110201613
MUHAMMAD ALDO ANUGRAH
0
Sasaran belajar:
Definisi
Etiologi
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang terjadi
akibat benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunder yaitu cedera
yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi intrakranial,
hipoksia, hiperkapnea / hipotensi sistemik. Cedera sekunder merupakan cedera yang
terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari
kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron
berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi.
Klasifikasi
2. Cedera kepala tembus, biasanya disebabkan oleh luka tusukan, atau luka tembak.
1. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat kelainan berdasarkan
CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat di rumah sakit < 48
jam.
2. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan pada CT scan
otak, memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial, dirawat di rumah sakit
setidaknya 48 jam.
3. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma, score GCS <
9
1. Fraktur Kranium
2. Perdarahan Epidural
Hematom epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Biasanya
terletak di area temporal atau temporo parietal yang disebabkan oleh robeknya
arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
3. Perdarahan Subdural
Contusio atau luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan
dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan
sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka
memar pada otak terjadi apabila otak menekan tengkorak. Contusio cerebri sering
terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap
bagian dari otak. Contusio cerebri dapat terjadi dalam waktu beberapa jam atau hari,
berubah menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi.
5. Commotio cerebri
Commusio cerebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan yang berlangsung
kurang dari 10 menit setelah trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan
otak. Pasien mungkin akan mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan
pucat.
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan fraktur
pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang
menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung
beberapa hari. Dapat tampak amnesia retrogade dan amnesia pascatraumatik.
Patogenesis
Mekanisme cedera kepala dapat berlangsung peristiwa coup dan contrecoup. Lesi
coup merupakan lesi yang diakibatkan adanya benturan pada tulang tengkorak dan
daerah disekitarnya. Lesi contrecoup merupakan lesi di daerah yang letaknya
berlawanan dengan lokasi benturan. Akselerasi - deselerasi terjadi akibat kepala
bergerak dan berhenti mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas
antara tulang tengkorak dan otak menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari
muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan.
Mekanisme utama pada cedera kepala ringan adalah shear strain. Kekuatan
rotasional dapat timbul sekalipun pada kecelakaan yang dianggap tidak berarti dan
tidak perlu adanya cedera coup dan contrecoup yang jelas. Hal ini menimbulkan
regangan pada akson-akson dengan akibat gangguan konduksi dan hilangnya fungsi.
Perubahan-perubahan tersebut diatas dikenal sebagai Diffuse Axonal Injury.
Manifestasi Klinis
Menurut Reisner (2009), gejala klinis cedera kepala yang dapat membantu
mendiagnosis adalah battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di
atas os mastoid), hemotipanum (perdarahan di daerah membran timpani telinga),
periorbital ekhimosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung), rhinorrhoe (cairan
serebrospinal keluar dari hidung), otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga).
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala ringan adalah pasien
tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh,
sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan, mual dan atau muntah, gangguan
tidur dan nafsu makan yang menurun, perubahan kepribadian diri, letargik. Tanda–
tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala berat adalah perubahan ukuran
pupil (anisocoria), trias Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi
pernafasan) apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau
posisi abnormal ekstremitas.
Diagnosis dan DD
Diagnosis cedera kepala didapatkan dengan anamnesis yang rinci untuk mengetahui
adanya riwayat cedera kepala serta mekanisme cedera kepala, gejala klinis dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan
adalah mekanismenya. Pemeriksaan fisik meliputi tanda vital dan sistem organ
(Iskandar, 2002). Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat
penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis,
selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi
batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan reflek.
Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002) antara lain :
1. Pemeriksaan kesadaran
Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali
pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat
kesadaran dan dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai apakah
terjadi perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk.
Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
2. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.
Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal.
Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf
okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan
akibat dari cedera kepala.
3. Pemeriksaan Neurologis
a. X-ray Tengkorak
b. CT-Scan
Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang
relatif normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkatan
TIK dan dapat berkembang lesi baru pada 40% dari penderita (Roberson dkk, 1997
dalam Sastrodiningrat, 2007). Di samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif
untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya
struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan
dengan outcome yang buruk (Sastrodiningrat, 2007 ).
