Anda di halaman 1dari 15

BAGIAN RADIOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2018


UNIVERSITAS HALU OLEO

PENCITRAAN PADA TRAUMA KEPALA

SE

Penyusun:
Nur Safaatul Laila
K1A1 11 066

Pembimbing :
dr. Albertus Varera, Sp. Rad

KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
PENCITRAAN PADA TRAUMA KEPALA
Nur Safaatul Laila, Albertus Varera

A. PENDAHULUAN
Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non degeneratif-non kongenital
yang terjadi akibat trauma yang mencederai kepala yang kemungkinan berakibat
gangguan kognitif, fisik, dan psikososial baik sementara atau permanen yag
berhubungan dengan berkurang atau berubahnya derajat kesadaran. Mekanisme dari
cedera kepala itu sendiri dapat berasal dari cedera langsung ke jaringan otak,
rudapaksa luar yang mengenai bagian luar kepala (tengkorak) yang menjalar kedalam
otak, ataupun pergerakan dari jaringan otak didalam tengkorak.

Trauma kepala berperan pada kematian akibat trauma, mengingat kepala


merupakan bagian yang rentan dan sering terlibat dalam kecelakaan. Laki-laki 2-3
kali lebih sering dibanding wanita, terutama pada kelompok usia resiko tinggi (usia
15-24 tahun dan >75 tahun). Berdasarkan studi epidemiologi, kecelakaan sepeda
motor dan violence-related injuries merupakan penyebab trauma yang paling sering.

Pasien dengan trauma kepala memerlukan penegakan diagnosis sedini mungkin


agar tindakan terapi dapat segera dilakukan untuk menghasilkan prognosa yang baik.
Peranan diagnose imaging juga diperlukan terutama pada pasien dengan tingkat
resiko sedang-berat. Tujuan utama dari pemeriksaan imaging pada pasien trauma
kepala adalah untuk mengkonfirmasi adakah cedera intracranial yang berpotensi
mengancam jiwa pasien bila tidak segera dilakukan tindakan.

Hadirnya modalitas imaging seperti CT scan telah merevolusi cara mengevaluasi


diagnosa trauma kepala. Penelitian menunjukan tindakan operasi pada trauma kepala
berat dalam rentang waktu 4 jam pertama setelah kejadian dapat menyelamatkan
kurang lebih 70% pasien. Sebaliknya, tingkat mortalitas dapat naik sampai 90% bila
tindakan intervensi dilakukan lebiha dari 4 jam. Penegakan diagnose trauma kepala

1
diperoleh dengan pemeriksaan klinis awal yang diteliti dan tentu ditunjang oleh
diagnosa imaging.

B. DEFINISI TRAUMA KEPALA


Trauma kepala adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala
sehingga dapat menimbulkan kelainan structural dan atau gangguan fungsional
jaringan otak. MenurutBrain Injury Association of America, trauma kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degenerative, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik.

C. ETIOLOGI TRAUMA KEPALA


Penyebab trauma kepala yang paling sering dialami di seluruh dunia adalah
akibat kecelakaan lalu lintas. Sekitar 60% dari kasus trauma kepala merupakan akibat
dari kelalaian dalam berlalu lintas, 20 sampai 30% kasus disebabkan oleh jatuh, 10%
disebabkan oleh kekerasan, dan sisanya disebabkan oleh perlukaan yang terjadi di
rumah maupun tempat kerja.
Trauma kepala dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu:
1. Trauma Primer, terjadi akibat trauma pada kepala secara langsung maupun tidak
langsung (akselerasi dan deselerasi).
2. Trauma Sekunder, terjadi akibat trauma saraf (melalui akson) yang meluas,
hipertensi intracranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.

