Anda di halaman 1dari 25

 

 110201613
  MUHAMMAD ALDO ANUGRAH
0

Sasaran belajar:

1.MM Trauma kepala

Definisi

Menurut Brain Injury Assosiation of America (2006), cedera kepala merupakan


kerusakan yang disebabkan oleh serangan ataupun benturan fisik dari luar, yang
dapat mengubah kesadaran yang dapat menimbulkan kerusakan fungsi kognitif
maupun fungsi fisik. Cedera kepala merupakan suatu trauma atau ruda paksa yang
mengenai struktur kepala yang dapat menimbulkan gangguan fungsional jaringan
otak atau menimbulkan kelainan struktural.

Etiologi

Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang terjadi
akibat benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunder yaitu cedera
yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi intrakranial,
hipoksia, hiperkapnea / hipotensi sistemik. Cedera sekunder merupakan cedera yang
terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari
kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron
berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi.

Klasifikasi

Berdasarkan Advenced Trauma Life Support (ATLS) tahun 2004, klasifikasi


berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi menjadi:

1. Cedera kepala tumpul, biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor,


jatuh ataupun terkena pukulan benda tumpul.

2. Cedera kepala tembus, biasanya disebabkan oleh luka tusukan, atau luka tembak.

Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan menggunakan


Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun
1974. GCS yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran
seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi. Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi
membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan reaksi lengan
serta tungkai (motor respons).
Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS yaitu:

1. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat kelainan berdasarkan
CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat di rumah sakit < 48
jam.

2. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan pada CT scan
otak, memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial, dirawat di rumah sakit
setidaknya 48 jam.

3. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma, score GCS <
9

Berdasarkan morfologinya, cedera kepala dapat dibagi menjadi:

1. Fraktur Kranium

Fraktur kranium diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya, dibedakan menjadi


fraktur calvaria dan fraktur basis cranii. Berdasarkan keadaan lukanya, dibedakan
menjadi fraktur terbuka yaitu fraktur dengan luka tampak telah menembus
duramater, dan fraktur tertutup yaitu fraktur dengan fragmen tengkorak yang masih
intak.

2. Perdarahan Epidural

Hematom epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Biasanya
terletak di area temporal atau temporo parietal yang disebabkan oleh robeknya
arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.

3. Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Robeknya


vena-vena kecil di permukaan korteks cerebri merupakan penyebab dari perdarahan
subdural. Perdarahan ini biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak, dan
kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk bila dibandingkan
dengan perdarahan epidural.

4. Contusio dan perdarahan intraserebral

Contusio atau luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan
dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan
sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka
memar pada otak terjadi apabila otak menekan tengkorak. Contusio cerebri sering
terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap
bagian dari otak. Contusio cerebri dapat terjadi dalam waktu beberapa jam atau hari,
berubah menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi.

5. Commotio cerebri

Commusio cerebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan yang berlangsung
kurang dari 10 menit setelah trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan
otak. Pasien mungkin akan mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan
pucat.

6. Fraktur basis cranii

Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan fraktur
pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang
menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung
beberapa hari. Dapat tampak amnesia retrogade dan amnesia pascatraumatik.

Patogenesis

Mekanisme cedera kepala dapat berlangsung peristiwa coup dan contrecoup. Lesi
coup merupakan lesi yang diakibatkan adanya benturan pada tulang tengkorak dan
daerah disekitarnya. Lesi contrecoup merupakan lesi di daerah yang letaknya
berlawanan dengan lokasi benturan. Akselerasi - deselerasi terjadi akibat kepala
bergerak dan berhenti mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas
antara tulang tengkorak dan otak menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari
muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan.

Mekanisme utama pada cedera kepala ringan adalah shear strain. Kekuatan
rotasional dapat timbul sekalipun pada kecelakaan yang dianggap tidak berarti dan
tidak perlu adanya cedera coup dan contrecoup yang jelas. Hal ini menimbulkan
regangan pada akson-akson dengan akibat gangguan konduksi dan hilangnya fungsi.
Perubahan-perubahan tersebut diatas dikenal sebagai Diffuse Axonal Injury.

Manifestasi Klinis

Menurut Reisner (2009), gejala klinis cedera kepala yang dapat membantu

mendiagnosis adalah battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di
atas os mastoid), hemotipanum (perdarahan di daerah membran timpani telinga),
periorbital ekhimosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung), rhinorrhoe (cairan
serebrospinal keluar dari hidung), otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga).

Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala ringan adalah pasien
tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh,
sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan, mual dan atau muntah, gangguan
tidur dan nafsu makan yang menurun, perubahan kepribadian diri, letargik. Tanda–
tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala berat adalah perubahan ukuran
pupil (anisocoria), trias Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi
pernafasan) apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau
posisi abnormal ekstremitas.