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Tatalaksana
Secara umum, pasien dengan cedera kepala harusnya dirawat di rumah sakit untuk
observasi. Pasien harus dirawat jika terdapat penurunan tingkat kesadaran, fraktur
kranium dan tanda neurologis fokal. Cedera kepala ringan dapat ditangani hanya
dengan observasi neurologis dan membersihkan atau menjahit luka / laserasi kulit
kepala. Untuk cedera kepala berat, tatalaksana spesialis bedah saraf sangat
diperlukan setelah resusitasi dilakukan.
1. Bedah
a. Intrakranial: evakuasi bedah saraf segera pada hematom yang mendesak ruang.
2. Medikamentosa
a. Bolus manitol (20%, 100 ml) intravena jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial. Hal ini dibutuhkan pada tindakan darurat sebelum evakuasi hematom
intrakranial pada pasien dengan penurunan kesadaran.
Komplikasi
1. Gejala sisa cedera kepala berat: beberapa pasien dengan cedera kepala berat
dapat mengalami ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia, hemiparesis, palsi saraf
cranial) maupun mental (gangguan kognitif, perubahan kepribadian). Sejumlah kecil
pasien akan tetap dalam status vegetatif.
3. Epilepsi pascatrauma: terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang awal
(pada minggu pertama setelah cedera), amnesia pascatrauma yang lama, fraktur
depresi kranium dan hematom intrakranial.
konsentrasi dapat menetap bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat
terjadi akibat cedera vestibular (konkusi labirintin).
Pencegahan
Anak-anak juga rentan mengalami cedera kepala saat bermain. Berikut adalah
langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah kecelakaan terjadi:
Memasang pintu di depan tangga dan dikunci saat tidak ada pengawas.
Memasang tralis jendela, khususnya jika Anda tinggal di apartemen atau rumah
tingkat.
Meletakkan keset kering di depan pintu kamar mandi untuk menghindari
terpeleset.
Hal yang terpenting adalah selalu awasi anak Anda dan pastikan mereka bermain
dengan cara yang aman.
Definisi
Fraktur basis kranii adalah trauma pada dasar tengkorak atau basis kranii bisa terjadi
secara langsung maupun tidak langsung, sehingga ada beberapa fraktur basis kranii
yang terjadi sebagai akibat jejas lokal.
MK
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata dikelilingi
lingkaran “biru” (Brill Hematom atau Racoon’s Eyes), rusaknya Nervus Olfactorius
sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan arteri
carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi hubungan
antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt).
Anamnesis
Mual
Muntah
Gangguan Melihat
Wajah mencong
Gangguan Mendengar
PF
Clear Rhinorea
Clear Otorhea
Hemotimpanum
Lesi N III,IV,VI
Lesi N VII
Lesi N VIII
Penunjang
CT-SCAN, X-FOTO KEPALA, X-FOTO VERTEBRA SERVIKAL, X-FOTO THORAKS, LAB Beta
Transferrin, CT-SCAN Whole Body
Diagnosis Banding
Trauma maksilofacial
Tatalaksana
Operasi
Indikasi Pembedahan
Tindakan bedah :
Craniotomy
Duraplasty
Cranioplasty
Konservatif
- Berikan cairan secukupnya (normal saline) untuk resusitasi korban agar tetap
normovolemia, atasi hipotensi yang terjadi dan berikan transfuse darah jika Hb
kurang dari 10 gr/dl. (1B)
- Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh lain, GCS dan
pemeriksaan batang otak secara periodik.
- Berikan Cairan hipertonik (mannitol 20%), bila tampak edema atau cedera yang
tidak operable pada CT Scan. Manitol dapat diberikan sebagai bolus 0,5 – 1 g/kg. BB
pada keadaan tertentu, atau dosis kecil berulang, misalnya (4-6) x 100 cc manitol
20% dalam 24 jam. Penghentian secara gradual. (1B)
Berikan Phenytoin (PHT) profilaksis pada pasien dengan resiko tinggi kejang
dengan dosis 300 mg/hari atau 5-10 mg kg BB/hari selama 10 hari. Bila telah
terjadi kejang, PHT diberikan sebagai terapi. (1B)
Antibiotik Profilaksis
Prognosis
Dipengaruhi :
- Usia
- Edema cerebri
- Faktor ekstrakranial
Etiologi
Etiologi Nontraumatik :
Etiologi traumatik
Diagnosis dan Dd
Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara cepat guna menemukan gejala serta tanda perdarahan
intrakranial. Gejala akut perdarahan intrakranial sering kali sulit dibedakan dari
stroke iskemik. Beberapa gejala yang sering ditemukan, antara lain :
Nyeri kepala
Mual, muntah
Kejang
Gejala neurologis fokal dan generalisata
Koma
Pemeriksaan Fisik
D Banding
Stroke Iskemik
Stroke iskemik memiliki onset yang cenderung perlahan dan terjadi pada kondisi
pasien yang sedang tenang (tidak beraktivitas), dapat juga disebabkan oleh fibrilasi
atrium yang menimbulkan stroke kardioemboli.