D. PATOGENESIS TRAUMA KEPALA


Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan dalam dan luar rongga kepala. Lesi
jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi pada tengkorak,
pembuluh darah tengkorak maupun otak itu sendiri. Terjadinya benturan pada kepala
dapat terjadi pada tiga jenis keadaan yaitu kepala diam dibentur benda yang bergerak,

2
kepala yang bergerak membentur benda yang diam dan kepala yang tidak dapat
bergerak karena bersandar pada benda yang lain dibentur oleh benda yang bergerak.
Dalam mekanisme trauma kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan coup.
Contre coup dan coup pada trauma kepala dapat terjadi kapan saja dan pada orang-
orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Trauma kepalapada coup
disebabkan hantaman otak bagian dalam pada sisi yang terkena, sedangkan contre
coup pada sisi yang berlawanan dengan daerah benturan.
Berdasarkan patofisiologinya, trauma kepala dibagi menjadi trauma kepala
primer dan trauma kepala sekunder. Secara umum, trauma kepala primer menunjuk
kepada kejadian yang tak terhindarkan dan disertai kerusakan parenkim yang terjadi
sesaat setelah terjadi trauma. Trauma ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan
seperti akselerasi, rotasi, kompresi, dan distensi sebagai akibat dari proses akselerasi
dan deselerasi. Kekuatan-kekuatan ini menyebabkan tekanan pada tulang tengkorak
yang dapat mempengaruhi neuron, glia, dan pembuluh darah dan selanjutnya
menyebabkan kerusakan fokal, multifokal maupun difus pada otak. Trauma kepala
dapat melibatkan parenkim otak dan / atau pembuluh darah otak. Trauma pada
parenkim dapat berupa kontusio, laserasi, ataupun diffuse axonal injury (DAI),
sedangkan trauma pada pembuluh darah otak dapat berupa perdarahan epidural,
subdural, subaraknoid, dan intraserebral yang dapat dilihat pada CT-scan.
Trauma kepala sekunder menunjuk kepada keadaan dimana kerusakan pada otak
dapat dihindari setelah setelah proses trauma. Beberapa contoh gangguan sekunder ini
adalah hipoksia, hipertensi, hiperkarbi, hiponatremi, dan kejang. Trauma kepala
sekunder merupakan lanjutan dari trauma kepala primer. Hal ini dapat terjadi akibat
adanya reaksi peradangan, biokimia, pengaruh neurotransmitter, gangguan
autoregulasi, neuroapoptosis, dan inokulasi bakteri. Faktor intrakranial (lokal) yang
mempengaruhi trauma kepala sekunder adalah adanya hematoma intrakranial,
iskemik otak akibat penurunan perfusi ke 11 jaringan di otak, herniasi, penurunan
tekanan arterial otak, tekanan intrakranial yang meningkat, demam, vasospasm,
infeksi, dan kejang. Sebaliknya, faktor ekstrakranial (sistemik) yang mempengaruhi

3
trauma kepala sekunder dikenal dengan istilah “nine deadly H’s” meliputi
hipoksemia, hipotensi, hiperkapnia, hipokapnia, hipertermi, hiperglikemi dan
hipoglikemi, hiponatremi, hipoproteinemia, serta hemostasis.
Patogenesis Trauma Kepala Secara Umum
Fase pertama kerusakan serebral paska terjadinya trauma kepala ditandai oleh
kerusakan jaringan secara langsung dan juga gangguan regulasi peredaran darah serta
metabolisme di otak. Pola “ischaemia-like” ini menyebabkan akumulasi asam laktat
sebagai akibat dari terjadinya glikolisis anaerob. Selanjutnya, terjadi peningkatan
permeabilitas pembuluh darah diikuti dengan pembentukan oedem. Sebagai akibat
berlangsungnya metabolisme anaerob, sel-sel otak kekurangan cadangan energi yang
turut menyebabkan terjadinya kegagalan pompa ion di membran sel yang bersifat
energy-dependent. Pada fase kedua dapat dijumpai depolarisasi membran terminal
yang diikuti dengan pelepasan neurotransmitter eksitatori (glutamat dan aspartat)
yang berlebihan. Selain itu, pada fase kedua dapat juga ditandai oleh teraktifasinya
Nmethyl-D-aspartate, α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolpropionate, serta kanal
ion kalsium dan natrium yang voltage-dependent. Influks kalsium dan natrium
menyebabkan terjadinya proses self-digesting di intraseluler. Kalsium mampu
mengaktifkan beberapa enzim seperti lipid peroxidases, protease, dan fosfolipase
yang dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi asam lemak bebas dan radikal
bebas di intraseluler. Sebagai tambahan, aktifasi dari enzim caspases (ICE-like
proteins), translocases, dan endonuklease mampu menginisiasi perubahan struktural
dari membran biologis dan nucleosomal DNA secara progresif. Fase-fase ini secara
bersamaan mendukung terjadinya proses degradasi membran vaskular dan struktur
seluler dan akhirnya menyebabkan terjadinya proses nekrotik ataupun kematian sel
terprogram (apoptosis).

