Anda di halaman 1dari 42

KAPITA SELEKTA

(Surgery – Neurology)
SCOME CIMSA UISU

CENTER FOR INDONESIAN MEDICAL STUDENTS’


ACTIVITIES
STANDING COMMITTEE ON MEDICAL EDUCATION
2013/2014
Daftar Isi

1. Trauma Otak……………………………………………………………………………..2
2. Trauma Medulla Spinalis……………………………………………………………….14
3. Cauda Equina Syndrome ……………………………………………….………............20
4. Tumor Otak …………………………………………………………………………….26
5. Tumor Medulla Spinalis…………………………………………….………….………36
Trauma Otak (Brain Trauma)

A. Definisi
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).

B. Etiologi
Penyebab Trauma Kepala
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah
karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena disebabkan
kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan di
medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala (Langlois, Rutland-Brown,
Thomas, 2006).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma
kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga
rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di Amerika
Serikat ( Coronado, Thomas, 2007). Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah seperti
berikut:
a) Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan dengan
kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau kecederaan
kepada pengguna jalan raya (IRTAD, 1995).
b) Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah dengan
cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun sesudah sampai ke
tanah.
c) Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau
menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan).

Penyebab lainnya :
1. Cedera akibat kecelakaanatau olahraga maupun trauma lainnya dapat menyebabkan
kerusakan otak
2. Adanya penyakit yang berkaitan dengan otak memperparah dari kerusakan yang terjadi
seperti anaeurisma sakular,malformasi asteriovenosus, gangguan koagulasi darah dan
neoplasma primer

C. Faktor Resiko

a. Jenis Kelamin
Pada populasi secara keseluruhan, laki-laki dua kali ganda lebih banyak mengalami
trauma kepala dari perempuan. Namun, pada usia lebih tua perbandingan hampir sama. Hal
ini dapat terjadi pada usia yang lebih tua disebabkan karena terjatuh. Mortalitas laki-laki dan
perempuan terhadap trauma kepala adalah 3,4:1 (Jagger, Levine, Jane et al., 1984). Menurut
Brain Injury Association of America, laki-laki cenderung mengalami trauma kepala 1,5 kali
lebih banyak daripada perempuan (CDC, 2006).
b. Umur
Resiko trauma kepala adalah dari umur 15-30 tahun, hal ini disebabkan karena pada
kelompok umur ini banyak terpengaruh dengan alkohol, narkoba dan kehidupan sosial yang
tidak bertanggungjawab (Jagger, Levine, Jane et al., 1984). Menurut Brain Injury Association
of America, dua kelompok umur mengalami risiko yang tertinggi adalah dari umur 0 sampai
4 tahun dan 15 sampai 19 tahun (CDC, 2006).

D. Patofisiologi
Patofisiologi trauma yang terjadi dipengaruhi oleh etiologi trauma dan jenis trauma
yang dialami. Kemungkinan kecederaan atau trauma adalah seperti berikut :

a) Fraktur
Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4 jenis fraktur
yaitu simple fracture, linear or hairline fracture, depressed fracture, compound fracture.
Pengertian dari setiap fraktur adalah sebagai berikut:
1) Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit
2) Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa depresi,
distorsi dan ‘splintering’.
3) Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.
4) Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak. Selain retak
terdapat juga hematoma subdural (Duldner, 2008).

b) Luka memar (kontosio)


Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana pembuluh
darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak,
menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak
menekan tengkorak. Biasanya terjadi pada ujung otak seperti pada frontal, temporal dan
oksipital. Kontusio yang besar dapat terlihat di CT-Scan atau MRI (Magnetic Resonance
Imaging) seperti luka besar. Pada kontusio dapat terlihat suatu daerah yang mengalami
pembengkakan yang di sebut edema. Jika pembengkakan cukup besar dapat mengubah
tingkat kesadaran (Corrigan, 2004).

c) Laserasi (luka robek atau koyak)


Luka laserasi adalah luka robek tetapi disebabkan oleh benda tumpul atau runcing.
Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda bermata tajam dimana lukanya akan
tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal kulit dan
jaringan bawah kulit. Luka ini biasanya terjadi pada kulit yang ada tulang dibawahnya pada
proses penyembuhan dan biasanya pada penyembuhan dapat menimbulkan jaringan parut.

d) Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini bisa
mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan subkutis tetapi
akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak.

e) Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas,tetapi sebagian
masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit pada kranial terlepas
setelah kecederaan (Mansjoer, 2000).
E. Diagnosis
Gejala Klinis Trauma Kepala
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan :


a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh.
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
c. Mual atau dan muntah.
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
e. Perubahan keperibadian diri.
f. Letargik.

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat :


a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak menurun atau
meningkat.
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).

a. Pemeriksaan Fisik

Tingkat Keparahan Trauma Kepala dengan Skor Koma Glasgow (SKG)


Skala koma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien trauma kapitis, gangguan
kesadaran dinilai secara kwantitatif pada setiap tingkat kesadaran. Bagian-bagian yang dinilai
adalah;
1. Proses membuka mata (Eye Opening)
2. Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response)
3. Reaksi bicara (Best Verbal Response)
Pemeriksaan Tingkat Keparahan Trauma kepala disimpulkan dalam suatu tabel Skala
Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale).
Skala Koma Glasgow
A. Eye Opening
Mata terbuka dengan spontan 4
Mata membuka setelah 3
diperintah
Mata membuka setelah diberi 2
rangsang nyeri
Tidak membuka mata 1

B. Best Motor Response


Menurut perintah 6
Dapat melokalisir nyeri 5
Menghindari nyeri 4
Fleksi (dekortikasi) 3
Ekstensi (decerebrasi) 2
Tidak ada gerakan 1

C. Best Verbal Response


Menjawab pertanyaan 5
dengan benar
Salah menjawab pertanyaan 4
Mengeluarkan kata-kata yang 3
tidak sesuai
Mengeluarkan suara yang
tidak ada artinya

Berdasarkan Skala Koma Glasgow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas;
1. Trauma kapitis Ringan, Skor Skala Koma Glasgow 14 – 15
2. Trauma kapitis Sedang, Skor Skala Koma Glasgow 9 – 13
3. Trauma kapitis Berat, Skor Skala Koma Glasgow 3 – 8
b. Pemeriksaan Penunjang

CT –Scan

CT-Scan adalah suatu alat foto yang membuat foto suatu objek dalam sudut 360
derajat melalui bidang datar dalam jumlah yang tidak terbatas. Bayangan foto akan
direkonstruksi oleh komputer sehingga objek foto akan tampak secara menyeluruh (luar dan
dalam). Foto CT-Scan akan tampak sebagai penampang-penampang melintang dari objeknya.
Dengan CT-Scan isi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada trauma
kapitis, fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun
ukurannya (Sastrodiningrat, 2009). Indikasi pemeriksaan CT-scan pada kasus trauma kepala
adalah seperti berikut:
1. Bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat.
2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran.
5. Sakit kepala yang hebat.
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak.
7. Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral (Irwan, 2009).

Perdarahan subaraknoid terbukti sebanyak 98% yang mengalami trauma kepala jika
dilakukan CT-Scan dalam waktu 48 jam paska trauma. Indikasi untuk melakukan CT-Scan
adalah jika pasien mengeluh sakit kepala akut yang diikuti dengan kelainan neurologis seperti
mual, muntah atau dengan SKG (Skor Koma Glasgow) <14 (Haydel, Preston, Mills, et al.,
2000).

F. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera dan
dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari
paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah asraf, radiologi, anestesi dan rehabilitasi medik.
Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus sejak tempat kecelakaan,
selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit, diruang gawat darurat, kamar
radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa
memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya.
Macam dan urutan prioritas tindakan cedera kepala ditentukan atas dalamnya penurunan
kesadaran pada saat diperiksa:

A. Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15)


Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis:
1. Simple head injury (SHI)
Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan kesadaran, dari
anamnesa maupun gejala serebral lain. Pasien ini hanya dilakukan perawatan luka.
Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Keluarga dilibatkan untuk mengobservasi
kesadaran.
2. Kesadaran terganggu sesaat
Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan pada saat
diperiksa sudah sadar kembali. Pemeriksaan radiologik dibuat dan penatalaksanaan
selanjutnya seperti SHI.

B. Pasien dengan kesadaran menurun


1. Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15)
Kesadaran disoriented atau not obey command, tanpa disertai defisit fokal serebral.
Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatanluka, dibuat foto kepala. CT Scan kepala, jika
curiga adanya hematom intrakranial, misalnya ada riwayat lucid interval, pada follow up
kesadaran semakinmenurun atau timbul lateralisasi. Observasi kesadaran, pupil, gejala fokal
serebral disamping tanda-tanda vital.
2. Cedera kepala sedang (GCS=9-12)
Pasien dalamkategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner, oleh karena itu
urutan tindakannya sebagai berikut:
a) Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
b) Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera organ lain.
Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas
c) Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain
d) CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intrakranial
e) Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral
3. Cedera kepala berat (CGS=3-8)
Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu disamping kelainan
serebral juga disertai kelainan sistemik.
Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:
a. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC)
Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan
hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama adalah:
Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala
ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipaendotrakheal, bersihkan sisa muntahan,
darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk
menghindarkan aspirasi muntahan.
Pernafasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan
sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medulla oblongata, pernafasan cheyne stokes,
ataksik dan central neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma
dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi
hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor
penyebab dan kalau perlu memakai ventilator.
Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder.
Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial
yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai
tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan
sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah yang hilang dengan
plasma, hydroxyethyl starch atau darah
b. Pemeriksaan fisik
Setelah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit
fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai
data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bis
adiartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi
penyebabnya.

c. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada dan abdomen dibuat atas
indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis
diduga ada hematom intracranial
d. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau
hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK
yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan
urutan sebagai berikut:
1. Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang terkontrol,
dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti
berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg
dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas dgnmengurangi hiperventilasi, bila TIK
naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan
hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom
2. Drainase
Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek
dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo
peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus
3. Terapi diuretik
Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui
sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis
pemberiannya harus dihentikan.
Cara pemberiannya :
Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam
selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm
Loop diuretik (Furosemid)
Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan cairan
cerebrospinal dan menarik cairaninterstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan
manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotic serum oleh manitol.
Dosis 40 mg/hari/iv.
4. Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap semua jenis terapi
yang tersebut diatas.
Cara pemberiannya:
Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu
pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK
terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
5. Streroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi menfaatnya
pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus
cedera kepala
6. Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan bagian
kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau
leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak
menjadi lancar.
e. Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema
serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan
cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti
NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh
karena terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan cairan
tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia kembali normal dan volume
urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa
nasogastrik. Pada keadaan tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan eletrolit,
pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes
insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretic hormon (SIADH). Dalam keadaan ini perlu
dipantau kadar eletrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.
f. Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan
akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena
meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila ada
demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi peroral melalui
pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari
g. Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsi dan
yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih sering timbul
pada anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau
pasien dengan amnesia post traumatik yang panjang.
Pengobatan:
Kejang pertama : Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
Status epilepsy : diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit.

Bila cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40 mg/jam.
Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil,
ganti obat lain misalnya Fenitoin.
Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit.
Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral. Profilaksis diberikan pada pasien cedera
kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial
dan penderita dengan amnesia post traumatik panjang
i. Neuroproteksi
Adanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan timbulnya kerusakan
jaringan saraf, memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektan. Manfaat obat-
obat tersebut masih diteliti pada penderita cedera kepala berat antara lain, antagonis kalsium,
antagonis glutama dan sitikolin.
Trauma Medulla Spinalis

1. Definisi
Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke susunan saraf
pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh tulang vertebra. Ketika terjadi
kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris, gerakan dari bagian tertentu dari tubuh dan
fungsi involunter seperti pernapasan dapat terganggu atau hilang sama sekali.
Ketika gangguan sementara ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan pada medula
spinalis, kondisi ini disebut sebagai cedera medula spinalis.

2. Etiologi
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:

1) Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang
diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula
spinalis. Hagen dkk (2009) mendefinisikan cedera medula spinalis traumatik sebagai lesi
traumatik pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis.
Sesuai dengan American Board of Physical Medicine and Rehabilitation Examination
Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur,
dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra.
2) Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit,
infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang
terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor
penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati
spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler,
kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.
3. Faktor Resiko
1) Umur
Umur menjadi faktor yang mendukung terjadinya trauma spinal, sehingga biasanya
diderita oleh orang berusia lanjut karena fungsi-fungsi tubuhnya sudah menurun terutama
tulangnya yang sudah tidak elastic seperti waktu muda. Dengan terjadinya penuaan,
bertambahnya usia akan cenderung mengalami penyakit degenerative rusaknya struktur pada
punggung sehingga mudah terjadi trauma spinal.

2) Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari
segi tingkah laku.