Kerusakan reperfusi akibat terapi trombolitik stroke iskemik akut juga dapat menjadi
diagnosis banding dari perdarahan intrakranial. Hal ini disebabkan oleh adanya
peningkatan aliran darah serebral ipsilateral yang melebihi kebutuhan jaringan otak.
Ensefalitis
Sindrom Diseksi
gejala diseksi paling sering berupa gejala iskemia dan dapat dipastikan dengan CT-
angiografi yang menunjukkan adanya flap lapisan intima atau gambaran
lumen double-barrel.
Hidrosefalus
Gejala hidrosefalus pada pasien dewasa biasanya mual, kepala pasien membesar
pada pemeriksaan fisik, dan ditemukan adanya akumulasi cairan serebrospinal.
Penyakit Moyamoya
Penyakit Moyamoya merupakan penyakit pembuluh darah otak oklusif yang terjadi
pada sirkulus Willisi, arteri otak, dan batang otak, dapat dilihat pada hasil CT-
angiografi otak. Penyakit ini banyak terjadi pada orang Jepang.
Epilepsi
Empiema Subdural
Tatalaksana
Beberapa langkah awal yang dilakukan pada pasien dengan perdarahan intrakranial,
antara lain:
Melakukan intubasi untuk memastikan jalan nafas pasien, terutama pada pasien
dengan penurunan kesadaran. Lakukan pemeriksaan neurologis sebelum
memberikan agen sedasi dan paralisis
Menurunkan tekanan darah dengan perlahan hingga target mean arterial
pressure (MAP) < 130 mmHg. Tekanan darah tinggi berhubungan dengan
ekspansi hematoma dan prognosis yang buruk
Stabilisasi tanda vital
CT Scan Emergensi
Penatalaksanaan Lanjutan
Setelah kondisi pasien dan tanda vital sudah stabil, lakukan reduksi tekanan
intrakranial untuk menjaga cerebral perfussion pressure(CPP), koreksi koagulopati,
penanganan kejang, serta menjaga homeostasis pasien.
Koreksi Koagulopati
Penanganan Kejang
Menjaga Homeostasis
Pasien harus dipantau suhu, status cairan dan gula darahnya untuk memastikan
kondisi pasien tidak mengalami hipertermia, dan terjaga tetap euglikemia dan
euvolemia.
Penatalaksanaan Definitif: Pembedahan
Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada perdarahan intrakranial, antara lain:
Kematian
Sistem saraf: defisit neurologis, kejang, hidrosefalus, spastisitas, nyeri neuropati,
herniasi otak
Sistem pernafasan: pneumonia aspirasi, emboli paru
Pembuluh darah perifer: deep vein thrombosis (DVT), ulkus dekubitus
Sistem kemih: infeksi saluran kemih
Sistem pencernaan: perdarahan saluran pencernaan
Sistem kardiovaskular: infark miokard atau gagal jantung
Risiko jatuh
Prognosis
Prognosis pasien dengan perdarahan intrakranial sangat bergantung dari onset, usia
pasien, volume, serta lokasi perdarahan. Komplikasi yang mungkin dialami pasien
juga menjadi faktor penentu prognosis pasien. Secara umum, semakin tua usia
pasien, semakin dalam lokasi perdarahan, serta semakin luas volume perdarahan
pasien akan menyebabkan prognosis semakin buruk.
4.Triad cushing
Sindrom Cushing adalah kumpulan gejala yang muncul akibat kadar hormon kortisol
yang terlalu tinggi dalam tubuh. Kondisi ini dapat terjadi seketika atau bertahap, dan
bisa semakin memburuk jika tidak ditangani.
