Anda di halaman 1dari 25

Deva Safila Ardiyanti

1102016051

MM TRAUMA KEPALA
DEFINISI
Cedera otak traumatik adalah cedera intrakranial akibat rudapaksa eksternal
terhadap kepala yang melebihi kapasitas protektif otak. Cedera otak traumatik
(traumatic brain injury) adalah terminologi yang menggantikan cedera kepala (head injury)
di mana ditekankan pentingnya keterlibatan otak dalam cedera tersebut.

ETIOLOGI
Pada pasien yang lebih tua di atas 65 tahun penyebab paling sering terjadinya cedera otak
traumatik adalah terjatuh, dimana paling sering akibat terpeleset dan tersandung (jatuh se
level dengan ketinggian berpijak). Sebagian lainnya, mekanisme terjatuh pada orang tua
adalah akibat jatuh dari tangga, menabrak dinding bangunan, dan atau perabot rumah tangga.
(1)

Berikut etiologi yang paling sering menyebabkan cedera otak traumatik: 


 Terjatuh
 Kecelakaan kendaraan bermotor atau kecelakaan lalu lintas
 Olahraga
 Tusukan, luka tembak, dan ledakan pada saat peperangan (2)

Sumber :
1 . Harvey LA, Close JCT. Traumatic brain injury in older adults: characteristics, causes and
consequences. Injury [Internet]. 2012 Apr 6;43(11):1821–6. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.injury.2012.07.188

2. Prins M, Greco T, Alexander D, Giza CC. The pathophysiology of traumatic brain injury at
a glance. Dis Model Mech [Internet]. 2013 Nov 7;6(6):1307–15. Available from:
http://dmm.biologists.org/content/6/6/1307.abstract

FAKTOR RESIKO
Faktor risiko cedera otak traumatik antara lain: 
 Penggunaan kendaraan beroda dua, lebih sering terjadi di negara berkembang dengan
tingkat edukasi lalu lintas dan praktik keselamatan berkendara yang rendah
 Penggunaan alkohol, penggunaan alkohol lebih tinggi di negara maju dibandingkan
berkembang dan meningkatkan potensi terjadinya cedera otak traumatik
 Usia, di negara berkembang usia paling sering adalah usia muda akibat kecelakaan
kendaraaan bermotor, sementara pada negara maju lebih sering terjadi pada usia tua
akibat terjatuh
 Jenis kelamin, kejadian cedera otak traumatik lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan [1]
sumber :
1. Roozenbeek B, Maas AIR, Menon DK. Changing patterns in the epidemiology of
traumatic brain injury. Nat Rev Neurol [Internet]. 2013 Apr;9(4):231–6. Available
from: http://dx.doi.org/10.1038/nrneurol.2013.22

KLASIFIKASI
Cedera otak traumatik diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan
morfologinya. 
Berdasarkan Mekanisme

Berdasarkan mekanisme:

 Trauma tumpul, trauma tumpul dengan kecepatan tinggi (misalnya kecelakaan


kendaraan bermotor) atau trauma tumpul dengan kecepatan rendah (misalnya terjatuh
atau serangan pemukulan)
 Trauma penetrasi, misalnya akibat luka tembak atau luka tusuk
 Trauma ledakan, akibat ledakan benda eksplosif.
Berdasarkan Tingkat Keparahan 

Berdasarkan tingkat keparahan yang dinilai dari skor Glasgow Coma Scale (GCS):
 Ringan, GCS 14-15
 Sedang, GCS 9-1
 Berat, GCS 3-8
Berdasarkan Morfologi

Berdasarkan morfologi:
 Fraktur tengkorak, yaitu fraktur kubah kranii dan fraktur basis kranii. Fraktur kubah
kranii, antara lain bentuknya linear atau stellata, depresi atau non depresi, fraktur
terbuka atau fraktur tertutup. Fraktur basis kranii, antara lain dengan atau tanpa cairan
serebrospinal dan dengan atau tanpa paralisis saraf kranial.
 Lesi intrakranial, yakni fokal dan difus. Fokal, yakni perdarahan epidural, perdarahan
subdural, dan perdarahan intraserebral. Difus, yakni gegar otak ringan, gegar otak
klasik, dan diffuse axonal injury  .

sumber :
Stippler M. Craniocerebral Trauma. In: Darrof RB, Jancovic J, Mazziota JC, Pomeroy SL,
editors. Bradley’s Neurology in Clinical Practices. 7th ed. London: Elsevier; 2015. p. 867–80

MANIFESTASI KLINIS

CEDERA KEPALA RINGAN


 Pasien sadar dan menuruti perintah pemeriksa
 Tidak ada penurunan kesadaran atau kehilangan kesadaran <20 menit
 Tidak ada gangguan saraf
 Tidak ada muntah
 Pasien dapat mengeluh nyeri kepala atau pusing
CEDERA KEPALA SEDANG
 Pasien tidak dapat atau dapat menuruti perintah pemeriksa, namun respon yang diberikan
tidak sesuai
 Kehilangan kesadaran >20 menit dan <36 jam
 Amnesia post traumatik < 24 jam dan < 7 hari
 Muntah menyemprot
 Kejang

CEDERA KEPALA BERAT


 Pasien mengalami penurunan kesadaran yang progresif atau kehilangan kesadaran > 36 jam

 Amnesia post traumatik > 7 hari


 Tandakerusakan saraf lokal (sesuai lokasi otak yang mengalami kerusakan, misalnya
gangguan penglihatan, gangguan nafas dan kelumpuhan.
Sumber: http://rsp.unand.ac.id/artikel/cidera-kepala

PATOFISIOLOGI
Pada saat trauma terjadi, pertama sekali terjadi cedera primer oleh kerusakan mekanis yang
dapat berupa tarikan, robekan dan atau peregangan pada neuron, akson, sel glia dan
pembuluh darah. Cedera primer dapat bersifat fokal atau pun difus. Kebanyakan kasus cedera
primer langsung menyebabkan kematian sel neuron.
Cedera primer bersamaan dengan perubahan metabolik dan seluler memicu kaskade
biokimia, menyebabkan gelombang sekunder atau cedera sekunder. Hal ini berlangsung dari
menit-menit awal terjadinya proses trauma yang dapat berlangsung berhari-hari hingga
berbulan-bulan dan menyebabkan neurodegenerasi, dan memperparah cedera primer. 
Cedera sekunder merupakan penyebab utama meningkatnya tekanan intrakranial pada cedera
otak traumatik, dimana terjadi edema pada jaringan otak. Cedera sekunder terjadi pada lokasi
cedera dan jaringan sekelilingnya. Proses cedera sekunder terdiri dari: 
 Eksitoksisitas, neuron yang rusak mengeluarkan glutamat ke ruang ekstraseluler dan
menstimulasi reseptor N-methyl-d-aspartate (NMDA) dan α-amino-3-hydroxy-5-
methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA) berlebihan sehingga terjadi peningkatan
radikal bebas dan nitrit oksida dan faktor transkripsi untuk kematian sel
 Stres oksidatif yang disebabkan oleh adanya akumulasi Ca2+ intraseluler di dalam
mitokondria
 Disfungsi mitokondria, kerusakan oksidatif yang dimediasi oleh peroksida lemak
menyebabkan terganggunya rantai transpor elektron dan pembentukan ATP sehingga
memicu apoptosis sel
 gangguan pada sawar darah-otak, permeabilitas sawar darah-otak meningkat.
Akibatnya molekul besar hingga leukosit dapat masuk ke jaringan otak dan
menyebabkan tekanan osmosis jaringan otak meningkat
 Inflamasi, neuroinflamasi melibatkan sel imun, mikroglia, sitokin, faktor kemotaktik
yang mengeksaserbasi kematian sel neuron [1]

Sumber: Openi, 2014.


Gambar: Patofosiologi terjadinya neuroinflamasi yang dimediasi oleh mikroglia dan leukosit.
Pada cedera otak traumatik, leukosit menempel pada endotel, dimediasi oleh selektin dan
integrin lalu bermigrasi ke jaringan yang cedera. Mikroglia teraktivasi oleh trauma otak
menjadi bentuk amuboid lalu bermigrasi ke jaringan cedera. Mikroglia dan leukosit ini yang
akan memediasi terjadinya inflamasi yang mengeksaserbasi kematian sel neuron.

Sumber : Lozano D, Gonzales-Portillo GS, Acosta S, de la Pena I, Tajiri N, Kaneko Y, et al.


Neuroinflammatory responses to traumatic brain injury: etiology, clinical consequences, and
therapeutic opportunities. Neuropsychiatr Dis Treat [Internet]. 2015 Jan 8;11:97–106.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4295534/

DIAGNOSIS & DD
Diagnosis cedera otak traumatik ditegakkan melalui semua komponen pemeriksaan, mulai
dari anamnesis, pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan penunjang.

Anamnesis
Pasien dengan kecurigaan cedera otak traumatik harus ditanyakan riwayat dan mekanisme
trauma. Penyebab paling sering adalah terjatuh, kecelakaan kendaraan bermotor, olahraga,
dan akibat penyerangan. Pada kecelakaan bermotor perlu diperhatikan apakah pasien
memakai alat pelindung kepala atau tidak.
Pasien dapat mengalami hal berikut ini dan harus digali karena penting untuk diagnosis
penentuan pemeriksaan penunjang:

 Riwayat muntah

 Penurunan kesadaran

 Hilang ingatan akibat post traumatic amnesia


 Disorientasi

Gejala akut pada cedera otak traumatik yang lebih berat bermacam-macam namun pada
umumnya cedera berat disertai penurunan kesadaran bahkan hingga koma.

Menurut American Congress of Rehabilitation Medicine (ACRM), cedera otak traumatik


ringan (mild traumatic brain injury) adalah pasien dengan gangguan fungsi fisiologis otak
yang diakibatkan trauma dengan manifestasi minimal satu dari berikut ini:
 Penurunan kesadaran kurang dari 30 menit

 Hilang memori terhadap kejadian segera sebelum atau sesudah kejadian (post
traumatic amnesia) kurang dari 24 jam
 Perubahan status mental saat kejadian (disorientasi atau kebingungan)

 Defisit neurologis fokal transien atau non transien

 Skor GCS 13-15 setelah 30 menit [4]

Setelah mengalami cedera otak traumatik, 30-80% pasien mengalami gejala setelah gegar
otak (post concussive). Pada umumnya membaik dalam beberapa jam hingga beberapa hari,
sebagian lainnya dapat berminggu-minggu. Manifestasi klinis pada cedera otak traumatik
ringan (mild TBI) terdiri dari kombinasi gejala fisik dan gejala neuropsikiatrik, antara lain:
 Gejala fisik berupa nyeri kepala, pusing, mual, fatigue, gangguan tidur, gangguan
pendengaran, gangguan penglihatan, atau kejang bila terjadi kerusakan pada lobus
temporal atau frontal, yang harus dibedakan dari epilepsi
 Gejala neuropsikiatrik yang terdiri dari gangguan kognitif, perilaku, dan gangguan
lainnya.

 Gangguan kognitif, dapat berupa gangguan pemusatan perhatian, gangguan


memori dan gangguan fungsi eksekutif. Gangguan pemusatan perhatian dapat
berakibat pasien kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari. Luasnya gangguan
kognitif berkorelasi dengan keparahan cedera.

 Gejala perilaku yaitu berhubungan dengan kepribadian pasien, antara lain


irritabilitas, gangguan mood, agresi, impulsif, perilaku egois.

 Gejala lainnya yang berhubungan adalah depresi, gangguan cemas, dan post


traumatic stress disorder. [1]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan dengan manajemen awal trauma yakni dengan
prosedur sesuai advance trauma life support (ATLS). Setelah mengamankan jalan napas,
pemberian ventilasi dan oksigen, dan resusitasi cairan, pasien diperiksa untuk menilai
disabilitas yaitu tingkat kesadaran dan pemeriksaan neurologis.
Tingkat kesadaran pasien dinilai menurut Glasgow Coma Scale (GCS). Nilai GCS juga
sekaligus menentukan tingkat keparahan cedera otak traumatik. Nilai GCS dihitung
berdasarkan penilaian respon terhadap stimulasi pembukaan mata (Eye), motorik (M), dan
respon verbal (V) dengan rentang nilai 3-15 sesuai dengan hasil pemeriksaan berikut:
 Pembukaan mata (Eye/E)

 4= membuka spontan

 3= membuka dengan rangsang suara

 2= membuka dengan rangsang nyeri

 1= tidak ada respon

 Respon motorik (Motoric/M)

 6= mengikuti perintah

 5= mampu melokalisasi rasa nyari

 4= menjauhi rangsang nyeri

 3= posisi fleksi (dekortikasi)

 2= posisi ekstensi (deserebrasi)

 1= tidak ada respon

 Respon verbal (Verbal/V)

 5= orientasi baik dan mampu berbicara normal

 4= mampu mengucapkan kalimat namun disorientasi

 3= hanya mampu mengucapkan kata tidak jelas artinya

 2= mengerang atau merintih

 1= tidak ada respon

Berdasarkan tingkat keparahannya cedera otak traumatik dibagi menjadi:

 Ringan, GCS 14-15

 Sedang, GCS 9-13


 Berat, GCS 3-8 [9]

Selain daripada memeriksa tanda kegawatdaruratan dan GCS, tanda adanya cedera kepala
lain seperti fraktur atau laserasi, serta tanda cedera di bagian tubuh lainnya juga harus dinilai.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium dan
radiologi.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan sampel darah pada pasien cedera otak traumatik ditujukan untuk menilai kondisi
penyulit dan kondisi yang mendasari keadaan pasien. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
adalah:

 Pemeriksaan kadar elektrolit, pada pasien koma sering diitemui hiponatremia akibat
gangguan pengaturan hormon diuretik. Kadar magnesium juga dapat menurun pada
fase akut akibat proses eksitotoksik

 Pemeriksaan faktor koagulasi (aPTT, PT, tombosit), pasien orang tua mungkin sedang
dalam pengobatan dengan antikoagulan. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk
menilai risiko perdarahan intrakranial

 Kadar alkohol dalam darah, untuk menyingkirkan penyebab penurunan kesadaran


atau disorientasi [3]
Pemeriksaan Radiologi
CT-Scan kepala berperan penting dalam pencitraan cedera kepala. Namun pada pasien cedera
otak traumatik ringan, kelainan pada CT-Scan yang spesifik tidak sering ditemukan. Kelainan
pada gambaran CT-Scan lebih sering ditemukan pada cedera otak traumatik yang lebih berat.
Oleh karena itu perlu untuk mempertimbangkan indikasi dilakukannya CT-Scan.
Indikasi harus CT-Scan segera:

 Tanda-tanda fraktur pada tulang tengkorak (basis kranii, depresi, atau fraktur terbuka)

 Kelainan pada pemeriksaan neurologis

 Serangan kejang

 Muntah lebih dari 1 kali

 Mekanisme trauma risiko tinggi (terlempar dari kendaraan, pejalan kaki ditabrak oleh
kendaraan)

 Penurunan skor GCS atau skor GCS persisten kurang dari 15

Indikasi pertimbangan perlu dilakukan CT-Scan:


 Usia lebih dari 60 tahun

 Amnesia anterograd persisten

 Amnesia retrograd lebih dari 30 menit

 Koagulopati

 Terjatuh lebih dari 1 meter

 Hilang kesadaran lebih dari 30 menit

 Faktor sosial (tidak dapat dianamnesis untuk riwayat yang jelas) [2]

CT Scan pada cedera otak traumatik. Sumber: anonim, Openi, 2009.


Gambar: Hasil pencitraan CT scan pada level ventrikel lateral. Tampak lapisan tipis
hematoma subdural akut pada bagian kiri (tanda panah) dengan pergesaran garis tengah
minimal.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada umumnya adalah kondisi yang tersamar akibat terjadinya suatu
proses trauma. Beberapa yang dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis banding adalah:

 Stroke

 Alzheimer

 Stroke sirkulasi anterior

 Tumor otak

 Metastasis otak

 Aneurisma serebral

 Status konfusional dan gangguan memori akut


 Epileptik dan ensefalopati epileptiform

 Sindrom lobus frontalis

 Serangan umum tonik-klonik

 Hidrosefalus

 Empiema subdural

 Epilepsi lobus temporal

 Penyakit akibat prion [5]

Sumber : 1. Lozano D, Gonzales-Portillo GS, Acosta S, de la Pena I, Tajiri N, Kaneko Y, et


al. Neuroinflammatory responses to traumatic brain injury: etiology, clinical consequences,
and therapeutic opportunities. Neuropsychiatr Dis Treat [Internet]. 2015 Jan 8;11:97–106.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4295534/

2. Stippler M. Craniocerebral Trauma. In: Darrof RB, Jancovic J, Mazziota JC, Pomeroy SL,
editors. Bradley’s Neurology in Clinical Practices. 7th ed. London: Elsevier; 2015. p. 867–80

3. Roozenbeek B, Maas AIR, Menon DK. Changing patterns in the epidemiology of


traumatic brain injury. Nat Rev Neurol [Internet]. 2013 Apr;9(4):231–6. Available from:
http://dx.doi.org/10.1038/nrneurol.2013.22
4. Dawodu ST. Traumatic Brain injury [Internet]. Medscape. 2015. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/326510

5. Olson DA. Head Injury [Internet]. Medscape. 2016. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/1163653

TATALAKSANA
Penatalaksanaan cedera otak traumatik pada unit gawat darurat mengikuti protokol advance
trauma life support (ATLS). Pasien penurunan kesadaran harus selalu dilakukan manajemen
jalan napas, pemberian ventilasi dan oksigen yang adekuat, dan pemberian cairan. Imobilisasi
spinal harus dilakukan kecuali jika sudah dilakukan pemeriksaan penunjang yang
mengindikasikan bahwa imobilisasi dapat dihentikan. Penilaian skor GCS dilakukan dan
secepatnya diputuskan apakah memerlukan pemeriksaan CT-Scan kepala atau tidak.

Pasien dengan perdarahan (subdural, epidural) langsung dipersiapkan untuk tindakan bedah.
Pasien cedera otak traumatik berat pada umumnya mengalami peningkatan tekanan
intrakranial (trias peningkatan tekanan intrakranial yaitu muntah proyektil, kejang, dan nyeri
kepala) harus dikontrol dengan medikamentosa atau tindakan antara lain:
 Pengawasan tekanan darah, tekanan darah sistolik dipertahankan di atas 90 mmHg

 Oksigenasi, pemberian oksigen dengan mempertahankan saturasi oksigen di atas 90%

 Terapi hiperosmolar dengan manitol untuk menurunkan tekanan intrakranial dengan


dosis 0,25 g/kgBB sampai 1 g/kgBB. Terapi manitol harus dihindari pada kondisi
hipotensi dan tanda-tanda herniasi transtentorial

 Terapi hipersalin dengan cairan salin 3%, kadar elektrolit natrium dapat ditingkatkan
hingga batas atas 155 meq/L melalui infus kontinyu maupun bolus 250 mL cairan
NaCl 3%. Hipertonik salin tidak dapat dihentikan tiba-tiba karena dapat menyebabkan
kembalinya peningkatan tekanan intrakranial tiba-tiba. Harus dilakukan tappering-off.

 Terapi hiperventilasi, tidak dianjurkan dilakukan dalam 24 jam pertama setelah


trauma. Tujuan hiperventilasi adalah membuat kondisi hipokapnia sehingga terjadi
refleks vasokonstriksi sehingga mengurangi aliran darah serebral.

 Pemberian profilaksis antibiotik, untuk mencegah infeksi dan pneumonia akibat


tindakan medis (intubasi)

 Pemberian steroid dalam menurunkan tekanan intrakranial berhubungan dengan


peningkatan mortalitas.

Sumber : Stippler M. Craniocerebral Trauma. In: Darrof RB, Jancovic J, Mazziota JC,
Pomeroy SL, editors. Bradley’s Neurology in Clinical Practices. 7th ed. London: Elsevier;
2015. p. 867–80

MEDIKAMENTOSA
Obat-obatan yang digunakan dalam manajemen cedera otak traumatik antara lain:

 Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial dengan dosis 0,25 g/kgBB
sampai 1 g/kgBB. Terapi manitol harus dihindari pada kondisi hipotensi dan tanda-
tanda herniasi transtentorial

 Cairan NaCl atau salin 3%, infus kontinyu maupun bolus 250 mL cairan NaCl 3%
untuk meningkatkan kadar elektolit natrium hingga batas atas 155 meq/L apabila
perlu. Penghentian pemberian salin 3 % harus di tapering-off.

 Pemberian profilaksis antibiotik, untuk mencegah infeksi dan pneumonia.

 Pemberian steroid tidak dianjurkan

Tindakan Bedah
Tata laksana bedah umumnya dilakukan pada hematoma akut ekstra aksial yakni perdarahan
subdural dan perdarahan epidural. Sementara pada perdarahan intraserebral tindakan bedah
kontroversial untuk dilakukan karena tidak banyak bukti yang mendukung. Tindakan bedah
pada perdarahan intraserebral dilakukan setelah pertimbangan lokasi perdarahan dan jumlah
perdarahan.

Rujukan
Pasien cedera otak traumatik harus dirujuk dapat ke bagian bedah saraf atau ke bagian
penyakit saraf. Indikasi rujukan cedera otak traumatik ke bedah saraf antara lain:

 Temuan abnormal pada CT-Scan kepala (hematoma, fraktur)

 Skor GCS kurang dari 8 setelah resusitasi

 Skor GCS yang semakin menurun terutama motorik

 Tanda kelainan neurologis yang progresif

 Luka tusuk pada kepala

 Kebocoran cairan serebrospinal

Indikasi untuk evakuasi perdarahan pada perdarahan epidural (EDH) adalah:

 Volume EDH lebih dari 30 cc tanpa mempertimbangkan skor GCS

 Volume EDH kurang dari 30 cc, ketebalan kurang dari 15 mm, midline shift kurang
dari 5 mm dapat ditangani secara non operatif dengan observasi ketat.
Indikasi untuk evakuasi perdarahan pada perdarahan epidural (EDH) adalah:

 SDH akut dengan ketebalan lebih dari 10 mm atau midline shift lebih dari 5 mm pada
hasil CT Scan kepala harus dievakuasi secara bedah tanpa mempertimbangkan skor
GCS pasien.
 Pasien dengan skor GCS kurang atau sama dengan 8, ketebalan SDH kurang dari 10
mm, midline shift kurang dari 5 mm dilakukan evakuasi hematom secara bedah bila
terdapat salah satu berikut ini:

 Skor GCS telah turun 2 atau lebih sejak penilaian GCS awal

 Pupil anisokor atau tidak respon dan dilatasi.

 Peningkatan tekanan intrakranial lebih dari 20 mmHg


Pasien juga dapat dirujuk ke spesialis saraf untuk kolaborasi dengan bedah saraf untuk
menangani pasien secara medikamentosa misalnya untuk pemberian manitol pada pasien
yang mengalami herniasi serebri. Pasien yang perlu dipantau ketat termasuk penanganan
tekanan intrakranial yang tinggi dapat dirawat di ruang rawatan intensif.

Sumber : Kolias AG, Guilfoyle MR, Helmy A, Allanson J, Hutchinson PJ. Traumatic brain
injury in adults. Pract Neurol [Internet]. 2013 Jul 4;13(4):228 LP-235. Available from:
http://pn.bmj.com/content/13/4/228.abstract
PENCEGAHAN
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap
peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma.
Upaya yang dilakukan yaitu :
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan
lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti
pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.

b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yangdirancang
untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan
pemberian pertolongan pertama, yaitu :
1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat pada
kasus cedera. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan masalah airway menjadi
prioritas utama dari masalah yang lainnya. Beberapa kematian karena
masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah airway yang
tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga
jalan nafas tertutup lidah penderita sendiri. Pada pasien dengan penurunan kesadaran
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya
benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke
belakang sehingga menutupi aliran udara ke dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga
menjadi bahaya yang mengancam airway.
2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah
membantu pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan membantu
pernafasan akan dapat menimbulkan kematian.
3. Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang berdarah
sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan ikatan yang kuat. Bila ada
syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infuse dan bila perlu dilanjutkan dengan
pemberian transfuse darah. Syok biasanya disebabkan karena penderita kehilangan banyak
darah.

c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih
berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas untuk
mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup. Pencegahan tertier ini penting
untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan
dukungan psikologis bagi penderita. Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala
akibat kecelakaan lalu lintas perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi
psikologis dan sosial.
1. Rehabilitasi Fisik
a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan
bawah tubuh.
b. Perlengkapan splint dan caliper
c. Transplantasi tendon

2. Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tamadimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan
memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan atas
kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial serta seksual yang
semuanya memerlukan semangat hidup.
3. Rehabilitasi Sosial
a. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan paling
sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak
ketergantungan terhadap bantuan orang lain.
b. Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat).

KOMPLIKASI

KOMPLIKASI CIDERA KEPALA


 Pendarahan Otak

 Kejang

 Keluar cairan bening dari telinga


 Gangguan bicara, ingatan, dan emosi
 Infeksi

PROGNOSIS

Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang memerlukan
tindakan operasi, sisanya dirawat secara konservatif. Prognosis pasien cedera kepala lebih
baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.

Sumber: Niryana, I Wayan. 2017

MM FRAKTUR BASIS CRANII

DEFINISI

Basis cranii dibagi menjadi tiga yaitu: fossa cranii anterior,media dan posterior. Otak
dan medulla spinalis dibungkus oleh tiga membran atau meninges: dura mater, arachnoidea
mater dan pia mater. Fraktur basis kranii secara klinis dapat dilihat berdasarkan tampilan
klinis berupa ekimosis periorbital (Racoon’s eyes atau brill hematome) dan rinorre pada
fraktur bagian anterior, dan Battle Sign serta otorre untuk fraktur basis fossa media.
[Kamarullah, ibrahim. 2009]

KLASIFIKASI

Fraktur akan merobek dura mater dan arachnoid sehingga Liquor Cerebro Spinal
(LCS) bersama darah keluar melalui celah fraktur masuk ke rongga orbita; dari luar disekitar
mata tampak kelopak mata berwarna kebiru biruan . Bila satu mata disebut Monocle
Hematoma, bila dua mata disebut Brill Hematoma /  Raccoon’s eyes.

Fraktur melintas Lamina Cribrosa


Fraktur akan menyebabkan rusaknya serabut serabut saraf penciuman (Nervus
Olfactorius) sehinggan dapat terjadi gangguan penciuman mulai berkurangnya penciuman
(hyposmia) sampai hilangnya penciuman (anosmia). Fraktur juga merobek dura mater dan
arachnoid sehingga LCS bercampur darah akan keluar dari rongga hidung (Rhinorrhoea).

Fraktur Os Petrossum
Puncak (Apex) os. petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah masuk kedalam
rongga telinga tengah dan memecahkan membrana tympani; dari telinga keluar LCS
bercampur darah (otorrhoea).

Fraktur Sella Tursica


Diatas sella tursica terdapat kelenjar Hypophyse yang terdiri dari 2 bagian pars
anterior dan pars posterior (Neuro Hypophyse). Pada fraktur sella tursica yg biasa terganggu
adalah pars posterior sehingga terjadi gangguan sekresi ADH (Anti Diuretic Hormone) yang
menyebabkan Diabetes Insipidus.

Sinus Cavernosus Syndrome.


Syndrome ini adalah akibat fraktur basis tengkorak di fossa media yang memecahkan
Arteri Carotis Interna yang berada di dalam Sinus Cavernosus sehingga terjadi hubungan
langsung arteri – vena (disebut Arterio-Venous Shunt dari Arteri Carotis Interna dan Sinus
Cavernosus –> Carotid – Cavernous Fistula).

Mata tampak akan membengkak dan menonjol, terasa sakit, conjunctiva berwarna merah.
Bila membran stetoskop diletakkan diatas kelopak mata atau pelipis akan terdengar suara
seperti air mengalir melalui celah yang sempit yang disebut Bruit ( dibaca BRUI ).

Gejala-gejala klinis sebagai akibat pecahnya A.Carotis Interna didalam Sinus Cavernosus ,
yang terdiri atas : mata yang bengkak menonjol , sakit dan conjunctiva yang terbendung
(berwarna merah) serta terdengar bruit , disebut Sinus Cavernosus Syndrom.

Fraktur melintas os petrosum


Fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os petrossum sampai os mastoid,
menyebabkan LCS bercampur darah keluar melalui celah fraktur dan berada diatas mastoid
sehingga dari luar tampak warna kebiru biruan dibelakang telinga , disebut Battle’s Sign.
Fraktur melintas Foramen Magnum
Di Foramen Magnum terdapat Medula Oblongata, sehingga getaran fraktur akan
merusak Medula Oblongata , menyebabkan kematian seketika.
MANIFESTASI KLINIS

PATOFISIOLOGI

DIAGNOSIS & DD

Pemeriksaan Lanjutan
Studi Imaging :
Radiografi
Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada kriteria panel
memutuskan bahwa skull film kurang optimal dalam menvisualisasikan fraktur basis cranii.
Foto x-ray skull tidak bermanfaat bila tersedianya CT scan.
CT scan
CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam diagnosis skull
fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-1,5 mm, dengan potongan sagital,
bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT scan Helical sangat membantu dalam
menvisualisasikan fraktur condylar occipital, biasanya 3-dimensi tidak diperlukan.
MRI
MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai tambahan untuk
kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan vaskular. Cedera pada tulang jauh
lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan CT scan4.

Pemeriksaan lainnya
Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya kebocoran CSF,
dapat dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan mengoleskan darah
tersebut pada kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang
melingkari darah, maka disebut “halo” atau “ring” sign. Kebocoran dari CSF juga dapat
dibuktikan dengan menganalisa kadar glukosa dan dengan mengukur transferrin.

TATALAKSANA

Terapi medis
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural neurologis tidak
memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat dipulangkan untuk berobat jalan dan
kembali jika muncul gejala. Sementara itu, pada bayi dengan simple fraktur linier harus
dilakukan pengamatan secara terus menerus tanpa memandang status neurologis. Status
neurologis pasien dengan fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara
conservative, tanpa antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika
disertai rupture membrane timpani biasanya akan sembuh sendiri.
Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada neurologis pada bayi
ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur depress dengan baik
membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur depress. Obat anti kejang
dianjurkan jika kemungkinan terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%. Open fraktur, jika
terkontaminasi, mungkin memerlukan antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole
direkomendasikan pada kasus ini.

Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara konservatif dengan stabilisasi
leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.
Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-anak dengan
open fraktur depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk
mengevaluasi fraktur depress jika segmen depress lebih dari 5 mm di bawah inner table dari
adjacent bone. Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear
dengan pneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya. Kadang kadang, craniectomy
dekompressi dilakukan jika otak mengalami kerusaksan dan pembengkakan akibat edema.
Dalam hal ini, cranioplasty dilakukan dikemudian hari. Indikasi lain untuk interaksi bedah
dini adalah fraktur condylar os oksipital tipe unstable (tipe III) yang membutuhkan
arthrodesis atlantoaxial. Hal ini dapat dicapai dengan fiksasi dalam-luar.
Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan kerusakan
ossicular (tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis longitudinal pada os temporal.
Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan berlangsung selama lebih dari 3 bulan
atau jika membrane timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain adalah terjadinya kebocoran
CSF yang persisten setelah fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan secara tepat lokasi
kebocoran sebelum intervensi bedah dilakukan.
KOMPLIKASI

Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai dengan
rhinorrhea. Facial palsy dan gangguan ossicular yang berhubungan dengan fraktur basis
cranii dibahas di bagian klinis. Namun, terutama, facial palsy yang terjadi pada hari ke 2-3
pasca trauma adalah akibat sekunder untuk neurapraxia dari nervus cranialis VII dan
responsif terhadap steroid, dengan prognosis yang baik. Onset facila palsy secara tiba tiba
pada saat bersamaan terjadinya fraktur biasanya akibat skunder dari transeksi nervus, dengan
prognosis buruk.

PROGNOSIS

Walaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk cedera nervus
cranialis, pembuluh darah, dan cedera langsung pada otak, sebagian besar jenis fraktur adalah
jenis fraktur linear pada anak-anak dan tidak disertai dengan hematom epidural. Sebagian
besar fraktur, termasuk fraktur depresi tulang cranium tidak memerlukan tindakan operasi.

MM PERDARAHAN INTRAKRANIAL

DEFINISI

Perdarahan intrakranial merupakan perdarahan atau akumulasi darah dalam rongga


intrakranium yang dapat terjadi pada parenkim otak dan pada ruang meninges sekitarnya.
Perdarahan intrakranial dapat disebabkan oleh kejadian traumatik maupun nontraumatik.
Perdarahan yang terjadi pada ruang meninges dapat berupa perdarahan epidural, perdarahan
subdural, dan perdarahan subaraknoid. Perdarahan pada parenkim otak dapat meluas hingga
ke ventrikel otak, disebut sebagai perdarahan intraventrikular. Perdarahan pada parenkim
otak ini akan menyebabkan terjadinya stroke hemorrhagik pada pasien.
Sumber :
1. Caceres, J.A. and J.N. Goldstein, Intracranial hemorrhage. Emergency medicine clinics of
North America, 2012. 30(3): p. 771-794. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22974648 
2. Naidech, A.M., Intracranial hemorrhage. American journal of respiratory and critical care
medicine, 2011. 184(9): p. 998-1006. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22167847 
3. Liebeskind, D.S. Intracranial Hemorrhage. Neurology 2018; Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1163977-overview#a5.

ETIOLOGI

KLASIFIKASI
Klasifikasi perdarahan intrakranial akibat trauma kapitis dan manifestasi klinis :
1. Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural adalah antara tulang kranial dan dura mater. Gejala perdarahan
epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin menurun, disertai oleh
anisokoria pada mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontralateral. Perdarahan
epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala khas selain
penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang membaik setelah beberapa hari.
2. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid, yang biasanya
meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian yaitu:
a. Perdarahan subdural akut
- Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan, respon
yang lambat, serta gelisah.
- Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
- Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan
cedera batang otak.
b. Perdarahan subdural subakut
- Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari setelah cedera dan
dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat.
- Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
c. Perdarahan subdural kronis
- Terjadi karena luka ringan.
- Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang subdural.
- Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler dan secara
pelan-pelan ia meluas.
- Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.
- Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.
3. Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan antara rongga otak dan lapisan otak yaitu yang
dikenal sebagai ruang subaraknoid (Ausiello, 2007).
4. Perdarahan Intraventrikular
Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak.
Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral.
5. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak. Di mana
terjadi penumpukan darah pada sebelah otak yang sejajar dengan hentaman, ini dikenali
sebagai counter coup phenomenon. (Hallevi, Albright, Aronowski, Barreto, 2008).

PATOFISIOLOGI

MANIFESTASI KLINIS

DIAGNOSIS & DD
Diagnosis perdarahan intrakranial dilakukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik
mengenai gejala dan tanda perdarahan intrakranial, misalnya nyeri kepala, kejang, kaku
kuduk, dan penurunan kesadaran. Namun, diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan melalui
pemeriksaan pencitraan otak, berupa CT Scan, CT Angiografi, dan MRI.

Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara cepat guna menemukan gejala serta tanda perdarahan
intrakranial. Gejala akut perdarahan intrakranial sering kali sulit dibedakan dari stroke
iskemik. Beberapa gejala yang sering ditemukan, antara lain :
 Nyeri kepala
 Mual, muntah
 Kejang
 Gejala neurologis fokal dan generalisata
 Koma[1,3]
Jika tanda-tanda di atas ditemukan, maka pasien cenderung mengalami perdarahan
intrakranial dan bukan stroke iskemik. Namun diagnosis pasti hanya ditegakkan melalui
pencitraan otak.
Untuk perdarahan intrakranial traumatik, perlu juga ditanyakan mengenai mekanisme trauma,
ada tidaknya perubahan tingkat kesadaran atau hilang kesadaran, serta riwayat penggunaan
antikoagulan.[1,3]

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik terpenting untuk dilakukan adalah penilaian Glasgow coma scale (GCS)
untuk menilai seberapa parah cedera kepala (jika ada) yang terjadi pada pasien. Selain itu,
dilakukan beberapa pemeriksaan fisik lain, seperti :
 Tekanan darah: untuk memastikan adanya hipertensi dan peningkatan tekanan
diastolik yang berhubungan dengan perdarahan intrakranial
 Kaku kuduk: jika ditemukan, dapat dicurigai adanya kelainan pada selaput meninges.
Pemeriksaan kaku kuduk sebaiknya ditunda pada kasus trauma kepala sampai
vertebra servikal dipastikan aman
 Perdarahan pada retina subhialoid
 Anisokoria pupil
 Defisit neurologis fokal[1,3]

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada perdarahan intrakranial, antara lain:
 Pencitraan otak: CT Scan, MRI, dan CT- / MR- angiografi
 Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, prothrombin time (PT), activated partial
thromboplastin time (aPTT), kimia darah, toksikologi, dan skrining kelainan darah,
infeksi, dan vaskulitis
 Pemeriksaan lain: elektrokardiografi dan pungsi lumbal[3,8,9]
Pencitraan Otak
Pencitraan otak yang biasanya dilakukan:
CT Scan Kepala

CT Scan kepala merupakan standar diagnosis perdarahan intrakranial, dapat menggambarkan


fraktur tengkorak serta adanya hematoma dan edema perihematoma dengan baik.
CT Scan lebih dianjurkan untuk dilakukan pada pasien yang diduga mengalami perdarahan
intrakranial. CT Scan memiliki waktu pemeriksaan yang lebih cepat, dan hasil yang cukup
akurat. Hasil yang lebih akurat dan gambaran yang lebih jelas dapat dicapai dengan
penggunaan kontras. Penggunaan CT Scan dengan atau tanpa kontras didasari pada
kebutuhan klinisi, misalnya untuk melihat perdarahan aktif, kontras akan dapat menunjukkan
sumber serta lokasi perdarahan yang terjadi pada pasien.
Teknik CT Scan lain berupa CT-angiografi dapat bermanfaat untuk diagnosis aneurisma,
malformasi arteriovenosa, serta stroke iskemik.[3,9]
MRI Otak