4. Patofisiologi
Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi akibat dari proses
cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera berlanjut, kemungkinan
penyembuhan fungsional semakin menurun. Karena itu, intervensi terapeutik sebaiknya tidak
ditunda, pada kebanyakan kasus, window period untuk intervensi terapeutik dipercaya berkisar
antara 6 sampai 24 jam setelah cedera.
Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer energi ke korda spinal,
deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma yang persisten. Mekanisme ini, yang
terjadi dalam hitungan detik dan menit setelah cedera, menyebabkan kematian sel yang segera,
disrupsi aksonal dan perubahan metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek yang
berkelanjutan.
Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari cedera dan berlangsung
selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, melibatkan kaskade yang kompleks dari
interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat traktus yang mana kesemuanya hanya
dimengerti sebagian. Sangat jelas bahwa peningkatan produksi radikal bebas dan opioid
endogen, pelepasan yang berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan reaksi inflamasi sangat
berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger Ribonucleic Acid) menunjukkan
beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera medula spinalis dan perubahan ini ditujukan
sebagai target terapeutik. Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari
cedera sekunder.
Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan kadar anti-oksidan yang
cepat, oksigen radikal bebas berakumulasi di jaringan sistem saraf pusat yang cedera dan
menyerang membrane lipid, protein dan asam nukleat. Hal ini berakibat pada dihasilkannya lipid
peroxidase yang menyebabkan rusaknya membran sel.
Teori kalsium menjelaskan bahwa terjadinya cedera sekunder bergantung pada influks
dari kalsium ekstraseluler ke dalam sel saraf. Ion kalsium mengaktivasi phospholipase, protease,
dan phosphatase. Aktivasi dari enzim-enzim ini mengakibatkan interupsi dari aktivitas
mitokondria dan kerusakan membran sel.
Teori opiate receptor mengusulkan bahwa opioid endogen mungkin terlibat dalam proses
terjadinya cedera medula spinalis dan bahwa antagonis opiate (contohnya naloxone) mungkin
bisa memperbaiki penyembuhan neurologis. Teori inflamasi berdasarkan pada hipotesis bahwa
zat-zat inflamasi (seperti prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor, serotonin)
berakumulasi pada jaringan medula spinalis yang cedera dan merupakan mediator dari kerusakan
jaringan sekunder.
Menyusul cedera medula spinalis, penyebab utama kematian sel adalah nekrosis dan
apoptosis. Walaupun mekanisme kematian sel yang utama segera setelah terjadinya cedera
primer adalah nekrosis, kematian sel apoptosis yang terprogram mempunyai efek yang signifikan
pada cedera sekunder sub akut. Kematian sel oligodendrosit yang diinduksi oleh apoptosis
berakibat demyelinasi dan degenerasi aksonal pada lesi dan sekitarnya. Proses cedera sekunder
berujung pada pembentukan jaringan parut glial, yang diperkirakan sebagai penghalang utama
regenerasi aksonal di dalam sistem saraf pusat. Pembentukan jaringan parut glial merupakan
proses reaktif yang melibatkan peningkatan jumlah astrosit. Menyusul terjadinya nekrosis dari
materi abu-abu dari korda sentral dan degenerasi kistik, jaringan parut berkembang dan meluas
sepanjang traktus aksonal. Pola dari pembentukan jaringan parut dan infiltrasi sel inflamatori
dipengaruhi oleh jenis dari lesi medula spinalis. Terdapat tiga jenis lesi : lesi mikro, kontusif dan
lesi tusukan yang luas (large stab)
Pada lesi mikro, sawar darah otak terganggu sedikit, astrosit tetap dalam kesejajaran yang
normal tetapi menghasilkan chondroitin sulfate proteoglycans (CSPGs) dan keratan sulfate
proteoglycans (KSPGs) sepanjang traktus yang cedera dan makrofag menginvasi lesi tersebut.
Akson tidak dapat beregenerasi di luar lesi tersebut. Pada lesi kontusif, sawar darah-otak
terganggu, tetapi selaput otak masih utuh.
Kavitasi terjadi di episentrum dari lesi tersebut. Kesejajaran astrosit terganggu pada lesi.
Astrosit menghasilkan CSPGs dan KSPGs pada gradien yang meningkat dari penumbra menuju
pusat lesi. Tidak dijumpai invasi fibroblast pada inti lesi, dan karena itu, tidak dijumpai inhibitor
yang mengekspresikan fibroblast. Makrofag menginvasi lesi tersebut dan intinya dan akson
distrofik mendekati lesi tersebut sebelum pertumbuhan berhenti. Pada lesi tusukan yang luas,
sawar darah otak rusak, dan kavitasi terjadi pada pusat lesi.

5. Diagnosis
Penilaian neurologis pada cedera medula spinalis meliputi penilaian berikut seperti:
1) Sensasi pada tusukan (traktus spinotalamikus)
2) Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)
3) Kekuatan kelompok otot (traktus kortikospinal)
4) Refleks (abdominal, anal dan bulbokavernosus)
5) Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti disfagia)

Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level dan completeness
dari cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan neurologis lainnya seperti cedera pleksus
brakialis dapat dinilai. Segmen terakhir dari fungsi saraf spinal yang normal, seperti yang
diketahui dari pemeriksaan klinis, disebut sebagai level neurologis dari lesi tersebut. Hal ini tidak
harus sesuai dengan level fraktur, karena itu diagnosa neurologis dan fraktur harus dicatat.
Cedera inkomplit didefinisikan sebagai cedera yang berkaitan dengan adanya preservasi dari
fungsi motor dan sensorik di bawah level neurologis, termasuk pada segmen sakral yang paling
rendah. Penilaian tingkat dan komplit atau tidaknya suatu cedera medula spinalis
memungkinkan prognosa untuk dibuat. Jika lesi yang terjadi adalah komplit, kemungkinan
penyembuhan

Evaluasi fungsi neurologis


Untuk evaluasi berat dan luasnya cedera, jika pasien sadar tanyakan dengan jelas apa
yang dirasakan dan minta pasien untuk melakukan gerakan agar dapat dievaluasi fungsi
motorik dari ekstremitas atas dan bawah.
Respons motorik
1) Diafragma berfungsi normal C3, C4, C5
2) Mengangkat bahu C4
3) Fleksi siku (biceps) C5
4) Ekstensi pergelangan tangan C6
5) Ekstensi siku C7
6) Fleksi pergelangan tangan C7
7) Abduksi jari tangan C8
8) Membusungkan dada T1-T12
9) Fleksi panggul L2
10) Ekstensi lutut L3-L4
11) Fleksi dorsal pergelangan kaki L5-S 1
12) Fleksi plantar pergelangan kaki S1-S2
Respons sensorik
1) Paha anterior L2
2) Lutut anterior L3
3) Pergelangan kaki anterolateral L4
4) Jempol kaki dan jari kedua dorsal L5
5) Kaki lateral S1
6) Betis posterior S2
7) Perineum S2-S5

Jika fungsi motor dan sensor menunjukkan cedera total dari medula spinalis maka
kemungkinan sembuh sangat kecil.

6. Penatalaksanaan
Mayoritas pasien dengan cedera medula spinalis disertai dengan cedera bersamaan pada
kepala, dada, abdomen, pelvis dan ekstremitas – hanya sekitar 40% cedera medula spinalis yang
terisolasi. Penatalaksanaan awal berlangsung seperti pasien trauma pada umumnya yang meliputi
survei primer, resusitasi dan survei sekunder.
Protokol terapi yang direkomendasikan berdasarkan pada 3 hal yang penting. Yang
pertama, pencegahan cedera sekunder dengan intervensi farmakologis seperti pemberian
metilprednisolon dalam 8 jam setelah kejadian sesuai dengan panduan yang dianjurkan dalam
studi NASCIS-III.
Pasien sebaiknya diberikan metilprednisolon dengan dosis bolus 30mg/kg berat badan
diikuti dengan dosis pemeliharaan 5,4mg/kg berat badan per jam selama 23 jam atau 48 jam
secara infusan.
Kedua, hipoksia dan iskemia di lokasi lesi medula spinalis sebaiknya diminimalisir
dengan mengendalikan status hemodinamik dan oksigenasi. Semua pasien sebaiknya menerima
oksigen tambahan yang cukup untuk mencapai saturasi oksigen mendekati 100%.
Ketiga, begitu cedera medula spinalis disangkakan, tulang belakang harus diimobilisasi
untuk mencegah cedera neurologis yang lebih lanjut.
Manajemen farmakologi pada cedera medula spinalis akut masih kontroversi. Optimisme
yang menganggap bahwa pemahaman yang mendalam mengenai patogenesa dari cedera medula
spinalis akut akan mengarah kepada penemuan strategi pengobatan farmakologis untuk
mencegah cedera sekunder telah menemui kekecewaan dalam praktek klinis.
Kemungkinan aplikasi sel punca pada penanganan cedera medula spinalis terus dipelajari
baik dengan menggunakan sel punca eksogen, seperti sel stroma mesenkim dan olfactory
ensheating glial cells, maupun dengan memanipulasi sel punca endogen.
Pembedahan merupakan dan akan tetap menjadi pilihan utama dalam paradigma
penanganan cedera medula spinalis, tetapi waktu yang tepat untuk melakukan operasi
dekompresi masih menuai banyak kontroversi.
Untuk kondisi medis di mana kesembuhan belum tersedia, seperti cedera medula spinalis,
deteksi dari faktor resiko, implementasi program preventif, dan identifikasi dari subjek yang
potensial terkait merupakan relevansi yang penting. Studi epidemiologis dengan follow up
jangka panjang memberikan kontribusi ke dalam hal ini dengan memberikan gambaran perkiraan
dari insidensi dan prevalensi, mengidentifikasi faktor resiko, memberikan gambaran
kecenderungan, dan memprediksi keperluan di masa yang akan datang.
Cauda Equina Syndrome