Gejala Sindrom Cushing
Sejumlah gejala yang dialami penderita Sindrom Cushing bervariasi, tergantung pada
tingginya kadar kortisol di tubuh. Gejala umumnya berupa:
Pada wanita, dapat timbul gejala hirsutisme atau tumbuh rambut lebat pada wajah
atau di bagian lain yang biasanya hanya tumbuh pada pria, serta gangguan
siklus menstruasi, bisa tidak teratur atau terlambat haid. Sedangkan pada pria, gejala
yang dialami adalah penurunan gairah seksual, gangguan kesuburan, dan impotensi.
Penyebab Sindrom Cushing
Sindrom Cushing disebabkan oleh kadar hormon kortisol yang terlalu tinggi dalam
tubuh. Tingginya kadar hormon kortisol tersebut bisa disebabkan oleh faktor dari
luar (sindrom Cushing eksogen), atau faktor dari dalam (sindrom Cushing endogen).
Tumor di kelenjar hipofisis atau pituitari. Kondisi ini membuat kelenjar hipofisis
menghasilkan ACTH dalam jumlah berlebih, sehingga memicu tubuh
memproduksi hormon kortisol dalam jumlah besar.
Tumor penghasil ACTH. Keadaan ini jarang terjadi, yaitu terdapat tumor di
pankreas, paru-paru, kelenjar tiroid, atau kelenjar timus yang juga menghasilkan
ACTH.
Familial Cushing syndrome. Meski jarang terjadi, kelainan ini diwarisi oleh orang
tua, sehingga timbul tumor di kelenjar endokrin yang memengaruhi produksi
hormon kortisol dan menimbulkan sindrom Cushing.
Pada beberapa orang, penyebab sindrom Cushing endogen tidak disebabkan oleh
berlebihnya ACTH, tetapi terdapat gangguan di kelenjar adrenal. Kelainan kelenjar
adrenal yang paling sering terjadi dan menimbulkan sindrom Cushing adalah tumor
jinak yang dinamakan adenoma adrenal.
Metode ini digunakan pada pasien yang menggunakan kortikosteroid dalam jangka
panjang. Dokter bisa mengurangi dosis kortikosteroid secara bertahap dengan
menggantinya dengan obat-obatan lain. Perlu diingat, jangan lakukan ini tanpa
petunjuk dokter.
Bedah.
Sindrom Cushing yang disebabkan oleh tumor, dokter akan melakukan bedah
pengangkatan tumor, baik di kelenjar hipofisis, kelenjar adrenal, pankreas, atau
paru-paru. Setelah bedah, pasien akan membutuhkan obat pengganti hormon
kortisol secara sementara.
Radioterapi
Jika tumor pada kelenjar hipofisis tidak bisa diangkat sepenuhnya, dokter akan
menyarankan pasien untuk menjalani Radioterapi atau terapi radiasi.
Obat-obatan
Jika bedah dan radioterapi tidak berhasil, dokter akan menggunakan obat-obatan
untuk mengontrol kadar kortisol. Obat juga bisa digunakan sebelum bedah
dilakukan.
Untuk mengontrol kadar kortisol di kelenjar adrenal, jenis obat yang umumnya
digunakan adalah ketoconazole, mitotane, dan metyrapone. Sedangkan untuk
penderita sindrom Cushing yang memiliki diabetes, umumnya dokter akan
menggunakan mifepristone. Perlu diketahui, obat-obat tersebut dapat menimbulkan
efek samping seperti mual, muntah, sakit kepala, nyeri otot, serta hipertensi. Kadang
juga muncul efek samping yang lebih serius seperti gangguan fungsi hati.
Dalam sejumlah kasus, tumor atau pengobatan yang dijalani juga menyebabkan
berkurangnya kadar hormon lain yang diproduksi oleh kelenjar hipofisis dan kelenjar
adrenal. Bila kondisi itu terjadi, dokter akan menyarankan pemberian obat untuk
mengganti hormon tersebut.
Jika semua metode pengobatan di atas tidak efektif, dokter akan menyarankan
untuk dilakukan bedah pengangkatan kelenjar adrenal. Prosedur ini bisa mengatasi
kelebihan produksi kortisol, namun pasien akan membutuhkan obat pengganti
hormon selama seumur hidup.
Jika tidak ditangani, sindrom Cushing bisa menyebabkan berbagai komplikasi, antara
lain: