Anda di halaman 1dari 18

TUTORIAL

BLOK GANGGUAN SISTEM SARAF DAN PSIKIATRI

DOSEN PEMBIMBING :

dr. Rusdani, M.KKK

Nama : Dela Rohmedeska

NPM : 61116001

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BATAM

1
2

BLOK GANGGUAN SISTEM SARAF DAN PSIKIATRI

Skenario 1

CEDERA KEPALA

Tuan joni, 27 tahun dirujuk dari puskesmas dengan keluhan tidak sadar setelah
mengalami kecelakaan lalu lintas. Sewaktu dipuskesmas, tuan joni sempat sadar, lalu secara
perlahan-lahan kesadarannya turun kembali dan diperjalanan menuju rumah sakit sempat muntah
4 kali. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter jaga dirumah sakit , didapatkan gcs 8, TD
160/100 mmHg , nadi 56 kali/menit, suhu 37,8’c, nafas 20kali permenit, pupil anisokor, kanan 5
mm dan kiri 2 mm.

Tuan joni dikonsulkan ke bagian penyakit saraf. Dari hasil pemerikasaan ditemukan
reflex cahaya kanan menurun,kiri normal, reflex bisep dan trisep kanan kiri normal, dan
ditemukan reflex babinsky di sisi kiri. Hasil pemeriksaan ronsen foto schedel serta pemeriksaan
CT scan kepala ditemukan adanya fraktur linier os temporal kanan serta lesi hiperdens di fronto
temporal kanan.

Segera dilakuan konsul ke cito bagian bedah saraf. Dari hasil konsul bedah saraf tuan joni
dianjurkan operasi craniectomy untuk evakuasi hematom. Setelah operasi selesai, tuan joni
dirawat di ICU dan setelah kondisi stabil, tuan joni dipindahkan ke bangsal penyakit saraf untuk
pemulihan. Dibagian penyakit saraf, tuan joni dirawat di runang pemulihan.

Bagaimana anda menjelaskan kondisi tuan joni? Bagaimana kemungkinan diagnosis


banding pada kasus penyakit yang dialami tuan joni? Bagaimana penatalaksanaan masing-
masing diagnosis banding sesuai dengan kasus pada scenario tersebut (minimal 3 buah)
3

TERMINOLOGI ASING

1. GCS (glassgow coma scale)


Adalah skala yang digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien yang dilakukan dengan
menilai respon pasien terhadap rangsang yang diberikan oleh pemeriksa. ( kamus saku
Dorland edisi 29 hal 467)

2. Pupil anisoskor
Adalah ketidaksamaan ukuran diameter kedua pupil mata. ( kamus saku Dorland edisi 29
halaman 45)

3. Reflex babinsky
Adalah dorsofleksi ibujari kaki pada perangsangan telapak kaki; timbul lesi pada tractus
pyramidalis walaupun merupakan reflex normal pada bayi. ( kamus saku Dorland edisi
29 halaman 653)

4. Operasi craniectomy
Adalah operasi pada cranium. ( kamus saku Dorland edisi 29 halaman 187)

5. Lesi hiperdens
Adalah bayangan yang dihasilkan oleh alat Ct Scan karena terdapat adanya lesi atau
kebocoran vaskuler.

6. Ronsen foto schedel


Adalah Dasar untuk menegakkan diagnosa suatu kelainan di tulang cranium.
4

RUMUSAN MASALAH

1. Mengapa reflex cahaya kanan menurun kiri normal sehingga menyebabkan pupil
anisokor pada tuan joni?
2. Mengapa kesadaran tuan joni tidak stabil?
3. Mengapa tuan joni muntah-muntah setelah terjadi kecelakaan?
4. Mengapa reflex babinsky hanya di sebelah kiri?
5. Mengapa dokter bedah saraf melakukan operasi craniectomy?
6. Mengapa tuan joni dirawat di ICU setelah operasi?
7. Mengapap dilakukan CT-Scan?
5

HIPOTESIS

1. Pupil anisokor disebabkan karena adanya trauma kepala tuan joni sehingga menyebabkan
Kegagalan persarafan parasimpatis pada nervus occulomotorius yang
menyebabkan pupil yang relatif dilatasi akan bereaksi lambat terhadapat
cahaya langsung.

