu
c) Pemeriksaan Fisik
Aspek Neurologis :
Yang dikaji adalah Tingkat kesadaran, biasanya GCS kurang
dari 15, disorentasi orang/tempat dan waktu, adanya refleks
babinski yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital, adanya
gerakan decebrasi atau dekortikasi dan kemungkinan didapatkan
kaku kuduk dengan brudzinski positif. Adanya hemiparese. Pada
pasien sadar, dia tidak dapat membedakan berbagai
rangsangan/stimulus rasa, raba, suhu dan getaran. Terjadi gerakan-
gerakan
Aspek Kardiovaskuler :
Didapat perubahan tekanan darah menurun, kecuali apabila
terjadi peningkatan intrakranial maka tekanan darah meningkat,
denyut nadi b radikardi, kemudian takhikardia, atau iramanya
tidak teratur. Selain itu pengkajian lain yang perlu dikumpulkan
adalah adanya perdarahan atau cairan yang keluar dari mulut,
hidung, telinga, mata. Adanya hipereskresi pada rongga mulut.
Adanya perdarahan te rbuka/hematoma pada bagian tubuh lainnya.
Hal ini perlu pengkajian dari kepalal hingga kaki.
Aspek sistem pernapasan :
Terjadi perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun
frekuensi yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur (chyne
stokes, ataxia br ething), bunyi napas ronchi, wheezing atau
stridor. Adanya sekret pada tracheo brokhiolus. Peningkatan suhu
tubuh dapat terjadi karena adanya infeksi atau rangsangan
terhadap hipotalamus sebagai pusat pengatur suhu tubuh.
Aspek sistem eliminasi :
Akan didapatkan retensi/inkontinen dalam hal buang air besar
atau kecil. Terdapat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit,
dimana terdapat hiponatremia atau hipokalemia. Pada sistem
gastro-intestinal perlu dikaji tanda-tanda penurunan fungsi saluran
pencernaan sep erti bising usus yang tidak terdengar atau lemah,
aanya mual dan muntah. Hal ini menjadi dasar dalam pemberian
makanan.
d) Pengkajian Psikologis :
Dimana pasien dengan tingkat kesadarannya menurun, maka untuk
data psikologisnya tidak dapat dinilai, sedangkan pada pasien yang
tingkat kesadarannya agak normal akan terlihat adanya gangguan
emosi, perubahan tingkah laku, emosi yang labil, iritabel, apatis,
delirium, dan kebingungan keluarga pasien karena mengalami
kecemasan sehubungan dengan penyakitnya.
Data sosial yang diperlukan adalah bagaimana psien berhubungan
dnegan orang-orang terdekat dan yang lainnya, kemampuan
berkomunikasi dan peranannya dalam keluarga. Serta pandangan
pasien terhadap dirinya setelah mengalami trauma kepala dan rasa
aman.
e) Data spiritual :
Diperlukan adalah ketaatan terhadap agamanya, semangat dan falsafah
hidup pasien serta ke-Tuhanan yang diyakininya. Tentu saja data yang
dikumpulkan bila tidak ada penurunan kesadaran.
Sjamsuhidayat, R. Jong, W.D. 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta :
EGC.
Mansjoer, Arif, dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jakarta: Media
Aesculapius
Mansjoer Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Media Aesculaplus.
Jakarta.
Karnadihardja, W, 2005. Dinding perut, hernia, retroperitoneum, omentum. Dalam
buku ajar ilmu bedah edisi 2: Jakarta.
Oswari. 2005. Bedah dan Perawatannya, Ed. Ke- 4, Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung
Waluyo…(dkk), EGC, Jakarta.
Doengoes, Marlyn E, Moorhouse, Mary F dan Geissler, Alice C, 2000, Rencana
Keperawatan Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien, Edisi 3, Alih Bahasa I Made Kriasa, EGC, Jakarta.
Price, Sylvia Anderson dan Wilson, Lorraine M. C, 2006, Patofisiologi: Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6, Vol 2, Alih bahasa, Brahm U.
Pendit, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.
Ester, Monica, 2001, Keperawatan Medikal-Bedah: Pendekatan Sistem
Gastrointestinal, Jakarta: EGC