4
E. KLASIFIKASI TRAUMA KEPALA
Skala Coma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien trauma
kepala, gangguan kesadaran dinilai secara kuantitatif pada setiap tingkat kesadaran.
Bagian-bagian yang dinilai adalah:
a. Proses membuka mata (Eye Opening)
b. Reaksi gerak motorik ekstremitas (Best Motor Response)
c. Reaksi bicara (Best Verbal Response)
Pemeriksaan tingkat keparahan trauma kepala disimpulkan dalam suatu tabel Scala
Coma Glasgow (GCS)
Tabel 1. Scala Coma Glasgow (GCS)
1. Membuka Mata
Spontan 4
Terhadap rangsang suara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
2. Respon Verbal
Orientasi baik 5
Orientasi terganggu 4
Kata-kata tidak jelas 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada respon 1
3. Respon Motorik
Mampu bergerak 6
Melokalisasi nyeri 5
Fleksi menarik 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak ada respon 1

5
Total 3-15

F. ANATOMI DAN FISIOLOGI TRAUMA KEPALA


a. Anatomi

Gambar 1
1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu: skin atau
kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose connective atau jaringan penunjang longgar dan
pericranium. Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis crania.
Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal,
temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya di region temporal adalah tipis,
namun dilapisi oleh oto temporalis. Basis crania berbentuk tidak rata
sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses
akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu
fossa anterior tempat lobus frontalis, fossa media tempat lobus temporalis
dan fossa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan cerebellum.

6
2. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh pemukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu duramater, selaput arakhnoid dan piamater.
3. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang
dewasa sekitar 14 kg. otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon
yang terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesenfalon an rhombensefalon
yang terdiri dari pons, medulla oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus ffrontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus
parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus
temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung
jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi
system aktivasi retikuler yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan.
Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum
bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.
4. Cairan Serebrospinal (CSS)
Cairan serebrospinal dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral
melalui foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius
menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi kedalam sirkulasi vena melalui
granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan
intracranial.
5. Tentorium

7
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fossa cranii anterior dan fossa crania media) dan
ruang infratentorial (berisi fossa crania posterior)
6. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk circulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot
didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena
tersebut keluar dari otak dan bermuara kedalam sinus venosus cranialis.

b. Fisiologi
Otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
1. Cerebrum
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut
cerebral Corteks, Forebrain atau otak depan. Cerebrum membuat manusia
memiliki lesaian kemampuan berfikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran,
perencanaan, memori dan kemampuan visual.
Cerebrum terbagi menjadi empat bagian yang disebut lobus. Bagian
lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai
parit disebut suleus. Keempat lobus tersebut adalah lobus frontal, lobus
parietal, lobus occipital dan lobus temporal.
2. Cerebellum (Otak Kecil)
Terletak dibagian belakang kepala, dekat dengan ujung leher bagian
atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otak diantaranya: mengatur
sikap atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan
gerakan tubuh.
3. Brainstem (Batang Otak)
Batang otak berada didalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum

8
tulang belakang. Bagian otak ini mengatur suhu tubuh, mengatur proses
pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or
flight saat datangnya bahaya. Batang otak terdiri dari tiga bagian yaitu
mesenchepalon atau otak tengah, medulla oblongata dan pons.
4. Limbic System
System limbic terletak dibagian tengah otak, membungkus batang
otak. Komponen limbic antara lain hypothalamus, thalamus, amigdala,
hippocampus, dan korteks limbic. System limbic berfungsi menghasilkan
perasaan, mengatur produksi hormone, memelihara homeostatis, rasa
haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa senang, metabolism dan
memori jangka panjang.