2. Kesadaran tidak stabil disebabkan oleh adanya trauma kepala sehingga


menyebabkan tekanan intracranial.

3. Muntah-muntah disebabkan oleh adanya trauma sehingga menyebabkan perdarahan pada


sub arachnoid yang dapat mengganngu persarafan.

4. Tanda Babinski dapat merupakan indikasi kerusakan jalur kortikospinal, adanya


penekanan seperti destruksi aktivitas saraf somatik. Tanda Babinski juga dapat
ditimbulkan pada keadaan penurunan kesadaran.

5. Operasi craniectomy dilakukan untuk evakuasi hematom karena pemeriksaan CT scan


kepala ditemukan adanya fraktur linier os temporal kanan serta lesi hiperdens di fronto
temporal kanan,

6. Tuan joni di rawat di ICU (Intensive Care Unit) untuk pemantauan intensif pada pasien
sakit berat dan kritis, cedera dengan penyulit yang mengancam nyawa dengan melibatkan
tenaga kesehatan terlatih, serta didukung dengan kelengkapan peralatan khusus.

7. CT San dilakukan untuk melihat apakah ada nya cedera pada kepala tuan joni.
6

SKEMA

Tuan Joni (27 tahun)

Trauma kepala

PEMERIKSAAN FISIK PEMERIKSAAN


-GCS 8 PENUNJANG

-Rontsen foto
-TD 160/100 mmHG
ANAMNESIS schedel
-nadi 56x/menit
-Muntah 4 kali -Pemeriksaan CT
-suhu 37,8°C Scan kepala (fraktur
-Kesadaran menurun
linier os temporal
-napas 20x/menit, kanan serta lesi
-pupil anisokor, kanan heperdens di fronto
5mm dan kiri 2 mm temporal kanan)

CEDERA KEPALA
7

LEARNING OBJECTIVE

1. Menjelaskan Jenis-Jenis Cedera Kepala ( Ringan, Sedang, Berat )

2. Menjelaskan Epidemiologi Cedera Kepala

3. Menjelaskan Etiologi dan factor resiko Cedera Kepala

4. Menjelaskan Patifisiologi Cedera Kepala

5. Menjelaskan Manifestasi Klinis Cedera Kepala

6. Menjelaskan Penegakkan Diagnosis Cedera Kepala

7. Menjelaskan Penatalaksanaa Cedera Kepala

8. Menjelaskan Komplikasi dan Prognosis Cedera Kepala

9. Menjelaskan Kasus Cedera Kepala Yang Memerlukan Rujukan


8

PEMBAHASAN

1. DEFINISI DAN JENIS JENIS CEDERA KEPALA

Definisi cedera kepala

Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional
jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran dan dapat menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois,
Rutland-Brown, Thomas, 2006).

Jenis-jenis cedera kepala

Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera,
dan morfologi.

A. Mekanisme cedera kepala


Cedera kepala tumpul
a. Kecepatan tinggi berhubungan dengan kecelakaan mobil-Motor.
b. Kecepatan rendah, biasanya disebabkan jatuh dari ketinggian atau dipukul
dengan benda tumpul.

Cedera kepala tembus

Disebabkan oleh : - cedera peluru

- cedera tusukan

B. Beratnya cedera kepala


Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan
neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala.
Penilaian GCS terdiri atas 3 komponen diantaranya respon membuka mata, respon
motorik dan respon verbal.

Respon membuka mata Skor

Membuka mata spontan 4

Buka mata bila ada rangsangan suara atau sentuhan ringan 3


9

Membuka mata bila ada rangsangan nyeri 2

Tidak ada respon sama sekali 1

Respon motoric

Mengikuti perintah 6
Mampu melokalisasi nyeri 5

Reaksi menghindari nyeri 4

Fleksi abnormal 3

Ekstensi abnormal 2

Tidak ada respon sama sekali 1

Respon verbal

Orientasi baik 5

Kebingungan (tidak mampu berkomunikasi ) 4

Hanya ada kata kata tapi tidak berbentuk kalimat ( teriakan ) 3

Hanya asal bersuara atau berupa erangan 2

Tidak ada respon sama sekali 1

Berdasarkan skor GCS, beratnya cedera kepala dibagi atas :