Diagnosis dan DD

Diagnosis cedera kepala didapatkan dengan anamnesis yang rinci untuk mengetahui
adanya riwayat cedera kepala serta mekanisme cedera kepala, gejala klinis dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan
adalah mekanismenya. Pemeriksaan fisik meliputi tanda vital dan sistem organ
(Iskandar, 2002). Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat
penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis,
selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi
batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan reflek.

Pemeriksaan Awal pada Trauma Kapitis

Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002) antara lain :

1. Pemeriksaan kesadaran

Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow


Coma Scale (GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga
pengukuran, yaitu : pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari
masing-masing komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS. Nilai
terendah adalah 3 sedangkan nilai tertinggi adalah 15.

Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien


menjadi :

• GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat


• GCS 9 – 13 : cedera kepala sedang

• GCS > 13 : cedera kepala ringan

Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali
pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat
kesadaran dan dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai apakah
terjadi perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk.

Tabel Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale)

Respon membuka mata (E) Nilai

Buka mata spontan 4

Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3

Buka mata bila dirangsang nyeri 2

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon verbal (V) Nilai

Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5

Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4

Kata-kata tidak teratur 3

Suara tidak jelas 2

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon motorik (M) Nilai

Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5

Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2

Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1

2. Pemeriksaan Pupil

Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.
Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal.
Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf
okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan
akibat dari cedera kepala.

3. Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer.


Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya
harus dicatat.

(sumber ; Greaves dan Johnson, 2002)


4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak

Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman


leaserasi dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak
dilakukan untuk menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan,
dan memar.

Prosedur Imaging dalam Diagnosa Trauma Kapitis

a. X-ray Tengkorak

Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar


tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur
karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan.
X-Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada (State of Colorado
Department of Labor and Employment, 2006).

b. CT-Scan

Penemuan awal computed tomography scanner (CT Scan) penting dalam


memperkirakan prognosa cedera kepala berat (Alberico dkk, 1987 dalam
Sastrodiningrat,, 2007). Suatu CT scan yang normal pada waktu masuk dirawat
pada penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas
yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila dibandingkan
dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal.

Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang
relatif normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkatan
TIK dan dapat berkembang lesi baru pada 40% dari penderita (Roberson dkk, 1997
dalam Sastrodiningrat, 2007). Di samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif
untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya
struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan
dengan outcome yang buruk (Sastrodiningrat, 2007 ).
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai


prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang
sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi
yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI,
mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil
pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik
(Wilberger dkk., 1983 dalam Sastrodiningrat, 2007).

Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi


baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi
Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan
sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada
pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba.
Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat
masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan
berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera
kepala ringan ( Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2007 ).

Tatalaksana

Secara umum, pasien dengan cedera kepala harusnya dirawat di rumah sakit untuk
observasi. Pasien harus dirawat jika terdapat penurunan tingkat kesadaran, fraktur
kranium dan tanda neurologis fokal. Cedera kepala ringan dapat ditangani hanya
dengan observasi neurologis dan membersihkan atau menjahit luka / laserasi kulit
kepala. Untuk cedera kepala berat, tatalaksana spesialis bedah saraf sangat
diperlukan setelah resusitasi dilakukan.

Aspek spesifik terapi cedera kepala dibagi menjadi dua kategori:

1. Bedah

a. Intrakranial: evakuasi bedah saraf segera pada hematom yang mendesak ruang.

b. Ekstrakranial: inspeksi untuk komponen fraktur kranium yang menekan pada


laserasi kulit kepala. Jika ada, maka hal ini membutuhkan terapi bedah segera dengan
debridement luka dan menaikkan fragmen tulang untuk mencegah infeksi lanjut
pada meningen dan otak.

2. Medikamentosa

a. Bolus manitol (20%, 100 ml) intravena jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial. Hal ini dibutuhkan pada tindakan darurat sebelum evakuasi hematom
intrakranial pada pasien dengan penurunan kesadaran.

b. Antibiotik profilaksis untuk fraktur basis cranii.

c. Antikonvulsan untuk kejang.

d. Sedatif dan obat-obat narkotik dikontraindikasikan, karena dapat memperburuk


penurunan kesadaran.

Komplikasi

Komplikasi akibat cedera kepala:

1. Gejala sisa cedera kepala berat: beberapa pasien dengan cedera kepala berat
dapat mengalami ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia, hemiparesis, palsi saraf
cranial) maupun mental (gangguan kognitif, perubahan kepribadian). Sejumlah kecil
pasien akan tetap dalam status vegetatif.

2. Kebocoran cairan serebrospinal: bila hubungan antara rongga subarachnoid dan


telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis cranii hanya kecil dan
tertutup jaringan otak maka hal ini tidak akan terjadi. Eksplorasi bedah diperlukan
bila terjadi kebocoran cairan serebrospinal persisten.

3. Epilepsi pascatrauma: terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang awal
(pada minggu pertama setelah cedera), amnesia pascatrauma yang lama, fraktur
depresi kranium dan hematom intrakranial.

4. Hematom subdural kronik.

5. Sindrom pasca concusio : nyeri kepala, vertigo dan gangguan

konsentrasi dapat menetap bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat
terjadi akibat cedera vestibular (konkusi labirintin).

Pencegahan

Pencegahan cedera kepala dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut:

 Menggunakan alat pengaman saat melakukan olahraga-olahraga, seperti


sepakbola, bersepeda, menyelam, tinju, dan sebagainya.
 Selalu menggunakan alat pelindung diri, seperti helm atau pelindung kepala, saat
bekerja.
 Memasang pegangan besi di kamar mandi dan samping tangga untuk
mengurangi risiko terpeleset.
 Memastikan lantai selalu kering dan tidak licin.
 Memasang penerangan yang baik di seluruh rumah.
 Memeriksa kondisi mata secara rutin.
 Berolahraga secara teratur untuk mereggangkan otot.

Anak-anak juga rentan mengalami cedera kepala saat bermain. Berikut adalah
langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah kecelakaan terjadi:

 Memasang pintu di depan tangga dan dikunci saat tidak ada pengawas.
 Memasang tralis jendela, khususnya jika Anda tinggal di apartemen atau rumah
tingkat.
 Meletakkan keset kering di depan pintu kamar mandi untuk menghindari
terpeleset.

Hal yang terpenting adalah selalu awasi anak Anda dan pastikan mereka bermain
dengan cara yang aman.

2.MM Fraktur basis kranii

Definisi

Fraktur basis kranii adalah trauma pada dasar tengkorak atau basis kranii bisa terjadi
secara langsung maupun tidak langsung, sehingga ada beberapa fraktur basis kranii
yang terjadi sebagai akibat jejas lokal.

MK

Gejala tergantung letak frakturnya:

1) Fraktur fossa anterior

Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata dikelilingi
lingkaran “biru” (Brill Hematom atau Racoon’s Eyes), rusaknya Nervus Olfactorius
sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.

2) Fraktur fossa media

Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan arteri
carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi hubungan
antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt).

3) Fraktur fossa posterior

Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas


foramen magnum dan merusak medula oblongata sehingga penderita dapat mati
seketika.
Diagnosis dan DD

Anamnesis

 Didapatkan riwayat trauma

 Riwayat keluarnya darah atau cairan dari hidung dan/atau telinga

 Mual

 Muntah

 Gangguan Melihat

 Wajah mencong

 Gangguan Mendengar

PF

Pemeriksaan Fisik Umum

(pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi )

Pemeriksaan fisik pertama kali diutamakan pada evaluasi A (airways), B (breathing),


dan C (circulation)

 Dapat disertai dengan cedera lain dan penurunan kesadaran

Pemeriksaan lokalis Gambaran Khas :

 Retro aurikular/Mastoid Ecchymosis (Battle sign)

 Periorbital Ecchymosis (Raccoon eyes)

 Clear Rhinorea

 Clear Otorhea

 Hemotimpanum

Pemeriksaan Neurologis (jika didapatkan)

 Tingkat kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS)

 Lesi N III,IV,VI

 Lesi N VII

 Lesi N VIII

Penunjang
CT-SCAN, X-FOTO KEPALA, X-FOTO VERTEBRA SERVIKAL, X-FOTO THORAKS, LAB Beta
Transferrin, CT-SCAN Whole Body

Diagnosis Banding

Trauma maksilofacial

Tatalaksana

Operasi

Indikasi Pembedahan

 Kebocoran LCS post trauma yang disertai dengan meningitis

 Fraktur transversal Os petrosus yang melibatkan optic capsule

 Fraktur tulang temporal yang mengakibatkan lesi total otot wajah

 Trauma balistik pada temoral yang mengakibatkan kerusakan vaskular

 Defek luas dengan herniasi otak kedalam sinus paranasal, Pneumocephalus ,


atau kebocoran LCS lebih dari lima hari

Tindakan bedah :

 Craniotomy

 Duraplasty

 Cranioplasty

Konservatif

Perawatan non operatif di ruangan meliputi

 Observasi GCS, pupil, lateralisasi, danfaal vital

 Optimalisasi, stabilisasi faal vital, menjaga optimalnya suplai O2 ke otak

 Airway: menghisap secret / darah / muntahan bila diperlukan, trakheostomi.


Penderita COB dengan lesi yang tidak memerlukan evakuasi dan penderita
dengan gangguan analisa gas darah dirawat dalam respirator

 Mempertahankan perfusi otak, memposisikan kepala head up sekitar 30 derajat


dengan menghindari fleksi leher

 Kateter buli-buli diperlukan untuk mencatat produksi urine, mencegah retensi


urine, mencegah tempat tidur basah (dengan demikian mengurangi risiko
dekubitus)

- Head Up 30o (2B)

- Berikan cairan secukupnya (normal saline) untuk resusitasi korban agar tetap
normovolemia, atasi hipotensi yang terjadi dan berikan transfuse darah jika Hb
kurang dari 10 gr/dl. (1B)

- Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh lain, GCS dan
pemeriksaan batang otak secara periodik.

