Anda di halaman 1dari 31

Anggi Pratiwi

1102016025

L.O 1. Memahami dan Menjelaskan Trauma Kepala


1.1 Definisi
 Menurut Brain Injury Assosiation of America tahun 2016, cedera kepala merupakan
kerusakan yang disebabkan oleh serangan ataupun benturan fisik dari luar, yang dapat
mengubah kesadaran yang dapat menimbulkan kerusakan fungsi kognitif maupun
fungsi fisik
 Trauma kapitis atau trauma kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala baik
secara langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis, yaitu gangguan fisik, kogntif, fungsi psikososial baik temporer maupun
permanen

1.2 Etiologi
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah karena
terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena disebabkan kecelakaan
secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan
perang merupakan penyebab utama trauma kepala (Langlois, Rut land-Brown, Thomas,
2006).

Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma kepala
yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat
inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per 100.000 populasi di Amerika
Serikat (Coronado, Thomas, 2007).

 Trauma kepala oleh karena kekerasan tumpul


 Trauma kepala oleh karena kekerasan tajam
 Trauma kepala akibat tembakan
 Trauma kepala oleh karena gerakan mendadak

1.3 Klasifikasi
1.4 Manifestasi Klinis
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
 Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
 Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
 Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
 Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
 Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan:


 Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh.
 Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan
 Mual atau dan muntah
 Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun
 Perubahan keperibadian diri
 Letargi

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat:


 Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak menurun
atau meningkat
 Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
 Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan)

1.5 Patofisiologi

Pada saat trauma terjadi, pertama sekali terjadi cedera primer oleh kerusakan mekanis yang
dapat berupa tarikan, robekan dan atau peregangan pada neuron, akson, sel glia dan
pembuluh darah. Cedera primer dapat bersifat fokal atau pun difus. Kebanyakan kasus cedera
primer langsung menyebabkan kematian sel neuron. Cedera primer bersamaan dengan
perubahan metabolik dan seluler memicu kaskade biokimia, menyebabkan gelombang
sekunder atau cedera sekunder. Hal ini berlangsung dari menit-menit awal terjadinya proses
trauma yang dapat berlangsung berhari-hari hingga berbulan-bulan dan menyebabkan
neurodegenerasi, dan memperparah cedera primer. 

Cedera sekunder merupakan penyebab utama meningkatnya tekanan intrakranial pada cedera
otak traumatik, dimana terjadi edema pada jaringan otak. Cedera sekunder terjadi pada lokasi
cedera dan jaringan sekelilingnya. Proses cedera sekunder terdiri dari: 
 Eksitoksisitas, neuron yang rusak mengeluarkan glutamat ke ruang ekstraseluler dan
menstimulasi reseptor N-methyl-d-aspartate (NMDA) dan α-amino-3-hydroxy-5-
methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA) berlebihan sehingga terjadi peningkatan
radikal bebas dan nitrit oksida dan faktor transkripsi untuk kematian sel
 Stres oksidatif yang disebabkan oleh adanya akumulasi Ca2+ intraseluler di dalam
mitokondria
 Disfungsi mitokondria, kerusakan oksidatif yang dimediasi oleh peroksida lemak
menyebabkan terganggunya rantai transpor elektron dan pembentukan ATP sehingga
memicu apoptosis sel
 gangguan pada sawar darah-otak, permeabilitas sawar darah-otak meningkat.
Akibatnya molekul besar hingga leukosit dapat masuk ke jaringan otak dan
menyebabkan tekanan osmosis jaringan otak meningkat
 Inflamasi, neuroinflamasi melibatkan sel imun, mikroglia, sitokin, faktor kemotaktik
yang mengeksaserbasi kematian sel neuron [1]

Sumber: Openi, 2014.

Gambar: Patofosiologi terjadinya neuroinflamasi yang dimediasi oleh mikroglia dan leukosit.


Pada cedera otak traumatik, leukosit menempel pada endotel, dimediasi oleh selektin dan
integrin lalu bermigrasi ke jaringan yang cedera. Mikroglia teraktivasi oleh trauma otak
menjadi bentuk amuboid lalu bermigrasi ke jaringan cedera. Mikroglia dan leukosit ini yang
akan memediasi terjadinya inflamasi yang mengeksaserbasi kematian sel neuron.

1.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding


Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002) antara lain:
1. Pemeriksaan kesadaran
Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale
(GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga pengukuran, yaitu:
pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari masing-masing komponen
dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS. Nilai terendah adalah 3 sedangkan nilai
tertinggi adalah 15.
Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi:
• GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat
• GCS 9 – 13 : cedera kepala sedang
• GCS > 13 : cedera kepala ringan

Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali pengukuran,
tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat kesadaran dan dengan
melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai apakah terjadi perkembangan ke arah
yang lebih baik atau lebih buruk.

Tabel Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale)


Respon membuka mata (E) Nilai
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon verbal (V) Nilai


Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon motorik (M) Nilai


Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1

2. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Perbedaan
diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal. Pupil yang terfiksir
untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon
yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala.

3. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus,
kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.
(sumber; Greaves dan Johnson, 2002)

4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak


Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman leaserasi dan
ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk
menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar.

Prosedur Imaging dalam Diagnosa Trauma Kapitis


a. X-ray Tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau
rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa
mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat
digunakan bila CT scan tidak ada (State of Colorado Department of Labor and
Employment, 2006).

b. CT-Scan
Penemuan awal computed tomography scanner (CT Scan) penting dalam memperkirakan
prognosa cedera kepala berat (Alberico dkk, 1987 dalam Sastrodiningrat, 2007). Suatu CT
scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat
berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih
baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal.

Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif normal
akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkatan TIK dan dapat
berkembang lesi baru pada 40% dari penderita (Roberson dkk, 1997 dalam Sastrodiningrat,
2007). Di samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena
kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di
sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk
(Sastrodiningrat, 2007).

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa. MRI
mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada
pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer,
atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk
untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan
intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk., 1983 dalam Sastrodiningrat, 2007).

Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru


pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera
Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya
dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan
adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di
dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya
sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan
gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan (Cecil dkk, 1998 dalam
Sastrodiningrat, 2007).

1.7 Tatalaksana
Penanganan pertama kasus cidera kepala di UGD:
Pertolongan pertama dari penderita dengan cidera kepala mengikuti standart yang telah
ditetapkan dalam ATLS (Advanced trauma life support) yang meliputi, anamnesa sampai
pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan pemeriksaan fisik meliputi:
 Airway
 Breathing
 Circulasi
 Disability

Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan cara:


 Kepala miring, buka mulut, bersihkan muntahan darah, adanya benda asing
 Perhatikan tulang leher, immobilisasi, cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi
atauipun rotasi.
 Semua penderita cidera kepala yang tidak sadar harus dianggap disertai cidera
vertebrae cervikal sampai terbukti sebaliknya, maka perlu dipasang collar brace.

Jika sudah stabil tentukan saturasi oksigen minimal saturasinya diatas 90 %, Jika tidak
usahakan untuk dilakukan intubasi dan suport pernafasan.

Setelah jalan nafas bebas sedapat mungkin pernafasannya diperhatikan frekuensinya normal
antara 16 – 18 X/menit, dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas lakukan nafas
buatan, kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO 2 antara 28 –
35 mmHg karena jika lebih dari 35 mm Hg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat terjadinya
edema serebri sedangkan jika kurang dari 20 mm Hg akan menyebabkan vaso konstriksi yang
berakibat terjadinya iskemia., periksa tekanan oksigen (PO2) 100 mmHg jika kurang beri
Oksigen masker 8 liter/ menit.
Pada pemeriksaan sistem sirkulasi:
 Periksa denyut nadi/jantung, jika (-) lakukan resusitasi jantung.
 Bila shock (tensi < 90 dan nadi > 100 atasi dengan infus cairan RL, cari sumber
perdarahan ditempat lain, karena cidera kepala single pada orang dewasa hampir
tidak pernah menimbulkan shock. Terjadinya shock pada cidera kepala
meningkatkan angka kematian 2 X
 Hentikan perdarahan dari luka terbuka

Pada pemeriksaan disability / kelainan kesadaran:


 Periksa kesadaran: memakai Glasgow Coma Scale
 Periksa kedua pupil bentuk dan besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya
langsung maupun konsensual / tidak langsung
 Periksa adanya hemiparese/plegi
 Periksa adanya reflek patologis kanan kiri
 Jika penderita sadar baik tentukan adanya gangguan sensoris maupun fungsi luhur
misal adanya aphasia

Setelah fungsi vital stabil (ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara
melakukan sekunder survey/ pemeriksaan tambahan seperti Skull foto, foto thorax, foto
pelvis, CT Scan dan pemeriksaan tambahan yang lain seperti pemeriksaan darah
(pemeriksaan ini sebenarnya dikerjakan secara stimultan dan seksama).

I. CEDERA KEPALA RINGAN (GCS = 14-15)


 Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit
kepala hebat.
3 % penderita CK. Ringan ditemukan fraktur tengkorak

 Klinis:
a. Keadaan penderita sadar
b. Mengalami amnesia yang berhubungna dengan cedera yang dialaminya
c. Dapat disertai dengan hilangnya kesadaran yang singkat
Pembuktian kehilangan kesadaran sulit apabila penderita dibawah pengaruh
obat-obatan / alkohol.
d. Sebagain besar penderita pulih sempurna, mungkin ada gejala sisa ringan

 Fractur tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun indikasi
adanya fractur dasar tengkorak meliputi:
a. Ekimosis periorbital
b. Rhinorea
c. Otorea
d. Hemotimpani
e. Battle’s sign

 Penilaian terhadap Foto ronsen meliputi:


a. Fractur linear/depresi
b. Posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah
c. Batas udara – air pada sinus-sinus
d. Pneumosefalus
e. Fractur tulang wajah
f. Benda asing

 Pemeriksaan laboratorium:
a. Darah rutin tidak perlu
b. Kadar alkohol dalam darah, zat toksik dalam urine untuk diagnostik /
medikolagel

 Therapy:
a.Obat anti nyeri non narkotik
b. Toksoid pada luka terbuka

 Penderita dapat diobservasi selama 12 – 24 jam di Rumah Sakit

II. CEDERA KEPALA SEDANG (GCS = 9-13)


 Pada 10 % kasus:
 Masih mampu menuruti perintah sederhana
 Tampak bingung atau mengantuk
 Dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis

 Pada 10 – 20 % kasus:
 Mengalami perburukan dan jatuh dalam koma
 Harus diperlakukan sebagai penderita CK. Berat.

 Tindakan di UGD:
 Anamnese singkat
 Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis
 Pemeriksaan CT. scan

 Penderita harus dirawat untuk diobservasi

 Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat bila:


 Status neulologis membaik
 CT-scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang memerlukan
pembedahan
 Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan CK. Berat.

 Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya

III. CEDERA KEPALA BERAT (GCS 3-8)


 Kondisi penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun status
kardiopulmonernya telah distabilkan
 CK. Berat mempunyai resiko morbiditas sangat tinggi
 Diagnosa dan therapy sangat penting dan perlu dengan segara penanganan
 Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita CK. Berat harus dilakukan
secepatnya.

A. Primary survey dan resusitasi


Di UGD ditemukan:
 30 % hypoksemia (PO2 < 65 mmHg)
 13 % hypotensia (tek. Darah sistolik < 95 mmHg)  Mempunyai mortalitas 2
kali lebih banyak dari pada tanpa hypotensi
 12 % Anemia (Ht < 30 %)

1. Airway dan breathing


Sering terjadi gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian karena
terjadi apnoe yang berlangsung lama
Intubasi endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan penderita cedera
kepala berat dengan memberikan oksigen 100 %
Tindakan hyeprveltilasi dilakukan secara hati-hati untuk mengoreksi
sementara asidosis dan menurunkan TIK pada penderita dengan pupil telah
dilatasi dan penurunan kesadaran
PCo2 harus dipertahankan antara 25 – 35 mm Hg

2. Sirkulasi
 Normalkan tekanan darah bila terjadi hypotensi
 Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat pada kasus
multiple truama, trauma medula spinalis, contusio jantung / tamponade
jantung dan tension pneumothorax
 Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan untuk
mengganti cairan yang hilang
 UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan adanya akut
abdomen

B. Secondary survey
Penderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain.
C. Pemeriksaan Neurologis
 Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan
terdiri dari:
 GCS
 Reflek cahaya pupil
 Gerakan bola mata
 Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf
 Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita
dilakukan sedasi atau paralisis
 Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang
 Gunakan morfin dengan dosis kecil (4 – 6 mg) IV
 Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon
motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang
terbaik
 Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita
 Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah
 Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan
pasien.

TERAPY MEDIKAMENTOSA UNTUK TRAUMA KEPALA


Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder terhadap
otak yang telah mengaalami cedera
A. Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik
Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih
Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan
hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yangn cedera
Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl
Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia
menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati secara agresig

B. Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat menurunkan
PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak
HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak
menurun
PCo2 < 25 mmHg, HV harus dicegah
Pertahankan level PCo2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.

C. Manitol
Dosis 1 gram/kg BB bolus IV
Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian
terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis
Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan
memperberat hypovolemia

D. Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan
meningkatkan diuresis
Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV

E. Steroid
Steroid tidak bermanfaat
Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan

F. Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK
Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena
barbiturat dapat menurunkan tekanan darah

G. Anticonvulasan
Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah
terjadinya epilepsi pasca trauma
Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I
Obat lain diazepam dan lorazepam

PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN
A. Luka Kulit kepala
Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka dan
mencuci bersih sebelum dilakukan penjahitan
Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak adekuat
Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok, perdarahan dapat
dihentikan dengan penekanan langsung, kauteraisasi atau ligasi pembuluh besar
dan penjahitan luka
Lakukan insfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS pada luka
menunjukan adanya robekan dura. Consult ke dokter ahli bedah saraf
Lakukan foto teengkorak / CT Scan
Tindakan operatif
B. Fractur depresi tengkorak
Tindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan tulang di
dekatnya
CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya perdarahan di
intra kranial atau adanya suatu kontusio
C. Lesi masa Intrakranial
Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat mengancam jiwa
dan untuk mencegah kematian
Prosedur ini penting pada penderita yang mengalami perburukan secara cepat dan
tidak menunjukan respon yang baik dengan terapy yang diberikan.
Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada intubasi
endotracheal, hiperventilasi moderat dan pemberian manitol.

1.8 Komplikasi
KOMPLIKASI CIDERA KEPALA
 Pendarahan Otak

 Kejang

 Keluar cairan bening dari telinga


 Gangguan bicara, ingatan, dan emosi
 Infeksi

L.O 2. Memahami dan Menjelaskan Fraktur Basis Kranii


2.1 Definisi
Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang tengkorak
yang tebal.Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater.Fraktur basis cranii
paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu yaitu regio temporal dan regio occipital
condylar.Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya menjadi
fraktur fossa anterior, fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.

2.2 Klasifikasi
Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada calvarium (atap tengkorak), disebut fraktur
calvarium dan fraktur pada basis cranium (dasar tengkorak), disebut fraktur basis cranium.

FRAKTUR BASIS TENGKORAK


Fraktur atap orbita
Fraktur akan merobek dura mater dan arachnoid sehingga Liquor Cerebro Spinal (LCS)
bersama darah keluar melalui celah fraktur masuk ke rongga orbita; dari luar disekitar mata
tampak kelopak mata berwarna kebiru biruan. Bila satu mata disebut Monocle Hematoma,
bila dua mata disebut Brill Hematoma / Raccoon’s eyes.

Fraktur melintas Lamina Cribrosa


Fraktur akan menyebabkan rusaknya serabut serabut saraf penciuman (Nervus Olfactorius)
sehinggan dapat terjadi gangguan penciuman mulai berkurangnya penciuman (hyposmia)
sampai hilangnya penciuman (anosmia). Fraktur juga merobek dura mater dan arachnoid
sehingga LCS bercampur darah akan keluar dari rongga hidung (Rhinorrhoea).
Fraktur Os Petrossum
Puncak (Apex) os. petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah masuk kedalam rongga
telinga tengah dan memecahkan membrana tympani; dari telinga keluar LCS bercampur
darah (otorrhoea).

Fraktur Sella Tursica


Di atas sella tursica terdapat kelenjar Hypophyse yang terdiri dari 2 bagian pars anterior dan
pars posterior (Neuro Hypophyse). Pada fraktur sella tursica yg biasa terganggu adalah pars
posterior sehingga terjadi gangguan sekresi ADH (Anti Diuretic Hormone) yang
menyebabkan Diabetes Insipidus.

Sinus Cavernosus Syndrome.