Berdasarkan berat ringannya cidera kepala:
a.Cidera kepala ringan: jika GCS antara 13-15, dapat terjadi kehilangan
kesadaran kurang dari 30 menit, tidak terdapat fraktur tengkorak,
kontusio atau hematom.
b.Cidera kepala sedang: jika nilai GCS antara 9-12, hilang kesadaran
antara 30 menit sampai dengan 24 jam, dapat di sertai fraktur tengkorak,
disorientasi ringan.
c.Cidera kepala berat: jika GCS antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari
24 jam, biasanya di sertai kontusio, laserasi atau adanya hematom, edema
serebral
10

C. Morfologi cedera kepala


Secara morfologi cedera kepala dibagi atas fraktur cranium dan fraktur
dasar tengkorak.
C
2. EPIDEMIOLOGI CEDERA KEPALA
Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian, terutama pada
dewasa muda. Di Amerika Serikat, hampir 10% kematian disebabkan karena trauma, dan
setengah dari total kematian akibat trauma berhubungan dengan otak. Cedera kepala dapat terjadi
pada semua kelompok usia, namun angka kejadian tertinggi adalah pada dewasa muda berusia
15-24 tahun. Angka kejadian pada laki-laki 3 hingga 4 kali lebih sering dibandingkan wanita
(Rowland et al, 2010).
Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena kecelakaan lalu lintas.

3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO CEDERA KEPALA


Etiologi Menurut Black (1997,741)
a. Kecelakaan kendaraan bermotor seperti kendaraan bermotor dan mobil
b. Tembakan yang merupakan trauma tembus dan pukulan langsung pada kepala yang
merupakan truma pukulan
c. Jatuh dan kecelakaan olah raga

Faktor resiko
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan dengan
kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada
pengguna jalan raya.

4. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA

Benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis

1. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak.

Kekuatan benda yang bergerak akan menyebabkan deformitas akibat percepatan, perlambatan

dan rotasi yang terjadi secara cepat dan tiba-tiba terhadap kepala dan jaringan otak

2. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam.


11

Kepala yang sedang bergerak kemudian membentur suatu benda yang keras, maka akan terjadi

perlambatan yang tiba-tiba, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan di tempat benturan

dan pada sisi yang berlawanan.

3. Kepala yang tidak dapat bergerak karena menyender pada benda lain dibentur oleh

benda yang bergerak (kepala tergencet).

Pada kepala yang tergencet pada awalnya dapat terjadi retak atau hancurnya tulang tengkorak.

Bila gencetannya hebat tentu saja dapat mengakibatkan hancurnya otak.

5. MANIFESTASI KLINIS CEDERA KEPALA

 Kehilangan kesadaran untuk beberapa saat.


 Terlihat linglung atau memiliki pandangan kosong.
 Pusing.
 Kehilangan keseimbangan.
 Mual atau muntah.
 Mudah merasa lelah.
 Mudah mengantuk dan tidur melebihi biasanya.
 Sulit tidur.
 Sensitif terhadap cahaya atau suara.
 Penglihatan kabur.
 Telinga berdenging.
 Kemampuan mencium berubah.
 Mulut terasa pahit.
 Kesulitan mengingat atau berkonsentrasi.
 Merasa depresi.
 Perubahan suasana hati.

6. PENEGAKAN DIAGNOSIS CEDERA KEPALA


Anamnesis
 Mekanisme trauma, jenis trauma apakah tembus atau tidak, waktu terjadinya trauma
 Riwayat kejang, penurunan kesadaran, serta mual dan muntah
 Apakah ada kelemahan di salah satu sisi tubuh
Pemeriksaan fisik
 ABC (airway, breathing, circulation) dan skala koma glasgow sebagai pemeriksaan awal
 Pemeriksaan neurologis lengkap setelah pasien stabil
o Kesadaran
12

o Pemeriksaan nervus kranialis : lebar pupil, rangsangan cahaya, pergerakan bola


mata. pada pasien koma, respon okulosefalik dan oculovestibular dilakukan
o Pemeriksaan fungsi motoric, reflex, fungsi batang otak
 Periksa
o Otorea atau rinorea. Otorea merupakan tanda fratur basis cranii media
o Racoon eye : ekimosis peri orbita bilateral
o Racoon eye dan rinorea merupakan tanda dari fraktur basis cranii anterior
o Battle’s sign (tanda fraktur basis cranii bilateral) : ekimosis mastoid bilateral.
Pemeriksaan penunjang
 Radiologi : CT Scan kepala tanpa kontras (pilihan). Jika tidak dapat dilakukan foto polos
kepala posisi AP, lateral, dan tangensial.
 Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, gula darah, ureum, kreatinin, analis gas
darah, urinalisis.

7. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA

Cedera Kepala Ringan (Gcs = 14 – 15 )


 Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit
kepala hebat.
3 % penderita CK. Ringan ditemukan fraktur tengkorak

 Klinis :
a. Keadaan penderita sadar
b. Mengalami amnesia yang berhubungna dengan cedera yang dialaminya
c. Dapat disertai dengan hilangnya kesadaran yang singkat
Pembuktian kehilangan kesadaran sulit apabila penderita dibawah pengaruh obat-
obatan / alkohol.
d. Sebagain besar penderita pulih sempurna, mungkin ada gejala sisa ringan
 Fractur tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun indikasi
adanya fractur dasar tengkorak meliputi :
a. Ekimosis periorbital
b. Rhinorea
c. Otorea
d. Hemotimpani
e. Battle’s sign
 Penilaian terhadap Foto ronsen meliputi :
a. Fractur linear/depresi
b. Posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah
c. Batas udara – air pada sinus-sinus
d. Pneumosefalus
e. Fractur tulang wajah
f. Benda asing
 Pemeriksaan laboratorium :
a. Darah rutin tidak perlu
b. Kadar alkohol dalam darah, zat toksik dalam urine untuk diagnostik / medikolagel
13

 Therapy :
a.Obat anti nyeri non narkotik
b. Toksoid pada luka terbuka
 Penderita dapat diobservasi selama 12 – 24 jam di Rumah Sakit

Cedera kepala sedang ( gcs = 9 13 )


 Pada 10 % kasus :
 Masih mampu menuruti perintah sederhana
 Tampak bingung atau mengantuk
 Dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis
 Pada 10 – 20 % kasus :
 Mengalami perburukan dan jatuh dalam koma
 Harus diperlakukan sebagai penderita CK. Berat.
 Tindakan di UGD :
 Anamnese singkat
 Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis
 Pemeriksaan CT. scan
 Penderita harus dirawat untuk diobservasi
 Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat bila :
 Status neulologis membaik
 CT. scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang memerlukan
pembedahan
 Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan CK. Berat.
 Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya

Cedera Kepala Berat ( Gcs 3 – 8 )


 Kondisi penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun status
kardiopulmonernya telah distabilkan
 CK. Berat mempunyai resiko morbiditas sangat tinggi
 Diagnosa dan therapy sangat penting dan perlu dengan segara penanganan
 Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita CK. Berat harus dilakukan
secepatnya.

A. Primary survey dan resusitasi


Di UGD ditemukan :
 30 % hypoksemia ( PO2 < 65 mmHg )
 13 % hypotensia ( tek. Darah sistolik < 95 mmHg )  Mempunyai mortalitas 2 kali
lebih banyak dari pada tanpa hypotensi
 12 % Anemia ( Ht < 30 % )

1. Airway dan breathing


Sering terjadi gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian karena terjadi
apnoe yang berlangsung lama
14

Intubasi endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan penderita cedera


kepala berat dengan memberikan oksigen 100 %

Tindakan hyeprveltilasi dilakukan secara hati-hati untuk mengoreksi sementara


asidosis dan menurunkan TIK pada penderita dengan pupil telah dilatasi dan
penurunan kesadaran

PCo2 harus dipertahankan antara 25 – 35 mm Hg

2. Sirkulasi
 Normalkan tekanan darah bila terjadi hypotensi
 Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat pada kasus
multiple truama, trauma medula spinalis, contusio jantung / tamponade
jantung dan tension pneumothorax.
 Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan untuk
mengganti cairan yang hilang
 UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan adanya akut
abdomen