G. DIAGNOSIS
a. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik
Anamnesis
1. Identitas pasien: Nama, Umur, Jenis kelamin, Suku, Agama, Pekerjaan,
Alamat
2. Keluhan utama
3. Mekanisma trauma
4. Waktu dan perjalanan trauma
5. Pernah pingsan atau sadar setelah trauma
6. Amnesia retrograde atau antegrade
7. Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, penurunan kesadaran, kejang,
vertigo
8. Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi kepala Penyakit
penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala, hipertensi dan
diabetes melitus, serta gangguan faal pembekuan darah
Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan Kepala

9
Mencari tanda :
a. Jejas di kepala meliputi; hematoma sub kutan, sub galeal, luka terbuka,
luka tembus dan benda asing.
b. Tanda patah dasar tengkorak, meliputi; ekimosis periorbita (brill
hematoma), ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan otorhoe
serta perdarahan di membrane timpani atau leserasi kanalis auditorius.
c. Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Lefort), fraktur rima
orbita dan fraktur mandibula
d. Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan
bilik mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata.
e. Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang
berhubungan dengan diseksi karotis
2. Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang
Mencari tanda adanya cedera pada tulang servikal dan tulang belakang
dan cedera pada medula spinalis. Pemeriksaan meliputi jejas, deformitas,
status motorik, sensorik, dan autonomik.
Pemeriksaan Status Neurologis Pemeriksaan status neurologis terdiri
dari :
a. Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS).
Cedera kepala berdasar GCS, yang dinilai setelah stabilisasi ABC
diklasifikasikan:
 GCS 14 – 15 : Cedera otak ringan (COR)
 GCS 9 – 13 : Cedera otak sedang (COS)
 GCS 3 – 8 : Cedera otak berat (COB)
b. Saraf kranial, terutama: Saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil : besar &
bentuk, reflek cahaya, reflek konsensuil bandingkan kanan-kiri.
Tanda-tanda lesi saraf VII perifer.

10
c. Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, perdarahan pre retina, retinal
detachment.
d. Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah mencari
tanda lateralisasi.
Autonomis: bulbocavernous reflek, cremaster reflek, spingter reflek,
reflek tendon, reflek patologis dan tonus spingter ani.

b. Pemeriksaan Radiologi
Tidak semua pasien dengan cedera kepala membutuhkan pemeriksaan
neuroradiologis. Penelitian menunjukan bahwa kurang dari 10% pasien
dengan cedera kepala ringan ternyata memiliki hasil yang positif pada
pemeriksaan CT scan, dimana kurang dari 1% yang membutuhkan intervensi.
Hal ini menunjukan bahwa masih ada sejumlah kecil pasien yang diuntungkan
dengan pencitraan radiologis.
Pasien harus diperiksa secara klinis dibuat berdasarkan apakah pada
pemeriksaan fisik dan riwayat perjalanan penyakit menunjukan cedera kepala
sedang hingga berat atau cedera kepala ringan. CT scan, MRI atau radiografi
tidak diperlukan untuk pasien beresiko rendah. Resiko rendah didefinisikan
sebagai mereka yang tidak menunjukan gejala atau hanya pusing, sakit kepala
ringan, kulit kepala lecet, atau hematoma, usia lebih dari 2 tahun dan tidak
memiliki temuan yang beresiko sedang ataupun tinggi.
Pasien dengan resiko sedang adalah mereka yang memiliki salah satu
kondisi berikut: riwayat penurunan tingkat kesadaran beberapa waktu ataupun
setelah terjadi cedera kepala, sakit kepala berat atau progresif, kejang pasca
trauma, muntah terus menerus, multiple trauma, cedera wajah yang serius,
tanda-tanda dari fraktur tengkorak basilar (hemotympanum, raccoon eyes,
rinorrea, otorrea), dugaan kekerasaan pada anak, gangguan perdarahan, atau
usia lebih muda dari 2 tahun.