MRI otak: mendeteksi malformasi arteriovena dan angioma kavernosus sekitar hematoma,
lebih baik dalam menggambarkan jaringan lunak dibandingkan CT Scan dan dapat
membedakan perdarahan hiperakut hingga kronis
 Angiografi atau Digital Subtraction Angiography / DSA: dilakukan pada pasien yang
dicurigai menderita penyakit Moyamoya, malformasi arteriovena, aneurisma, dan
emboli. Selain tujuan diagnostik, pada pasien emboli dan aneurisma pemeriksaan ini
juga memiliki tujuan terapeutik[3,8,10-13]
USG Doppler Transkranial
Pemeriksaan ultrasonografi Doppler transkranial dapat digunakan untuk memeriksa penyakit
Moya-Moya.[3,8,14]
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak bersifat diagnostik untuk perdarahan intrakranial, tetapi
dapat bermanfaat untuk menilai adanya faktor risiko perdarahan. Beberapa pemeriksaan
laboratorium yang dapat dilakukan :
 Trombosit: melihat adanya risiko perdarahan
 Prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTT): menilai
fungsi koagulasi darah. Pada pasien yang mendapat enoxaparin atau novel oral
anticoagulants (NOACs) seperti rivaroxaban dan apixaban, PT dan aPTT akan tetap
normal
 Gula darah dan elektrolit: kadar gula darah perlu dipertahankan tetap normal.
Hiponatremia diasosiasikan dengan perdarahan intrakranial dan perlu dikoreksi
 Pemeriksaan kimia darah dan elektrolit: memastikan adanya kelainan metabolik dan
memonitor osmolaritas darah selama diuresis. Kontrol gula darah dan natrium 
 Pemeriksaan toksikologi: mengukur kadar alkohol darah jika dicurigai adanya
intoksikasi alkohol. Mengingat intoksikasi alkohol merupakan risiko perdarahan
intrakranial, penurunan kesadaran tidak boleh dianggap sebagai hanya akibat
intoksikasi alkohol hingga diagnosis perdarahan intrakranial dapat
disingkirkan[3,8,14]
Elektrokardiografi
Perdarahan intrakranial dapat menyebabkan terjadinya aritmia. Gambaran EKG yang dapat
ditemukan pada perdarahan intrakranial di antaranya sebagai berikut:
 Gambaran gelombang T inversi dalam
 Pemanjangan interval QT
 Gelombang J atau gelombang U
 Sinus bradikardia atau sinus takikardia
 Atrial fibrilasi
 Ventricular tachycardia
 Kompleks atrium dan ventrikel prematur
 Gambaran pacemaker atrium
 Atrioventricular block (AV block) [3,15]
Perlu diingat bahwa hasil EKG ini tidak bersifat diagnostik untuk perdarahan intrakranial.
Gambaran EKG di atas hanya menunjukkan bahwa kelainan EKG tidak selalu diakibatkan
oleh masalah pada jantung tetapi dapat juga diakibatkan oleh perdarahan intrakranial.
Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal dulunya dilakukan untuk mendiagnosa perdarahan subaraknoid pada
perdarahan akut dengan hasil CT scan negatif. Walau demikian, studi menunjukkan bahwa
hasil CT scan saat ini superior dibandingkan dengan pungsi lumbal dan lebih tidak berisiko
sehingga pungsi lumbal tidak lagi disarankan untuk diagnosis perdarahan subaraknoid.
Pungsi lumbal juga dapat mendeteksi kondisi lain / penyakit penyerta yang tidak dapat
ditemukan melalui pencitraan, seperti meningitis.[3,16]

Diagnosis Banding
Diagnosis banding perdarahan intrakranial antara lain stroke iskemik, ensefalitis herpes
simpleks, sindrom diseksi, hidrosefalus, penyakit Moyamoya, epilepsi, dan empiema
subdural.

Stroke Iskemik
Stroke iskemik memiliki onset yang cenderung perlahan dan terjadi pada kondisi pasien yang
sedang tenang (tidak beraktivitas), dapat juga disebabkan oleh fibrilasi atrium yang
menimbulkan stroke kardioemboli.
Kerusakan reperfusi akibat terapi trombolitik stroke iskemik akut juga dapat menjadi
diagnosis banding dari perdarahan intrakranial. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan
aliran darah serebral ipsilateral yang melebihi kebutuhan jaringan otak.

Ensefalitis
Ensefalitis dapat disebabkan oleh virus herpes simpleks, Japanese encephalitis, measlesdan
rabies. Gejala biasanya diawali dengan adanya demam, malaise, dan mual yang diikuti
dengan gejala letargis, kebingungan, dan delirium.

Sindrom Diseksi
gejala diseksi paling sering berupa gejala iskemia dan dapat dipastikan dengan CT-angiografi
yang menunjukkan adanya flap lapisan intima atau gambaran lumen double-barrel.

Hidrosefalus
Gejala hidrosefalus pada pasien dewasa biasanya mual, kepala pasien membesar pada
pemeriksaan fisik, dan ditemukan adanya akumulasi cairan serebrospinal.

Penyakit Moyamoya
Penyakit Moyamoya merupakan penyakit pembuluh darah otak oklusif yang terjadi pada
sirkulus Willisi, arteri otak, dan batang otak, dapat dilihat pada hasil CT-angiografi otak.
Penyakit ini banyak terjadi pada orang Jepang.

Epilepsi
Epilepsi ditandai dengan kejang dan dipastikan dengan elektroensefalografi (EEG).

Empiema Subdural
Empiema subdural merupakan pengumpulan massa abses pada lapisan subdural. Gejala yang
ditimbulkan akan menyerupai gejala peningkatan tekanan intrakranial. Selain itu, dapat
ditemukan kaku kuduk serta kelainan pada cairan serebrospinal.[3,7]

Malaria Serebral
Pada malaria serebral, tanda dan gejala utama adalah adanya penurunan kesadaran (koma)
dan syok. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan apus darah berupa adanya
gambaran hiperparasitemia yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum.

TATALAKSANA

Penatalaksanaan Awal di UGD


Beberapa langkah awal yang dilakukan pada pasien dengan perdarahan intrakranial, antara
lain:
 Melakukan intubasi untuk memastikan jalan nafas pasien, terutama pada pasien
dengan penurunan kesadaran. Lakukan pemeriksaan neurologis sebelum memberikan
agen sedasi dan paralisis
 Menurunkan tekanan darah dengan perlahan hingga target mean arterial
pressure (MAP) < 130 mmHg. Tekanan darah tinggi berhubungan dengan ekspansi
hematoma dan prognosis yang buruk[1,3]
 Stabilisasi tanda vital[3]
CT Scan Emergensi
Pada pasien dengan perdarahan intrakranial, terutama yang mengalami penurunan
kesadaran, CT Scan kepala perlu dilakukan segera untuk menentukan perlu tidaknya merujuk
pasien ke bedah saraf, lokasi dan volume perdarahan, serta risiko cedera otak sekunder.

Penatalaksanaan Lanjutan
Setelah kondisi pasien dan tanda vital sudah stabil, lakukan reduksi tekanan intrakranial
untuk menjaga cerebral perfussion pressure (CPP), koreksi koagulopati, penanganan kejang,
serta menjaga homeostasis pasien.
Reduksi Tekanan Intrakranial
Reduksi tekanan intrakranial dilakukan dengan langkah-langkah berikut ini:
 Elevasi kepala 15-30 derajat. Walau demikian, studi terkini menunjukkan kontroversi
antara posisi supinasi dan elevasi kepala
 Hiperventilasi pada pasien yang sudah diintubasi untuk mencapai target pCO2 30-35
mmHg
 Pemberian cairan saline hipertonik hingga target serum natrium 155-160 mEq/L.
Cairan hipertonik terbukti lebih efektif dibandingkan mannitol dalam menurunkan
tekanan intrakranial. Mannitol dapat digunakan sebagai alternatif dengan dosis 0,25-1
gram/kgBB
 Intervensi pembedahan berupa pemasangan monitor tekanan darah intrakranial,
drainase ventrikular eksternal, kraniotomi, evakuasi bekuan darah pada perdarahan
epidural, serta kraniektomi dekompresi
Koreksi Koagulopati
Pasien end-stage liver disease atau pasien yang mendapat warfarin dapat ditangani dengan
pemberian vitamin K sedangkan pasien yang mendapat heparin dapat diberikan protamine.
Pada koagulopati terkait trauma, pasien dapat diberikan platelet dan fresh frozen
plasma (FFP).
Penanganan Kejang
Profilaksis kejang tidak lagi disarankan pada perdarahan intrakranial. Pasien perdarahan
intrakranial yang mengalami kejang perlu diberikan benzodiazepines seperti diazepam, serta
antikonvulsan seperti phenytoin.
Menjaga Homeostasis
Pasien harus dipantau suhu, status cairan dan gula darahnya untuk memastikan kondisi pasien
tidak mengalami hipertermia, dan terjaga tetap euglikemia dan euvolemia.[3]

Penatalaksanaan Definitif: Pembedahan


Pembedahan pada perdarahan intrakranial tidak diperlukan pada pasien dengan defisit
neurologis yang minimal atau volume perdarahan < 10 mL. Tindakan pembedahan pada
pasien perdarahan intrakranial perlu dilakukan pada pasien berikut :
 Ukuran perdarahan > 3 cm
 Perdarahan intrakranial yang berhubungan dengan kerusakan struktural pembuluh
darah
 Pasien usia muda dengan perdarahan bagian lobar[3,8]
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum pembedahan, antara lain :

 Perjalanan penyakit dan timing: pembedahan optimal dilakukan dalam 48-72 jam


awal, namun dapat dilakukan hingga 2 minggu setelah onset jika memang harus
menunggu kondisi pasien stabil
 Usia pasien dan kondisi komorbid pasien: pada orang tua dengan kondisi komorbid
yang banyak, tindakan operatif dapat memperburuk kondisi pasien
 Penyebab perdarahan: penyebab perdarahan perlu diketahui agar tindakan operatif
dapat dengan tepat dilakukan dan luaran pasien maksimal
 Lokasi hematoma: lokasi hematoma yang sulit dijangkau mungkin memerlukan
teknik operatif yang berbeda[3]
 Efek massa (mass effect) dan pola drainase. Efek massa adalah fenomena adanya lesi
fokal ataupun kontusio yang menyebabkan jaringan dan struktur otak mengalami
penekanan dan kerusakan[3,4]
 Kemungkinan pasien untuk dapat kembali pulih setelah tindakan pembedahan [10]
Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan, antara lain adalah perbaikan aneurisma,
penanganan malformasi arteriovenosa, serta kraniotomi dekompresi.

Perbaikan Aneurisma
Perbaikan aneurisma dilakukan dengan memasang clamp pada dasar aneurisma untuk
mencegah perdarahan. Perbaikan aneurisma juga dapat dilakukan dengan embolisasi coilyang
dimasukkan menggunakan kateter.
Penanganan Malformasi Arteriovenosa
Malformasi arteriovenosa dapat diatasi menggunakan pembedahan, radiologi intervensi
(digital substraction angiography), maupun embolisasi. Pertimbangan pemilihan modalitas
didasarkan pada usia pasien, lokasi, dan ukuran malformasi.
Kraniektomi Dekompresi
Tindakan ini dilakukan ketika nyawa pasien terancam oleh peningkatan tekanan intrakranial,
tindakan ini bergantung pada lokasi perdarahan, usia dan kondisi medis pasien.[8,10]

Sumber :
1. Caceres, J.A. and J.N. Goldstein, Intracranial hemorrhage. Emergency medicine clinics of
North America, 2012. 30(3): p. 771-794. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22974648 
3. Liebeskind, D.S. Intracranial Hemorrhage. Neurology 2018; Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1163977-overview#a5. 
4. Rush, B., Mass Effect, in Encyclopedia of Clinical Neuropsychology, J.S. Kreutzer, J.
DeLuca, and B. Caplan, Editors. 2011, Springer New York: New York, NY. p. 1525-1526.
https://doi.org/10.1007/978-0-387-79948-3_253 
8. Freeman, W.D. and M.I. Aguilar, Intracranial hemorrhage: diagnosis and management.
Neurol Clin, 2012. 30(1): p. 211-40, ix. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22284061 
10. Caplan, L.R. Patient education: Hemorrhagic stroke treatment (Beyond the Basics).
Patient education 2017; Available from: https://www.uptodate.com/contents/hemorrhagic-
stroke-treatment-beyond-the-basics.

PENCEGAHAN

KOMPLIKASI

PROGNOSIS

MM TRIAS CUSHING

Tanda cushing (disebut dengan cushing’s triad) mengacu pada presentasi klasik
peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang disebabkan oleh perdarahan intrakranial.
Cushing’s triad diidentifikasi dengan adanya hipertensi, bradikardi dan depresi pernapasan.
Hal ini terjadi setelah TIK pasien meningkat selama beberapa waktu sehingga sangat
membutuhkan tatalaksana yang lebih cepat dan agresif. Cushing’s triad dapat menyebabkan
defisit neurologis fokal yang berkembang dari perdarahan atau herniasi.
Sumber: Adriman, S. Et al. 2015

Anda mungkin juga menyukai