B. seconady survey
Penderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain.

C. Pemeriksaan Neurologis
 Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan
terdiri dari :
 GCS
 Reflek cahaya pupil
 Gerakan bola mata
 Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf
 Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita
dilakukan sedasi atau paralisis
 Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang
 Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 – 6 mg ) IV
 Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon
motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang
terbaik
 Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita
 Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah
 Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan
pasien

TERAPY MEDIKAMENTOSA UNTUK TRAUMA KEPALA


15

Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder
terhadap otak yang telah mengaalami cedera

A. Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap
normovolemik

Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih

Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan hyperglikemia


yang berakibat buruk pada otak yangn cedera

Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl

Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia


menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati secara agresig

B. Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat menurunkan
PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak

HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak menurun

PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah

Pertahankan level PCo2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.

C. Manitol
Dosis 1 gram/kg BB bolus IV

Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian
terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis

Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan
memperberat hypovolemia

D. Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan
meningkatkan diuresis

Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV

E. Steroid
Steroid tidak bermanfaat

Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan


16

F. Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK

Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena
barbiturat dapat menurunkan tekanan darah

G. Anticonvulasan
Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah terjadinya
epilepsi pasca trauma

Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I

Obat lain diazepam dan lorazepam

PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN

A. Luka Kulit kepala


Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka dan mencuci
bersih sebelum dilakukan penjahitan

Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak adekuat

Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok, perdarahan dapat


dihentikan dengan penekanan langsung, kauteraisasi atau ligasi pembuluh besar dan
penjahitan luka

Lakukan insfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS pada luka
menunjukan adanya robekan dura. Consult ke dokter ahli bedah saraf

Lakukan foto teengkorak / CT Scan

Tindakan operatif

B. Fractur depresi tengkorak


Tindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan tulang di dekatnya

CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya perdarahan di


intra kranial atau adanya suatu kontusio

C. Lesi masa Intrakranial


Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat mengancam jiwa
dan untuk mencegah kematian

Prosedur ini penting pada penderita yang mengalami perburukan secara cepat dan
tidak menunjukan respon yang baik dengan terapy yang diberikan
17

Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada intubasi endotracheal ,
hiperventilasi moderat dan pemberian manitol

8. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS


Komplikasi
 Kejang pasca trauma
 Demam menggigil
 Hidrosefalus
 Mood, tingkah laku, kognitif
 Sindroma post kontusio
Prognosis
Pada cedera kepala mengacu pada tingkat keparahan yang dialami.Nilai GCS saat pasien
pertama kali datang ke rumah sakit memiliki nilai prognosis yang besar. Nilai GCS antara 3-4
memiliki tingkat mortalitas hingga 85%, sedangkan nilai GCS diatas 12 memiliki nilai mortalitas
5-10%. Gejala-gejala yang muncul pasca trauma juga perlu diperhatikan seperti mudah letih,
sakit kepala berat, tidak mampu berkonsentrasi dan irritable.

9. KASUS YANG MEMERLUKAN RUJUKAN


Semua pasien dengan cedera otak traumatika dengan GCS < 9 langsung dirujuk kefasilitas yang
berkemampuan pemeriksaan CT segera, fasilitas bedah saraf memadai, dan fasilitas pengamat
tekanan intrakranial (bila ada) serta kemampuan menindak hipertensi intrakranial. Pasien dengan
GCS 9-13 berpotensi mengalami cedera intrakranial dan tindakan bedah saraf, hingga harus
dirujuk kepusat bedah saraf. Sebagian kematian akibat cedera merupakan tanggung jawab cedera
kepala.
18

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2006).Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik.Jakarta: Rineke Cipta.


Jakarta

Lumbantobing, S. (2004) Neurogeriatri . Jakarta: Fakultas kedokteran universitas Indonesia.

Novak, patricia D (2015) Kamus Saku Kedokteran Dorland edisi 29. Singapura. Elsevier

Sastroasmoro,Sudigdo. (2002).Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis (2nd ed.).Jakarta: CV


Sagung Seto

Soertidewi L, Misbach. (2006) Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma
spinal. Jakarta: Perdossi

Anda mungkin juga menyukai