Syndrome ini adalah akibat fraktur basis tengkorak di fossa media yang memecahkan Arteri
Carotis Interna yang berada di dalam Sinus Cavernosus sehingga terjadi hubungan langsung
arteri – vena (disebut Arterio-Venous Shunt dari Arteri Carotis Interna dan Sinus Cavernsus –
> Carotid – Cavernous Fistula).

Mata tampak akan membengkak dan menonjol, terasa sakit, conjunctiva berwarna merah.
Bila membran stetoskop diletakkan diatas kelopak mata atau pelipis akan terdengar suara
seperti air mengalir melalui celah yang sempit yang disebut Bruit (dibaca BRUI).
Gejala-gejala klinis sebagai akibat pecahnya A. Carotis Interna didalam Sinus Cavernosus,
yang terdiri atas: mata yang bengkak menonjol, sakit dan conjunctiva yang terbendung
(berwarna merah) serta terdengar bruit, disebut Sinus Cavernosus Syndrom.

Fraktur melintas os petrosum


fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os petrossum sampai os mastoid,
menyebabkan LCS bercampur darah keluar melalui celah fraktur dan berada diatas mastoid
sehingga dari luar tampak warna kebiru biruan dibelakang telinga, disebut Battle’s Sign.

Fraktur melintas Foramen Magnum


Di Foramen Magnum terdapat Medula Oblongata, sehingga getaran fraktur akan merusak
Medula Oblongata, menyebabkan kematian seketika.
Jenis fraktur basis cranii:
 Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3 suptipe
dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Tipe transversal dari
fraktur temporal dan type longitudinal fraktur temporal ditunjukkan di bawah ini.
(A)Transverse temporal bone fracture and (B)Longitudinal temporal bone fracture
(courtesy of Adam Flanders, MD, Thomas Jefferson University, Philadelphia,
Pennsylvania)
 Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa
pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan tegmen timpani.
Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior menuju
cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii media dekat foramen
spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum
dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan
memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-
30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua fraktur longitudinal dan
transversal.

Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan. Sistem ini
membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous fraktur, yang
terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur tersebut tidak disertai
dengan deficit nervus cranialis.

 Fraktur condylar occipital, adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi
aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini
dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi
alternative membagi fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa
cedera ligamen. Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan
kombinasi dari kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang
dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II
diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar dan membrane tectorial
tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan
lateral bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil.

 Fraktur clivus, digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam kecelakaan
kendaraan nbermotor. Longitudinal, transversal, dan tipe oblique telah dideskripsikan
dalam literatur. Fraktur longitudinal memiliki prognosis terburuk, terutama bila
melibatkan sistem vertebrobasilar. Defisit pada nervus cranial VI dan VII biasanya
dijumpai pada fraktur tipe ini.

2.3 Manifestasi Klinis


 Bloody otorrhea.
 Bloody rhinorrhea

 Liquorrhea

 Brill Hematom

 Batle’s sign

 Lesi nervus cranialis yang paling sering N I, NVII, dan N VIII

Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar pada
mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis cranii fossa anterior adalah dengan
rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow
Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intracranial 4.

Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan


ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu. tuli
sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena
hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial
numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.

Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga
menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural
hearing loss) 4.

Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius12. Sebagian besar
pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan
koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis. Pasien ini juga memperlihatkan cedera
lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.

Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis IX, X,
dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan
paralysis ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal
constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar
os oksipital dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII.

2.4 Patofisiologi
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah dasar
tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari benturan
pada wajah atau mandibula; atau efek ‘remote’ dari benturan pada kepala (‘gelombang
tekanan’ yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).

Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini mengelilingi foramen
magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat. Ring fracture komplit
biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in komplit lebih
sering dijumpai (Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera
batang otak disertai dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar
tengkorak.
Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan dari arah
mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala (sering
disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada pengendara
sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan sebuah objek
misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun
pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia
tersebut kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda
paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya
kompresi) atau ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput atau
mandibula.

Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa fraktur basis cranii akibat
hasil dari benturan area kubah kranial. Kasus benturan pada area kubah non-kranial, yang
disajikan dalam berbagai jenis kecelakaan kendaraan bermotor, telah didokumentasikan. Para
peneliti menemukan fraktur basis cranii juga bisa disebabkan oleh benturan pada area wajah
saja.

2.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding


Pemeriksaan Lanjutan
Studi Imaging:
 Radiografi
Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada kriteria panel
memutuskan bahwa skull film kurang optimal dalam menvisualisasikan fraktur basis
cranii. Foto x-ray skull tidak bermanfaat bila tersedianya CT scan.
 CT scan
CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam diagnosis skull
fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-1,5 mm, dengan potongan sagital,
bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT scan Helical sangat membantu dalam
menvisualisasikan fraktur condylar occipital, biasanya 3-dimensi tidak diperlukan.
 MRI
MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai tambahan untuk
kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan vaskular. Cedera pada tulang
jauh lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan CT scan.

Pemeriksaan lainnya
Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya kebocoran CSF, dapat
dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan mengoleskan darah tersebut
pada kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari
darah, maka disebut “halo” atau “ring” sign. Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan
dengan menganalisa kadar glukosa dan dengan mengukur transferrin.
2.6 Tatalaksana
Terapi medis
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural neurologis tidak
memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat dipulangkan untuk berobat jalan dan
kembali jika muncul gejala. Sementara itu, pada bayi dengan simple fraktur linier harus
dilakukan pengamatan secara terus menerus tanpa memandang status neurologis. Status
neurologis pasien dengan fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara
conservative, tanpa antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika
disertai rupture membrane timpani biasanya akan sembuh sendiri.

Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada neurologis pada bayi
ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur depress dengan baik
membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur depress. Obat anti kejang
dianjurkan jika kemungkinan terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika
terkontaminasi, mungkin memerlukan antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole
direkomendasikan pada kasus ini.

Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara konservatif dengan stabilisasi
leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.

Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-anak dengan open
fraktur depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk
mengevaluasi fraktur depress jika segmen depress lebih dari 5 mm di bawah inner table dari
adjacent bone. Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear
dengan pneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya. Kadang kadang, craniectomy
dekompressi dilakukan jika otak mengalami kerusaksan dan pembengkakan akibat edema.
Dalam hal ini, cranioplasty dilakukan dikemudian hari. Indikasi lain untuk interaksi bedah
dini adalah fraktur condylar os oksipital tipe unstable (tipe III) yang membutuhkan
arthrodesis atlantoaxial. Hal ini dapat dicapai dengan fiksasi dalam-luar.

Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan kerusakan ossicular
(tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis longitudinal pada os temporal.
Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan berlangsung selama lebih dari 3 bulan
atau jika membrane timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain adalah terjadinya kebocoran
CSF yang persisten setelah fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan secara tepat lokasi
kebocoran sebelum intervensi bedah dilakukan.

2.7 Komplikasi
Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai dengan rhinorrhea.
Facial palsy dan gangguan ossicular yang berhubungan dengan fraktur basis cranii dibahas di
bagian klinis. Namun, terutama, facial palsy yang terjadi pada hari ke 2-3 pasca trauma
adalah akibat sekunder untuk neurapraxia dari nervus cranialis VII dan responsif terhadap
steroid, dengan prognosis yang baik. Onset facila palsy secara tiba tiba pada saat bersamaan
terjadinya fraktur biasanya akibat skunder dari transeksi nervus, dengan prognosis buruk.

Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis cranii. Fraktur pada ujung
pertosus os temporale mungkin melibatkan ganglion gasserian. Cedera nervus cranialis VI
yang terisolasi bukanlah akibat langsung dari fraktur, tapi mungkin akibat skunder karena
terjadinya ketegangan pada nervus. Nervus kranialis (IX, X, XI, dan XII) dapat terlibat dalam
fraktur condylar os oksipital, seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam Vernet dan sindrom
Collet-Sicard (vide supra). Fraktur os sphenoidalis dapat mempengaruhi nervus cranialis III,
IV, dan VI dan juga dapat mengganggu arteri karotis interna dan berpotensi menghasilkan
pembentukan pseudoaneurysma dan fistula caroticocavernous (jika melibatkan struktur
vena). Cedera carotid diduga terdapat pada kasus kasus dimana fraktur berjalan melalui kanal
karotid, dalam hal ini, CT-angiografi dianjurkan.

2.8 Prognosis
Pada frakur basis Cranii fossa anterior dan media, prognosis baik selama tanda tanda vital
dan status neurologis dievaluasi secara teratur dan dilakukan tindakan sedini mungkin apabila
ditemukan deficit neurologis serta diberikan profilaksis antibiotic untuk mencegah terjadinya
infeksi sekunder, sedangkan pada fraktur basis Cranii posterior, prognosis buruk dikarenakan
fraktur pada fossa posterior dapat mengakibatkan kompresi batang otak.

Walaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk cedera nervus cranialis,
pembuluh darah, dan cedera langsung pada otak, sebagian besar jenis fraktur adalah jenis
fraktur linear pada anak-anak dan tidak disertai dengan hematom epidural. Sebagian besar
fraktur, termasuk fraktur depresi tulang cranium tidak memerlukan tindakan operasi.

L.O 3. Memahami dan Menjelaskan Perdarahan Intrakranial


3.1 Definisi

Perdarahan intrakranial merupakan perdarahan atau akumulasi darah dalam rongga


intrakranium yang dapat terjadi pada parenkim otak dan pada ruang meninges sekitarnya.
Perdarahan intrakranial dapat disebabkan oleh kejadian traumatik maupun nontraumatik.
Perdarahan yang terjadi pada ruang meninges dapat berupa perdarahan epidural, perdarahan
subdural, dan perdarahan subaraknoid. Perdarahan pada parenkim otak dapat meluas hingga
ke ventrikel otak, disebut sebagai perdarahan intraventrikular. Perdarahan pada parenkim
otak ini akan menyebabkan terjadinya stroke hemorrhagik pada pasien.

3.2 Klasifikasi
Menurut (Tobing, 2011) perdarahan intrakranial diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal
dan cedera otak difus.
 Cedera otak fokal yang meliputi:
o Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)
Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang potensial
antara tabula interna tulang tengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat
menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan
kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil
itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan
hemiparesis.

o Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut.


Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi
akut (6-3 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan
korteks cerebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak.
Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk
dibanding pada perdarahan epidural.

o Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik


Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3
minggu setelah trauma. Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut dengan
jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi
sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang bersifat tamponade. Dalam
beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke dalam clot dan membentuk
noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan
neomembran tersebut akan di ikuti dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi
fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga
terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi membran semi permeabel. Jika
keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor diluar membran masuk kedalam
membran sehingga cairan subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat
ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa
dan gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic attack). disamping itu dapat
terjadi defisit neorologi yang bervariasi seperti kelemahan motorik dan kejang

o Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)


Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang
terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh
benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya
akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah
yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan
subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya penurunan
kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi
dari trauma yang dialami.
o Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)
Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik
arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang
subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit (PSA). Luasnya PSA
menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan burukna
prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan
menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.

 Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011)


Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi gaya rotasi
dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap
parenkim yang sebelah dalam. Maka cedera kepala difus dikelompokkan menjadi:
o Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI
Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan
inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut
yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang
menghbungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan.
Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan karena gaya rotasi antara inti profunda dengan
inti permukaan.

o Kontsuio cerebri
Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek gaya
akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio cerebri
adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut menunjukkan
besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang terlindung begitu
kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi kontusio yang begitu
khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang berlawanan dengan arah
datangnya gaya yang mengenai kepala.

o Edema cerebri
Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala. Pada edema
cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan
hebat pada daerah yang mengalami edema. Edema otak bilateral lebih disebabkan
karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.

o Iskemia cerebri
Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau
terhenti. Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan
disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.

Klasifikasi perdarahan intrakranial akibat trauma kapitis dan manifestasi klinis:


1. Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural adalah antara tulang kranial dan dura mater. Gejala perdarahan
epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin menurun, disertai oleh
anisokoria pada mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontralateral. Perdarahan
epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala khas selain
penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang membaik setelah beberapa hari.

2. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid, yang biasanya
meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian yaitu:
a. Perdarahan subdural akut
- Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan, respon
yang lambat, serta gelisah.
- Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
- Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan
cedera batang otak.
b. Perdarahan subdural subakut
- Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari setelah cedera dan
dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat.
- Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
c. Perdarahan subdural kronis
- Terjadi karena luka ringan.
- Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang subdural.
- Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler dan secara
pelan-pelan ia meluas.
- Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.
- Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.

3. Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan antara rongga otak dan lapisan otak yaitu yang
dikenal sebagai ruang subaraknoid (Ausiello, 2007).

4. Perdarahan Intraventrikular
Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak.
Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral.

5. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak. Di mana
terjadi penumpukan darah pada sebelah otak yang sejajar dengan hentaman, ini dikenali
sebagai counter coup phenomenon. (Hallevi, Albright, Aronowski, Barreto, 2008).

Dugaan adanya perdarahan di dalam kepala dapat dilihat dari tanda dan gejala yang ada.
Pemeriksaan radiologi, seperti CT scan atau MRI dapat digunakan untuk melihat perdarahan
yang terjadi.
1. Epidural Hematom

Gambar CT-scan epidural hematom


 Etiologi
Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi:
- Trauma kepala
- Sobekan a/v meningea median
- Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum
- Ruptur v diplorica
Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat adanya fraktur linier
yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri meningea mediana. Fraktur
tengkorak yang menyertainya dijumpai 85-95 % kasus, sedang sisanya (9 %) disebabkan
oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur terutama pada kasus anak-anak dimana
deformitas yang terjadi hanya sementara. Hematom jenis ini yang berasal dari perdarahan
vena lebih jarang terjadi, umumnya disebabkan oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur
oksipital, parietal atau tulang sfenoid.

 Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi:
- Akut: ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
- Subakut: ditentukan diagnosisnya antara 24 jam – 7 hari
- Kronis: ditentukan diagnosisnya hari ke 7

 Patofisiologi
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang
lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu berhubungan dengan
fraktur cranial linier. Pada kebanyakan pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal
tengah, vena atau keduanya. Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis
fraktur melewati lekukan minengeal pada squama temporal.

 Gejala klinis
Gejala klinis hematom epidural terdiri dari:
- Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan
perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral. Lebih
dari 50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang
terjadi dari saat terjadinya cedera. Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena
terbukanya jalan dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat
interval lucid.Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang
minimal.Interval ini menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang
pertama diderita karena trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena
herniasi transtentorial.Panjang dari interval lucid yang pendek memungkinkan adanya
perdarahan yang dimungkinkan berasal dari arteri.

- Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran
massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat
juga menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan
tentorial.

- Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. pada tahap ahir, kesadaran
menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran
sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan
tanda kematian.

 Terapi
Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin,
dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber perdarahan.
Biasanya pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari
terjadinya pengumpulan darah yamg baru.
- Trepanasi-kraniotomi, evakuasi hematom
- Kraniotomi-evakuasi hematom

2. Subdural Hematoma

Gambar CT-scan subdural hematom


 Etiologi
- Trauma kepala
- Malformasi arteriovenosa
- Diskrasia darah
- Terapi antikoagulan

 Klasifikasi
- Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada
cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebihlanjut
pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan
dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening
tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.
- Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada
subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah.
Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya.
Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens. Lesi
isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari
hemoglobin.
- Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik
subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan
setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur
ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami
gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural
kronik, kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisamenjadi
membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi.
Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi
hematoma, pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah
permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada
selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya
terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah
dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini
dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya
hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat
menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan
menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural
kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening
tomografinya didapatkan lesi hipodens

 Patofisiologi
Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau laserasi,
adalah lokasi umum terjadinya perdarahan. Hal ini sangat berhubungan dengan comtusio
serebral dan oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah
dalam exsess dari ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.

 Gejala klinis
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai
penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat
deperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya.
Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan
intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat
kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya.kadang kala
yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga tumor otak.

 Terapi
Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom secepatnya
dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom subdural kronis usia tua
dimana biasanya mempunyai kapsul hematom yang tebal dan jaringan otaknya sudah
mengalami atrofi, biasanya lebih dianjurkan untuk melakukan operasi kraniotomi
(diandingkan dengan burr-hole saja).

3. Intraserebral Hematom

Gambar CT-scan Intraserebral hematom


 Etiologi
Intraserebral hematom dapat disebabkan oleh:
- Trauma kepala.
- Hipertensi.
- Malformasi arteriovenosa.
- Aneurisme
- Terapi antikoagulan
- Diskrasia darah

 Klasifikasi
Klasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya;
- Hematom supra tentoral.
- Hematom serbeller.
- Hematom pons-batang otak.

 Patofisiologi
Hematom intraserebral biasanta 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau di daerah
ganglia basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer lainnya serta fraktur
kalvaria.

 Gejala klinis.
Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip dengan
hematom ekstra aksial lainnya. Manifestasi klinis pada puncaknya tampak setelah 2-4 hari
pasca cedera, namun dengan adanya scan computer tomografi otakdiagnosanya dapat
ditegakkan lebih cepat.

 Kriteria diagnosis hematom supra tentorial


- nyeri kepala mendadak
- penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24 - 48 jam.
- Tanda fokal yang mungkin terjadi; Hemiparesis / hemiplegi, Hemisensorik, Hemi
anopsia homonym, Parese nervus III.
- Kriteria diagnosis hematom serebeller; Nyeri kepala akut, Penurunan kesadaran,
Ataksia, Tanda tanda peninggian tekanan intracranial
- Kriteria diagnosis hematom pons batang otak: Penurunan kesadaran koma,
Tetraparesa, Respirasi irregular, Pupil pint point, Pireksia, Gerakan mata diskonjugat.

 Terapi
Untuk hemmoragi kecil treatmentnya adalah observatif dan supportif. Tekanan darah
harus diawasi. Hipertensi dapat memacu timbulnya hemmoragi. Intracerebral hematom
yang luas dapat ditreatment dengan hiperventilasi, manitol dan steroid dengan
monitorong tekanan intrakranial sebagai uasaha untuk menghindari pembedahan.
Pembedahan dilakukan untuk hematom masif yang luas dan pasien dengan kekacauan
neurologis atau adanya elevasi tekanan intrakranial karena terapi medis
a. Konservatif
- Bila perdarahan lebih dari 30 cc supratentorial
- Bila perdarahan kurang dari 15 cc celebellar
- Bila perdarahan pons batang otak
b. Pembedahan
- Kraniotomi
- Bila perdarahan supratentorial lebih dari 30 cc dengan effek massa
- Bila perdarahan cerebellar lebih dari 15 cc dengan effek massa
5.3 Diagnosis dan Diagnosis Banding
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting dalam
penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma.
Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang
mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika pembedahan akan
dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan pre-operatif dan intra-operatif.

Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan yang signifikan
pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume darahnya
terbatas, perdarahan epidural dalam kranium meluas dengan sutura terbuka yang
menyebabkan kehilangan darah yang berarti. Perdarahan yang demikian mengakibatkan
ketidakstabilan hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering
terhadap level hematokrit.

PENCITRAAN
 Radiografi
o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan vaskular
cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga
mungkin diamati.
o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan
epidural. Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan
fraktur kranium. Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena kecacatan
kranium yang lebih besar.

 CT-scan
o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam
mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang
ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema bagian
dalam kranium, khususnya pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau
bikonveks. Hidrosefalus mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan
epidural fossa posterior yang besar mendesak efek massa dan menghambat
ventrikel keempat.
o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu hematom
kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin dalam hematom
menentukan jumlah radiasi yang diserap.
o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari
waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu
tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-
4 minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah
hiperakut mungkin diamati sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang
mungkin mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level
hemoglobin serum yang rendah.
o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana
konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex dapat
disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan CT-scan aksial tradisional.
Bahkan ketika terdeteksi dengan benar, volume dan efek massa dapat dengan
mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital
dapat digunakan untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.
o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi
intrakranial lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural, kontusio
serebral, dan hematom intraserebral
 MRI: perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang tepat
untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun, dapat
diamati ketika meluas.

Diagnosis Banding

Diagnosis banding perdarahan intrakranial antara lain stroke iskemik, ensefalitis herpes
simpleks, sindrom diseksi, hidrosefalus, penyakit Moyamoya, epilepsi, dan empiema
subdural.

Stroke Iskemik
Stroke iskemik memiliki onset yang cenderung perlahan dan terjadi pada kondisi pasien yang
sedang tenang (tidak beraktivitas), dapat juga disebabkan oleh fibrilasi atrium yang
menimbulkan stroke kardioemboli. Kerusakan reperfusi akibat terapi trombolitik stroke
iskemik akut juga dapat menjadi diagnosis banding dari perdarahan intrakranial. Hal ini
disebabkan oleh adanya peningkatan aliran darah serebral ipsilateral yang melebihi
kebutuhan jaringan otak.

Ensefalitis
Ensefalitis dapat disebabkan oleh virus herpes simpleks, Japanese encephalitis, measlesdan
rabies. Gejala biasanya diawali dengan adanya demam, malaise, dan mual yang diikuti
dengan gejala letargis, kebingungan, dan delirium.

Sindrom Diseksi
gejala diseksi paling sering berupa gejala iskemia dan dapat dipastikan dengan CT-angiografi
yang menunjukkan adanya flap lapisan intima atau gambaran lumen double-barrel.

Hidrosefalus
Gejala hidrosefalus pada pasien dewasa biasanya mual, kepala pasien membesar pada
pemeriksaan fisik, dan ditemukan adanya akumulasi cairan serebrospinal.

Penyakit Moyamoya
Penyakit Moyamoya merupakan penyakit pembuluh darah otak oklusif yang terjadi pada
sirkulus Willisi, arteri otak, dan batang otak, dapat dilihat pada hasil CT-angiografi otak.
Penyakit ini banyak terjadi pada orang Jepang.

Epilepsi
Epilepsi ditandai dengan kejang dan dipastikan dengan elektroensefalografi (EEG).

Empiema Subdural
Empiema subdural merupakan pengumpulan massa abses pada lapisan subdural. Gejala yang
ditimbulkan akan menyerupai gejala peningkatan tekanan intrakranial. Selain itu, dapat
ditemukan kaku kuduk serta kelainan pada cairan serebrospinal.[3,7]

Malaria Serebral
Pada malaria serebral, tanda dan gejala utama adalah adanya penurunan kesadaran (koma)
dan syok. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan apus darah berupa adanya
gambaran hiperparasitemia yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum.

3.4 Tatalaksana
Terapi Obat-obatan
Pengobatan perdarahan epidural bergantung pada berbagai faktor. Efek yang kurang baik
pada jaringan otak terutama dari efek massa yang menyebabkan distorsi struktural, herniasi
otak yang mengancam-jiwa, dan peningkatan tekanan intrakranial.

Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah (1) intervensi bedah segera dan (2)
pengamatan klinis ketat, di awal dan secara konservatif dengan evakuasi tertunda yang
memungkinkan. Catatan bahwa perdarahan epidural cenderung meluas dalam hal volume
lebih cepat dibandingkan dengan perdarahan subdural, dan pasien membutuhkan pengamatan
yang sangat ketat jika diambil rute konservatif.

Tidak semua kasus perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi bedah segera. Jika
lesinya kecil dan pasien berada pada kondisi neurologis yang baik, mengamati pasien dengan
pemeriksaan neurologis berkala cukup masuk akal.

Meskipun manajemen konservatif sering ditinggalkan dibandingkan dengan penilaian klinis,


publikasi terbaru “Guidelines for the Surgical Management of Traumatic Brain Injury”
merekomendasikan bahwa pasien yang memperlihatkan perdarahan epidural < 30 ml, < 15
mm tebalnya, dan < 5 mm midline shift, tanpa defisit neurologis fokal dan GCS > 8 dapat
ditangani secara non-operatif. Scanning follow-up dini harus digunakan untukmenilai
meningkatnya ukuran hematom nantinya sebelum terjadi perburukan. Terbentuknya
perdarahan epidural terhambat telah dilaporkan. Jika meningkatnya ukuran dengan cepat
tercatat dan/atau pasien memperlihatkan anisokoria atau defisit neurologis, maka
pembedahan harus diindikasikan. Embolisasi arteri meningea media telah diuraikan pada
stadium awal perdarahan epidural, khususnya ketika pewarnaan ekstravasasi angiografis telah
diamati.

Ketika mengobati pasien dengan perdarahan epidural spontan, proses penyakit primer yang
mendasarinya harus dialamatkan sebagai tambahan prinsip fundamental yang telah
didiskusikan diatas.

Terapi Bedah
Berdasarkan pada “Guidelines for the Management of Traumatic Brain Injury, perdarahan
epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan intervensi bedah, tanpa
mempertimbangkan GCS. Kriteria ini menjadi sangat penting ketika perdarahan epidural
memperlihatkan ketebalan 15 mm atau lebih, dan pergeseran dari garis tengah diatas 5 mm.
Kebanyakan pasien dengan perdarahan epidural seperti itu mengalami perburukan status
kesadaran dan/atau memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi.

Lokasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan pembedahan. Hematom temporal,
jika cukup besar atau meluas, dapat mengarah pada herniasi uncal dan perburukan lebih
cepat. Perdarahan epidural pada fossa posterior yang sering berhubungan dengan gangguan
sinus venosus lateralis, sering membutuhkan evakuasi yang tepat karena ruang yang tersedia
terbatas dibandingkan dengan ruang supratentorial.

Sebelum adanya CT-scan, pengeboran eksplorasi burholes merupakan hal yang biasa,
khususnya ketika pasien memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi atau perburukan yang cepat.
Saat ini, dengan teknik scan-cepat, eksplorasi jenis ini jarang dibutuhkan.
Saat ini, pengeboran eksplorasi burholes disediakan bagi pasien berikut ini:
 Pasien dengan tanda-tanda lokalisasi menetap dan bukti klinis hipertensi intrakranial
yang tidak mampu mentolerir CT-scan karena instabilitas hemodinamik yang berat.
 Pasien yang menuntut intervensi bedah segera untuk cedera sistemiknya.

3.5 Komplikasi
Kebanyakan dari komplikasi perdarahan epidural muncul ketika tekanan yang mereka
kerahkan mengakibatkan pergeseran otak yang berarti. Ketika otak menjadi subyek herniasi
subfalcine, arteri serebral anterior dan posterior mungkin tersumbat, menyebabkan infark
serebral.

Herniasi ke bawah batang otak menyebabkan perdarahan Duret dalam batang otak, paling
sering di pons.

Herniasi transtentorial menyebabkan palsy nervus III kranialis ipsilateral, yang seringnya
membutuhkan berbulan-bulan untuk beresolusi sekali tekanan dilepaskan. Palsy nervus III
kranialis bermanifestasi sebagai ptosis, dilatasi pupil, dan ketidakmampuan menggerakkan
mata ke arah medial, atas, dan bawah.
Pada anak-anak < 3 tahun, fraktur kranium dapat menyebabkan kista leptomeningeal atau
fraktur bertumbuh. Kista ini diyakini muncul ketika pulsasi dan pertumbuhan otak tidak
mengijinkan fraktur untuk sembuh, lalu menambah robek dura dan batas fraktur membesar.
Pasien dengan kista leptomeningeal biasanya memperlihatkan massa scalp pulsatil.

L.O 4. Memahami dan Menjelaskan Trias Cushing


Definisi
Sindrom cushing adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis akibat peningkatan kadar
glukokortikoid (kortisol) dalam darah.

Prognosis
Sindrom cushing yang tidak diobati biasanya fatal

Anda mungkin juga menyukai