- Berikan obat-obatan analgetik (misal: acetaminophen, ibuprofen untuk nyeri ringan


dan sedang) bila didapatkan keluhan nyeri pada penderita (2B)

- Berikan obat-obatan anti muntah (misal: metoclopramide atau ondansentron) dan


anti ulkus gastritis H2 bloker (misal: ranitidin atau omeprazole) jika penderita muntah
(2B)

- Berikan Cairan hipertonik (mannitol 20%), bila tampak edema atau cedera yang
tidak operable pada CT Scan. Manitol dapat diberikan sebagai bolus 0,5 – 1 g/kg. BB
pada keadaan tertentu, atau dosis kecil berulang, misalnya (4-6) x 100 cc manitol
20% dalam 24 jam. Penghentian secara gradual. (1B)

 Berikan Phenytoin (PHT) profilaksis pada pasien dengan resiko tinggi kejang
dengan dosis 300 mg/hari atau 5-10 mg kg BB/hari selama 10 hari. Bila telah
terjadi kejang, PHT diberikan sebagai terapi. (1B)

 Antibiotik Profilaksis

Prognosis

Dipengaruhi :

- Usia

- Status Neurologis awal

- Jarakantara trauma dan tindakan bedah

- Edema cerebri

- Kelainan intrakranial lain seperti kontusional, hematom subarachnoid, dan


hematom epidural

- Faktor ekstrakranial

3.MM perdarahan intercranial


Definisi

Perdarahan intrakranial merupakan perdarahan atau akumulasi darah dalam rongga


intrakranium yang dapat terjadi pada parenkim otak dan pada ruang meninges
sekitarnya. Perdarahan intrakranial dapat disebabkan oleh kejadian traumatik
maupun nontraumatik. Perdarahan yang terjadi pada ruang meninges dapat berupa
perdarahan epidural, perdarahan subdural, dan perdarahan subaraknoid.
Perdarahan pada parenkim otak dapat meluas hingga ke ventrikel otak, disebut
sebagai perdarahan intraventrikular. Perdarahan pada parenkim otak ini akan
menyebabkan terjadinya stroke hemorrhagik pada pasien.

Etiologi

Etiologi Nontraumatik :

 Kerusakan pembuluh darah akibat hipertensi: eklampsia, substance use disorder,


dan hipertensi.

 Disfungsi autoregulasi pembuluh darah otak: reperfusion injury, transformasi


perdarahan, dan paparan terhadap suhu dingin

 Ruptur aneurisma atau malformasi pembuluh darah

 Arteriopati: angiopati amiloid serebral dan penyakit moyamoya

 Gangguan hemostasis: trombolisis, antikoagulasi, dan diatesis perdarahan

 Nekrosis perdarahan: tumor dan infeksi

 Obstruksi aliran vena: trombosis vena serebral

Etiologi traumatik

Perdarahan intrakranial dapat disebabkan oleh trauma tajam maupun tumpul.


Pasien yang mengonsumsi antikoagulan seperti warfarin atau heparin memiliki risiko
perdarahan intrakranial yang lebih tinggi, bahkan pada cedera kepala yang bersifat
minor.

Faktor risiko perdarahan intrakranial, antara lain:

 Faktor pasien: jenis kelamin laki-laki, usia tua


 Riwayat penyakit: hipertensi, angiopati amiloid serebral, tingkat kolesterol
rendah
 Riwayat penggunaan obat antikoagulan
 Substance use disorder berupa alcohol use disorder dan cocaine use disorder
 Faktor genetik: gen Apolipoprotein E dan alel e2 serta e4 berhubungan dengan
pembesaran hematoma
Patof

Perdarahan Intrakranial Traumatik

Perdarahan intrakranial traumatik disebabkan oleh cedera otak traumatik yang


selanjutnya menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak dan perdarahan.
Perdarahan akibat trauma ini dapat berhubungan dengan fraktur tengkorak,
misalnya pada perdarahan ekstradural, atau akibat gaya geser (shearing force),
misalnya pada diffuse axonal injury. 

Perdarahan Intrakranial Nontraumatik

Perdarahan intrakranial nontraumatik biasanya disebabkan oleh penyakit pembuluh


darah kecil. Diawali dengan perubahan degeneratif pada dinding pembuluh darah
yang disebabkan vaskulopati. akibat hipertensi jangka panjang. Hal ini disebut
sebagai lipohialinosis. Selain itu, jika perdarahan disebabkan oleh angiopati amiloid
serebral, maka proses perdarahan diawali dengan deposisi peptida amiloid-beta
pada dinding pembuluh darah kecil leptomeningeal dan korteks. Akhirnya, akan
terjadi perubahan degeneratif yang ditandai dengan matinya sel-sel otot polos,
penebalan dinding, penyempitan lumen pembuluh darah, pembentukan aneurisma
mikro dan perdarahan-perdarahan mikro yang disebabkan oleh akumulasi amiloid.