11
Pasien beresiko tinggi adalah mereka dengan salah satu kondisi
berikut: temuan neurologis fokal, pasien dengan derajat kesadaran
berdasarkan GCS dengan skor 8 atau kurang, dipastikannya terdapat penetrasi
tengkorak, gangguan metabolic, keadaan postictal, atau penurunan atau
depresi tingkat kesadaran (tidak berhubungan dengan narkoba, alcohol, atau
obat-obatan depresan pada system saraf pusat lainnya). Jika terdapat cedera
sedang atau berat dan pasien dengan kondisi neurologis yang tidak stabil, CT
scan harus dilakukan untuk menyingkirkan adanya hematoma. Jika pasien
dengan kondisi neurologis yang stabil, MRI dan CT scan lebih digunakan
untuk mencari cedera dengan penekanan parenkim. Dalam cedera kepala
ringan (tanpa kehilangan kesadran atau deficit neurologis), pasien dapat hanya
diobservasi. Jika sakit kepala terus menerus terjadi setelah trauma, CT scan
harus dilakukan.
1) Foto Polos Kepala
Foto polos kepala hanya menunjukan ada tidaknya patah tulang dan
tidak mampu menghasilkan visibilitas yang baik pada otak atau adanya
darah untuk menunjukan cedera intracranial. Adanya patah tulang tengkorak
tanpa kelainan neurologis tidak begitu signifikan. Patah tulang tengkorak
yang ditentukan berdasarkan pemeriksaan foto polos kepala pada pasien
dengan cedera kepala ringan telah dilaporkan dengan angka sangat rendah,
mulai dari 1,9% hingga 4,3%. Patah tulang tengkorak tidak selalu berarti
cedera intracranial yang signifikan, meskipun tidak adanya patah tulang
tengkorak, pasien dapat memiliki kelainan patologis yang signifikan pada
intrakranialnya.
Foto polos kepala sangat membantu pada pasien yang dicurigai tidak
cedera akibat kecelakaan, patah tulang tengkorak depresi, cedera kepala
akibat penetrasi oleh benda asing, atau trauma kepala pada anak-anak
kurang dari 2 tahun, walaupun tanpa gejala neurologis.

12
1.2 Fraktur pada tulang tengkorak
Pemeriksaan foto polos kepala untuk melihat pergeseran
(displacement) fraktur tulang tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan adanya
perdarahan intracranial (depressed fracture), fraktur linear, dan fraktur
diastasis (traumatic suture separation). Fraktur impresi biasanya disertai
kerusakan jaringan otak dan pada foto terlihat sebagai garis atau dua garis
sejajar dengan densitas tinggi pada tulang tengkorak. Fraktur linear harus
dibedakan dari gambaran pembuluh darah normal atau dengan garis sutura
interna, yang tidak bergerigi seperti sutura eksterna. Garis sutura interna
bersifat superimposisi pada sutura yang bergerigi, sedangkan fraktur akan
menyimpang dari itu di beberapa titik. Selain itu, pada foto polos kepala,
fraktur ini terlihat sebagai garis radiolusen, paling sering didaerah parietal.
Garis fraktur biasanya lebih radiolusen daripada pembuluh darah dan arahnya
tidak teratur. Fraktur diastasis lebih sering pada anak-anak dan terlihat sebagai
pelebaran sutura

Gambar 2. Fraktur linear


2)

H. TERAPI TRAUMA KEPALA

13
14

Anda mungkin juga menyukai