A. Definisi

Cauda equina syndrome (CES) merupakan kumpulan gejala yang timbul akibat
penekanan (kompresi) radiks saraf spinalis yang membentuk cauda equina . Memiliki tanda-
tanda klinis yang sering diistilahkan sebagai red flag symptoms sebagai berikut :

1) Nyeri hebat pada punggung bawah (Low back pain / LBP)


2) Sciatica : seringkali bilateral , kadang-kadang tidak ada gejala sciatica sama sekali ,
terutama pada kasus protrusi diskus pada level L5/S1 dengan sekuesterasi inferior
3) Gangguan sensorik didaerah saddle atau didaerah genitalia .
Disfungsi seksual, gangguan fungsi kandung kemih dan peristaltik usus
B. Etiologi

CES paling sering di sebabkan oleh herniasi diskus derajat berat, prolaps maupun
sekuesterasi diskus intervertebralis lumbal bagian bawah. Prolaps ringan pada diskus
intervertebralis yang di sertai dengan stenosis kanalis spinal juga dapat menyebabkan CES.
Kondisi patologis yang lain yang dapat menyebabkan CES antara lain:

1. Hematoma epidural
2. Infeksi
3. Neoplasma primer atau metastasis
4. Trauma
5. Komplikasi pasca operasi
6. Pasca kemonukleosis
7. Manipulasi chiropratic
8. Setelah prosedur anastesi spinal
9. Ankylosing spondylitis
10. Luka tembak
11. Konstipasi
C. Patogenesis Molekuler
Serotinin mungkin memegang peranan dalam siklus kompresi nerve root. Dalam keadaan
normal serotinin memiliki efek vasodilatasi pada nerve root yang sehat. Pada nerve root yang
terkompresi secara kronis, akan timbul efek vasokonstriksi terhadap serotonin. Penelitian yang
dilakukan Sekiguchi dkk pada hewan percobaan menunjukkan disfungsi sel endotel yang
diinduksi oleh serotonin, yang akan mengakibatkan konstriksi pembuluh darah pada kompresi
yang berlangsung kronis. Penelitian mendapati bahwa kompresi ringan pada cauda equina akan
menginduksi tumor necrosis factor alfa (TNFalfa) dan demyelinisasi, yang berhubungan dengan
invasi makrofag.
Hipotesis yang menyatakan kerusakan pada nerve root akan menyebabkan kerusakan
pada nerve-blood barrier. Protein yang memasuki saraf spinalis sentral akan menjadi suatu
antigen yang akan mengakibatkan reaksi autoimun. Mekanisme ini yang diduga memegang
peranan pada siklus degenerasi Wallerian pada serabut saraf.
Terjadinya reaksi auto imun yang sama pada proses demyelinisasi dan degenerasi yang
diakibatkan kompresi saraf. Degenerasi axonal disertai reaktivitas imun TNF-alfa terjadi dengan
meningkatnya kompresi pada cauda equina, dengan dampak peningkatan sel makrofag.

D. Diagnosis

1. Foto Rontgen Polos

Foto Rontgen polos umumnya merupakan pemeriksaan radiologis pertama pada kasus
menyangkut kelainan tulang belakang. Tetapi pada kasus dengan sangkaan cauda equina
syndroma, kegunaanya sangat minimal. Foto polos sangat bermanfaat pada kasus trauma,
listhesis maupun degenerasi diskus tetapi sangat buruk dalam memvisualisasikan kompresi
spinal cord dan nerve root maupun herniasi diskus(yang cukup sering menyertai CES)

2. Pemeriksaan Myelografi

Pemeriksaan myelografi secara historis cukup penting dalam mengevaluasi kompresi


saraf tapi mengingat prosedur ini bersifat invasif dengan sensitifitas dan spesifitas yang lebih
rendah dibanding MRI dan CT myelografi , pemeriksaan ini semakin jarang digunakan.

3. Pemeriksaan elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik terdiri dari pemeriksaan elektromylografi (EMG), nerve
conductio velocities, dan somatosensory-evoked potensials. Dengan semakin berkembangnya
tehnik pencitraan , pemeriksaan elektrodiagnostik pada saat ini tidak dilakukan lagi secara rutin,
teruma pada kasus dengan sangkaan spinal stenosis.Pemeriksaan elektrodiagnostikterutma masih
diperlukan padakelainan neurodegeneratif ataupun kelainan neuro muskular yang secara klinis
menyerupai gambaran spinal stenosis.

a) Pemeriksaan EMG

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengevaluasi fungsi fisiologi lower motor neuron.
Pemeriksaan ini tidak mengevaluasi abdormalitas sensorik ataupun kelainan upper motor
neuron. Jika pasokan saraf ke otot terganggu akibat kerusakan pada sel ventral horn, nerve root
atau saraf perifer, makan otot tersebut akan mengalami denervasi dan memiliki gambaran EMG
yang khas. Pemeriksaan EMG tidak dapat memprediksi outcome pembedahan maupun level
dekompresi.

b) Pemeriksaan electromyelography atau disebut juga neve conduction velocities

Pemeriksaan electromyelography atau disebut juga neve conduction velocities mengukur


efek hantaran saraf pada otot, tetapi tidak memberikan informasi kecepatan perjalanan hantaran
saraf tersebut. Pemeriksaan ini adalah test yang secara akurat menentukan waktu yang
dibutuhkan terhadap implus saraf dalam hitungan meter per detik. Merupakan suatu pemeriksaan
yang berguna dalam membedakan neuropati perifer dengan radikulopati.

4. Pemeriksaan MRI

MRI merupakan modalitas pemeriksaan standar pada kasus sangkaan CES. Pemeriksaan
ini dapat digunakan untuk evaluasi patologi instrinsik maupun penyebab ekstrinsik penekanan
saraf ( misalnya tumor, herniasi diskus, hematom ataupun infeksi.) Pemberiaan zat kontras akan
memberikan detail yang lebih terperinci.
Gambar 1. Penampang axial dan sagital cauda equine pada pemeriksaan MRI. Dikutip
dari Dr Clare Fowler MB, BS, MSc, FRCP. Consultant Uro-Neurologist. National Hospital for
Neurology and Neurosurgery, Queen Square, London WC1N. Available at :
http://www.oldcity.org.uk/cauda_equina/about.php on 11/04/2014

5. Pemeriksaan Kandung Kemih


Pemeriksaan kandung kemih terkadang bermanfaat pada kasus CES. Tetapi efektifitasnya
sebagai alat diagnostic dan progostik masih di pertanyakan. Pusat miksi pada spinal cord berada
setentang level s2-s4 (atau secara anaomi setentang L1) . Volume residual diatas 100 ml
meningkatkan kecurigaan terjadinya retensio urin.

a. Penatalaksanaan

1. Operatif

Waktu pembedahan yang paling ideal (timing of surgery) pada kasus cauda equine
syndrome merupakan hal mendasar yang masih menimbulkan perdebatan. Sebagian ahli
menganjurkan tindakan dekompresi darurat merupakan protokol mutlak dan memegang peranan
paling penting dalam perbaikan outcome penderita..Beberapa ahli juga menganjurkan agar
dekompresi dilakukan minimal dalam 24 jam, terutama jika didapati manifestasi klinis anesthesia
perianal komplit dan gangguan sfingter ani yang bermakna.

2. Prosedur Pembedahan

Pada saat ini tindakan pembedahan yang paling banyak dianut pada kasus cauda equine
syndrome adalah laminectomy luas dan dekompresi ekstensif disertai foraminotomy bila
diperlukan (terutama pada kasus kanalis stenosis), hal ini mengingat CES cukup sering terjadi
sekunder diakibatkan herniasi diskus dengan defek bulging berukuran besar. Beberapa ahli juga
menganjurkan tindakan disectomy agresif setelah dilakukan dekompresi.
Teknik laminotomy / hemilaminectomy dengan microdiscectomy juga telah dilaporkan
dalam literature. Tetapi teknik ini tidak direkomendasikan mengingat resiko traksi berlebihan
pada thecal sac dan kemungkinan cedera nerve root pada saat dilakukan dekompresi dengan
dampak kecenderungan perburukan neurologis pasca operasi.

3. Terapi Konservatif

Mencakup pemberian anti inflamasi dan terapi vasodilator. Mekanisme anti inflamasi
preparat steroid adalah melalui inhibisi cytokine, lipid peroksidase dan hidrolisis. Anti inflamasi
non steroid menghambat enzim cyclo-oxygenase. Pemberian methylprednisolon sebelum dan
sesudah tindakan laminectomy akan menghambat adhesifitas cauda equina. Pemberian steroid
pada kasus cauda equina symdrome akan secara tepat mengurangi berat nyeri.
Tumor Otak

A. TUMOR OTAK

1. Definisi

Neoplasma merupakan setiap pertumbuhan sel-sel baru dan abnormal; secara khusus
dapat diartikan sebagai suatu pertumbuhan yang tidak terkontrol dan progresif. Neoplasma ganas
dibedakan dengan neoplasma jinak; neoplasma ganas menunjukan derajat anaplasia yang lebih
besar dan mempunyai sifat invasi serta metastasis. Brain tumor merupakan neoplasma, baik yang
jinak maupun ganas, dan lesi-lesi desak ruang yang lain, yang berasal dari inflamasi kronik yang
tumbuh dalam otak, meningen atau tengkorak ( David Ovedoff, (2002
2. Etiologi

Penyebab tumor hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti, walaupun telah
banyak penyelidikan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor yang perlu ditinjau, yaitu :

1) Herediter

Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan kecuali pada
meningioma, astrositoma dan neurofibroma dapat dijumpai pada anggota-anggota sekeluarga.
Sklerosis tuberose atau penyakit Sturge-Weber yang dapat dianggap sebagai manifestasi
pertumbuhan baru, memperlihatkan faktor familial yang jelas. Selain jenis-jenis neoplasma
tersebut tidak ada bukti-buakti yang kuat untuk memikirkan adanya faktor-faktor hereditas yang
kuat pada neoplasma.

2) Sisa-sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest)

Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-bangunan yang


mempunyai morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam tubuh. Tetapi ada kalanya sebagian
dari bangunan embrional tertinggal dalam tubuh, menjadi ganas dan merusak bangunan di
sekitarnya. Perkembangan abnormal itu dapat terjadi pada kraniofaringioma, teratoma
intrakranial dan kordoma.
3) Radiasi

Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat mengalami perubahan
degenerasi, namun belum ada bukti radiasi dapat memicu terjadinya suatu glioma. Pernah
dilaporkan bahwa meningioma terjadi setelah timbulnya suatu radiasi.

4) Virus

Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil dan besar yang dilakukan
dengan maksud untuk mengetahui peran infeksi virus dalam proses terjadinya neoplasma, tetapi
hingga saat ini belum ditemukan hubungan antara infeksi virus dengan perkembangan tumor
pada sistem saraf pusat.

5) Substansi-substansi Karsinogenik

Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dan luas dilakukan. Kini telah
diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik seperti methylcholanthrone, nitroso-ethyl-urea.
Ini berdasarkan percobaan yang dilakukan pada hewan—-

3. Faktor Resiko
Penyebab dari brain tumor belum dapat diketahui secara pasti, walaupun genetik dan
factor lingkungan dapat berperan dalam perkembangannya. Faktor resiko meliputi :

a) Faktor Genetik
Faktor keturunan memainkan peran yang kecil dalam penyebab brain tumor. Dibawah
5% penderita glioma mempunyai sejarah keluarga yang menderita brain tumor.
b) Faktor Faktor Lingkungan
Prior cranial irradiation adalah satu-satunya yang beresiko menyebabkan neoplasma
intrakranial.
c) Karakteristik Gaya Hidup
Brain tumor tidak berhubungan dengan gaya hidup seperti merokok, dan minuman
beralkohol. Etiologi berdasarkan gambaran histopatologi,klasifikasi tumor otak yang penting dari
segi klinis, dapat dilihat dibawah ini :

4. Patofisiologi
Brain tumor menunjukan gejala dan tanda baik spesifik maupun nonspesifik.

a) Gejala dan tanda nonspesifik


Meliputi sakit kepala, yang ditemukan pada sekitar separuh pasien, mual dan muntah
yang disebabkan oleh bertambahnya tekanan intracranial. Karena semakin berkembangnya
kemampuan CT Scan dan MRI, sekarang papiledema dapat dilihat pada kurang dari 10%
pasien, bahkan ketika symptoms tekanan intracranial meningkat.
b) Gejala dan tanda spesifik
Biasanya menunjukan pada keterangan lokasi intracranial tumor. Tanda-tanda lateral,
meliputi hemiparesis, aphasia, dan visual-field deficits nampak pada sekitar 50% pasien.
Kejang, merupakan gejala yang biasa nampak, terjadi pada sekitar 25% pasien dengan high-
grade glioma dan pada sekurangnya 50% dengan low-grade tumor. Seizure dapat terjadi pada
keseluruhan maupun parsia

Patofisiologi tumor otak yang berhubungan dengan lokasi:


Lobus frontal
a) Menimbulkan gejala perubahan kepribadian
b) Bila tumor menekan jaras motorik menimbulkan hemiparese kontra lateral, kejang fokal
c) Bila menekan permukaan media dapat menyebabkan inkontinentia
d) Bila tumor terletak pada basis frontal menimbulkan sindrom foster kennedy
e) Pada lobus dominan menimbulkan gejala afasia

Lobus parietal
a) Dapat menimbulkan gejala modalitas sensori kortikal hemianopsi homonym
b) Bila terletak dekat area motorik dapat timbul kejang fokal dan pada girus angularis
menimbulkan gejala sindrom gerstmann’s
Lobus temporal
a) Akan menimbulkan gejala hemianopsi, bangkitan psikomotor, yang didahului dengan
aura atau halusinasi
b) Bila letak tumor lebih dalam menimbulkan gejala afasia dan hemiparese
c) Pada tumor yang terletak sekitar basal ganglia dapat diketemukan gejala choreoathetosis,
parkinsonism
Lobus oksipital
a) Menimbulkan bangkitan kejang yang dahului dengan gangguan penglihatan
b) Gangguan penglihatan yang permulaan bersifat quadranopia berkembang menjadi
hemianopsia, objeckagnosia
Tumor di ventrikel ke III
a) Tumor biasanya bertangkai sehingga pada pergerakan kepala menimbulkan obstruksi dari
cairan serebrospinal
b) Terjadi peninggian tekanan intrakranial mendadak, pasen tiba-tiba nyeri kepala,
penglihatan kabur, dan penurunan kesadaran
Tumor di cerebello pontin angie
a) Tersering berasal dari N VIII yaitu acustic neurinoma
b) Dapat dibedakan dengan tumor jenis lain karena gejala awalnya berupa gangguan fungsi
pendengaran
c) Gejala lain timbul bila tumor telah membesar dan keluar dari daerah pontin angel

Tumor Hipotalamus
a) Menyebabkan gejala TTIK akibat oklusi dari foramen Monroe
b) Gangguan fungsi hipotalamus menyebabkan gejala: gangguannperkembangan seksuil
pada anak-anak, amenorrhoe,dwarfism, gangguan cairan dan elektrolit, bangkitan
Tumor Cerebelum
a) Umumnya didapat gangguan berjalan dan gejala TTIK akan cepat terjadi disertai dengan
papil udem
b) Nyeri kepala khas didaerah oksipital yang menjalar keleher dan spasme dari otot-otot
servikal
Tumor fosa posterior
Diketemukan gangguan berjalan, nyeri kepala dan muntah disertai dengan nystacmus,
biasanya merupakan gejala awal dari medulloblastoma

5. Diagnosis

a) Gejala Klinis
Tumor otak merupakan penyakit yang sukar terdiagnosa secara dini, karena pada awalnya
menunjukkan berbagai gejala yang menyesatkan dan eragukan tapi umumnya berjalan progresif.

Manifestasi klinis tumor otak dapat berupa:


1. Gejala serebral umum, nyeri kepala, kejang
2. Gejala tekanan tinggi intrakranial
3. Gejala tumor otak yang spesifik
4. Gejala serebral umum

Dapat berupa perubahan mental yang ringan (Psikomotor asthenia), yang dapat dirasakan
oleh keluarga dekat penderita berupa: mudah tersinggung, emosi, labil, pelupa, perlambatan
aktivitas mental dan sosial, kehilangan inisiatif dan spontanitas, mungkin diketemukan ansietas
dan depresi. Gejala ini berjalan progresif dan dapat dijumpai pada 2/3 kasus.

Nyeri Kepala
Sifat nyeri kepala bervariasi dari ringan dan episodik sampai berat dan berdenyut,
umumnya bertambah berat pada malam hari dan pada saat bangun tidur pagi serta pada keadaan
dimana terjadi peninggian tekanan tinggi intrakranial.
Muntah
Terdapat pada 30% kasus dan umumnya meyertai nyeri kepala. Lebih sering dijumpai
pada tumor di fossa posterior, umumnya muntah bersifat proyektif dan tak disertai dengan mual.
Kejang
Bangkitan kejang dapat merupakan gejala awal dari tumor otak pada 25% kasus, dan
lebih dari 35% kasus pada stadium lanjut. Diperkirakan 2% penyebab bangkitan kejang adalah
tumor otak.
Perlu dicurigai penyebab bangkitan kejang adalah tumor otak
bila:
1. Bagkitan kejang pertama kali pada usia lebih dari 25 tahun
2. Mengalami post iktal paralisis
3. Mengalami status epilepsi
4. Resisten terhadap obat-obat epilepsi
5. Bangkitan disertai dengan gejala TTIK lain
6. Bangkitan kejang ditemui pada 70% tumor otak dikorteks, 50% pasen dengan astrositoma,
40% pada pasen meningioma, dan 25% pada glioblastoma.

b) Pemeriksaan Penunjang
1) CT-scan dan MRI untuk melihat seberapa luas derajat tumor
2) EEG untuk melihat aktivitas listrik pada otak
3) Angiografi dan mielogram

7. Penatalaksanaan
Pengobatan pada brain tumor dapat berupa initial supportive dan definitive therapy.

a) Supportive Therapy
Supportive treatment berfokus pada meringankan gejala dan meningkatkan fungsi
neuroligik pasien. Supportive treatment yang utama digunakan adalah anticonvulsants dan
corticosteroid.

1) Anticonvulsants
Anticonvulsants diberikan pada pasien yang menunjukan tanda-tanda seizure.
Phenytoin (300-400mg/d) adalah yang paling umum digunakan, tapi carbamazepine
(600-1000mg/h), Phenobarbital (90-150mg/h), dan valproic acid (750-1500mg/h) juga
dapat digunakan.

2) Corticosteroids
Corticosteroid mengurangi edema peritumoral dan mengurangi tekanan
intrakranial.Efeknya mengurangi sakit kepala dengan cepat. Dexamethasone adalah
corticosteroid yang dipilih karena aktivitas mineralocorticoid yang minimal. Dosisinya
dapat diberikan mulai dari 16 mg/h, tetapi dosis ini dapat ditambahkan maupun dikurangi
untuk mencapai dosis yang dibutuhkan untuk mengontrol gejala neurologik.

b) Definitive Therapy
Definitive treatment intracranial tumor meliputi pembedahan, radiotherapy, kemoterapi
dan yang sedang dikembangkan yaitu immunotherapy.

1) Pembedahan
Berbagai pilihan pembedahan telah tersedia, dan pendekatan pembedahan yang dipilih
harus berhati-hati untuk meminimalisir resiko deficit neurologic setelah operasi. Tujuan
pembedahan :
(1) menghasilkan diagnosis histologic yang akurat,
(2) mengurangi tumor pokok,
(3) memberikan jalan untuk CSF mengalir,
(4) mencapai potensial penyembuhan.

2) Terapi Radiasi
Terapi radiasi memainkan peran penting dalam pengobatan brain tumor pada orang
dewasa. Terapi radiasi adalah terapi nonpembedahan yang paling efektif untuk pasien dengan
malignant glioma dan juga sangat penting bagi pengobatan pasien dengan low-grade glioma.

a) Kemoterapi
Kemoterapi hanya sedikit bermanfaat dalam treatment pasien dengan malignant glioma.
Kemoterapi tidak memperpanjang rata-rata pertahanan semua pasien, tetapi sebuah subgroup
tertentu nampaknya bertahan lebih lama dengan penambahan kemoterapi dan radioterapi.
Kemoterapi juga tidak berperan banyak dalam pengobatan pasien dengan lowgrade
astrocytoma. Sebaliknya, kemoterapi disarankan untuk pengobatan pasien dengan
oligodendroglioma.
b) Imunoterapi
Imunoterapi merupakan pengobatan baru yang masih perlu diteliti lebih lanjut. Dasar
pemikiran bahwa sistem imun dapat menolak tumor, khususnya allograft, telah
didemonstrasikan lebih dari 50 tahun yang lalu. Hal itu hanya sebuah contoh bagaimana
sistem imun dapat mengendalikan pertumbuhan tumor. Tumor umumnya menghasilkan level
protein yang berbeda (dibandingkan protein normal) disekitar jaringan, dan beberapa protein
mengandung asam amino substitusi atau deletions, atau mengubah phosphorylation atau
glycosylation. Beberapa perubahan protein oleh tumor sudah mencukupi bagi sistem imun
untuk mengenal protein yang dihasilkan tumor sebagai antigenik, dan memunculkan imun
respon untuk melawan protein-protein tersebut.

8. Pemeriksaan
Pemeriksaan Penunjang
Setelah diagnosa klinik ditentukan, harus dilakukan pemeriksaan yang spesifik untuk
memperkuat diagnosa dan mengetahui letak tumor.
1. Elektroensefalografi (EEG)
2. Foto polos kepala
3. Arteriografi
4. Computerized Tomografi (CT Scan)
CT Scan adalah pemeriksaan yang menggunakan sinar-X dan dengan penggunaan
komputer yang akan menghasilkan gambar organ-organ tubuh manusia. CT Scan dapat
digunakan apabila MRI tidak tersedia. Namun, low-grade tumor pada posterior fossa dapat
terlewatkan oleh CT Scan.
5. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Diagnosis terbaik pada brain tumor adalah dengan penggunaan cranial MRI. MRI harus
menjadi pemeriksaan pertama pada pasien dengan tanda dan gejala kelainan pada
intracranial. MRI menggunakan magnetic field bertenaga untuk menentukan nuclear
magnetic spin dan resonansi yang tepat pada sebuah jaringan bervolume kecil. Jaringan
yang berbeda memiliki nuclear magnetic spin dan resonansi yang berbeda pula.

Gambaran CT-Scan Tumor Otak Benigna


CT Scan merupakan alat diagnostik yang penting dalam evaluasi pasen yang diduga
menderita tumor otak. Sensitifitas CT Scan untuk mendeteksi tumor yang berpenampang kurang
dari 1 cm dan terletak pada basis kranil. Gambaran CT Scan pada tumor otak, umumnya tampak
sebagai lesi abnormal berupa massa yang mendorong struktur otak disekitarnya. Biasanya tumor
otak dikelilingi jaringan udem yang terlihat jelas karena densitasnya lebih rendah. Adanya
klasifikasi, perdarahan atau invasi mudah dibedakan dengan jaringan sekitarnya karena sifatnya
yang hiperdens. Beberapa jenis tumor akan terlihat lebih nyata bila pada waktu pemeriksaan CT
Scan disertai dengan pemberian zat kontras.

Penilaian CT Scan pada tumor otak:


1. Tanda proses desak ruang:
a) Pendorongan struktur garis tengah itak
b) Penekanan dan perubahan bentuk ventrikel
2. Kelainan densitas pada lesi: hipodens, hiperdens atau kombinasi, kalsifikasi, perdarahan
3. Udem perifokal
Tumor Medulla Spinalis

1. Definisi

Tumor Medulla Spinalis adalah tumor yang berkembang dala tulang belakang atau isinya
dan biasanya menimbulkan gejala-gejala karena keterlibatan medulla spinalis atau akar-akar
saraf. (Price, Sylvia Anderson,1995).
Tumor medulla spinalis adalah lesi massa yang menganggu medulla spinalis yang terdiri
dari tumor ekstra meduler dan intra meduler. (Setyanegara,1998)

2. Etiologi

Patogenesis dari neoplasma medula spinalis belum diketahui, tetapi kebanyakan muncul
dari pertumbuhan sel normal pada tempat tersebut. Riwayat genetik terlihat sangat berperan
dalam peningkatan insiden pada keluarga tertentu atau syndromic group (neurofibromatosis).
Astrositoma dan neuroependymoma merupakan jenis yang tersering pada pasien dengan
neurofibromatosis tipe 2, yang merupakan kelainan pada kromosom 22. Spinal
hemangioblastoma dapat terjadi pada 30% pasien dengan von hippel-lindou syndrome
sebelumnya,yang merupakan abnormalitas dari kromosom 3.

3. Faktor Resiko

Faktor Resiko tumor dapat terjadi pada setiap kelompok Ras, insiden meningkat seiring
dengan pertambahan usia, faktor resiko akan meningkat pada orang yang terpajan zat kimia
tertentu (Okrionitil, tinta, pelarut, minyak pelumas), namun hal tersebut belum bisa dipastikan.
Pengaruh genetik berperan serta dalam tibulnya tumor, penyakit sklerosis TB dan penyakit
neurofibomatosis.

4. Patofisiologi

Patofisiologi dari tumor pada aksis spinal tergantung dari fungsi pada daerah anatomis
yang terkena. Tumor medulla spinalis dapat menyebabkan gejala lokal dan distal dari segmen
spinal yang terkena ( melalui keterlibatan traktus sensorik dan motorik pada medula spinalis.)
akibat organisasi anatomik dalam medula spinalis, maka kompresi lesi-lesi diluar medula spinalis
biasanya menimbulkan gejala dibawah tingkat lesi. Tingkat gangguan sensorik naik secara
berangsur-angsur bersama dengan meningkatnya kompresi, dan melibatkan daerah yang lebih
dalam. Lesi yang terletak jauh didalam medula apinalis mungkin tidak menyerang serabut-
serabut yang terletak sperfisial, dan hanya menimbulkan disosiaasi sensorik, yaitu sensasi nyeri
dan suhu yang hilang, dan sensasi raba yang masih utuh. Kompresi medula spinalis akan
mengakibatkan ataksia karena mengganggu sensasi posisi.

Gambaran klinik pada tumor medulla spinalis sangat ditentukan oleh lokasi serta posisi
pertumbuhan tumor dalam kanalis spinalis.

5. Diagnosis

Diagnosis tumor medula spinalis diambil berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan
fisis serta penunjang. Tumor ekstradural mempunyai perjalanan klinis berupa fungsi medula
spinalis akan hilang sama sekali disertai Kelemahan spastik dan hilangnya sensasi getar dan
posisi sendi dibawah tingkat lesi yang berlangsung cepat. Pada pemeriksaan radiogram tulang
belakang, sebagian besar penderita tumor akan memperlihatkan gejala osteoporosis atau
kerusakan nyata pada pedikulus dan korpus vertebra. Myelogram dapat memastikan letak tumor.

Pemeriksaan diagnostik secara umum dapat dilakukan :

A. CT. Scan
B. MRI
Tumor Ekstradural
1) Radiogram tulang belakang
Akan memperlihatkan osteoporosis atau kerusakan nyata pada korpus vertebra dan
pedikel

2) Myelogram
Memastikan lokalisasi tumor
3) Pemeriksaan LCS
Akan memperlihatkan peningkatan kadar protein dan kadar glukosa yang normal

Tumor Intradural
1) Radiogram tulang punggung memperlihatkan pembesaran foramen dan penipisan
pedikel yang berdekatan
2) Myelogram
Menentukan lokalisasi yang cepat

a) Radiologi

Modalitas utama dalam pemeriksaan radiologis untuk mediagnosis semua tipe tumor
medula spinalis adalah MRI. Alat ini dapat menunjukkan gambaran ruang dan kontras pada
struktur medula spinalis dimana gambaran ini tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan yang lain.
Tumor pada pembungkus saraf dapat menyebabkan pembesaran foramen intervertebralis.
Lesi intra medular yang memanjang dapat menyebabkan erosi atau tampak berlekuk-lekuk
(scalloping) pada bagian posterior korpus vertebra serta pelebaran jarak interpendikular.
Mielografi selalu digabungkan dengan pemeriksaan CT. tumor intradural-ekstramedular
memberikan gambaran filling defect yang berbentuk bulat pada pemeriksaan myelogram. Lesi
intramedular menyebabkan pelebaran fokal pada bayangan medula spinalis.

Gambar 3, gambaran MRI tumor medula spinalis (intradural intramedular)


Gambar 4, gambaran MRI tumor intradural ekstramedular

b) CSF (Cerebrospinal Fluid)

Pada pasien dengan tumor spinal, pemeriksaan CSS (cairan serebrospinal) dapat
bermanfaat untuk differensial diagnosis ataupun untuk memonitor respon terapi. Apabila terjadi
obstruksi dari aliran CSS sebagai akibat dari ekspansi tumor, pasien dapat menderita
hidrosefalus. Punksi lumbal harus dipertimbangkan secara hati- hati pada pasien tumor medula
spinalis dengan sakit kepala (terjadi peninggian tekasan intrakranial).
Pemeriksaan CSS meliputi pemeriksaan sel-sel malignan (sitologi), protein dan glukosa.
Konsentrasi protein yang tinggi serta kadar glukosa dan sitologi yang normal didapatkan pada
tumor-tumor medula spinalis, walaupun apabila telah menyebar ke selaput otak, kadar glukosa
didapatkan rendah dan sitologi yang menunjukkan malignansi. Adanya xanthocromic CSS
dengan tidak terdapatnya eritrosit merupakan karakteristik dari tumor medula spinalis yang
menyumbat ruang subarachnoid dan menyebabkan CSS yang statis pada daerah kaudal tekal sac.

6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan untuk sebagian besar tumor baik intramedular maupun ekstramedular


adalah dengan pembedahan. Tujuannya adalah untuk menghilangkan tumor secara total dengan
menyelamatkan fungsi neurologis secara maksimal. Terapi yang dapat dilakukan pada tumor
medulla spinalis adalah :
Pembedahan
Pembedahan sejak dulu merupakan terapi utama pada tumor medulla spinalis.
Pengangkatan yang lengkap dan defisit minimal post operasi, dapat mencapai 90% pada
ependymoma, 40% pada astrositoma dan 100% pada hemangioblastoma. Pembedahan juga
merupakan penatalaksanaan terpilih untuk tumor ekstramedular. Pembedahan, dengan tujuan
mengangkat tumor seluruhnya, aman dan merupakan pilihan yang efektif. Pada pengamatan
kurang lebih 8.5 bulan, mayoritas pasien terbebas secara keseluruhan dari gejala dan dapat
beraktifitas kembali.

Terapi radiasi
Tujuan dari terapi radiasi pada penatalaksanaan tumor medulla spinalis adalah untuk
memperbaiki kontrol lokal, serta dapat menyelamatkan dan memperbaiki fungsi neurologik.
Tarapi radiasi juga digunakan pada reseksi tumor yang inkomplit yang dilakukan pada daerah
yang terkena.

Kemoterapi
Penatalaksanaan farmakologi pada tumor intramedular hanya mempunyai sedikit
manfaat. Kortikosteroid intravena dengan dosis tinggi dapat meningkatkan fungsi neurologis
untuk sementara tetapi pengobatan ini tidak dilakukan untuk jangkawaktu yang lama. Walaupun
steroid dapat menurunkan edema vasogenik, obat-obatan ini tidak dapat menanggulangi gejala
akibat kondisi tersebut. Penggunaan steroid dalam jangka waktu lama dapat menyababkan ulkus
gaster, hiperglikemia dan penekanan system imun dengan resiko cushing symdrome dikemudian
hari. Regimen kemoterapi hanya meunjukkan angka keberhasilan yang kecil pada terapi tumor
medulla spinalis. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya sawar darah otak yang membatasi
masuknya agen kemotaksis pada CSS.

DAFTAR PUSTAKA
1. Adam RD, Victor M. Principles o fneurology.4th ed. New York: McGraw Hill,
1989:516-526
2. Sastrodiningrat, Abdul Gofar.2012.Neurosurgery Lecture Notes.Medan:USU Press
3. Sam Eljamel.2011. Problem Based Neurosurgery. USA: World Scientific Publishing
4. Roongroj Bhidayasiri,dkk. 2005. Neurological Differential Diagnosis.UK: Blackwell
Publishing

5. Ausman. Intra cranial neoplasma in AB Berker (ed.) Clinical neurology. Philadelphia:


Harper & Row, 1987:57-66
6. Berttolone SJ. Tumor of the central nervous system concepts in cancer medicine,
1982:649-659
7. Black PB. Brain tumor, review article. The NEJM 1991 (324):1471-1472
8. Clar HE et al. Classification otot-otot tumor in the sellar using CT and
Enchenphatomography. Neuro chir 1979 (22):153-157
9. Davis RL et al. Some limitation of computed tomography, in the diagnosis of the
neurologic disease. Am J Roentgenol 1978(127):111-123
10. Esccaurolle R. Manual of basic neuropatology. 2nd ed. Philadelphia:WB Sounders,
1978: 36-41
11. Gilroy J. Basic neurology. 2nd ed.. New York: pergamon, 1992:223-250
12. Guthrie BL. Neoplasm of the meningens, in Youmans JR (ed) Neurological Surgery.
Philadelphia:WB Sounders, 1990: 3250-3303
13. Ramsey RG. Neuroradiology with computed tomography. Philadelphia:WB
Sounders, 1981
14. Rowland LP. Merrits textbook of neurology.7th ed. Philadelphia:Lea & Febiger,
1984:217-241
15. Weisberg MD et al. Cerebral computed tomography, a text atlas. Philadelphia:WB
Sounders, 1984
16. Youmans JR. Neurological surgery. Philadelphia:WB Sounders, 1990, 2967-298
17. Adams RD. Principles of neurology. 6th ed vol.2 New York: McGraw Hill, 1997:
874-901
18. Andradi S. Simposium cedera kranio serebral, 199
19. Cohadon F. The concept of secondary damage inbrain trauma, in ischemia in
head injury. Proceedings of 10th Europe Congress of Neurosurgery,1995:1-7
20. Graham DI. Neuropathology of brain injury in neurology and trauma.nPhiladelphia :
WB Sounders, 1996: 53-90
21. Jenneth B. management of head ijnury. Philadelphia; FA Davis, 1981
22. Judson JA. Management of severe and multiple trauma, in TE Oh(ed). Sydney :
Butterworth, 1990: 422-426
23. Kelly DF. General principles of head injury management. New York: McGraw Hill,
1996
24. Marshall SB. Neuroscience and critical care, pathophysiology and management.
Philadelphia: WB Sounders, 1990: 169-213
25. Martin NA et al. Characterization of cerebral hemodynamic phase following sever head
trauma: hypoperfusion, hyperemia and vasospasm. J. neurosurgey, 1997(87): 9-19
26. Reilly P. Pathophysiology and management of severe close injury. London: Chapman &
Hall Medical, 1997
27. Robertson et al. Oxygen utilization and cardiovasculer function in head patients.
Neurosurgery 1996 (15):307-314
28. Teasdale G. Pathological and clinical evidence of ischemic brain damage in brain
trauma. London : Chapman & Hall Medical, 1995:21-29
29. Thomson WA. Severe head injury, in TEOH (ed) Sydney: Butterworth, 1990: 427-431

Anda mungkin juga menyukai