Cedera Otak Sekunder

Pecahnya pembuluh darah dan perdarahan yang terjadi selanjutnya akan


menyebabkan penekanan atau kerusakan mekanik pada parenkim otak. Dilanjutkan
dengan edema perihematoma yang terjadi dalam waktu 3 jam setelah onset gejala.
Puncak edema ini diperkirakan adalah sekitar 10-20 hari setelah onset. Selanjutnya,
proses kerusakan sekunder akan terjadi yang dimediasi oleh sel-sel darah dan
plasma. Kemudian, akan terjadi proses peradangan yang ditandai dengan aktivasi
kaskade koagulasi dan deposisi besi hasil degradasi hemoglobin. Pada akhirnya,
hematoma akan membesar dalam 24 jam pertama (hal ini terjadi pada 38% pasien).

Diagnosis dan Dd

Diagnosis perdarahan intrakranial dilakukan dengan anamnesis dan pemeriksaan


fisik mengenai gejala dan tanda perdarahan intrakranial, misalnya nyeri kepala,
kejang, kaku kuduk, dan penurunan kesadaran. Namun, diagnosis pasti hanya dapat
ditegakkan melalui pemeriksaan pencitraan otak, berupa CT Scan, CT Angiografi, dan
MRI.

Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara cepat guna menemukan gejala serta tanda perdarahan
intrakranial. Gejala akut perdarahan intrakranial sering kali sulit dibedakan dari
stroke iskemik. Beberapa gejala yang sering ditemukan, antara lain :

 Nyeri kepala
 Mual, muntah
 Kejang
 Gejala neurologis fokal dan generalisata
 Koma

Jika tanda-tanda di atas ditemukan, maka pasien cenderung mengalami perdarahan


intrakranial dan bukan stroke iskemik. Namun diagnosis pasti hanya ditegakkan
melalui pencitraan otak.

Untuk perdarahan intrakranial traumatik, perlu juga ditanyakan mengenai


mekanisme trauma, ada tidaknya perubahan tingkat kesadaran atau hilang
kesadaran, serta riwayat penggunaan antikoagulan.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik terpenting untuk dilakukan adalah penilaian Glasgow coma


scale (GCS) untuk menilai seberapa parah cedera kepala (jika ada) yang terjadi pada
pasien. Selain itu, dilakukan beberapa pemeriksaan fisik lain, seperti :

 Tekanan darah: untuk memastikan adanya hipertensi dan peningkatan tekanan


diastolik yang berhubungan dengan perdarahan intrakranial
 Kaku kuduk: jika ditemukan, dapat dicurigai adanya kelainan pada selaput
meninges. Pemeriksaan kaku kuduk sebaiknya ditunda pada kasus trauma kepala
sampai vertebra servikal dipastikan aman
 Perdarahan pada retina subhialoid
 Anisokoria pupil
 Defisit neurologis fokal
P. Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada perdarahan intrakranial, antara


lain:

 Pencitraan otak: CT Scan, MRI, dan CT- / MR- angiografi


 Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, prothrombin time (PT), activated
partial thromboplastin time (aPTT), kimia darah, toksikologi, dan skrining
kelainan darah, infeksi, dan vaskulitis
 Pemeriksaan lain: elektrokardiografi dan pungsi lumbal

D Banding

Diagnosis banding perdarahan intrakranial antara lain stroke iskemik, ensefalitis


herpes simpleks, sindrom diseksi, hidrosefalus, penyakit Moyamoya, epilepsi, dan
empiema subdural.

Stroke Iskemik

Stroke iskemik memiliki onset yang cenderung perlahan dan terjadi pada kondisi
pasien yang sedang tenang (tidak beraktivitas), dapat juga disebabkan oleh fibrilasi
atrium yang menimbulkan stroke kardioemboli.

Kerusakan reperfusi akibat terapi trombolitik stroke iskemik akut juga dapat menjadi
diagnosis banding dari perdarahan intrakranial. Hal ini disebabkan oleh adanya
peningkatan aliran darah serebral ipsilateral yang melebihi kebutuhan jaringan otak.

Ensefalitis

Ensefalitis dapat disebabkan oleh virus herpes simpleks, Japanese


encephalitis, measles dan rabies. Gejala biasanya diawali dengan adanya
demam, malaise, dan mual yang diikuti dengan gejala letargis, kebingungan, dan
delirium.

Sindrom Diseksi

gejala diseksi paling sering berupa gejala iskemia dan dapat dipastikan dengan CT-
angiografi yang menunjukkan adanya flap lapisan intima atau gambaran
lumen double-barrel.
Hidrosefalus

Gejala hidrosefalus pada pasien dewasa biasanya mual, kepala pasien membesar
pada pemeriksaan fisik, dan ditemukan adanya akumulasi cairan serebrospinal.

Penyakit Moyamoya

Penyakit Moyamoya merupakan penyakit pembuluh darah otak oklusif yang terjadi
pada sirkulus Willisi, arteri otak, dan batang otak, dapat dilihat pada hasil CT-
angiografi otak. Penyakit ini banyak terjadi pada orang Jepang.

Epilepsi

Epilepsi ditandai dengan kejang dan dipastikan dengan elektroensefalografi (EEG).

Empiema Subdural

Empiema subdural merupakan pengumpulan massa abses pada lapisan subdural.


Gejala yang ditimbulkan akan menyerupai gejala peningkatan tekanan intrakranial.
Selain itu, dapat ditemukan kaku kuduk serta kelainan pada cairan serebrospinal.

Tatalaksana

Penatalaksanaan Awal di UGD

Beberapa langkah awal yang dilakukan pada pasien dengan perdarahan intrakranial,
antara lain:

 Melakukan intubasi untuk memastikan jalan nafas pasien, terutama pada pasien
dengan penurunan kesadaran. Lakukan pemeriksaan neurologis sebelum
memberikan agen sedasi dan paralisis
 Menurunkan tekanan darah dengan perlahan hingga target mean arterial
pressure (MAP) < 130 mmHg. Tekanan darah tinggi berhubungan dengan
ekspansi hematoma dan prognosis yang buruk
 Stabilisasi tanda vital

CT Scan Emergensi

Pada pasien dengan perdarahan intrakranial, terutama yang mengalami penurunan


kesadaran, CT Scan kepala perlu dilakukan segera untuk menentukan perlu tidaknya
merujuk pasien ke bedah saraf, lokasi dan volume perdarahan, serta risiko cedera
otak sekunder.

Penatalaksanaan Lanjutan

Setelah kondisi pasien dan tanda vital sudah stabil, lakukan reduksi tekanan
intrakranial untuk menjaga cerebral perfussion pressure(CPP), koreksi koagulopati,
penanganan kejang, serta menjaga homeostasis pasien.

Reduksi Tekanan Intrakranial

Reduksi tekanan intrakranial dilakukan dengan langkah-langkah berikut ini:

 Elevasi kepala 15-30 derajat. Walau demikian, studi terkini menunjukkan


kontroversi antara posisi supinasi dan elevasi kepala
 Hiperventilasi pada pasien yang sudah diintubasi untuk mencapai target pCO2
30-35 mmHg
 Pemberian cairan saline hipertonik hingga target serum natrium 155-160 mEq/L.
Cairan hipertonik terbukti lebih efektif dibandingkan mannitol dalam
menurunkan tekanan intrakranial. Mannitol dapat digunakan sebagai alternatif
dengan dosis 0,25-1 gram/kgBB
 Intervensi pembedahan berupa pemasangan monitor tekanan darah intrakranial,
drainase ventrikular eksternal, kraniotomi, evakuasi bekuan darah pada
perdarahan epidural, serta kraniektomi dekompresi

Koreksi Koagulopati

Pasien end-stage liver disease atau pasien yang mendapat warfarin dapat ditangani


dengan pemberian vitamin K sedangkan pasien yang mendapat heparin dapat
diberikan protamine. Pada koagulopati terkait trauma, pasien dapat diberikan
platelet dan fresh frozen plasma (FFP).

Penanganan Kejang

Profilaksis kejang tidak lagi disarankan pada perdarahan intrakranial. Pasien


perdarahan intrakranial yang mengalami kejang perlu diberikan benzodiazepines
seperti diazepam, serta antikonvulsan seperti phenytoin.

Menjaga Homeostasis

Pasien harus dipantau suhu, status cairan dan gula darahnya untuk memastikan
kondisi pasien tidak mengalami hipertermia, dan terjaga tetap euglikemia dan
euvolemia.
Penatalaksanaan Definitif: Pembedahan

Pembedahan pada perdarahan intrakranial tidak diperlukan pada pasien dengan


defisit neurologis yang minimal atau volume perdarahan < 10 mL. Tindakan
pembedahan pada pasien perdarahan intrakranial perlu dilakukan pada pasien
berikut :

 Ukuran perdarahan > 3 cm


 Perdarahan intrakranial yang berhubungan dengan kerusakan struktural
pembuluh darah
 Pasien usia muda dengan perdarahan bagian lobar

Komplikasi

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada perdarahan intrakranial, antara lain:

 Kematian
 Sistem saraf: defisit neurologis, kejang, hidrosefalus, spastisitas, nyeri neuropati,
herniasi otak
 Sistem pernafasan: pneumonia aspirasi, emboli paru
 Pembuluh darah perifer: deep vein thrombosis (DVT), ulkus dekubitus
 Sistem kemih: infeksi saluran kemih
 Sistem pencernaan: perdarahan saluran pencernaan
 Sistem kardiovaskular: infark miokard atau gagal jantung
 Risiko jatuh

Prognosis

Prognosis pasien dengan perdarahan intrakranial sangat bergantung dari onset, usia
pasien, volume, serta lokasi perdarahan. Komplikasi yang mungkin dialami pasien
juga menjadi faktor penentu prognosis pasien. Secara umum, semakin tua usia
pasien, semakin dalam lokasi perdarahan, serta semakin luas volume perdarahan
pasien akan menyebabkan prognosis semakin buruk.

Prognosis perdarahan intrakranial dapat diperkirakan dengan menggunakan metode


skoring perdarahan intrakranial (The intracranial hemorrhage / ICH score). Metode
ini dapat memprediksikan mortalitas 30 hari menggunakan beberapa data seperti
usia, volume perdarahan, skor Glasgow coma scale, adanya perdarahan dari
infratentorial, dan adanya perdarahan intraventrikular. Skor yang lebih tinggi
menandai luaran yang lebih buruk.

4.Triad cushing

Sindrom Cushing adalah kumpulan gejala yang muncul akibat kadar hormon kortisol
yang terlalu tinggi dalam tubuh. Kondisi ini dapat terjadi seketika atau bertahap, dan
bisa semakin memburuk jika tidak ditangani.

Gejala Sindrom Cushing

Sejumlah gejala yang dialami penderita Sindrom Cushing bervariasi, tergantung pada
tingginya kadar kortisol di tubuh. Gejala umumnya berupa:

 Berat badan meningkat.


 Menumpuknya jaringan lemak, terutama pada bahu (buffalo hump) serta wajah
(moon face). Sindrom Cushing juga bisa menyebabkan munculnya benjolan di
leher belakang.
 Guratan berwarna ungu kemerahan (striae) di kulit perut, paha, payudara, dan
lengan.
 Penipisan kulit, sehingga kulit menjadi mudah memar.
 Luka pada kulit menjadi sulit sembuh.
 Muncul jerawat.
 Otot melemah.
 Lemas.
 Depresi, cemas dan mudah marah.
 Gangguan kognitif.
 Tekanan darah tinggi.
 Sakit kepala.
 Pengeroposan tulang.
 Gangguan pertumbuhan pada anak.

Pada wanita, dapat timbul gejala hirsutisme atau tumbuh rambut lebat pada wajah
atau di bagian lain yang biasanya hanya tumbuh pada pria, serta gangguan
siklus menstruasi, bisa tidak teratur atau terlambat haid. Sedangkan pada pria, gejala
yang dialami adalah penurunan gairah seksual, gangguan kesuburan, dan impotensi.
Penyebab Sindrom Cushing

Sindrom Cushing disebabkan oleh kadar hormon kortisol yang terlalu tinggi dalam
tubuh. Tingginya kadar hormon kortisol tersebut bisa disebabkan oleh faktor dari
luar (sindrom Cushing eksogen), atau faktor dari dalam (sindrom Cushing endogen).

Sindrom Cushing eksogen disebabkan oleh penggunaan obat jenis kortikosteroid,


seperti prednisone, dalam dosis tinggi dan jangka panjang. Golongan obat ini
digunakan untuk menangani berbagai kondisi seperti artritis, asma, atau lupus, serta
digunakan pada pasien pasca transplantasi organ untuk mencegah penolakan tubuh
pasien terhadap organ yang diterima.

Sedangkan sindrom Cushing endogen disebabkan oleh tingginya hormon


adrenokortikotropik (ACTH) dalam tubuh. ACTH merupakan hormon yang mengatur
pembentukan hormon kortisol dan dihasilkan oleh kelenjar hipofisis. Tingginya ACTH
mengakibatkan kelenjar adrenal menghasilkan hormon kortisol secara berlebihan.
Beberapa keadaan yang mengakibatkan tingginya ACTH adalah:

 Tumor di kelenjar hipofisis atau pituitari. Kondisi ini membuat kelenjar hipofisis
menghasilkan ACTH dalam jumlah berlebih, sehingga memicu tubuh
memproduksi hormon kortisol dalam jumlah besar.
 Tumor penghasil ACTH. Keadaan ini jarang terjadi, yaitu terdapat tumor di
pankreas, paru-paru, kelenjar tiroid, atau kelenjar timus yang juga menghasilkan
ACTH.
 Familial Cushing syndrome. Meski jarang terjadi, kelainan ini diwarisi oleh orang
tua, sehingga timbul tumor di kelenjar endokrin yang memengaruhi produksi
hormon kortisol dan menimbulkan sindrom Cushing.

Pada beberapa orang, penyebab sindrom Cushing endogen tidak disebabkan oleh
berlebihnya ACTH, tetapi terdapat gangguan di kelenjar adrenal. Kelainan kelenjar
adrenal yang paling sering terjadi dan menimbulkan sindrom Cushing adalah tumor
jinak yang dinamakan adenoma adrenal.

Diagnosis Sindrom Cushing

Sebelum menjalankan pemeriksaan, dokter akan menanyakan pada pasien terkait


gejala yang dialami dan riwayat obat yang rutin dikonsumsi. Kemudian dokter akan
menjalankan pemeriksaan fisik dengan melihat tanda sindrom Cushing pada pasien.
Dokter akan melakukan pemeriksaan penunjang, seperti:
 Pengukuran hormon kortisol. Pengukuran kadar hormon kortisol dapat
dilakukan dengan mengambil sampel darah, urine, atau air liur. Pada tes urine,
pasien akan diminta untuk mengumpulkan urine selama 24 jam. Sedangkan,
sampel air liur akan diambil pada malam hari, di mana seharusnya kadar hormon
kortisol rendah di air liur.
 Pencitraan. Dokter akan menjalankan pemeriksaan CT SCAN atau MRI untuk
melihat adanya kemungkinan tumor pada kelenjar adrenal atau kelenjar
hipofisis.
 Pengukuran ACTH. Dalam tes ini, dokter akan mengambil sampel darah dari
sinus petrosus, yaitu pembuluh darah di sekitar kelenjar hipofisis. Tes ini
membantu menentukan apakah sindrom Cushing disebabkan oleh gangguan
pada kelenjar hipofisis atau bukan.

Pengobatan Sindrom Cushing

Pengobatan sindrom Cushing bertujuan mengurangi kadar kortisol dalam tubuh.


Namun demikian, metode pengobatan yang dipilih tergantung pada penyebab yang
mendasarinya. Beberapa metode pengobatan untuk sindrom Cushing adalah:

 Mengurangi penggunaan kortikosteroid.

Metode ini digunakan pada pasien yang menggunakan kortikosteroid dalam jangka
panjang. Dokter bisa mengurangi dosis kortikosteroid secara bertahap dengan
menggantinya dengan obat-obatan lain. Perlu diingat, jangan lakukan ini tanpa
petunjuk dokter.

  Bedah.

Sindrom Cushing yang disebabkan oleh tumor, dokter akan melakukan bedah
pengangkatan tumor, baik di kelenjar hipofisis, kelenjar adrenal, pankreas, atau
paru-paru. Setelah bedah, pasien akan membutuhkan obat pengganti hormon
kortisol secara sementara.

 Radioterapi

Jika tumor pada kelenjar hipofisis tidak bisa diangkat sepenuhnya, dokter akan
menyarankan pasien untuk menjalani Radioterapi atau terapi radiasi.

 Obat-obatan
Jika bedah dan radioterapi tidak berhasil, dokter akan menggunakan obat-obatan
untuk mengontrol kadar kortisol. Obat juga bisa digunakan sebelum bedah
dilakukan.

Untuk mengontrol kadar kortisol di kelenjar adrenal, jenis obat yang umumnya
digunakan adalah ketoconazole, mitotane, dan metyrapone. Sedangkan untuk
penderita sindrom Cushing yang memiliki diabetes, umumnya dokter akan
menggunakan mifepristone. Perlu diketahui, obat-obat tersebut dapat menimbulkan
efek samping seperti mual, muntah, sakit kepala, nyeri otot, serta hipertensi. Kadang
juga muncul efek samping yang lebih serius seperti gangguan fungsi hati.

Obat terbaru untuk menangani sindrom Cushing adalah pasireotide, yang berfungsi


menurunkan kadar ACTH akibat tumor di kelenjar hipofisis. Obat ini diberikan
melalui suntikan dua kali sehari, dan disarankan untuk digunakan bila bedah tidak
berhasil atau tidak bisa dilakukan. Efek samping dari obat ini adalah diare, mual,
peningkatan gula darah, sakit kepala, tubuh mudah lelah, dan sakit perut.

Dalam sejumlah kasus, tumor atau pengobatan yang dijalani juga menyebabkan
berkurangnya kadar hormon lain yang diproduksi oleh kelenjar hipofisis dan kelenjar
adrenal. Bila kondisi itu terjadi, dokter akan menyarankan pemberian obat untuk
mengganti hormon tersebut.

Jika semua metode pengobatan di atas tidak efektif, dokter akan menyarankan
untuk dilakukan bedah pengangkatan kelenjar adrenal. Prosedur ini bisa mengatasi
kelebihan produksi kortisol, namun pasien akan membutuhkan obat pengganti
hormon selama seumur hidup.

Komplikasi Sindrom Cushing

Jika tidak ditangani, sindrom Cushing bisa menyebabkan berbagai komplikasi, antara
lain:

 Tekanan darah tinggi


 Peningkatan gula darah
 Rentan terserang infeksi
 Pengeroposan tulang (osteoporosis)
 Kehilangan massa otot

Anda mungkin juga menyukai